You are on page 1of 42

HIV AIDS PADA ANAK

A. KONSEP MEDIS
1. PENGERTIAN
1) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab
yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut
sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah
dikenal dan sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).
2) AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
3) AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Jadi, HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
2. ETIOLOGI
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan oleh
virus immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus (HIV) tipe 1
(HIV-1) yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+ , yang juga
ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan makrofag.
HIV-I merupakan retrovirus yang termasuk pada subfamili Lentivirus.
Juga sangat dekat dengan HIV-II, yang menyebabkan penyakit yang sama.
HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit obligat intra sel .Dalam
bentuknya yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang
atau melukai sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).

Retrovirus mengandung kapsid sebelah dalam yang disusun dari protein


struktur yang dirujuk pada ukurannya.
Protein struktural utama adalah p24, terdeteksi dalam serum penderita yang
terinfeksi dengan beban virus tinggi.
Kapsid virion mengandung dua kopi RNA helai tunggal dan beberapa molekul
transkriptase balik. Transkriptase balik adalah polimerase DNA virus yang
menggabung nukleosid menjadi DNA dengan menggunakan RNA virus
sebagai model. ( Behrman, dkk , 1999 : 1128 )
HIV merupakan retrovirus sitopatik tidak bertransformasi mendorong
terjadinya immunodefisiensi dengan merusak sel T sasaran ( target )
Selubung ( envelope ) lipid HIV-I berasal dari membran sel pejamu yang
terinfeksi saat budding, yang mengandung dua glikoprotein virus, gp120 dan
gp41. gp120 penting pada pengikatan pada molekul CD4 pejamu untuk
memulai infeksi virus.
Ditemukan beberapa gen yang tidak ditemukan pada retrovirus lain, yaitu tat,
vpu, vip, nef, dan rev.tat dan rev, mengatur transkripsi HIV dan karenanya
dapat dipakai sebagai target terapi.
Virus diisolasi dari sel limfosit, serum cairan serebrospinal, dan semua sekresi
dari penderita yang terinfeksi. ( Robbins,dkk, 1998 : 140 ).
3. MACAM INFEKSI HIV
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
1) Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan
limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan
pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara
klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok,
mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah
CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.

2) Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+
secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar
limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa
tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan
viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3)

Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh


penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan,
diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya
dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap
semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/l
sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 :
143 )

4. PATOFISIOLOGI
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target ( terutama
sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Ia
melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-tase yang dibawanya
untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA agar dapat bergabung
menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit T helper CD4 dan sel-sel
imunologik lain ) . Dari DNA sel target ini berlangsung seumur hidup. Sel
limfosit T ini dalam tubuh mempunyai mempunyai fungsi yang penting sebagai
daya tahan tubuh. Akibat infeksi ini fungsi sistem imun (daya tahan tubuh)
berkurang atau rusak, maka fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus untuk
melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B juga
terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total sehubungan
dengan penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan memburuknya sistem
imun secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunis

dan juga berkurang kemampuannya dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi


HIV dimanifestasikan sebagai penyakit multi-sistem yang dapat bersifat dorman
selama bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap.
Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi dari
orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak langsung dengan
darah atau produk darah dan cairan tubuh, melalui obat-obatan intravena, kontak
seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi, dan menyusui. Tidak ada bukti yang
menunjukkan infeksi HIV didapat melalui kontak biasa.
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi
(disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus
AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).
( Cecily L. Betz , 2002 : 210)

5
PATOGENESIS
HIV-1

Jarum suntik

Ibu

Transfusi

Hub sexual

Transplasental

Sel Host

Limfosit T

Perinatal

Aliran darah / mukosa


Kel. Limfe

CD4+
Hiperplasi
folikel

Internalisasi
Enzim RT-ase
Transkripsi terbalik
Mengubah RNA
menjadi DNA

Replikasi
virus masit

Limfadenopati

Viremia

Destruksi sel
CD4
Bertahap

Inf. Akut
Laten

Kel. Getah
bening perifer

Lim B

Kel. Sel. B

Pe Ab
spesifik

Pe Ig
total

Krisis

Integritas DNA
provirus ke Host

Hiper gamma
globulinemia

Transkripsi / translasi
& propagasi virus

Respon IgM
me

Inf. Oportunistik
Keganasan sekunder
AIDS
Monosit
makrorag

Tahan sitopatik HIV

Penyebaran patogenesis

Gangguan fungsi monosit & makrofag


- Kematoksis
- Fagositosis

SSP

AIDS
1.
Inf. Oportunistik
SSP

Mata

Cryptococcus
Toxoplasma
Candida
Mycobacterium
TB
Tumor
CM V
Toxoplasma

Hidung
Mulut

Paru

Meningitis
Encepalitis
Demensia
Gangguan psikomotor
Kejang-kejang
Perivaskulitis
Retinitis

Sinusitis
Jamur oral thrush
Stomatitis herpes
Parotitis
Kandidiasis oral / faring
Pnemonia pneumocystis carinii (PPC)
Cytomegalovirus
Mycobacterium avium intracellare / M. TB
Lymphoid interstitial pneumonitis
Virus epstein Barr bronkopneumonia

Jantung

Kardiomiopati DC

Limpa

Splenomegali

pankreas

Pankreatitis (trauma akibat pemberian pentamidin)

