You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total yaitu
hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah
tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh) dan anestesi regional
yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif
pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.
Perdarahan saluran cerna atas adalah masalah yang sangat sering kita
jumpai. Derajatnya dapat bervariasi dari perdarahan samar yang tidak diketahui
hingga perdarahan hebat yang mengancam nyawa. Ulkus peptikum (Tukak
peptik) adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis. Ulkus
peptikum mengacu pada ulkus gaster dan duodenal yang disebabkan oleh asam
peptik. Ulkus peptikum adalah kecacatan pada mukosa gastrointestinal yang
disebabkan karena sel epitel terkena pengaruh asam dan pepsin yang melebihi
kemampuan mukosa melawan efek tersebut. Ulkus peptikum mempunyai sifat

penetrasi, yang dimulai dari mukosa menembus lapisan yang lebih dalam.
Penetrasi ke pembuluh darah dapat mengakibatkan perdarahan masif dan jika
terjadi penetrasi ke seluruh dinding lambung akan mengakibatkan perforasi akut.
Ulkus peptikum dapat terjadi pada semua orang dan semua golongan
umur. Di Indonesia, lebih banyak ditemukan pada orang-orang Tionghoa daripada
orang jawa. Selain itu juga banyak dijumpai pada suku Tapanuli, rakyat Sulawesi.
Daerah yang banyak dijumpai ulkus peptikum diantaranya Rusia, Jepang, dan
Cili. Kejadian pada kaum pria dan wanita sangat bervariasi. Secara klinis ulkus
duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus gaster. Pada beberapa negara seperti
Jepang lebih banyak dijumpai ulkus gaster. Orang astenik, tinggi kurus disebut
tipe tukak (ulcer type), tetapi kelainan pada lambung dapat juga dijumpai pada
orang yang gemuk, pendek, dan obesitas. Ulkus gaster tersebar di seluruh dunia
dijumpai lebih banyak pada pria, meningkat pada usia lanjut, dan kelompok sosial
ekonomi rendah dengan puncak pada dekade keenam.
Pemilihan jenis anestesi untuk Endoskopi pada kasus ulkus peptikum
ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana
prasarana serta keterampilan dokter ahli endoskopi, dokter anestesi dan perawat
anestesi. Mengingat endoskopi pada kasus ulkus peptikum merupakan tindakan
yang dilakukan dengan general anestesi, sehingga perlu kewaspadaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan
endoskopi dan anestesi. Adapun komplikasi yang terdapat pada teknik general
anestesi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, menggigil, dan butuh waktu
dalam pengembalian fungsi mental normal. Terkait dengan kondisi hipotermia
yang gawat (jarang terjadi) dimana kondisi otot yang terkena paparan beberapa
zat anestesi umum dapat menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.

BAB II
LAPORAN KASUS
A.

B.

Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Agama
Diagnosis Pre Op
Tindakan Op
Tanggal Masuk
Tanggal Pemeriksaan
No.RM

: Ny. S.
: Perempuan
: 78 tahun
: Dompon 1/9 Karanganyar
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Ulkus peptikum
: Endoskopi
: 26 Juli 2016
: 27 Juli 2016
: 37.XX.XX

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal mawar III
RSUD Karanganyar pada tanggal 27 Juli 2016
1. Keluhan Utama
Mual
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Karanganyar dengan keluhan utama mual.
Mual dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh terasa
tidak nyaman pada perut kiri atas. Oleh dr. N, pasien dikatakan
mengalami ulkus peptikum dan pasien setuju dilakukan Endoskopi
(EGD) yaitu suatu teknik untuk melihat secara langsung keadaan
didalam saluran cerna bagian atas pada tanggal 27 Juli 2016.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: diakui, 3 tahun yang lalu
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Alergi Obat/Makanan
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Penyakit Jantung
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa
Riwayat Hipertensi
Riwayat DM

: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Alergi Obat/Makanan


Riwayat Asma
Riwayat Penyakit Jantung

5. Anamnesis Sistemik
Sistem Cerebrospinal

: disangkal
: disangkal
: disangkal

: Sensasi nyeri baik, gemetaran (-),

sulit tidur (-), pusing (-), kejang (-), perasan berputarputar (-),

rambut mudah rontok (-), leher terasa kaku (-)


Sistem Cardiovaskuler
: Nyeri dada (-), dada berdebardebar (-), keringat dingin (-), bangun malam karena sesak nafas

