You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Beberapa penelitian epidemiologis
menyatakan bahwa seiring perubahan pola hidup didapatkan prevalensi DM
yang meningkat (Waspadji, 2009).
Pada pasien DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
anatomi. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh
darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal,
syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,
manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral,
jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan
akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki
yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes
berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki
diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan
maksimal, karena sedikit sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes.
Di negara maju dan berkembang kaki diabetes masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara
pengelolaan, dan adanya pengelolaan aktif dalam mengelola sejak pencegahan
primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematian
dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat rendah, menurun sebanyak
49-85% dari sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah


1

Rumusan masalah penulisan responsi ini adalah sebagai berikut:


1.

Bagaimana definisi, epidemiologi, dan pencegahan kaki diabetes?

2.

Bagaimana pemeriksaan fisik dan diagnosis pada kaki diabetes?

3.

Bagaimana penatalaksanaan awal pada kaki diabetes?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan responsi ini adalah sebagai berikut:
1.

Memahami definisi, epidemiologi, dan pencegahan kaki diabetes.

2.

Meningkatkan kemampuan pemeriksaan fisik dan diagnosis kaki


diabetes.

3.

Memahami penatalaksanaan awal pada kaki diabetes.

1.4 Manfaat
Penulisan responsi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
dokter muda mengenai penegakan diagnosis dan penatalaksaan kaki diabetes
sehingga memahami kasus yang diangkat pada responsi ini. Diharapkan kelak
pemahaman mengenai kasus-kasus tersebut dapat meningkatkan kemampuan
dan keterampilan dokter muda dalam menanganinya saat sudah terjun di
masyarakat sehingga status kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih baik.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Diabetes Mellitus (DM)
Berdasarkan American Diabetes Association tahun 2010, Diabetel Mellitus
merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.
Berdasarkan etiologinya, Diabetes Mellitus dibagi menjadi 3, yaitu DM tipe
1, DM tipe 2, dan DM tipe lain.

DM tipe 1, terjadi karena destruksi sel pangkreas yang menjurus


ke defisiensi insulin absolut yang bisa disebabkan oleh proses

autoimun atau idiopatik.


DM tipe 2, terjadi karena resistensi insulin yang dapat disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin

disertai resistensi insulin.


DM tipe lain, terjadi karena defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas, endokrinopati,
karena obat atau zat kimia, infeksi, atau sindroma genetik lain yang
berkaitan dengan DM.
(Perkeni, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Umumnya akan dipikirkan adanya gejala klasik
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tak dapat
dijelaskan. Gejala lain yang mugnkin dikemukakan pasien adalah kesemutan,
lemas, gatal, mata kabur, impotensia pada pasien pria dan pruritus vulva pada
pasien wanita.
Kriteria diagnosis DM :
1. GDS 200mg/dL pada orang yang memiliki tanda klasik hiperglikemia
(poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tak dapat
dijelaskan.), atau
2. GDP 126 mg/dL, atau
3. GD 2 jam setelah pemberian beban glukosa oral 75g 200mg/dL

Diabetes Mellitus seringkali menimbulkan berbagai macam komplikasi


dan penyulit yang dapat terjadi, diantaranya adalah ketoasidosis diabetik, status
hiperglikemi

osmolar,

hipoglikemia,

makroangiopati,

mikroangiopati,

dan

neuropati. Komplikasi yang sering terjadi adalah neuropati perifer, berupa


hilangnya sensai di distal yang berpotensi tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi yang lebih dikenal dengan kaki diabetes (Perkeni, 2011).
2.2 Definisi Kaki Diabetes
Kaki diabetes merupakan sebuah penyakit komplikasi kronik dari diabetes
mellitus yang terjadi pada ekstremitas bawah bagian distal dan merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi. Kondisi Kaki diabetes akan disertai dengan
kelainan pada persyarafan (neuropati), perubahan struktural, tonjolan kulit
(kalus), perubahan kulit dan kuku, luka pada kaki (ulkus), infeksi, dan kelainan
pembuluh darah. Kaki diabetes merupakan komplikasi diabetes mellitus yang
dapat menurunkan fungsi kaki sebagai alat mobilisasi dan paling diwaspadai saat
ini (Benjamin, 2012).
2.3 Epidemiologi Kaki Diabetes
Masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar
perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian
dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16% dan 25%
(dataRSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca
amputasi,dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
Di RS Saiful Anwar tahun 2103-2014 pasien kaki diabetes sebanyak 309
orang dengan rentang usia tebanyak adalah usia 41-60 tahun, yaitu 62%.
Dengan jenis kelamin wanita sebanyak 58%, dan laki-laki 42%. Pasien yang
dilakukan amputasi, dan debridement dengan general anestesi yaitu 12%.
Pasien dengan kaki diabetes meninggal dunia sebanyak 27%, pulang 49%, dan
pulang paksa 20%.
2.4 Etiologi dan Patofisiologi Kaki diabetes
Pada dasarnya, penyebab dari kaki diabetes sendiri merupakan gambaran
dari berbagai macam komplikasi dari diabetel mellitus yang mengenai ektremitas
bawah distal. Kaki diabetes bisa terjadi dikarenakan adanya suatu kelainan pada
4