Hepar

hepatitis

GI track

Diare
Malabsorbsi

Kel. limfe

Ensepalopati

Salmonella
CMV
Kandida
Herpes simplex
Cryptosporodium
Camphilobacter

Limfodenopati

Ginjal

Focal glomerulosclerosis
Mesangial hyperplasia

Kulit

Dermatitis (Ekzema s/d pyoderma gangrenosum & scabies

Darah

Trombocytopenia, Neutropeni, Anemi

Proteinuria

2. Hypergammaglobulinemia

3. Penurunan limf. T sel CD4 + absolut (limfosit 200 / mm3)

4. Keganasan sekunder sarkoma kaposi


kanker, tumor
5. Penurunan BB

8
VIREMIA

Sal. napas

SSP

Hepar & lien

Batang otak
Paru

Hidung

Alveolar

Hepatomegali
Splenomegali

Sinusitis

Hipotalamus
Menekan N. Vagus
Pirogen

Nyeri

Simpatis

Pneumonitis
interstisiel

Termostat

Vasodilatasi
PD

Akumulasi
sekret

Takikardi
TD

peHCL

Kejang2

Kardiomegali
Vasodilatasi
Kelj.
Sebasea

Batuk
Tidak spontan
Obstruksi sel
napas
Kerusakan
pertukaran
gas

Akumulasi
sekret
Ronki / tridor

Suplai O2
Pe perfusi

Intoleran aktifitas

Kardiomiopati
DC

Mual,
muntah,
anorexia

Usus

Otak
Ensefalitis

Resiko G3
integritas
kulit

Meningitis

Ensefalopathy

G3 motorik

Mal
absorbsi

BB
Diare

Integritas
kulit

G3 neuropati

pe
peristaltik

Nutrisi

Erithema

Dispneu
Perub. Pola napas

Resiko injuri

Keringat

Bersihan
jalan napas

Fatique

Lambung

Hipertermi

Eksudasi

spontan

Jantung

G3 neuro
psikiatrik

Eliminasi
alvi

Keseimbangan
cairan

Defisit /
hipovolume
Dehidrasi

Peperfusi
Vasodilatasi PD
Pe TIK

Demensia
Atralgia & / mialgia
Pe fungsi
kognitif
Immobilitas
fisik
Istirahat tidur
Nyeri

Ginjal
Turgor
Mata cowong
Ubun-ubun cekung
Mukosa kering
Oligouria
Eliminasi
uri

5. MANIFESTASI KLINIS
Bayi dan Anak
Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi
penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau
kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan
anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun.
Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada
penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik
"penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan sangat mematikan
adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC pada bayi terinfeksi HIV-1
merupakan distress pernapasan berat dengan batuk, takipnea, dispnea dan
hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke arah blokade kapiler alveolar (mis ;
proses radang interstisial). Roentgenogram dada menunjukkan pneumonitis difus
bilateral dengan diafragma datar. Diagnosis biasanya diperkuat oleh bronkoskopi
fleksibel dan cuci bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat untuk kista
maupun tropozoit. Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa
banding pada bayi termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-Barr,
virus herpes simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi pernafasan terkait
mengi. Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin, tetapi prognosis
jelek dan tidak secara langsung dikorelasikan dengan jumlah limfosit CD4+..
Reaktivasi PPC tampak semakin bertambah pada anak yang lebih tua yang
mempunyai perjalanan klinis infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis PPC
(trimetropim-sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada penderita
pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka absolut ).
Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah
esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan diobati
dengan amfoterisin B dan ketokonazol.
Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral, sepertii
Toxoplasma

gondii.

Infeksi

Mycobacterium

avium

complex

biasanya

10

menimbulkan gejala saluran cerna, dan herpes virus menimbulkan komplikasi


retina, paru, hati, dan neurologist. M. tuberculosis dan malaria yang tersebar di
seluruh dunia adalah patogen oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma
relatif

tidak

sering

pada

penderita

terinfeksi

HIV-1

pediatri.

(Behrman,dkk,2002: 1129 )
Manifestasi klinisnya antara lain :
1) Berat badan lahir rendah
2) Gagal tumbuh
3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya yang
memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan yang
terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
Remaja
Kebanyakan remaja yang terinfeksi mengalami periode penyakit yang
asimtomatik yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini diikuti tanda
dan gejala yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan sebelum
tinbulnya infeksi oportunistik dan keganasan.Tanda dan gejala tersebut antara
lain:
1) Demam

11

2) Malaise
3) Keletihan
4) Keringat malam
5) Penurunan berat badan yang tidak nyata
6) Diare kronik atau kambuhan
7) Limfadenopati umum
8) Kandidiasis aral
9) Atralgia dan mialgia. ( Cecily L. Betz, 2002 : 211 )
Kategori Klinis HIV
1) Kategori N : Tidak bergejala
Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV
2) Kategori A : Gejala ringan
Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :

Limfadenopati

Hepatomegali

Splenomegali

Dermatitis

Parotitis

Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten, sinusitis, atau


otitis media

3) Kategori B : Gejala sedang


Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau menunjukkan
kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari kondisi-kondisi
tersebut adalah sebagai berikut :

Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari

Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis

Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6 bulan

Kardiomiopati

Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan

12

Diare, kambuhan atau kronik

Hepatitis

Stomatitis herpes, kambuhan

Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan sebelum


berusia 1 bulan

Herpes zoster, dua atau lebih episode

Leimiosarkoma

Pneomonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid


pulmoner (LIP/PLH)

Nefropati

Nokardiosis

Varisela zoster persisten

Demam persisten >1 bulan

Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulam

Varisela, diseminata ( cacar air berkomplikasi )

4) Kategori C : Gejala Hebat


Anak dengan kondisi berikut :

Infeksi balterial multipel atau kambuhan

Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus

Koksidioidomikosis, intestinal kronik

Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai pada umur


> 1 bulan.

Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).

Ensefalopati HIV.

Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau pneumonitis atau
esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.

Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner.

13

Isosporiasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).

Sarkoma kaposi.

Limfoma, primer di otak.

Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoa imunoblastik ).

Kompleks

Mycobacterium

avium

atau Mycobacterium

kansasii,

diseminata atau ekstrapulmoner.

Pneumonia Pneumocystis carinii.

Leukoensefalopati multifokal progresif.

Septikemia salmonella kambuhan.

Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.

Wasting Syndrome karena HIV. ( Cecily L. Betz, 2002 : 213 )

6. PENDEKATAN DIAGNOSA
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari pada
orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang
meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai
diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering
membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV (IgG) pada darah bayi dapat
merupakan antibodi yang berasal dari ibunya, karena antibodi ini dapat
menembus plasenta, yang dapat menetap berada dalam darah si anak sampai
berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka memerlukan pemeriksaan serial
dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya infeksi bagi si bayi. Pada
umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai lebih dari 15 bulan
menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi. Terdapatnya antibodi kelas IgM
atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi, dengan sensitifitas dan
spesifitas sampai 98%.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :
1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.
2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan

14

3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio T4:T8)


4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.
Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM maupun
IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste Blot. Dapat
pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa, ataupun DNA
virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi. Metoda lain yang sedang
dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody Production), dengan mencari selsel penghasil antibodi dari darah bayi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut :
Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :
1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-gejala ini bukan
disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi
HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dengan
ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaankeadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).
Gejala Mayor :
a)
b)
c)
d)

Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.


Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali


Kandidiasis mulut dan faring
Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
Dermatitis yang menyelurh
Ensefalitis

15

Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas positive


predictive valuenya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk
melakukan surveillance epidemiologi.
Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance epidemiologi,
CDC telah membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak sebagai berikut :
(lihat tabel 2)
Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut
Center for Disease Control (CDC)
Klas
P-0
P1

P-2

Subklas / kategori
Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)
Infeksi yang asimtomatik
Subklas A : Fungsi immun normal
Subklas B : Fungsi immun tak normal
Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa
Infeksi yang simtomatik
Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap
lebih 2 bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip
Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis
Subklas D : Penyakit infeksi sekunder
Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana
tercantum dalam daftar definisi surveillance CDC
untuk AIDS
Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang
Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain
Subklas E : Kanker sekunder
Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam
daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan karena
infeksi AIDS
Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh
infeksi H HIV

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak sesuai
dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut AIDS Related Complex (ARC).
Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati, peumonitis interstitialis, diare

16

menahun, infeksi berulang, kandidiasis mulutyang menetap, serta pembesaran


hepar, namun belum ada infeksi oportunistik atau keganasan.
Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula
diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3
Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)
Kriteria Mayor :
- Pneumonitis interstitialis
- Oral Thrush yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis
Kriteria Minor :
- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)
- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)
- Ensefalopati idiopatik progresip
Kriteria Laboratorium :
- Peningkatan IgA / IgM dalam serum
- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah
Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor. Serta 2
kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.
7. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1) Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum)
mendeteksi
antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk skrining HIV pada
individu yang berusia lebih dari 2 tahun).
2) Western blot (uji konfirmasi yang umum) mendeteksi adanya antibodi
terhadap beberapa protein spesifik HIV.
3) Kultur HIV standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.

17

4) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) mendeteksi


asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.
5) Uji antigen HIV mendeteksi antigen HIV.
6) HIV, IgA, IgM mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV tidak
mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis dapat
ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6 bulan.
1) Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak yang
terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.
2) Limfopenia.
3) Anemia, trombositopenia.
4) Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).
5) Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).
6) Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili )
7) Haemophilus influenzae tipe B
8) Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.
9) Penurunan persentase CD4+.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18 bulan
dan yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2 determinasi
terpisah dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase HIV, atau antigen HIV, maka
dia dapat dikatakan terinfeksi HIV. Bayi yang lahir dari ibu HIV-positif,
berusia kurang dari 18 bulan, dan tidak positif terhadap ketiga uji tersebut
dikatakan terpajan pada masa perinatal. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi
HIV yang ternyata antibodi HIV negatif dan tidak ada bukti laboratorium lain
yang menunjukkan bahwa ia terinfeksi HIV, maka ia dikatakan Seroreverter.
( Cecily L. B, 2002, 212 )
8. PENATALAKSANAAN MEDIS

18

I. Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti
terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang berasal
dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya segala tindakan
terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk tetap
memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang
menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa
memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga
sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang menganjurkan
untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi
HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.
II. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular
1. Terhadap Etiologi
Diberikan obat-obata antiretroviral
Tabel 4. Macam-macam antiretroviral
Golongan obat
Nucleoside-reserve
Transcriptase

Nama generik
Azidotimidin/zidovudin
Didanosin
Stavudin
Zalbitabin
Lamivudin

Singkatan
AZT
DDI
D4T
DDC
3TC

Protease Inhibitor (PI)

Indinavir
Ritonavir
Saquinavir

IDV

Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai indikator


pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4 serta
menghitung beban viral (viral load).

19

Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV


Keadaan klinis penyakit
Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu
setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus
< 10.000/ml
Simtomatik / asimtomatik
Dengan beban virus > 10.000/ml
Berlanjutnya penyakit setelah terapi
dengan 2 NRTI

Pedoman terapi
PI + (1 atau 2 NRTI)
Didanosin
Kombinasi 2 NRTI
PI + (1 atau 2 NRTI)
Pindah ke terapi PI NRTI

Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali sehari
peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan tanpa
memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak menyusui
bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV positif, dapat diobati
dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya pada bayi / anak pengukuran
viral-load penting karena rentang jumlah CD4 yang sangat bervariasi
selama masa pertumbuhannya.
Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai 4
minggu. Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek mempengaruhi
proses replikasi virus.
Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m2, diberikan
secara intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti peroral selama
1-2 bulan dengan dosis satu sampai satu setengah kali dosis intravena.
Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya segera
membaik dengan pengurangan dosis, atau penghentian pemberian obat.

20

Dengan pemberian obat ini penderita PCP 73% dapat bertahan sampai 44
minggu.
Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :
-

Adanya peningkatan berat badan

Pengecilan hepar dan lien

Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)

Peningkatan T4

Perbaikan klinis / radiologis

Peningkatan jumlah trombosit

2. Terhadap Infeksi Sekunder


2.1 Infeksi Protozoa
Yang terpenting terhadap : Penumocystis

carinii, Toxoplasma dan

Cryptosporidium.
2.1.1 Terhadap Pneucystis Carinii, penyebab pneumonia
(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP)
a. Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr, selama 2 minggu, dosis
tunggal.
b. Efek samping berupa : neuse, diare, hipotensi, hipoglikemia
dan gangguan fungsi ginjal
c. Cotrimoxazole (IV/oral), 20 mg/kg/hr, dibagi dalam 4 dosis.
Hati-hati bagi bayi kurang dari 3 bulan. Pada infeksi yang berat
dapat diberikan kortikosteroid.
2.1.2 Terhadap Toxoplasma
Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral / space
occupying lesions
a. Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari
b. Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari
2.1.3 Terhadap Cryptosporidium