(-)
Sistem Respirasi
Sistem Gastrointestinal

(+), muntah (-), kentut (+), BAB (+) kuning


Sistem Urogenital
: Menunggu pada permulaan miksi

: Sesak napas (-), batuk (-)


: Nyeri perut (-), kembung (-), mual

(-), pancaran miksi terputus-putus (-), urin menetes pada akhir


miksi, BAK mengejan kuat (-), pancaran miksi melemah (-),

frekuensi miksi meningkat (-), BAK (+)


Sistem Integumen
: Kering (-), gatal-gatal (-), ruam (-),

kuning (-)
Sistem Musculoskeletal

: Lemas (-), badan terasa keju-

kemeng (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot (-), otot
lemah (-), kesemutan (-), kebas (-).
6. Riwayat Operasi dan Anestesi
Disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Compos Mentis
Vital Sign
:
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 94x/ menit
Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
Suhu : 36,5 o C
Status Gizi
:
Berat Badan : 50 kg
Tinggi badan 155 cm

BMI: 20,81 Normal


Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), napas cuping hidung

(-)
Leher
Retraksi suprasternal (-/-), deviasi trachea (-), peningkatan JVP (-),

pembesaran kelenjar limfe (-)


Thorax
Paru
- Inspeksi : Simetris, tidak ada ketertinggalan gerak, tidak ada
-

retraksi intercostae
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, depan = belakang

Perkusi

:
Depan

Sonor
Sonor
Sonor
-

Auskultasi

Belakang
Sonor
Sonor
Sonor

Sonor
Sonor
Sonor

Depan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Sonor
Sonor
Sonor

Belakang
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)

Jantung
-

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Redup, batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi
jantung (-)

: Bunyi jantung I-II irama reguler, bising

Abdomen
-

Inspeksi

: Bentuk abdomen sejajar dengan dada,tidak

ada darm contour, tidak ada darm steifung, tidak ada luka
bekas operasi
- Auskultasi
: Peristaltik usus (+) normal
- Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-)
- Perkusi
: Timpani (+)
Ekstremitas :
Clubbing finger tidak ditemukan
Tidak ditemukan edema
Akral hangat
+

D. Pemeriksaan penunjang
1. Darah Rutin
Darah Rutin
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Gran
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Clotting Time
Bleeding Time
Golongan

Nilai
12,2
39
8,15
190
5,05
91,0
28,1
32,9
60,4
35,6
4,0
1,5
0,5
04,00
01,30
A

Nilai normal
12.00 16.00
37 47
5,0 10,0
150 300
4,50 5,50
82 92
27 31
32-37
50-70,0
25,0 40,0
3,0 9,0
0 ,55,0
0,0-1,0
2-8
1-3

Satuan
g/dL
Vol%
10^3/uL
mm3
10^6/uL
fL
Pg
g/dL
%
%
%
%
%
Menit
Menit

darah
GDS
creatinin

124
0,83

70 150
0,5-0,9

mg/dL
mg/dL

Ureum
HbsAg

37
NR

10-50
NR

Kesan hasil laboratorium : dalam batas normal


2. Elektokardiografi (EKG)

Kesan: EKG dalam batas normal


E. Konsul Anestesi

mg/dL

Seorang perempuan usia 78 tahun dengan diagnosis ulkus peptikum yang akan
dilakukan tindakan endoskopi pada tanggal 27 Juli 2016. Hasil laboratorium,
EKG dan Vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah
: (-)
Derajat ASA
: III
Rencana tindakan anestesi : General anestesi TIVA
F. Laporan Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Persetujuan operasi tertulis dan identitas pasien
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
c. Puasa 8 jam pre operatif
d. Cek obat dan alat
e. Jenis anestesi
: General Anestesia
f. Teknik Anestesi
: TIVA (Total Intravenous Anesthesia)
g. Induksi
: Midazolam
h. Obat yang diberikan
: Cefuroxime
i. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi
j. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi
b. Premedikasi

: General Anestesia (GA)


