Professional Documents
Culture Documents
oleh
Devintania Kurniasti Nurul H., S.Kep
NIM 112311101017
Duktus koligen medula ini saluran yang secara metabolik tidak aktif.
Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium urine terjadi di sini dengan
aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorbsi natrium. Duktus ini
memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalium. Ekskresi
aktif kalium diperhatikan pada duktud koligen kortikal dan mungkin
dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi
dalam duktus koligen medula.
Fungsi Ginjal
e)
: 88 - 128 mL/menit/1,73 m2
d. Penyebab
Menurut Mansjoer (2000), penyebab gagal ginjal kronik adalah:
1) Glomerulonefritis
2) Nefropati analgesik
3) Nefropati refluk
4) Ginjal polikistik
5) Nefropati diabetik
6) Hipertensi fokus pembahasan dalam laporan pendahuluan
7) Obstruksi
8) Gout
9) Tidak diketahui
e. Patofisiologi
Hipertensi dan gagal ginjal memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya,
penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan
dalam hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor
dari sistem renin-angiotensin dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin.
Nefrosklerosis menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal
akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal
kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih (Price & Wilson, 2006).
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap
diatas batas normal yang disepakati, yaitu diastolik 90 mmHg atau sistolik 140
mmHg. Sekitar 90% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya yang disebut
hipertensi esensial (etiologi dan patogenesis tidak diketahui). Hipertensi esensial
dapat diklasifikasikan menjadi benigna: bersifat progresif lambat; dan maligna:
bertambah berat dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada
berbagai organ (Price & Wilson, 2006).
Hipertensi yang berlangsung lama mengakibatkan perubahan-perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung,
otak, ginjal, dan mata. Bila hipertensi esensial tetap jinak, pasien tidak akan
menderita kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan kematian akibat uremia.
Sebagian besar kasus insufisiensi ginjal yang dihubungkan dengan nefrosklerosis
jinak memiliki penyakit ginjal yang mendasarinya. Proteinuria dan azotemia ringan
dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa gejala dan kebanyakan pasien
meninggal akibat uremia yang disebabkan oleh hipertensi yang sudah memasuki
stadium maligna, hal ini terjadi pada kurang dari 10% kasus hipertensi esensial (Price
& Wilson, 2006).
Hipertensi maligna bisa diartikan sebagai hipertensi berat dengan tekanan
diastolik lebih tinggi dari 120 sampai 130 mmHg, retinopati stadium IV, disfungsi
ekskresi ginjal yang berkisar dari proteinuria, hematuria, sampai azotemia. Hipertensi
maligna dapat terjadi setiap saat dalam perjalanan hipertensi jinak, tetapi biasanya
baru terjadi sesudah bertahun-tahun. Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat
hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan
akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal.
Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan
perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial
(Price & Wilson, 2005).
Arteria renalis dapat tersumbat oleh plak aterosklerotik atau displasia
fibromuskular sehingga mengakibatkan hipertensi yang sering merupakan jenis
progresif cepat. Aterosklerosis sering ditemukan pada laki-laki tua dan biasanya
mengenai mengenai sepertiga proksimal arteria renalis didekat aorta. Stenosis arteria
renalis dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bila ukuran arteri berkurang sampai
70% atau lebih, maka terjadilah iskemia ginjal. Iskemia ginjal mengaktifkan sistem
renin-angiotensin yang diikuti hipertensi. Meskipun jarang menyebabkan hipertensi
(sekitar 0,5% dari kasus hipertensi), stenosis arteria renalis termasuk kasus yang
penting karena koreksi dengan pembedahan dapat mengurangi hipertensi dan
menimbulkan perbaikan yang cukup nyata (Price & Wilson, 2006).
Stenosis arteria renalis unilateral tidak saja menyebabkan atrofi iskemik
ginjal yang terserang tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan nefrosklerosis
hipertensif dari ginjal kontralateral. Jika ginjal kontralateral mengalami nefrosklerosis
yang nyata akibat hipertensi yang ditimbulkan renin, maka fungsi ginjal yang
mengalami iskemia mungkin menjadi yang lebih baik di antara kedua ginjal tersebut
karena dengan adanya stenosis arteria renalis maka ginjal yang tersumbat agak
terlindung dari pengaruh hipertensi sistemik (Price & Wilson, 2006).