21

Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine, yang


penting pengobatan suportif dan simtomatik terutama rehidrasi.
2.2 Infeksi Jamur
Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya memberikan
respon yang baik dengan nystatin topikal amfoterisin B. 0,3 0,5
mg/kg/hari, ketoconazole 5 mg/kg/hr.
2.3 Infeksi Virus
Yang penting : Virus herpes, cytomegalovirus (CMV), papovavirus
(penyebab progressive multifocal leucoencephalopaty / PML)
a. Acyclovir 7,5 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 3 dosis diberikan
selama 7 hari.
b. Gancyclovir 7,5 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 2 dosis baik untuk
CM
Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :
1. Vaksinasi dengan vaksin influenza A dan influenza B, setiap tahun.
2. Pemberian amantidin untuk pencegahan infeksi virus influenza A.
3. Immunoglobulin Varicella-Zoster 125 u/kg (maksimum 625 u).
Diberikan dalam waktu 96 jam setelah kontak dengan penderita.
4. Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg (maksimum 15 ml) dalam
waktu 6 hari setelah kontak dengan penderita
2.4 Infeksi Bakteria
Yang penting adalah : Mycobacterium TBC, Mycobacterium avium intra
cellulare, streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi dengan pemberian
antibiotika yang spesifik. Kadang-kadang dipertimbangkan pemberian
immunoglobulin.
3. Mengatasi Status Defisiensi Immun
Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak banyak
memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :

22

a. Biological respons modifier, misalnya alpha / gamma interferron,


interleukin 2, thymic hormon, tranplantasi sumsum tulang,
transplantasi timus.
b. Immunomodulator misalnya isoprinosine.

4. Mengatasi Neoplasma
Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih bersifat
lokal, diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah lanjut, hanya
radioterapi, dikombinasi dengan kemoterapi / interferron.
5. Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV, masih
mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik sampai
berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia di atas
2 tahun, bahkan ada yang mengatakan menghilang pada umur 4 tahun.
Karenanya vaksinasi rutin sesuai dengan Program Pengembangan
Immunisasi yang ada di Indonesia dapat tetap diberikan, dengan
pertimbangan yang lebih terhadap pemberian vaksin hidup, terutama
BCG dan Polio.
Tabel 2 Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4
Kelompok Usia :
Jumlah
CD4 dan Persentase
Kategori Imun
0 11 bulan
1 5 tahun
6 12 tahun
1) Tidak ada tanda>1500
>1000
>500
tanda supresi
>25%
>25%
>25%
2) Tanda-tanda
750-1499
500-999
200-499
supresi sedang
15-25%
15-25%
15-25%
3) Tanda
supresi
<750
<500
<200
hebat
<15%
<15%
<15%

23

9. PENCEGAHAN
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan resiko
infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu ke 14-34
kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki limfosit CD4 yang
jumlahnya lebih dari 200 sel/mmtanpa gejala klinis AIDS. Ibu mendapat terapi
zidovudin oral ( 100 mg lima kali sehari ) selama sisa masa kehamilan.
Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2 mg/kg
diberikan

selama 1 jam dan disertai dengan infus

sebanyak 1 mg/kg/jam

hingga bersalin.
Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup
zidovudin dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir. Hal ini
mengakibatkan penurunan resiko relatif sebesar 67,5% .
( Behrman, dkk, 1999 : 653 )
10.

KONSEP ASKEP
11. PENGKAJIAN
1.1

Anamnese
1.1.1

Identitas
-

AIDS pada anak di bawah umur 13 tahun di Amerika, 13% merupakan


akibat kontaminasi dengan darah, 5% akibat pengobatan hemofilia, 80%
tertular dari orang tuanya.

Anak yang terinfeksi pada masa perinatal, rata-rata umur 5 17 bulan


terdiagnosa sebagai AIDS.

Terbanyak meninggal 1 tahun setelah dibuat diagnosis

Study perspektif di Afrika menunjukan angka kematian anak usia lebih


dari 15 bulan lahir dari ibu HIV (+) sebesar 16,5% penyebab
terbanyak diare akut/ kronik dan pnemonie berulang.

1.1.2

Keluhan Utama
-

Demam dan diare berkepanjangan

Takhipnea, batuk, sesak nafas dan hipoxia keadaan yang gawat

24

1.1.3

Riwayat Penyakit Sekarang


-

Berat badan dan tinggi badan yang tidak naik

Diare lebih dari 1 bulan

Demam yang berkepanjangan ( lebih dari 1 bulan )

Mulut dan faring dijumpai bercak-bercak putih

Limphadenophati yang menyeluruh

Infeksi berulang (otitis media, pharingitis)

Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)

Dermatitis yang menyeluruh

1.1.4

Riwayat Penyakit Dahulu


-

1.1.5

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


-

Orang tua yang terinfeksi HIV

Penyalahgunaan zat

1.1.6

1.1.7

Riwayat pemberian tranfusi antara tahun 1978 - 1985

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


-

Ibu selama hamil terinfeksi HIV 50% tertular untuk anaknya

Penularan dapat terjadi pada minggu ke 9 20 dari kehamilan

Penularan pada proses melahirkan, terjadi kontak darah ibu dan bayi

Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui air susu ibu.


Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan

Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)


1.1.8

Riwayat Makanan
Anoreksia, mual, muntah

1.1.9

Riwayat Imunisasi
Jadwal immunisasi bayi dan anak dengan infeksi HIV
UMUR
2 bulan
4 bulan
6 bulan
12 bulan
15 bulan
18 bulan

VAKSIN
DPT, Polio, Hepatitis B
DPT, Polio, Hepatitis B
DPT, Polio, Hepatitis B
Tes Tuberculin
MMR, Hepatitis
DPT, Polio, MMR

25

24 bulan
4 6 tahun
14 16 Tahun

Vaksin Pnemokokkus
DPT, Polio, MMR
DT, Campak

Immunisasi BCG tidak boleh diberikan kuman hidup

Immunisasi polio harus diberikann inactived poli vaccine, bukan tipe live
attenuated polio vaccine virus mati bukan virus hidup

1.2

Immunisasi dengan vaksin HIV diberikan setelah ditemukan HIV (+)


Pemeriksaan

1.2.1

Sistem Penginderaan :

Pada Mata :
-

Cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina,


sytomegalovirus

retinitis

dan

toxoplasma

choroiditis,

perivasculitis pada retina.