: Granisetron 1 amp
Fentanyl 1 amp
c. Induksi
: Midazolam 1 amp
d. Teknik anestesi
:
1) Pasien dalam posisi miring kiri
2) Cek infus pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya dan gas
anestesi yang akan digunakan
3) O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)
4) Menyiapkan stetoskop, kanul oksigen
5) Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, kita memastikan
pasien sudah dalam keadaan tidur
6) Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda
hipoventilasi berikan napas bantuan intermiten secara sinkron
sesuai dengan irama napas pasien, pantau denyut nadi dan tekanan
darah
7) Setelah endoskopi selesai, pelepasan monitoring alat
e. Respirasi
: Spontan
f. Posisi
: Miring
g. Jumlah cairan yang masuk
: Fimahaes 250 MI

h. Perdarahan selama endoskopi

:-

3. Peantauan selama anestesi


a. Mulai anestesi
: 12.20
b. Mulai endoskopi : 12.30
c. Selesai endoskopi : 12.40
d. Selesai anestesi : 12.50
e. Durasi endoskopi : 10 menit

Monitoring selama operasi


Waktu

Tekanan

Nadi

SpO2

Keterangan

78

99

General anestesi

darah
12.20

160/80

dilakukan
12.25

162/84

84

99

Terpasang Fimahaes

12.30

172/82

92

99

Pelaksanaan endoskopi

12.35

170/82

90

99

12.40

166/84

86

99

12.45

160/82

84

99

12.50

164/80

84

99

Selesai endoskopi

Selesai anestesi

1. Di Ruang Recovery
-

Jam 13.00 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi


terlentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring
tanda vital, infus RL, diberikan O2 3 liter per menit.
Tekanan darah : 164/80 mmHg, Nadi : 84x/menit, Suhu : 36,5 C

Jam 13.10 : pasien dalam kondisi stabil baik, dipindahkan ke Bangsal


Mawar III
Monitoring Pasca Anestesi

Waktu

Tekanan

Nadi

RR

Keterangan

82

20

O2 3 L/mnt, Monitoring tanda

Darah
13.00

160/80

Vital
13.05

160/80

80

18

Monitoring tanda Vital

13.10

160/80

80

20

Monitoring tanda Vital


Aldrette Score 10

2. Instruksi Pasca Anestesi


a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun
<100 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan metoclopramide.
Bila kesakitan, berikan Ketorolac 1 ampul.
b. Lain-lain

Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi interna

Puasa sampai peristaltik usus terdengar (auskultasi)

Kontrol balance cairan

Monitor vital sign

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Umum (General Anestesi)
1. Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara
sentral yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk
amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang
dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran
yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgetik, dam
relaksasi otot.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat
dimana akan dilakukan

operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah

bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik,


tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional
mungkin lebih tepat.
2.

Metode
Pemberian anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum :
a.

Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi
yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering
digunakan adalah :

Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis
permulaan 4-6 mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai
1 gram.
Penggunaan :
- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.
- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi
abses.
Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50
mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit
setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.
Penggunaan :
- Operasi-operasi yang singkat
- Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
b.

Perectal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic
(katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga,
oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak
kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada
bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:
- Rectum betul-betul kosong
- Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

c.

Per inhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paruparu, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan
narkose.

a. N2O
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti
halotan.
b. Induksi halotan
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau
campuran N2O : O2 = 3 : 1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c. Induksi enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d. Induksi isofluran
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari

untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien


dengan gangguan koroner.
e. Induksi sevofluran
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi
karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan
konsentrasi

tinggi

sampai

vol

%.

Seperti

dengan

halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.


Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi
masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan
berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang
disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi
masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi
darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan
sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau
organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan
yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.
Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami
metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi
bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N 2O diekskresi
dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi
antara lain :
a. Faktor respirasi (untuk obat inhalasi)

3.

b. Faktor sirkulasi
c. Faktor jaringan.
d. Faktor obat anestesi.
Stadium anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa
penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman

anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi


kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan,
gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapat anestesi ether1.
a.

Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini operasi kecil bisa dilakukan.

b.

Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini
penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar,
refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk
atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan
penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa
dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan
emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari
anestesi.

c.

Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.

Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan


paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur,
volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai
terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai
melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang
dan tonus otot makin menurun.
Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal
lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal,
pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi
negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi
paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi
flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani
negative.
d.

Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut
stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure
dan dikuti dengan circulatory failure.

4.