Stenosis arteria renalis dapat dicurigai apabila hipertensi terjadi pada
seseorang yang berusia < 30 tahun, terdapat hipertensi dengan awitan yang sangat
mendadak pada usia berapapun, terdapat perburukan yang pasti dari hipertensi yang
sebelumnya terkontrol dengan baik. Temuan fisik yang menunjukkan adanya stenosis
arteria renalis antara lain bising sistolik dan diastolik yang terus-menerus dapat
didengar di atas epigastrium atau pinggang. Uji skrining kaptopril adalah prosedur
pilihan untuk menduga adanya stenosis arteria renalis karena pengujian ini memiliki
spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar daripada 95% (Badr & Brenner dalam
Price & Wilson, 2006).
nausea,
vomitus
yang
berhubungan
dengan
gangguan
metabolisme protein.
b) Foter uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia.
2) Kulit
a) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom. Gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksik uremik dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
b) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
c) Urea frost akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat
3) Sistem hematologi
a) Berkurangnya produksi eritropoitin, sehingga rangsangan eritropoisis pada
sumsum tulsng menurun.
b) Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritroosit dalam suasana uremia
toksik.
c) Difisiensi besi, asam folat akibat nafsu makan yang kurang.
d) Perdarahan pada saluran cerna dan kulit
e) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidismesekunder
f) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia akibat agregasi dan adhesi
trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan adenosis
difosfat.
4) Sistem saraf dan otot
a) Resties leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan.
b) Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar terutama
ditelapak kaki.
koroner
akibat
arterosklerosis
dan
gagal
jantung
akibat
metabolik
akibat
penimbunan
asam
organik
sebagai
hasil
metabolisme
c) Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalsemia, hipokalsemia.
g. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan medis pada gagal ginjal kronik
adalah:
1) Tentukan dan tatalaksana penyebab
2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan dan cairan dan garam, pada
beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretin loop
Pemeriksaan Laboratorium
a) Laboratorium darah:
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb,
trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan
immunoglobulin).
b) Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM,
keton, SDP, TKK/CCT.
2)
Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
3)
Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostat.
4)
Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
i. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dapat bermacam-macam tergantung organ
yang terkena antara lain:
1) Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium, tamponade jantung
2) Gangguan elekrolit: hiponatremia, asidosis, hiperkalemia (akibat penuruan
ekskresi, asidosis mertabolik, katabolisme dan masukan diet yang berubah)
3) Neurologi: iritabilitas, neuromuscular, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran,
kejang
4) Gastrointestinal: nausea,
muntah,
gastritis,
ulkus peptikum,
pendarahan
gastrointestinal
5) Hematologi: anemia (akibat penurunan eritropeitin penurunan tentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrom testinal akibat iritasi diet toxin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis), diatesis, hemoragik
6) Infeksi: pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial
7) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin
angiotensin aldosteron
8) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat refensi fosfat, kadar kalsium
peningkatan kadar aluminium
3. a. Pohon Masalah
pola napas
PerubahanKetidakefektifan
status kesehatanHiperkapnea
Asidosis metabolik
Data Demografi
a) Umur: biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun, walaupun pada
kenyataanya banyak penderita dengan umur sebelum usia 60 tahun.
b) Jenis kelamin: wanita mempunyai insiden infeksi traktus urinarius dan
pielonefritis lebih tinggi daripada pria yang dapat berlanjut menjadi gagal
ginjal kronik.
2)
penyakit
kronis:
hipertensi,
kardiovaskuler,
DM,
infeksi
Riwayat Diet
Karakteristik urine
b)
Pola BAK
c)
d)
Perubahan frekuensi
e)
Merasa nyeri
Keadaan Umum
a)
b)
Edema
c) Tanda-tanda vital: nadi lemah dan halus, terjadi hipotensi orthostatik akibat
hipovolemia, nafas pendek, dapat terjadi peningkatan suhu.
Keadaan normal, ginjal tidak teraba. Apabila teraba membesar dan kenyal,
kemungkinan adanya polikistik maupun hidroneprosis. Bila dilakukan penekanan
pasien mengeluh sakit, hal ini tanda kemungkinan adanya peradangan.