-

Infeksi pada tepi kelompak mata (blefaritis) : mata merah,


perih, gatal, berair, banyak sekret serta berkerak.

Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat


kekuningan, tunggal / multiple, pada satu / kedua mata
toxoplasma gondii

Pada Mulut : Oral thrush akibat jamur, stomatitis gangrenesa,


periodontitis, sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak
merah datar, kemudian menjadi biru, sering pada palatum.

1.2.2

Pada telinga : otitis media, nyeri, kehilangan pendengaran.

Sistem Pernafasan : Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak


nafas, tachipnea, hipoxia, nyeri dada, nafas pendek waktu istirahat,
gagal nafas.

1.2.3

Sistem pencernaan : BB menurun, anoreksia, nyeri menelan,


kesulitan menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa oral,
faringitis, kandidiasis esofagus, kandidiasis mulut, selaput lendir

26

kering, pembesaran hati, mual, muntah, kolitis akibat diare kronik


pembesaran limpha.

1.2.4

Sistem Kardiovaskuler.

Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.

Gejala congestive heart failure sekunder akibat kardiomiopati


karena HIV.

1.2.5

Sistem Integumen :

Varicela : Lesi sangat luas vesikula yang besar, hemorragie


menjadi nekrosis timbul ulsera.

Herpes zoster : vesikula menggerombol, nyeri, panas, serta


malaise.

1.2.6

1.2.7

Eczematoid skin rash, pyodermia, scabies

Pyodermia gangrenosum dan scabies sering dijumpai.

Sistem Perkemihan

Air seni kurang, anuria

Proteinurea

Sistem Endokrin : Pembesaran kelenjar parotis, limphadenophati,


pembesaran kelenjar yang menyeluruh

1.2.8

1.2.9

Sistem Neurologi

Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku.

Nyeri otot, kejang-kejang, ensefalophati, gangguan psikomotor.

Penurunan kesadaran, delirium.

Serangan CNS : meningitis.

Keterlambatan perkembangan .

Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot, nyeri persendian, letih,


gangguan gerak (ataksia)

1.2.10 Psikososial

27

1.3

Orang tua merasa bersalah.

Orang tua merasa malu.

Menarik diri dari lingkungan .

Pemeriksaan Penunjang
1.3.1 Pemeriksaan Laboratorium :

Darah :
-

Leukosit dan hitung jenis darah putih ............. neutropenia


(neutrofil < 1000 / mm3)

Hitung trombosit ............ trombositopenia (trombosit <


100.000 / mm3)

Hb dan konsentrasi Hb ............ Anemia (Hb < 8 g/dl)

Limfopenia CD4+ (limfosit 200 / mm3)

LFT

RFT

Pemeriksaan lain : urinalisis (protein uria), kultur urine,

Tes tuberculin (TB + indurasi 5 mm)

1.3.2 Tes Antibodi Anti-HIV Tes Esali


1.3.3 Tes Western Blot (WB).
1.3.4 Tes PCR (Polymerase Chain Reaction)

Menemukan beberapa macam gen HIV yang bersenyawa di dalam


DNA sel yang terinfeksi.

Mengetahui apakah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV(+).

1.3.5 Kardiomegali pada foto rontgen.


1.3.6 EKG terlihat hipertrofi ventrikel dan kelainan gelombang T.
1.3.7 Pungsi Lumbal.
1.3.8 Bronkoskopi ( untuk mendeteksi adanya PPC ).

28

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN


2.1

Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.

2.2

Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang menular.

2.3

Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan


nyeri, anoreksia, diare.

2.4

Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik saluran


dari pernafasan, penurunan tidak volume dampak dari pengobatan, bakteri,
pnemoni, anemia.

2.5

Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak dari


infeksi oportunistik saluran pencernaan.

2.6

Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.

2.7

Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan dengan lesi


sekunder membran mukosa dampak dari jamur dan infeksi herpes / radang
mukosa dampak dari pengobatan dan hygiene oral yang tidak adekuat.

2.8

Hipertermi sehubungan dengan Infeksi HIV, infeksi oportunistik,


pengobatan.

2.9

Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan neurologis.

2.10 Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit menahun


dan progresif.
2.11 Kurang pengetahuan sehubungan dengan perawatan anak yang kompleks
di rumah.
13. INTERVENSI
3.1 Prioritas Keperawatan.
1) Mencegah atau meminimalkan infeksi.
2) Memaksimalkan masukan nutrisi.
3) Meningkatkan kedekatan, pertumbuhan, & perkembangan.
4) Memberikan informasi pada orang tua tentang proses penyakit ,
prognosis & kebutuhan tindakan. ( Doenges, 2001 : 723 )
3.2 Tujuan Pulang

29

1) Bebas dari infeksi oportunistik / nasokomial.


2) Meningkatkan berat badan dengan sesuai.
3) Melakukan ketrampilan khusus sesuai kelompok usia dalam lingkup /
tingkat perkembangan yang ada.
4) Orang tua / pemberi asuhan memahami kondisi / prognosis & kebutuhan
tindakan. ( Doenges, 2001 : 724 )
3.3 Diagnosa 1
Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
Tujuan : Anak bebas dari tanda dan gejala infeksi.
Kriteria Hasil :

Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Badan tampak lebih kuat / berenergi.

Tidak ada tanda-tanda kemerahan pada tubuh.

Anak tidak terserang batuk dan rhinorhea.

Jumlah sel darah putih dan hitung jenis dalam batas normal.

Kulit tidak abrasi / rash

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji tanda-tanda infeksi ( demam, peningkatan nadi, peningkatan RR,
kelemahan tubuh / letargi ).
R.I Deteksi secara dini menurunkan resiko infeksi nosokomial / infeksi
lain.
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R.II

Adanya perubahan dari tanda

vital merupakan indikator

terjadinya infeksi.
3. Berikan antibiotik, anti viral, anti jamur sesuai advis dokter.
R.III Membunuh kuman penyebab.
4. Berikan Intra Venus Gamma Globulin sesuai advis dokter.
R.IV Memperkecil resiko kambuh.
5. Gunakan teknik aseptik dengan prosedur yang tepat.

