You are on page 1of 8

TAHAMMUL WAL ADAAL-HADIST

A.Kelayakan Seorang Perawi


1

Kelayakan(ahliyah) adalah kepatutan seseorang untuk mendengar dan menerima

hadist serta kepatutannya meriwayatkan dan menyampaikannya. Ulama menyebut kegiatan


mendengar dan menerima hadits dengan istilah Tahammul,yaitu mengambil hadits dari
seorang guru dengan cara-cara tertentu. Dan mereka menyebut kegiatan meriwayatkan dan
menyampaikan hadits dengan istilah Ada. Oleh karena itu, kelayakan perawi berkaitan
dengan kelayakan Tahammul dan ada.
1.Kelayakan Tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiata mendengar yang dilakukan oleh
anak kecil,yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Yang benar adalah pendapat
mayoritas ulama itu. Karena sahabat,Tabiin dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat
sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan,Huseian,Abdullah ibn az-Zubair,Anas
ibn malik,Abdullah ibn Abbas,Abu Said al_Khudriy,dan alain-lain tanpa memilah-milah
antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.
Bila kita merujuk pendapat mereka yang memperbolehkan anak melakukan kegiatan
mendengar hadits,maka kita melihat bahwa mereka hamper sepakat dengan kriteria tamyiz
bagi keabsahannya.Yakni bila anak mampu memahami pembicaraan dan mampu
memberikan jawaban ,maka ia sudah berstatus mumayiz dan kegiatannya mendengar hadits
dinilai absah .
1 Ahmad Muhammad ,M mudzakkir dkk.2004.ulumul hadis, bandung.

2.kelayakan ada
Mayoritas ulama hadits,ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang
riwayatnya bias dijadikan hujjah-baik laki-laki maupun perempuan harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a.Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir,berdasarkan ijmaulama,baik
diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak.Allah SWT memerintahkan
kita untuk mengecek berita yang dibawa orang fasik.
2.Baligh
Ini merupakan pusat atklif.karena riwayat itu anak yang berada dibawah usia taklif
tidak bias diterima. Baligh merupakan usia dengan dugaan adanya kemampuan berakat dan
pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk
melakukannya.Karena menerima periwayatan berarti mengabulkan atatu memberikan
kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
3.Sifat Adil
Ini merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk
senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri.

4.Dhabt
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika
mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya pada orang
lain.
B.Tahammul Hadits
Metode tahammul hadits ada delapan,yaitu
1.As-sima(mendengar)
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan maupun dari kitabnya sedang
hadirin mendenganya,baik majlis itu untuk imla ataupun untuk yang lain.
2.Al-Qiraah Ala asy-Syeikh(membaca dihadapan guru)
Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits dihadapan guru,baik dari hafalannya
maupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau mentimaknya
baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk
mengecek dan meneliti.
3.Al-ijazah(sertifikasi atau rekomendasi)
Ijazah ini merupakan metode tahammul yang beda sama sekali.namun masih dalam
batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang
telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula ,tanpa

membacakan semua hadits yang diijazahkan.Oleh karena ada ulama yang memperbolehkan
dan ada juga yang tidak.
4.Al-munawalah
Maksudnya seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits,bebrapa hadits atau
sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkan darinya.
5.Al-Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain
menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid
yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang
yang bias dipercaya.
6.Ilam asy-Syeikh
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu
atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya
atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada,tanpa menyatakan secara
jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
7.Al-Washiyyah
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar
kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya.