saraf, kelainan pembuluh darah, dan kemudian adanya infeksi karena daya
tahan tubuh menurun (Chadwick, 2013).
Dari ketiga hal tersebut, yang paling menentukan dalam proses terjadinya
kaki diabetes adalah kelainan pada saraf, sedangkan kelainan pada pembuluh
darah lebih berperan nyata pada proses penyembuhan luka. Keadaan kelainan
saraf dapat mengenai saraf sensorik, motorik, atau saraf otonom. Bila mengenai
saraf sensoris, akan terjadi hilang rasa yang menyebabkan penderita tidak dapat
merasakan

rangsangan

nyeri

sehingga

menyebabkan

hilangnya

daya

kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar. Akibatnya, kaki lebih
rentan terhadap luka meskipun dengan benturan kecil sekalipun. Bila sudah
terjadi luka, akan memudahkan kuman masuk sehingga terjadilah infeksi yang
didukung juga oleh kondisi tubuh yang immunokompromais pada penderita
diabetes mellitus. Jika infeksi ini tidak segera diatasi, hal itu akan berlanjut pada
proses pembusukan (gangren) yang bahkan dapat diamputasi (Chadwick, 2013).
Gangguan pada serabut saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot)
dapat mengakibatkan pengecilan (atrofi) otot interosseus pada kaki. Akibat lanjut
dari keadaan ini terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi perubahan bentuk
(deformitas) pada kaki seperti jari menekuk (cock up toes), bergesernya sendi
(luksasi) pada sendi kaki depan (metatarsofalangeal) dan terjadi penipisan
bantalan lemak di bawah daerah pangkal jari kaki (kaput metatarsal). Hal ini
menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama
dibawah kaput metatarsal (Apelqvist, 2013).
Sementara itu, kelainan saraf otonom bisa menyebabkan perubahan pola
keringat sehingga penderita tidak dapat berkeringat, kulit menjadi kering, mudah
timbul pecah-pecah pada kulit kaki, akibatnya mudah terkena infeksi. Selain itu,
terjadi perubahan daya membesar-mengecil pembuluh darah (vasodilatasivasokonstriksi) di daerah tungkai bawah, akibatnya sendi menjadi kaku. Keadaan
lebih lanjut terjadi perubahan bentuk kaki (Charchot), yang menyebabkan
perubahan daerah tekanan kaki yang baru dan berisiko terjadinya luka.
Kelainan pembuluh darah berakibat tersumbatnya pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah, mengganggu suplai oksigen, bahan makanan atau
obat antibiotika yang dapat menggangu proses penyembuhan luka. Pada
gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika
ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang.
Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan,
5

kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian


terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena
infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis) (Apelqvist, 2013).

2.5 Screening Kaki Diabetes


Perlu dilakukan skrining/pemeriksaan pada seluruh pasien untuk simetris
polineuropati distal (DPN), yaitu skrining dilakukan saat:

DM tipe 2 dilakukan pemeriksaan kaki saat pertama kali terdiagnosis DM.

DM tipe 1 dilakukan pemeriksaan kaki pada 5 tahun setelah didiagnosis


dan setidaknya rutin tiap tahun setelahnya.

Pertimbangkan juga melakukan skrining untuk tanda-tanda/ gejala neuropati


otonom kardiovaskular (CAN) dengan penyakit lanjut. Skrining dilakukan saat
terdiagnosis pada DM tipe 2, dan 5 tahun setelah didagnosis pada DM tipe 1.
Kontrol gula darah yang ketat adalah metode untuk mencegah atau
memperlambat perkembangan DPN dan CAN pada DM tipe 1, dan untuk
memperlambat progresi neuropati pada DM tipe 2.
2.4 Diagnosis Kaki diabetes
Diagnosis kaki diabetes didasarkan kepada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan bahwa penderita
mengalami gejala-gejala seperti kaki nyeri, kaki terasa mati rasa, kulit berubah
warna dari kemerahan kemudian menjadi kehitaman, dan terdapat luka yang
tidak kunjung sembuh dikaki. Pada anamnesis didapatkan juga penderita sudah
6

mengalami penyakit diabetes mellitus yang berlangsung kronik dan tidak


terkontrol (Bronze, 2015).
2.6.1 Pemeriksaan pada Diabetic Foot
Deteksi dini terhadap risiko terjadinya Diabetic Foot sangatlah penting,
karena menyangkut pencegahan terhadap derajat keparahan penyakit, misal
pencegahan terhadap terjadinya ulserasi dan amputasi. Komponen pemeriksaan
Diabetic Foot meliputi: riwayat penyakit, Inspeksi, pemeriksaan vaskuler, dan
pemeriksaan saraf (Andrew, et.al. 2008).
Riwayat penderita
Riwayat yang dialami pasien merupakan salah satu komponen penting
dalam mendeteksian adanya Diabetic Foot. Beberapa komponen penting yang
perlu digali dari pasien adalah

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat dari pasien yang perlu digali meliputi ada tidaknya riwayat
sebagai berikut: ulserasi, amputasi, sendi Charcot (neuropati sendi),

pembedahan vaskuler, angioplasty, dan riwayat merokok.


Gejala neuropati
Terdapat dua macam gejala neuropati yaitu positif dan negatif. Gejala
positif misalnya: nyeri seperti terbakar, sensasi tajam/elektrik. Sedangkan

gejala negatif misalnya: kaku dan kaki mati rasa.


Gejala vaskuler
Gejala vaskuler yang bisa terjadi seperti: klaudikasio, nyeri walau saat

istirahat, dan terdapat luka yang tidak sembuh-sembuh.