30

R.V

Menurunkan resiko kolonisasi bakteri dan memutus rantai

penularan dari klien lain / lingkungan ke anak atau sebaliknya.


6. Kaji batuk, hidung tersumbat, pernafasan cepat dan suara nafas tambahan
tiap 8 jam.
R.VI Mendeteksi secara dini infeksi saluran pernafasan.
7. Pertahankan higiene pulmonar yang adekuat dengan cara :

Tiup balon untuk fungsi paru.

Suction mulut jika perlu.

Jika anak mampu anjurkan untuk bermain secara aktif.

R.VII Aktifitas dapat membantu dalam penyesuaian penggunaan


oksigen serta memperkuat otot-otot pernafasan.
8. Monitor SDP dan hitung jenis setiap hari.
R.VIIIUntuk memonitor terjadinya neutropenia.
9. Kaji kulit setiap hari.
R.IX Memonitor adanya rash, lesi, drainage.
10. Jaga kulit tetap bersih, kering dan kelembaban baik.
R.X

Perlindungan terhadap kulit dan membersihkan kulit secara teratur

dapat mengangkat bahan-bahan penyebab iritasi dan melindungi


kulit dari kerusakan yang lebih parah.
11. Ajarkan dan jelaskan pada keluarga dan pengunjung tentang pencegahan
secara umum (universal).
R.XI Kejelasan mengenai pencegahan akan menyiapkan keluarga /
pengunjung turut serta memutuskan rantai penularan HIV/AIDS.
12. Instruksikan pada seluruh pengunjung untuk cuci tangan sebelum dan
sesudah memasuki ruangan pasien.
R.XII Dengan mencuci tangan yang benar akan memutus rantai
penularan.
13. Cuci tangan sebelum dan sesudah merawat pasien.
R.XIIIUntuk mencegah kontaminasi silang dengan klien lain.

31

14. Gunakan sarung tangan ketika kontak dengan darah / cairan tubuh,
jaringan, kulit dan atau permukaan tubuh yang terkontaminasi, untuk
antisipasi gunakan baju pelindung, untuk menghindari percikan darah
gunakan masker dan pelindung mata.
R.XIVProteksi diri terhadap cairan tubuh.
15. Tempatkan jarum suntik sesegera mungkin dalam tempat yang kedap air
dan tidak mudah tembus jarum.
R.XV Proteksi diri terhadap perlukaan.
16. Kontak personal dengan anak tanpa menggunakan sarung tangan,
masker, baju pelindung ketika melakukan kontak bicara mengukur tanda
vital dan menyuapi.
R.XVIMengurangi rasa terisolir secara fisik dan menciptakan suatu
kontak sosial yang positif.
3.4 Diagnosa 2
Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang menular.
Tujuan : Mencegah terjadinya infeksi (transmisi).
Kriteria Hasil : Anak bebas dari infeksi / komplikasi.
Intervensi dan Rasional :
1. Gunakan isolasi ketat sesuai protokol, pencegahan penyakit menular.
R.XVII

Isolasi ketat dapat menghambat mata rantai penyebaran

infeksi.
2. Perlindungan ketat dengan prosedur cuci tangan.
R.XVIII

Dengan mencuci tangan yang benar akan memutus rantai

penularan.
3. Gunakan alat-alat yang disposible.
R.XIXMencegah kontaminasi silang.
3.5 Diagnosa 3
Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan
nyeri, anoreksia, diare.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

32

Kriteria Hasil :

Berat badan meningkat.

Intake dan output seimbang.

Turgor kulit baik.

Anak mengkonsumsi diet berkalori tinggi.

Intervensi dan Rasional :


1. Timbang berat badan setiap hari.
R.XX Memonitor kurangnya BB dan efektifitas intervensi nutrisi yang
diberikan.
2. Monitor intake dan output tiap 8 jam dan turgor kulit.
R.XXIMemonitor intake kalori dan insufisiensi kualitas konsumsi
makanan.
3. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.
R.XXII

Dengan TKTP akan meningkatkan tumbuh kembang

secara adekuat.
4. Rencanakan makanan enteral atau parenteral.
R.XXIII

Bila intake nutrisi oral inadekuat.

3.6 Diagnosa 4
Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik saluran
dari pernafasan, bakteri pnemonia.
Tujuan : Pertukaran gas normal.
Kriteria Hasil :

Respirasi normal dengan ciri frekuensi, irama dan kedalaman normal.

Tidak ada PCH (pernafasan cuping hidung), dengkuran nafas, retraksi.

Suara nafas bersih pada semua lapisan paru.

Saturasi O2 dan BGA normal.

Tidak sianosis.

Tidak takikardi atau takipnea.

Tidak ada perubahan pada status mental.

33

Klien mampu batuk secara efektif.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji fungsi respirasi dengan mengkaji tipe RR, PCH, retraksi, warna
kulit dan warna kuku.
R.XXIV

Peningkatan frekuensi nafas, adanya retraksi merupakan

tanda adanya konsolidasi dari paru. Sianosis merupakan indikasi


adanya penurunan kadar oksigen dalam darah.
2. Monitor BGA.
R.XXV

Mengukur asam basa darah arteri, mendeteksi secara dini

terjadinya hipoksemia.
3. Kaji tanda-tanda gangguan pertukaran gas ( sianosis, takikardia,
takipnea, kecemasan / gelisah, iritabilitas, perubahan status mental ).
R.XXVI

Untuk mendeteksi gangguan secara dini dapat segera

dilakukan tindakan.
4. Atur posisi klien agar ventilasi paru maksimal dan efektif (misal : posisi
semi fowler)
R.XXVII

Diafragma lebih rendah dapat meningkatkan ekspansi

dada.
5. Berikan O2 sesuai keperluan.
R.XXVIII

Memaksimalkan transport oksigen dalam jaringan.