8.Al-Wijadah
Kata al-wijadah,dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,
bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang
diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun
proses munawalah.
C.Adaul Hadits
Satu hal yang sudah jelas adalah bahwa setiap bentuk tahammaul memiliki padanan
bentuk ada. Karena apa yang diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya
pada orang lain.Ulama sangat antusias untuk menjelaskan metode tahammul yang
digunakannya sewaktu menyampaikan riwayatnya. Karena metode-metode tahammul
memiliki tiga akurasi yang berbeda-beda, secara ilmiah. Hamper seluruh ulama sepakat atas
wajibnya membedakan antara riwayat yang tahammulnya dengan sima dan qiraah dengan
yang menggunakan cara lain-lainnya.
Seorang perawi yang menerima hadits dengan cara sima akan mengatakan :
Samitu,Haddatsana,Akhbarana atau Anbaana. Semua ungkapan itu bermakna periwayatan
hadits. Ungkapan yang paling tinggi tingkatannya adalah Samitu. Karena hampir tak ada
hadits-hadits yang diterimanya dengan ijazah atau mukatabah , ataupun untuk mentadliskan
apa yang tidak didengarnya.
Berkenaan dengan hadits yang dibaca dihadapan guru , seorang perawi
mengatakan :Qaratu ala Fulan(saya membaca dihadapan Fulan ). Dan ini mengandung
ungkapan kehati-hatian, dan sangat popular dalam sanad-sanad kitab klasik dan kitab-kitab

yang dihasilkan dasi as-Sima. Sebagian ulama memperbolehkan penggunaan ungkapan


haddatsana dan akhbarana untuk metode penyodoran hadits kepada sang guru.
Berkenaan dengan ijazah perawi mengungkapkan :Akhbarana Fulan Ijazah (Telah
memberikan khabar kepada kami Fulan dengan cara ijazah). Dan berkenaan dengan cara
munawalah, perwi mengatakan :Akhbarana Munawalah(telah memberikan khabar kepada
kami dengan cara munawalah ).
Sedang dalam mukatabah , seorang perawi mengatakan :Kataba Ilayya Fulan,Qala
:Haddatsana Fulan (Telah memberikan hadits kepadaku dengan cara mukatabah
Fulan,katanya :telah meriwayatkan kepada kami Fulan. . . ). Penyampaian riwayat yang
diterima dengan cara Ilam mengatakan :Fi Ma Alamani Syiekhi. Penyampaian riwayat
yang diterima dengan cara wasiat-menurut yang memperbolehkannya adalah dengan
menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya.
Penyampaian hadits yang diterima perawi dengan cara wijadah, mayoritas ulama
mewajibkan menyertakan penjelasannya. Misalnyaperawi mengatakan : WajadtuFi Kitab
Fulan(saya menemukan dalam kitab Fulan).
4.Periwayatan Hadits Secara Makna
Para sahabat berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis
yang diurutkan Rasulullah SAW,dibolehkan meriwayatkan hadits secara maknawi.
Periwayatan

maknawi

artinya

periwayatan

hadits

yang

Matannnya

tidak

sama

dengandidengar Rasulullah SAW tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secra utuh sesuai
dengan yang dimaksudkan olrh rasullulah SAW.2
Salah satu kewajiban perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan
untuk menerima apa yang diriwayatkannya.Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa
seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna,tidak dengan lafadz,bila ia
memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan
kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan yang tidak
merubahnya.
Namun bila perawi tidak mengerti dan memahami kata-kata yang bisa merubah makna,
maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Karena bila demikian,
yakni bila ia tidak mengerti kata-kata yang dapat merubah makna, maka ia tidak mengerti
barangkali sia telah merubah yang halal menjadi haram.
Adakalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
lafalnya , mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.3 Dari sinilah , jelaslah
bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh meriwayatkan
hadits secara makna , bila ia tidak ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata
dan makna. Namun karena ia tak mampu menyampaikan salah satunya, maka tak ada
halangan meriwayatkannya secara makna selama ia aman dari keterplesetan dan kekeliruan.
2 H.Mudasir,Drs.2005.Ilmu Hadits.Bandung:CV.Pustaka Setia,hal.99
3Teungku

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Prof.DR,dkk.1997.Sejarah dan Pengantar


ILMU HADITS.Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra,hal.43

DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Prof.DR,dkk.1997.Sejarah dan


Pengantar ILMU HADITS.Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra
H.Mudasir,Drs.2005.Ilmu Hadits.Bandung:CV.Pustaka Setia
Ahmad,Muhammad dan M.Mudzakir dkk.2004.Ulumul Hadits.Bandung:Pustaka
Setia, Bandung

You might also like