Komplikasi diabetes lain
Adanya riwayat komplikasi lain dari diabetes mellitus, seperti: pada Ginjal
(Dialisis, transplantasi), pada retina (penglihatan kabur).
(Bronze et.al., 2015)

Inspeksi
Inspeksi terhadap kaki sangatlah penting dilakukan karena dapat
digunakan sebagai penanda awal adanya tanda-tanda terjadinya ulkus pada
kaki. Menurut Andrew, et.al. 2008, terdapat korelasi antara pemakaian sepatu
yang tidak pas dan adanya deformitas pada kaki merupakan faktor penting yang
berkontribusi terhadap berkembangnya ulserasi pada kaki. Oleh karena itu,
sepatu yang digunakan pasien harus dilihat apakah pas dikaki atau tidak.
Sebagai contoh, pasien yang terlalu sering menggunakan sepatu dan ukuran
sepatu yang mungkin terlalu kecil yang bisa berakibat terjadinya gesekan,
eritema, melepuh, atau terbentuknya kalus (Bronze et.al., 2015)
7

Komponen-komponen dalam inspeksi Diabetic Foot

Dermatologi
Status kulit: warna, ketebalan, kekeringan, pecah-pecah
Keringat
Infeksi: Lihat diantara sela jari ada tidaknya infeksi jamur
Ulserasi
Kalus: Pendarahan pada kalus
Muskuloskeletal
Ada tidaknya deformitas, misalnya claw toes, prominent

metatarsal heads, sendi charcot.


Atrofi otot (antara metatarsal)

Pemeriksaan Kulit
Pada pemeriksaan kulit yang dilihat adalah inspeksi secara keseluruhan
dipermukaan kulit dan juga meliputi sela-sela jari, adanya ulserasi, adanya area
eritema, dan perbedaan suhu antara kaki satu dengan kaki lainnya. Adanya
kalus, distropi kuku, atau paronikia haruslah diperhatikan juga. Jika terdapat
tanda-tanda tersebut, hendaknya langsung dirujuk ke ranah spesialistik (Andrew,
et.al. 2008).
Pemeriksaan Muskuloskeletal
Pada pemeriksaan musculoskeletal yang perlu dievaluasi adalah adanya
deformitas. Deformitas yang sifatnya kaku termasuk dalam kontraktur yang tidak
mudah di lemaskan secara manual dan keadaan ini paling sering muncul pada
jari-jari. Deformitas kaki secara umum ditandai dengan peningkatan tekanan
plantar dan dikaitkan dengan kerusakan kulit termasuk persendian metatarsal
falangeal yang hiperekstensi dengan interfalangeal yanf fleksi (Claw toe) atau
falang distal yang ekstensi (hammer toe) (Andrew, et.al. 2008).
Charcot artropati adalah kondisi

neuropati kaki dan paling sering

mengenai bagian midfoot. Kondisi ini biasanya terjadi pada kaki yang unilateral
dan ditandai dengan warna kemerahan, hangat, bengkak, dan telapak kaki yang
datar. Kondisi artropati ini paling sering tidak disadari dan sering terjadi
misdiagnosis.

Gambar 2.1. A. Claw Toe, B. Bunion dan Overlaping Toe, C. Charcot Arthropati
(Andrew, et.al. 2008).
Pemeriksaan Neurologi
Neuropati perifer merupakan kondisi paling berperan dalam terjadinya
ulserasi pada Diabetic Foot. Neuropati perifer ditandai dengan adanya gejala
klaudikasio dan sensasi mati rasa pada kaki.Pemeriksaan klinis sangat
diperlukan guna mendeteksi secara dini adanya neuropati dan pemeriksaannya
pun cukup mudah dan tidak mahal. Pemeriksaan yang bisa dilakuakan
diantaranya: 10-g monofilament, vibrasi menggunakan garpu tala 128-HZ,
pinprick sensation, reflex ankle, dan VPT (Andrew, et.al. 2008).

10-g monofilament adalah pemeriksaan neurologi untuk mendeteksi


hilangnya sensor rasa pada penyakit leprosy, namun bisa juga digunakan
pada pemeriksaan neuropati pada Diabetic Foot. Jika terdapat hilangnya
rasa tekan ketika menggunakan

alat 10-g monofilament ini maka

kemungkinan besar terjadinya ulserasi pada kaki sangat tinggi. Cara


pemeriksaan dengan menggunakan 10-g monofilament ditampilkan pada
gambar 2.2.

Gambar 2.2 Cara pemeriksaan menggunakan alat 10-g monofilament


(Andrew, et.al. 2008).
Pasien diminta untuk menutup mata, alat ditempatkan tegak lurus
dengan

kulit pada area yang akan di periksa, kemudian tekan alat

sampai filament melengkung,pertahankan 1 detik dan kemudian lepas


tekanan. Sebelum melakukan prosedur tersebut pada area predileksi,
terlebih dahulu praktekkan kepada pasien pada sisi kaki sebelahnya
tentang

sensai

rasa

yang

diberikan.

Kemudian

pasien

dimnta

mengatakan iya jika terasa atau tidak jika tidak terasa. Pasien harus
merasakan sensasi yang sama dengan sisi kaki yang sehat jika area

yang di tes masih normal. (Andrew, et.al. 2008).