Persiapan Anestesia Umum


Praktek anestesi yang aman dan efisien memerlukan personil
bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien
yang optimal.
a. Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk
ruang yang cukup terang dengan ukuran yang memadai, sebuah
sumber oksigen bertekanan (paling sering di pipa); perangkat hisap

yang efektif; monitor yang sesuai dengan standar ASA (American


Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung, tekanan darah,
EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi
oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang
diaplikasikan.
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat
anestesi. Alat yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika obat
harus diberikan sepenuhnya intravena. Dalam sebagian besar keadaan,
ini

berarti

membutuhkan

tersedianya

sebuah

mesin

yang

memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara


anestesi tetap berjalan.
b. Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling
efisien adalah pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab
untuk memberikan anestesi dengan baik sebelum tanggal operasi.
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium
yang tepat, perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau
yang sedang berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang
merugikan pribadi atau keluarga untuk anestesi umum, penilaian
status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi yang efektif
dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk meredakan kecemasan dari
pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan keluarga mereka.
Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien
pada waktu perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi
memungkinkan pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada
kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk membuka mulut,
gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher,
anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah). Dengan
menggabungkan semua faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi
dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk
mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau
berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya 1.

c. Manajemen jalan napas


Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas,
meliputi kondisi dibawah ini :
1) Rahang yang kecil atau mundur
2) Gigi rahang atas yang menonjol
3) Leher yang pendek
4) Ekstensi leher terbatas
5) Pertumbuhan gigi yang buruk
6) Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
7) Trauma pada wajah
8) Fiksasi antar-gigi
9) Penggunaan cervical collar yang keras
d. Persiapan Pre-anestesia
Persiapan mental dan fisik pasien
1) Anamnesis
a) Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
b) Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi

penyulit dalam anestesia seperti

penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik,


penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal.
c) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat
anestesi.
d) Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali
dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu.
e) Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi
jalannya anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat
penenang atau narkotik.
2) Pemeriksaan fisik
a) Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan
pasca bedah.
b) Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.

c) Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak


nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu,
trismus, persendian temporo mandibula.
d) Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau
ortopnu, sianosis, hipertensi
e) Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang
dapat membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga
dapat menyebabkan regurgitasi.
3) Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urin rutin, pemeriksaan
radiologi, dan lainnya.
e. Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada
operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
f. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
- ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
- ASA 3:pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
-

rutin terbatas
ASA 4:pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat


ASA 5:pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam


- Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
g. Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :

Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.


Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6
jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.

Pengosongan kandung kemih

Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).

Pemeriksaan fisik ulang

Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.

Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi


atau secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi1

h. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya :

Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam

Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas


atropindan hiosin

Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin

Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron

Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam

Mengurangi isi lambung

Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium,


sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :

Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin

Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya


diazepam dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 1015 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia

Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital

Antikolinergik, misal atropine dan hiosin

Antihistamin, misal prometazine

Antasida, misal gelusil

H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine.


Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi

i. Persiapan induksi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
a. S : Scope (stetoskop, laringoskop)
Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut
lebih luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi
epiglotis, pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
-

Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada

laringoskopi dewasa.
- Blade lurus.
b. T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
- Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke
dalam trakea.
-

Laringeal mask airway (LMA)


Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari
ventilasi

face

mask

atau

intubasi

ET. Kontraindikasi

pemasangan LMA pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi


isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan dukungan
ventilasi mekanik jangka waktu lama. LMA terdiri dari 2
macam : :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas
standar dan lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya
berhubungan dengan esofagus
c. A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka,
-

pipa oropharing)
Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah
dari dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang
masih bernapas spontan, alat ini juga membantu saat

dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa


endotrakheal (ETT)

Gambar 1. Oral pharyngeal airway

Gambar 2. Nasopharyngeal

airway
-

Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)


Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat
bantu jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak
mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya
trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).

Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan


udara/gas anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke
jalan nafas pasien

Gambar 3. Face Mask Anesthesia


d. T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
supaya tidak terlepas

e. I : Introducer (stilet/ forceps Magill)


Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi
(Mc gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal
atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
f. C : Connection
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan
sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
g. S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot
lendir, ludah, dan lain-lainnya.
j. Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan
obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk
operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja.
Tetapi untuk operasi yang

lama,

kedalaman

anestesi perlu

dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis


tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi.
Pada

operasi-operasi

yang

memerlukan

relaksasi

otot,

bila

relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa
bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka
usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan
penarikan otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi
pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu
usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan
anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat.
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis
obat

anestesi

yang

diberikan

sedemikian

tinggi,

sehingga

menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan


ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang
sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital
sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar

tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita


dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik
kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant)
tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant,
maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau
mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak
dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian,
karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari
pengendalian pelaksana anestesi, karena itu balance anestesi juga
disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam
keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada
beberapa keuntungan antara lain :
Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi
inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun
sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang
-

tidak sadar.
Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam
darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak.
Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah

untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.


Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total

maka

mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy)


tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat
mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita
tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya,
-

anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:


Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.

Respirasi

kendali/respirasi

terkontrol

/balance

anestesi:

pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.


Assisted Respirasi : penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena,
maka

disebut

anesthesia/TIVA).

anestesi
Bila

intravena
induksi

total
dan

(total

intravenous

maintenance

anestesi

menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation


and Maintenance Anesthesia)1
5.

Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi
bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan,
hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan
mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi
diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga
berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin
tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin
meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam
darah.
Semakin

tinggi

tekanan

parsiel

oksigen di

alveoli

(akibat

oksigenisasi) difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar


oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi
yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam
darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain
akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan

ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga


berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di
dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita,

sedangkan

bagi

penderita

yang

menggunakan

pipa

endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).


Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme
jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan
intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar
sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu
penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat
balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita
adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle
relaxant

maka

dilakukan

reverse,

yaitu

memberikan

obat

antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas
sudah adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle
relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita
sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan
kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif
tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan
menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score,

nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara


ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi :
Hal yang dinilai

Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh
Bangun bila dipanggil
Tidak ada respon

2
1
0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan
Apnoe

2
1
0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20
Perbedaan +- 50
Perbedaan lebih dari 50

2
1
0

4. Aktivitas:

dapat

menggerakkan

ekstremitas

atas
2
1
0

perintah:
4 ekstremitas
2 ekstremitas
Tidak dapat
5. Warna kulit
Normal
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik
Cyanotic

2
1
0

B. Ulkus Peptikum
1. Definisi
Ulkus Peptikum adalah suatu luka terbuka yang berbentuk bundar
atau oval pada lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum).
Ulkus pada lambung disebut ulkus gastrikum, sedangkan ulkus
pada usus dua belas jari disebut ulkus duodenalis. Tukak lambung/gastric
ulcer/maag merupakan luka/ulkus yang terjadipada lambung yang
diakibatkan oleh karena gangguan keseimbangan asam-basa pada
lambung dimana terjadi peningkatan keasaman lambung danatau
penurunan daya tahan/proteksi jaringan lambung. Ulkus peptikum

merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan


meluas sampai di bawah epitel.
2.

Anatomi
Ulkus peptikum merupakan penyakit yang terdapat pada lambung.
Dimana lambung merupakan bagian dari abdomen.

Lambung

3.

Klasifikasi Ulkus Peptikum


a. Waktu timbulnya
1) Ulkus Peptikum Akut
Pada ulkus peptikum akut biasanya ada penyebab yang
mendahuluinya, seperti misalnya luka bakar yang berat,
operasi berat, dan gastritis erosiva akibat obat-obatan. Ulkus
biasanya multipel dan timbulnya secara mendadak. Ulkus
sering ditemukan pada duodenum dan lambung. Berbagai
macam rangsangan stres yang dapat menimbulkan ulkus
peptik akut diantaranya ialah : syok, trauma, kebakaran,
pembedahan, perubahan udara yang mendadak, dan obatobatan. Sifat dari tukak peptik akut adalah cepat sembuh dan
biasanya tanpa meninggalkan bekas, dan kadang-kadang
disertai perdarahan.
2) Ulkus Peptikum Kronik
Gejala ulkus peptik kronis biasanya bersifat menahun.
Adanya riwayat nyeri ulu hati yang bersifat periodik, nyeri
timbul berhubungan dengan makanan atau minuman yang
dikonsumsi, dialami lebih dari 2 bulan dan mempunyai masa
penyembuhan yang lama. Secara patologis gambaran dari
ulkus yang kronik adalah berupa jaringan ikat pada tepi dan
dasar dari ulkus.
b. Letak Tukak
Pada bagian bawah esofagus, lambung, dan duodenum bagian atas
(first portion of duodenum). Ulkus yeyunum bisa ditemukan pada
penderita yang mengalami gastroyeyunostomi. Ulkus ileum bisa
ditemukan pada penderita yang mengalami gastroileostomi. Ulkus
biasanya terdapat di dekat anastomose yang dapat disebut pula ulkus
marginalis atau stomal ulcer.
1) Ulkus esofagus