5) Pemeriksaan Kandung Kemih
Di daerah supra pubis dipalpasi apakah ada distensi. Normalnya kandung kemih
terletak di bawah sympisis pubis, tetapi setelah membesar organ ini dapat terlihat
distensi pada supra pubis, pada kondisi normal yang berarti urine dapat
dikeluarkan secara lengkap dari bendung kemih, kandung kemih tidak teraba.
Bila ada obstuksi di bawah dan prodiksi urine normal maka urine tidak dapat
dikeluarkan, hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih.
6) Pemeriksaan Meatus Uretra
Inspeksi pada meatus uretra apakah ada kelainan sekitar labia, untuk warna dan
apakah ada kelainan pada orifisium uretra pada laki-laki dan juga lihat cairan
yang keluar.
7) Pemeriksaan Prostat Melalui Anus
Mengidentifikasi pembesaran kelenjar prostat bagi laki-laki yang mempunyai
keluhan mengarah kepada hypertropu prostat. Akibat pembesaran prostat,
berdampak penyumbatan partial atau sepenuhnya kepada saluran kemih bagian
bawah normalnya prostat dapat teraba dengan diameter sekitar 4 cm dan tidak
ada nyeri tekan.
1. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban jantung
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan (edema)
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (NANDA, 2011)
2.
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi keperawatan
Penurunan curah
jantung berhubungan
dengan peningkatan
beban jantung
NOC
Cardiac Pump Effetiveness
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
penurunan curah jantung pasien
teratasi dengan kriteria hasil:
1. Tanda vital dalam rentang normal
(TD: 120/80 mmHg, RR 16-20
x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt, Suhu
36,5-37,5o C)
2. Dapat mentoleransi aktivitas
3. Tidak ada penurunan kesadaran
4. Tidak ada edema paru, perifer, dan
tidak ada asites
5. Tidak ada penurunan kesadaran
6. Tidak ada distensi vena leher
7. Warna kulit normal
NIC
Cardiac Care
1. Evaluasi adanya nyeri dada
(intensitas, lokasi, durasi)
2. Catat adanya disritmia jantung
3. Monitor status pernafasan
4. Monitor balance cairan
5. Atur periode latihan dan
instirahat menghindari
kelelahan
6. Monitor toleransi aktivitas
pasien
7. Monitor adanya dispnea,
fatigue, tekipneu dan ortopneu
8. Anjurkan untuk menurunkan
stress
Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan
dengan hiperventilasi
sekunder
NOC
Respiratory Status : ventilation
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam pola
nafas pasien kembali efektif dengan
kriteria hasil:
1. Menunjukkan jalan nafas yang
paten (pasien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal,
NIC
Airway Management
1. Posisikan pasien semi fowler
2. Buka jalan nafas pasien jika
perlu
3. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan (cracles)
4. Monitor respirasi dan status O2
5. Berikan terapi oksigenasi
6. Pertahankan jalan nafas yang
paten
Rasional
1. Meningkatkan pembukaan
saluran nafas
2. Menigkatkan kepatenan jalan
nafas
3. Suara tambahan menandakan
adanya gangguan (penumpukan
secret)
4. Status oksigenasi menunjukan
jalan nafas yang paten
3.
Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan akumulasi cairan
(edema)
NOC
Fluid balance
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam volume
cairan pasien seimbang dengan kriteria
hasil:
1. Terbebas dari edema dan efusi
2. Terbebas dari distensi vena
jugularis
3. Tanda vital normal (TD: 120/80
mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
4. Bunyi nafas bersih, tidak ada
dispnea/ortopnea
5. Terbebas dari distensi vena
jugularis
6. Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung
NIC
Fluid Management
1. Monitor masukan makanan dan
cairan dengan catatan intake
dan output
2. Monitor status hemodinamik
3. Monitor vital sign
4. Kaji luas edema
5. Pasang urin kateter jika
diperlukan
6. Monitor hasil laboratorium
yang sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Hematokrit,
osmolalitas urin)
7. Kolaborasi dalam pemberian
diuretik (Wilkinson, 2006)
6. Evaluasi
Setelah dilakukan implementasi terkait perencanaan tindakan keperawatan
(intervensi) yang telah dibuat, perlu adanya evaluasi terkait:
1. Penurunan curah jantung pasien teratasi
Tanda vital dalam rentang normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80-
Tanda vital dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100
x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
Suhu 36,5-37,5o C)
Bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea/ortopnea
Terbebas dari distensi vena jugularis
Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arief. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
NANDA. 2011. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.