Garpu tala 128-Hz. Pada pemeriksaan ini,pemeriksa menggunakan
garpu tala frekuensi 128-Hz yang sudah umum dimiliki oleh para klinisi
sehingga pemeriksaanya pun mudah dan tidak mahal. Garpu tala
digetarkan kemudian gagang ditempatkan pada jari-jari kaki yang akan
diperiksa. Dilihat apakah pasien merasakan sensasi getar dari garpu tala
itu atau tidak disesuaikan dengan persepsi normal dari pemeriksa yang

memegang garpu tala. (Andrew, et.al. 2008).


Sensasi Pinprick. Pada pemeriksaan ini, pemeriksa menggunakan jarum
yang di tusukkan secara ringan dipermukaan kulit yang akan diperiksa.
Jika pasien tidak mampu merasakan maka resiko terjadinya ulserasi juga
tinggi. (Andrew, et.al. 2008).

10

Reflek ankle. Tidak adanya reflex pada ankle juga merupakan faktor
risiko terjadinya ulserasi kaki. Pada pemeriksaan ini, pasien diminta
duduk dikursi dengan posisi kaki tergantung, kemudian telapak kaki di
psosisikan dorsofleksi kemudian mengetok tendon Achilles dengan
hammer, kemudian dilihat reflex telapak kakinya ada atau tidak. Jika tidak
ada reflex, pasien diminta untuk menekuk dan mengangkat jari-jari
kakinya kemudian mengulanginya dengan memukul tendon sedikit lebih
keras.Jika tetap tidak ada reflex, maka reflex dinyatakan negatif. (Andrew,

et.al. 2008).
Vibration perception threshold testing (VPT). Pemeriksaan ini pada
prinsipnya hampir sama dengan tes garpu tala 128-Hz, yaitu persepsi
getaran. Pada pemeriksaan dengan menggunakan VPT, bagian stilus dari
alat ditempatkan pada dorsal hallux dan amplitudonya ditingkatkan
sampai pasien merasakan getarannya, hasil pencatatan itulah yang
dinamakan VPT.pemeriksaannya juga dilakukan pada area proksimalnya,
dilakukan sebanyak 3 kali dan dirata-rata hasilnya.jika VPT > 25 V maka
disebut abnormal dan merupakan kondisi yang diprediksikan bisa muncul
ulserasi kaki. (Andrew, et.al. 2008).

Pemeriksaan Vaskuler
Penyakit arteri perifer (PAD) merupakan penyebab dari kira2-kira
sepertiga ulkus kaki dan sering menjadi faktor risiko signifikan yang berkaitan
dgn luka yang berulang. Sehingga penilaian PAD menjadi penting dalam
menentukan status risiko. Pemeriksaan vaskuler harus meliputi palpasi pulsasi A.
Tibialis posterior dan A. dorsalis pedis yang dilaporkan dengan ada pulsasi
atau tidak ada pulsasi (Andrew, et.al. 2008).
Pasien diabetes dengan tanda dan gejala penyakit vaskular atau defisit
pulsasi pada skrining pemeriksaan kaki harus dilakukan penilaian terhadap skor
ABI

(Ankle Brachial Index). ABI merupakan pemeriksaan

yg mudah dan

sederhana untuk dilakukan dalam mendiagnosis insufisiensi vaskularisasi


ekstremitas bawah. ABI diukur dengan cara mengukur tekanan darah di
pergelangan kaki (ankle) (A. Tibialis posterior dan A. Dorsalis pedis) dengan
menggunakan probe ultrasonic Doppler. Skor ABI diperoleh melalui, membagi
tekanan sistolik (yang lebih tinggi) di kedua lengan oleh tekanan sistolik di ankle
(pergelangan kaki). Skor ABI 0,9 adalah normal; 0,8 berkaitan dg klaudikasio;
dan 0,4 berkaitan dg iskemik dan nekrosis jaringan (Andrew, et.al. 2008).

11

ADA (American Diabetes Association) merekomendasikan pengukuran


skor ABI pada pasien diabetes dengan rentang usia sekitar 50 tahun dan pasien
yang lebih muda dengan faktor risiko multiple pada PAD. Jika skor ABI normal
harus diulang 5 tahun kemudian.
Setelah pasien dinilai sebagai penyakit vaskular, pasien harus dievaluasi
kategori faktor risikonya (melalui tabel 1). Kategori ini dibuat untuk rujukan yang
bersifat langsung, terapi yang akan diberikan, serta follow up nya. Semakin tinggi
kategori, semakin tinggi pula risiko terhadap ulserasi, hospitalisasi (MRS), dan
amputasi. Pasien dg kategori 0 secara umum tidak memerlukan rujukan dan
harus mendapatkan KIE yang tepat serta pemeriksaan berkala setiap tahun.
Pasien dengan kategori 1 harus ditatalaksana oleh dokter umum atau dokter
spesialis dan dievaluasi setiap 3-6 bulan sekali. Dan untuk kategori 2 serta 3
harus dirujuk ke dokter spesialis dan dievaluasi setiap 1-3 bulan.
Tabel 1
Kategori
Definisi
risiko
0
Tidak ada LOPS (loss
of protective
sensation), PAD,
maupun deformitas
1

LOPS deformitas
(LOPS dengan atau
tanpa deformitas)

Rekomendasi terapi

Follow up

KIE yang meliputi advis


tentang penggunaan alas
kaki yang tepat

Setiap tahun
(oleh dokter
umum dan/atau
dokter
spesialis)
Setiap 3-6
bulan (oleh
dokter umum
atau dokter
spesialis)

Pertimbangkan
penggunaan alas kaki
yang tepat
Pertimbangkan
tindakan pembedahan
profilaksis jika