Ulkus ini jarang ditemukan dan bila ditemukan biasanya terdapat


di bagian distal esofagus. Kelainan yang menyertai atau
mendahului, seperti hernia, striktura, akalasia, dan tumor. Nyeri
terletak di bagian bawah sternum atau tepat di ulu hati yang
menjalar ke manubrium sterni dan ke punggung di daerah
interskapuler, terutama saat makan atau minum. Nyeri akan
bertambah berat jika membungkukkan badan. Selain itu terdapat
keluhan berupa panas di dada dan ulu hati, mual dan muntahmuntah. Pada pemeriksaan jasmani tidak ditemukan kelainan
yang jelas.
2)

Ulkus lambung

Letak tukak terbanyak di angulus, antrum, prepilorus, dan jarang


terjadi pada korpus dan fundus. Keluhan berupa rasa nyeri di
perut kiri atas atau epigastrium yang ada hubungan dengan
makanan, dan mulut terasa asam. Nyeri bisa menjalar ke
punggung kiri. Nyeri dirasakan setelah makan, kemudian diikuti
dengan rasa enak yang berakhir 30-90 menit, kemudian diikuti
dengan periode nyeri yaitu sampai lambung kosong selama 90
menit. Jadi ritme nyeri pada tukak lambung adalah makan-nyerienak. Pada pemeriksaan jasmani ditemukan nyeri tekan pada
epigastrium antara umbilikus dan prosesus sifoideus.
3)

Ulkus duodeni

Letak tukak duodeni terbanyak di dinding anterior dan posterior


dari bulbus dan postbulber atau pars desendens duodeni di
sebelah proksimal dari papila vatereii. Jarang sekali ditemukan di
distal papila vatereii. Nyeri, pedih, dan panas di perut kanan atas,
terutama tengah malam saat tidur sehingga terbangun. Rasa nyeri
kadang-kadang menjalar ke perut kiri dan ke pinggang kanan.
Nyeri bisa dikurangi dengan makan, minum susu, dan minum

obat antasida (Hunger Pain Food Relief). Nyeri timbul saat


pasien merasa lapar dan terasa enak setelah makan 2-4 jam,
kemudian timbul rasa nyeri sampai waktu makan lagi. Jadi
timbul triple ritme, makan-enak-nyeri. Pada pemeriksaan jasmani
ditemukan, nyeri tekan di perut kanan atas dekat umbilikus.
4)

Ulkus jejeunum

Tukak di jejenum jarang terjadi, baru timbul setelah penderita


mengalami gastroyeyunostomi. Letak tukak terbanyak di distal,
tidak lebih dari 3 cm dari anastomose di dinding anterior.
Keluhan umumnya berupa rasa nyeri, pedih, dan panas di perut
di sebelah kiri umbilikus, mual dan muntah-muntah, serta mulut
terasa asam. Kadang-kadang nyeri menjalar ke pinggang kiri.

BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA


III karena penderita berusia 78 tahun dan memiliki gangguan sistemik yang tidak
terkontrol. Berdasarkan diagnosis pasien yaitu ulkus peptikum, rencana endoskopi
sehingga jenis anestesi yang akan dilakukan adalah general anestesi karena
membuat pasien lebih tenang.
Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah granicetron 1 ampul dan
fentanyl 1 ampul. Granisetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca tindakan. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks
muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. granisetron
diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa
menyebabkan aspirasi pada pasien saat endoskopi. Fentanyl merupakan suatu
analgesik

narkotik (opiad) dapat mengurangi kesadaran (mengantuk) dan

memberikan perasaan nyaman (euphoria).


Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi general yaitu
midazolam sebanyak 1 ampul. Kerja midazolam adalah obat golongan sedative
yang menghasilkan efek menenangkan pada otak dan system saraf pusat, obat ini
bekerja dengan meningkatkan efek dari kimia alami tertentu (GABA) di otak.
Teknik :
1.
2.