6. Tingkatkan intake jaringan.


R.XXIX

Hidrasi membantu menurunkan viskositas sekret dan

mempermudah pengeluaran.
7. Anjurkan anak batuk secara efektif, chest fisioterapi nafas.
R.XXX

Batuk

merupakan

mekanisme

alamiah

untuk

mempertahankan bersihan jalan nafas. Postural drainge dan perkusi


merupakan tindakan pembersihan yang penting untuk mengeluarkan
sekret dan memperbaiki ventilasi.
8. Suction sekret jika perlu.

34

R.XXXI

Bila mekanisme pembersihan jalan nafas (batuk) tidak

efektif, dilakukan suction.


9. Gunakan aktifitas yang tidak terlalu banyak menggunakan energi selama
periode istirahat.
R.XXXII

Pemeliharaan keseimbangan antara kebutuhan dengan

keadaan / kondisi klien mempercepat proses penyembuhan


merangsang mekanisme koping emosional yang positif.
3.7 Diagnosa 5
Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak dari
infeksi oportunistik saluran pencernaan atau reaksi dari pengobatan.
Tujuan : Hidrasi baik.
Kriteria Hasil :

Intake dan output seimbang.

Kadar elektrolit tubuh dalam batas normal.

Penekanan daerah perifer kembali dalam waktu kurang dari 3 detik.

Pengeluaran urine minimal perjam 1-2 cc/kg/BB.

Intervensi dan Rasional :


1. Kolaborasi pemberian cairan iv sesuai keperluan.
R.XXXIII

Menggantikan kehilangan cairan akibat diare.

2. Berikan cairan sesuai indikasi / toleransi.


R.XXXIV

Mempertahankan status hidrasi pada keadaan diare.

3. Ukur intake dan output termasuk urine, tinja dan emisi.


R.XXXV

Deteksi keseimbangan cairan dalam tubuh.

4. Monitor kadar elektrolit dalam tubuh.


R.XXXVI

Mempertahankan kadar elektrolit dalam batas normal.

5. Kaji tanda vital, waktu penekanan daerah perifer, turgor kulit, mukosa
membran, ubun-ubun tiap 4 jam.
R.XXXVII

Kehilangan cairan yang aktif secara terus menerus akan

mempengaruhi tanda vital dalam mempertahankan aktivitasnya.


6. Monitor urine tipa 6-8 jam/ sesuai keperluan.

35

R.XXXVIII Pemekatan urine merupakan respon terhadap kurangnya


air.
3.8 Diagnosa 6
Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan integritas kulit.
Kriteria Hasil :

Warna kemerahan memudar pada daerah yang teriritasi dan menunjukkan


tanda-tanda penyembuhan.

Kulit utuh, bersih dan kering.

Intervensi dan Rasional :


1. Ganti popok / celana anak bila basah.
R.XXXIX

Kondisi basah merupakan area kontaminasi yang baik

sebagai media pertumbuhan organisme pathogenik.


2. Bersihkan pantat dan keringkan setiap kali BAB.
R.XL Mencegah iritasi pada kulit.
3. Gunakan salep / lotion.
R.XLI Untuk melindungi kulit dari iritasi.
3.9 Diagnosa 7
Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan dengan lesi
membran mukosa dampak dari jamur dan infeksi herpes / radang mukosa
dampak dari pengobatan dan higiene oral yang tidak adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan mukosa mulut.
Kriteria Hasil :

Mukosa mulut lembab.

Tidak ada lesi.

Kebersihan mulut cukup.

Anak / orang tua mampu mendemonstrasikan teknik kebersihan mulut


secara fektif.

Intervensi dan Rasional :

36

1. Kaji membran mukosa mulut.


R.XLII

Candidiasis oral, herpes, stomatitis, sarkoma kaposis

merupakan penyakit oportunistik yang biasanya mempengaruhi


membran mukosa.
2. Berikan pengobatan sesuai advis dokter.
R.XLIII

Membunuh kuman penyebab.

3. Perawatan mulut tiap 2 jam.


R.XLIV

Bibir yang kering dan jaringan yang teriritasi menjadi

media perkembangbiakan yang baik bagi bakteri dan jamur,


kebersihan mulut yang dilakukan secara teratur dapat mengubah pH
mulut dan menghambat pertumbuhan jamur.
4. Gunakan sikat gigi yang lembut untuk membersihkan gigi, gusi dan
lidah.
R.XLV

Mencegah pengiritasian mukosa.

5. Oleskan normal saline tiap 4 jam dan sesudah membersihkan mulut.


R.XLVI

Merupakan cara yang efisien untuk menghangatkan

membran mukosa oral yang mengalami inflamasi.


6. Kolaborasi pemberian profilaksis (ketanozole, fluconazole) selama
pengobatan.
R.XLVII

Sebagai anti jamur untuk mematikan kuman.

7. Gunakan antiseptik oral.


R.XLVIII

Untuk mencegah kuman patogen.

8. Check up gigi secara teratur .


R.XLIX

Mencegah kerusakan gigi / caries dental.

3.10 Diagnosa 8
Hipertermia

sehubungan

dengan

infeksi

pengobatan.
Tujuan : Anak menunjukkan temperatur normal.

HIV, infeksi

oportunistik

37

Kriteria Hasil :

Suhu tubuh 36oC 37oC.

Ekspresi anak nyaman.

Kulit tidak panas, berkeringat.

Intervensi dan Rasional :


1. Ukur tanda vital terutama temperatur tiap 2 4 jam selama masa febris
(> 38oC).
R.L

Adanya peningkatan suhu yang terlalu lama meningkatkan

metabolisme dan kehilangan cairan melalui penguapan serta


menentukan tindakan penanganannya.
2. Gunakan antipiretik sesuai keperluan.
R.LI Membantu menurunkan panas dari pusat pengatur suhu tubuh di
hipotalamus anterior.
3. Beri kompres hangat, beri kipas angin.
R.LII Melancarkan aliran darah, membantu menurunkan panas dan
memberikan rasa nyaman klien.
4. Ganti linen dan baju selama masa diaforesis.
R.LIII Membantu penguapan panas dengan lebih mudah.
3.11 Diagnosa 9
Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan neurologis.
Tujuan : Pertumbuhan perkembangan sesuai dengan usia.
Kriteria Hasil :

Aktifitas perkembangan anak sesuai dengan usia dari segi personal /


sosial, bahasa, kognitif dan motorik.