12

deformitas dapat
terjadi melalui
penggunaan alas kaki
yang tidak aman/tidak
sesuai. Lanjutkan KIE.
2

PAD LOPS (PAD


dengan atau tanpa
LOPS)

Riwayat ulkus atau


amputasi

Pertimbangkan
penggunaan alas kaki
yg tepat
Konsultasi dan follow
up
Sama seperti kategori
1
Pertimbangkan untuk
melakukan konsultasi
dan follow up jika
terdapat PAD

Setiap 2-3
bulan (oleh
dokter
spesialis)
Setiap 1-2
bulan (oleh
dokter
spesialis)

(Boulton et al, 2008)


2.6.2 Klasifikasi Kaki Diabetes
1. PEDIS
PEDIS merupakan singkatan dari perfusion, extent (ukuran), depth
(kedalaman kehilangan jaringan), infection (infeksi), sensation (neuropati).
PEDIS bermakna semikuantitatif gradasi untuk keparahan dari masing-masing
kategori. Bagian infeksi dari klasifikasi hanya berbeda dalam detail-detail kecil
dari klasifikasi yang dikembangkan oleh IDSA, dan 2 klasifikasi ditunjukkan pada
tabel. Keuntungan utama dari kedua klasifikasi adalah definisi yang jelas dan
kategori dengan jumlah yang relatif kecil, sehingga menjadi lebih mudah
digunakan untuk dokter yang memiliki kurang pengalaman dengan manajemen
kaki diabetik. Yang penting, klasifikasi IDSA telah prospektif divalidasi dalam
memprediksi kebutuhan untuk rawat inap (dalam satu studi, 0 tanpa infeksi, 4%
untuk ringan, 52% untuk moderat, dan 89% untuk infeksi berat) dan amputasi
anggota tubuh (3% tanpa infeksi, 3% untuk ringan, 46% untuk moderat, dan 70%
untuk berat Infeksi).

13

2. Wagner
Klasifikasi Wagner menilai kedalaman ulkus dan adanya infeksi serta
gangren dengan nilai mulai dari 0 (pra atau postulcerative ) sampai 5 ( gangren
seluruh kaki ). Sistem ini hanya berkaitan secara eksplisit dengan infeksi dari
semua jenis (abses luka dalam, sepsis sendi, atau osteomyelitis ) di derajat 3.
Klasifikasi kaki diabetes menurut Wagner adalah sebagai berikut:
-

Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh

Derajat I

Derajat II : Ulkus dalam disertai selulitis tanpa abses atau kehilangan

: Ulkus superfisial, tanpa infeksi, terbatas pada kulit

tulang
-

Derajat III : Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luas yang
dalam hingga mencapai tendon dan tulang, dengan atau tanpa
osteomyelitis.

Derajat IV : Gangrene terbatas, yaitu pada ibu jari kaki atau tumit

Derajat V : Gangrene seluruh kaki.

Berdasarkan klasifikasi Wagner, dapat ditentukan tindakan yang tepat


sesuai dengan derajat ulkus yang ada. Tindakan tersebut yaitu:
-

Derajat 0 : tidak ada perawatan lokak secara khusus

Derajat I-IV: pengelolaan medik dan tindakan bedah minor

14

Derajat V : bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan bedah mayor


seperti amputasi.

2.7 Penatalaksanaan Awal Kaki Diabetes


2.7.1 Pencegahan Primer
Sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil
mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki
yang baik. Berbagai kejadran/ tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan yang
tampaknya sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar. Periksalah
selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan sepatu dan kausnya.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha
pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan
memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena
faktor mekanik akan dapat dicegah. Keadaan kaki penyandang diabetes
digolongkan berdasar risiko terjadinya dan risiko besamya masalah yang
mungkin timbul.
Penggolongan

kaki

diabetes

berdasar

risiko

terjadinya

masalah

(Frykberg):
1). sensasi normal tanpa deformitas;
2). sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi;
3). insensitivitas tanpa deformitas;
4). iskemia tanpa deformitas;
5). kombinasi/ complicated:
(a) kombinasi insensitivitas, iskemia danlatau deformitas,
(b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki
yang kurang merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan
benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Kalau sudah ada
deformitas (kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus mengenai
sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