Pasien dalam posisi miring kiri


Cek infus pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya dan gas anestesi yang

3.
4.
5.

akan digunakan
O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)
Menyiapkan stetoskop, kanul oksigen
Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, kita memastikan pasien sudah

6.

dalam keadaan tidur


Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien,

7.

pantau denyut nadi dan tekanan darah


Setelah operasi selesai, pelepasan monitoring alat
Pasien sudah tidak makan dan minum 8 jam, namun sudah di pelihara
kekurangan cairannya dengan memberikan cairan infus selama di bangsal.
Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung :
BB = 50 kg

a. Maintenance 2 cc/kgBB/jam
= 2 x 50 = 100 cc/jam
b. Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam
= 4 x 50 = 200 cc/jam
c. Pengganti puasa
= 8 x 100 = 800 cc/jam
Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan
kristaloid
Pemberian Cairan :
Kebutuhan cairan selama endoskopi 10 menit
= maintenance + stress operasi
= 100 + 200
= 300 cc/ jam
= 50 cc untuk 10 menit
Endoskopi berlangsung selama 10 menit, sehingga kebutuhan cairan pasien
adalah sebanyak 50 cc.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut:
1.

Maintenance 2 cc/kgBB/jam

2.

Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20


tetes adalah 100/60 x 20 tetes

= 50x 2 cc

= 100cc/jam

= 33 tetes/menit

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post


operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit

Dari hasil Aldrrete score di dapatkan :


Aldrete Score

Point

Nilai

Pada Pasien

Motorik

4 ekstermitas

2 ekstremitas

Spontan + batuk

Nafas kurang

Beda <20%

Respirasi

Sirkulasi

Kesadaran

Kulit

20-50%

>50%

Sadar penuh

Ketika dipanggil

Kemerahan

Pucat

Sianosis

Total

10

Apabila total Aldrete score >8 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal.
Pada saat malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Respiratory Rate : 20 x/mnt
Sistem Sirkulasi
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Nadi
: 82 x/mnt
Sistem Saraf Pusat
GCS
: 15
Sistem Perkemihan
Dalam batas normal
Sistem Pencernaan
Bising usus
: 5x/mnt
Sistem Muskuloskeletal
Dalam batas normal

BAB V
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Ny. S, usia 78 tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 155 cm. Pasien
pada kasus ini didiagnosis dengan ulkus peptikum dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan pasien berencana endoskopi.
Untuk rencana endoskopi pasien ini dengan anestesi general.
Kebutuhan cairan selama endoskopi yaitu jumlah dari maintanance
dan stress operasi (100 + 200 = 300 cc) untuk 1 jam pertama karena pasien
hanya memerlukan 10 menit untuk endoskopi jadi hanya memerlukan cairan
50 cc, sedangkan cairan yang sudah diberikan saat operasi adalah 250 cc,
sehingga balance cairannya adalah +200cc. Selama proses operasi tidak
terjadi masalah gejolak hemodinamik.
Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas
normal dan nilai aldrette score mencapai 10 sehingga pasien selanjutnya
bisa dipindahkan ke bangsal.

B.

Saran

Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses


anestesi dapat berjalan dengan baik
Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi

Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat


melihat keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anestesia.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Adi P. Pathogenesis and Diagnosis of Peptic Ulcer Disease. In : Update in


Gastroentero-Hepatology. Editors Wibawa IDN, Purwadi N, dan Somia IKA.
Sudema 2. Surabaya, Denpasar, Malang. 2006.
Dobson BM Dharma A. 2012. Penuntun praktis anestesiologi. Bagian
anestesiologi dan terapi intensif fakultas kedokteran universitas indonesia. Jakarta.
Hadi S. Gastroenterologi.edisi ke-7. P.T. Alumni. Bandung. 2002.
Latief, S. Dkk. 2010. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi II. Cetakan ke 5.
Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S. Cairan Koloid. Panduan Tatalaksana terapi
Cairan Perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anesetesiologi Dan Reanimasi
Indonesia. 2009 : 120-30.
Soenarjo,dkk. Teknik Anestesi Spinal dan Epidural. In: Soenarjo, Heru Dwi
Jatmiko (eds.)Anestesiologi. 1st ed. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis Anestesi
dan Reanimasi Cabang Jawa - Tengah ; 2010. p325 326.
Tarigan P. Tukak Gaster. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editors Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S. Pusat Penerbitan,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2006.

You might also like