Mampu berinteraksi sesuai dengan umur dan kondisi.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji tingkat perkembangan anak sesuai garis usia ( DDST ).
R.LIV Untuk mendeteksi tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Kaji sistem neorologis.

38

R.LV Untuk mendeteksi gangguan pada sistem neorologi.


3. Beri anak stimulasi berupa mainan dan terapi permainan.
R.LVI Rangsangan terhadap sensori mempengaruhi terhadap belajar
anak dan perkembangan anak.
4. Anjurkan orang tua untuk berinteraksi dengan anak dalam perawatan /
permainan
R.LVII

Kehadiran orang tua akan memberi rasa aman pada anak

dan mencurahkan perhatian pada anak.


5. Kolaborasi dengan spesialis anak tentang tumbuh kembang.
R.LVIII

Memberikan bantuan untuk menetapkan stimulasi /

rangsangan sensori atau merencanakan pemeriksaan lain secara dini.


6. Anjurkan menciptakan suasana layaknya di rumah .
R. Agar anak tidak takut dan merasa aman berada di lingungan asing.
7. Anjurkan (sesuai usia) tentang perawatan dir sehari-hari : makan, mandi
dan berpakaian
R.LIX Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberikan keseimbangan
dengan stressor yang dialami anak.
3.12 Diagnosa 10
Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit menahun dan
kongestif.
Tujuan : Koping keluarga efektif.
Kriteria Hasil :

Orang tua mampu mengekspresikan secara verbal tentang rasa takut,


perasaan bersalah, rasa kehilangan.

Orang tua mampu mengenali kebutuhan dirinya, dan cara memecahkan


masalah serta menganalisa kekuatan diri dan support sosial.

Orang tua mampu mengambil keputusan yang tepat.

Orang tua turut serta dalam perawatan anak.

Intervensi dan Rasional :


1. Konseling keluarga

39

R.LX Membantu keluarga menerima kondisi anak termasuk melewati


fase krisis sehingga dapat bersikapsupportif pada anak.
2. Observasi ekspresi orang tua tentang rasa takut, bersalah dan kehilangan.
R.LXI Ungkapan perasaan merupakan sarana menurunkan ketegangan
yang efektif.
3. Diskusikan dengan orang tua tentang kekuatan diri dan koping
mekanisme dengan mengindentifikasi support sosial.
R.LXII

Stigma terhadap AIDS dan resiko kontak dengan penyakit

AIDS menimbulkan perubahan yang berarti pada koping keluarga.


4. Libatkan orang tua dalam perawatan anak.
R.LXIII

Keterlibatan orang tua dapat meningkatkan kepercayaan

anak pada dokter dan perawat.


5. Monitor interaksi orang tua anak.
R.LXIV

Mengamati hubungan ayah dan ibu terhadap anak dengan

HIV / AIDS.

6. Monitor tingkah laku orang tua.


R.LXV

Mengamati kemampuan orang tua sebagai role model,

ekspresi verbal pada anak dengan HIV / AIDS.


3.13 Diagnosa 11
Kurang pengetahuan sehubungan perawatan anak yang kompleks di rumah.
Tujuan : Secara verbal keluarga dapat mengungkapkan atau menjelaskan
proses penyakit, penularan, pencegahan dan perawatan anak dengan HIV /
AIDS.
Kriteria Hasil :

Orang tua mampu menjelaskan secara global tentang diagnosa, proses


penyakit dan kebutuhan home care.

Orang tua memahami daftar pengobatan, efek samping dan dosis obat.

Orang tua memahami tentang kebutuhan yang khusus bagi anaknya.

40

Orang tua mampu menjelaskan bagaimana HIV menular.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji pemahaman tentang diagnosa, proses penyakit dan kebutuhan home
care.
R.LXVI

Pemahaman

yang

memadai,

meningkatkan

sikap

kooperatif keluarga dalam merawat anak.


2. Jelaskan daftar pengobatan, efek samping obat dan dosis.
R.LXVII

Kewaspadaan

terhadap

efek

samping

obat

akan

meningkatkan kewaspadaan penggunaan dosis obat.


3. Jelaskan dan demonstrasikan cara perawatan khusus.
R.LXVIII

Memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam

merawat anak dengan HIV/AIDS.


4. Jelaskan cara penularan HIV dan bagaimana cara pencegahannya.
R.LXIX

Mendapatkan informasi yang terarah akan merasa mampu

dan percaya diri untuk merawat anaknya.

5. Anjurkan cara hidup yang normal pada anak


R.LXX

Mencegah

terjadinya

diskriminasi

dan

penolakan

lingkungan pada anak dengan HIV/AIDS.


14. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan
untuk masing-masing diagnosa. Prinsip pelaksanaan tindakan perawatan anak
dengan HIV/AIDS adalah :
1) Menjaga fungsi pernafasan.
2) Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
3) Mencegah terjadinya infeksi nosokomial / infeksi lain / komplikasi.
4) Mencegah terjadi infeksi ( transmisi ).
5) Mempertahankan keseimbangan kebutuhan nutrisi dan cairan.

41

6) Memberikan informasi dan ketrampilan pada keluarga tentang proses


penyakit, penularan, pencegahan dan perawatan anak dengan HIV / AIDS.
7) Memperhatikan tumbuh kembang anak terhadap dampak dari penyakitnya
dan hospitalisasi.
8) Menjaga keutuhan kulit.
9) Mempertahankan kebersihan mulut.
15. EVALUASI
Cara mengevaluasi asuhan keperawatan terdiri dari 2 tahap :
1) Mengukur pencapaian tujuan.
2) Membandingkan data yang terkumpul dengan kriteria hasil / pencapaian
yang telah ditetapkan.
( RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR , 2000 )

42

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk (1999) Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC
Betz, Cecily L (2002) Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E (2001) Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2. Jakarta :
EGC
Rampengan & Laurentz (1997) Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins, dkk (1998) Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR (2000), Instalasi Rawat Inap Anak, Surabaya.
Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Wartono, JH (1999) AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga Pengembangan
Informasi Indonesia

You might also like