15

Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Pemakaian Alas Kaki
Pendapat sebelumnya menunjukkan bahwa sepatu dapat menyebabkan
cedera kaki. Berbagai penulis telah menyarankan bahwa 21-82% dari ulkus kaki
berhubungan dengan tekanan dari sepatu yang terlalu sempit atau tidak
memadai. Angka ini merujuk terutama untuk luka pada permukaan non plantar
kaki. Dalam konten ini, tidak layak bahwa banyak pasien diabetes memakai
sepatu yang terlalu kecil. Dalam suatu studi, 93% veteran Amierica yang
kehilangan sensasi rasa menggunakan sepatu yang terlalu kecil, yang konsisten
dengan hipotesis bahwa pasien dengan sensasi miskin lebih memilih sepatu
ketat, sehingga mereka dapat merasa mereka lebih baik. Hal ini memiliki
implikasi penting bagi perawatan pasien dan pendidikan.
Alas kaki sebagai Primary Prevention
Banyak ulkus kaki terjadi pada permukaan plantar pada titik-titik tekanan
plantar tinggi, paling sering di bawah metatarsal. Terapi Alas kaki dapat
mendistribusikan beban dan dengan demikian mengurangi tekanan pada titik-titik
tersebut dan harus memiliki utilitas dalam mencegah ulkus tersebut. Tidak ada
studi yang meneliti peran alas kaki dalam mencegah ulkus pertama pada orangorang berisiko diabetes. Namun, alas kaki memiliki efek perlindungan dalam
pencegahan sekunder, Dan pemberian resep yang tepat alas kaki untuk semua
pasien yang memiliki faktor risiko untuk cedera kaki adalah hal yang tepat.
Alas kaki sebagai Secondary Prevention
Kekambuhan ulkus adalah masalah dominan dalam mengobati penyakit
kaki diabetik. Perkiraan untuk kekambuhan tahunan bervariasi dari <5% sampai
hampir 60% tergantung pada tingkat perawatan yang ditawarkan. Risiko relatif
ulkus untuk pasien dengan riwayat ulkus sebelumnya adalah 10 kali lipat dari
pasien tanpa riwayat tersebut. Bukti luas menunjukkan efek perlindungan dari
alas kaki untuk mencegah kekambuhan ulkus, walaupun banyak bukti ini berasal
dari studi klinis yang tidak selalu acak atau tepat dikendalikan. Dua penelitian
benar-benar gagal menunjukkan efek alas kaki, namun kedua percobaan ini
memiliki cacat desain yang signifikan. Jadi, sementara bukti-bukti tidak kuat,
yang berlaku praktek klinis memberikan pasien dengan ulkus kaki sembuh hati-

16

hati ditentukan alas kaki terapi sebagai bagian dari program perawatan kaki
secara keseluruhan ditingkatkan dalam standar perawatan yang masuk akal.
Alas kaki untuk pasien dengan ulkus
Pasien dengan ulkus kaki tidak harus memakai sepatu yang mereka ntuk
kegiatan sehari-hari karena sepatu jenis ini tidak bisa digunakan terus menerus,
secara umum, sepatu ini menyediakan offloading mekanik yang diperlukan untuk
mencapai kesembuhan. Sepatu ini dirancang untuk memberikan penghapusan
sementara tekanan, baik dalam farefoot atau rearfoot dan tidak boleh digunakan
setelah penyembuhan telah dicapai.
Peresepan untuk alas kaki
Langkah-langkah berikut ini memberikan pendekatan berguna dalam peresepan
alas kaki :
1. Tentukan tujuan penggunaan sepatu misalnya untuk di rumah, pekerjaan,
tahan air, atau yang dapat digunakan untuk semua cuaca
2. Pilih tingkat perlindungan plantar yang diperlukan, seperti ketebalan insole,
keringanan dan penyokong, bagian bawah yang kuat.
3. Tentukan volume / bentuk sepatu yang diperlukan untuk mengakomodasi
deformitas dorsal
4. Yang berguna untuk menstabilkan
Pedoman Pengobatan
Bagi pasien untuk memenuhi syarat terapi alaskaki diabetes yang benefit,
setidaknya harus ada salah satu kondisi berikut.
- Riwayat amputasi sebagian atau seluruhnya
- Riwayat ulkus kaki sebelumnya
- Riwayat kalus pre ulkus
- Neuropati perifer dengan bukti pembentukan kalus
- Deformitas Foot
- Sirkulasi yang buruk
Pernyataan ini harus disimpan dalam arsip oleh pemasok, bersama
dengan memesan resep alas kaki diabetes, insole, dan perangkat lainnya.
Cakupan dalam satu tahun kalender disediakan untuk satu pasang sepatu
sepatu yang terbentuk ditambah dua pasang sol. Modifikasi sepatu (seperti
wedges, flare, roller / rocker, metatarsal bar) bisa diganti dengan sepasang sol.

17

2.7.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekumder merupakan pengelolaan kaki diabetes agar tidak
terjadi kecacatan yang lebih parah (pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang
sudah terjadi). Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerjasama multi-disipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani dengan baik agar diperloleh
hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan
semuanya harus dikelola bersama:
1. Kontrol Metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Konsentrasi
glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki
berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan
luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentasi glukosa
darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas
membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan
diperbaiki , seperti konsentrasi albumin serum, konsentrasi Hb dan derajat
oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut
tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan
dan tidak diperbaiki.
2. Kontrol Vaskular
Untuk memperbaiki neuropati diabetik kita dapat memilih untuk memakai
secara bersama obat yang melancarakan aliran darah dan yang memperbaiki
metabolisme. Dalam memperbaiki aliran darah kita harus perbaiki struktur
vaskuler yang telah mengalami kerusakan. Sebagai mana yang telah kita ketahui
peran endotel, trombosit, dislipidemia menjadi penyebab utama terjadinya
angiopati.
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien
dan juga sesuai kondisi pasien. Setelah dilakukan diagnosis keadaan
vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer
dari sudut vakular, yaitu berupa:

18

Modifikasi Faktor Risiko


. Stop merokok
. Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis:
. Hiperglikemia
. Hipertensi
. Dislipidemia
Walking Program - Latihan kaki merupakan usaha penting yang dapat diisi oleh
jajaran rehabilitasi medik.
Terapi Farmakologis
Selain pengendalian gula darah, yang mutlak harus di lakukan adalah
pemberian anti agregasi dan vasodilator perifer. Pemberian obat anti agregasi
diharapkan dapat memperbaiki vaskularisasi jaringan atau organ yang terserang.
Ada beberapa pilihan obat yang dapat di pakai, yaitu asetosal, pentoksifilin dan
cilostazol.
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis di tempat lai (jantung, otak), mungkin obat seperti
aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat
pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM.

Aspirin 75-162mg/hari. Dosis rendah aspirin merupakan regimen


antiplatelet yang efektif untuk penggunaan jangka panjang pada kejadian
oklusi vaskular, namun pada kondisi akut, initial loading dose 150 mg
aspirin dapat diberikan. Aspirin diberikan pada pasien diabetes mellitus tipe
1 dan tipe 2, untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mereka
dengan 10 tahun resiko memiliki resiko kardiovaskular >10%, yang meliputi
pasien laki-laki usia >50 tahun, wanita >60 tahun dengan setidaknya
tambahan satu resiko mayor CVD (riwayat keluarga CVD, hipertensi,
merokok, dislipidemia, atau albuminuria). Pencegahan sekunder, aspirin
diberikan pada pasien DM yang telah diketahui atau dengan riwayat CVD.
Pemberian aspirin tidak direkomendasikan untuk mereka dengan 10 tahun
resiko memiliki resiko kardiovaskular <5%, yang meliputi pasien laki-laki
usia <50 tahun, wanita <60 tahun dan tidak ada tambahan resiko mayor
CVD (ADA, 2013).

19

Clopidogrel (75 mg/hari) dapat diberikan bila pasien alergi aspirin.


Clopidogrel merupakan platelet P2Y12 receptor inhibitor sama dengan
ticlopidine, namun lebih aman. Trial pada clopidogrel versus aspirin pada
pasien dengan resiko kejadian iskemik, penggunaan jangka panjang
clopidogrel pada pasien dengan penyakit aterosklerotis vaskular lebih
efektif dibandingkan aspirin dalam menurunkan kombinasi resiko stroke
iskemik, myocardial infarction, atau kematian vaskular, dan profil keamanan
clopidogrel setidaknya sama baiknya dengan aspirin dosis medium.
Clopidogrel lebih superior dibandingkan terapi aspirin. Namun, aspirin
secara umum dianggap sebagai pilihan obat antiplatelet karena tingginya
insiden dari penyakit koroner dan harganya murah. Sebagai terapi
antiplatelet

seperti

cilostazol,

keduanya

aspirin

dan

clopidogrel

memungkinkan untuk peripheral artery disease dan bahkan pada kejadian


diabetic polynephropathy (Deguchi, 2012).

Cilostazol adalah phosphodieterase inhibitor, mensupresi agregasi platelet


dan juga berperan langsung sebagai vasodilator arteri. Cilostazol
meningkatkan jarak jalan, secara signifikan meningkatkan jarak initial
klaudikasio dan jarak absolut klaudikasio. Dibandingkan dengan placebo,
penggunaan cilostazol jangka panjang, 100mg atau 50 mg dua kali sehari,
secara signifikan memingkatkan jarak berjalan pada pasien dengan
intermittent

klaudikasio.

Berdasarkan

trial

terpeutik,

cilostazol

direkomendasikan untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak


berjalan pada pasien dengan klaudikasio, jika antiplatelet agen yang
sebelumnya tidak efektif (Deguchi, 2012). Cilostazol meningkatkan status
fungsional dan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup.
Cilostazol kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung.

Pentoksifilin merupakan hemorheologic agent yang sudah dierima FDA


tahun 1984 untuk terapi klaudikasio. Pentoksifilin 800mg/hari efektif dalam
memperbaiki gejala pasien dengan noninsulin-dependent diabetes mellitus,
termasuk perbaikan jarak berjalan, parestesia, temperatur kulit, dan
keluhan lainnya. Studi menunjukkan bahwa pentoksifilin merupakan
alternatif untuk bedah vaskular pada manajemen peripheral vascular
disease pasien diabetes. Pentoksifilin juga merupakan modalitas terapi
yang ekonomis dengan mengurangi kebutuhan hopitalisasi dan bedah
20

vaskular (Campbell, 1993). Pentoksifilin lebih inferior dibandingkan


cilostazol, sehingga cilostazol dapat dijadikan obat pilihan jika terapi
farmakologis perlu untuk manajemen PAD pada pasien diabetes (ADA
2003).
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada klaudikasio
intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular
dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka.
Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular - PTCA.
Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. Dengan
berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki,
sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor
vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung
pada berbagai faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya.
Terapi hiperbarik dilaporkan

juga bermanfaat untuk memperbaiki

vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi
ajuvan. Walaupun demikian masih banyak kendala untuk menerapkan terapi
hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes.
3. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat.
Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing
tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, dan juga letak luka
tersebut.

Dressing

yang

mengandung

komponen

zat

penyerap

seperti

carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka


yang masih produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing atau silver
impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi.
Tetapi tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus
dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement
21

yang baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan
nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat
mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba
pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer,
senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara
debridemen non surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan
jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.
Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti
hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan.
Tentu saja untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes,
suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan.
Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal, dengan demikian
penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan yang harus selalu
dilewati dalam rangka proses penyembuhan.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak
akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian
epitelialisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula
dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini dipakai di banyak
sekali tempat perawatan kaki diabetes.
4. Microbiological control
Antibiotik diberikan bila ada infeksi. Oleh karena itu bila ditemukan
adanya infeksi sebaiknya lakukan kultur. Tidak jarang penderita datang dengan
sepsis sehingga pemberian antibiotik tidak perlu menunggu hasil kultur.
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap
daerah yang berbeda. Umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel,
anaeob dan anerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran gram positif dan gram negatif serta kuman anaerob
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman
gram

positif

dan

negatif

(seperti

misalnya

golongan

sefalosporin),

dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti


misalnya metronidazol dan klindamisin).
22

5. Pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan
berat badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan
sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar.
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing dapat dilakukan
antara lain dengan: removable cast walker, total contact casting, temporary
shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, craddled insoles.
Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada
luka seperti: l). Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses, 2). Prosedur
koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection,
Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
6. Education control.
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung
berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.
Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah
amputasi, untuk memberikan bantuan bagipara amputee menghindari terjadinya
ulkus baru. Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan
plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang
terjadi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus yang
pertama.
2.8. Financial Cost
Penyakit kaki diabetes menjadi beban besar untuk pasien, keluarga
pasien, maupun tenaga medis. Beban yang ditanggung sebanding dengan usia
seseorang dan dapat meningkat sesuai peningkatan kelompok usia. Total biaya
tahunan untuk 86.000 amputasi yaitu lebih dari $1.1milyar dolar. Biaya ini belum
termasuk biaya dokter bedah, biaya rehabilitasi, alat, waktu yang hilang dari
pekerjaan. Kaki diabetes merupakan komplikasi paling umum dari diabetes yang
menyebabkan rawat inap. Biaya perawatan medis langsung untuk usia 40
sampai 65 tahun laki-laki dengan ulkus kaki baru adalah $ 27.987 selama 2
tahun setelah diagnosis.
23

Di Amerika Serikat, Huang dkk (2009) memproyeksikan

jumlah

penyandang DM dalam 25 tahun kedepan (antara tahun 2009-2034) akan


meningkat 2kali lipat dari 23,7 juta menjadi 44,1 juta, biaya perawatan pertahun
meningkat sebanyak 233 milyar dolar dari 113 menjadi 336 milyar dolar AS.
Biaya pengobatan DM dan komplikasinya pada tahun 2007 di AS mencapai 116
miliar dolar, dimana 33% dari biaya tersebut berkaitan dengan pengobatan ulkus
kaki diabetik (Driver dkk, 2010).
Di Indonesia, penderita ulkus kaki diabetes memerlukan biaya yang tinggi
sebesar Rp 1,3 juta sampai Rp1,6 juta perbulan dan Rp 43,5 juta pertahun untuk
seorang penderita (Suyono, 2010)

24

BAB 3
KESIMPULAN
Kaki diabetes merupakan sebuah penyakit komplikasi kronik dari diabetes
mellitus yang terjadi pada ekstremitas bawah bagian distal dan merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi. Deteksi dini terhadap risiko terjadinya kaki
diabetes sangatlah penting, karena menyangkut pencegahan terhadap derajat
keparahan.
Komponen pemeriksaan

kaki diabetes meliputi: riwayat penyakit,

Inspeksi (pemeriksaan kulit dan pemeriksaan muskuloskeletal), pemeriksaan


vaskuler, dan pemeriksaan saraf. Pemeriksaan neurologi dapat dilakuakan: 10-g
monofilament, vibrasi menggunakan garpu tala 128-HZ, pinprick sensation, reflex
ankle, dan VPT. Pemeriksaan vaskuler meliputi palpasi pulsasi A. Tibialis
posterior dan A. dorsalis pedis dan skor ABI.
Penatalaksan kaki diabetes dilakukan dengan pencegahan primer dan
sekunder. Pencegahan sekunder yaitu kontrol metabolik, kontrol vaskular,
woound control, pressure control, dan education control.

25

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2003. Peripheral Arterial Disease in People with
Diabetes. Diabetic care volume 26 number 12. Hal 3333-41.
Andrew J., Armstrong D.G., Albert S. 2008. Comprehensive Foot Examination
and Risk Assessment. the American Association of Clinical Endocrinologists
Armstrong D.G., Lavery L.A. 2010. Clinical Care of The Diabetic Foot Second
Edition. American Diabetes Association. United State of America.
Benjamin L., Berent A.R., Cornia P.B., Pile J.C., Peters, Armstrong D. 2012. 2012
Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the
Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infectionsa. Oxford University
Press on behalf of the Infectious Diseases Society of America 2012.
Bowering CK. 2001. Diabetic Foot Ulcers: Patophysiology and therapy. CME vol
47. Canadian Family Physician. Hal: 1007-16.
Bronze S.M., Boid D.R., 2015. Diabetic Foot Infections. Department of Medicine,
Stewart G Wolf Endowed Chair in Internal Medicine, Department of
Medicine, University of Oklahoma
Chadwick P., Edmonds M., McCardle J., 2013. Best Practice Guidelines: Wound
Management in Diabetic Ulceration. Wounds International A division of
Schofield Healthcare Media Limited Enterprise House 12 Hatfields London
SE1 9PG, UK.
Deguchi T, Rosales RL, Hashiguci T, Arimura K. 2012. Antiplatelet therapy,
Diabetic Neurophaty and Peripheral Vascular Disease: A Unitary Approach.
Journal of Diabetes Metabolism S:5.
Moore. 2012. Peripheral Nervous System 1: The Somatic System. Dept. of
Biomedical Sciences Heritage College of Osteopathic Medicine, Ohio
University Athens, Ohio 45701
Perkeni. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe2 di Indonesia 2011. Jakarta
Sullivan F. 2015. Diabetic Foot. http://www.emed.ie/Metabolic/Diabetic_Foot.php.
Diakses tanggal 15 April 2015.

26

27

28

You might also like