You are on page 1of 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DI ISTALASI RAWAT DARURAT: TRIASE


MEDIK RSUP SANGLAH DENPASAR

oleh
Devintania Kurniasti Nurul H., S.Kep
NIM 112311101017

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
a. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Struktur Makroskopis Ginjal

Ginjal terletak pada posisi di sebelah lateral vertebra torakalis bawah


beberapa centimeter di sebelah kanan dan kiri garis tengah. Di sebelah
anterior, ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan
peritonium. Di sebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding
toraks bawah.
Ginjal pada orang dewasa panjangnya ginjal 11-13 cm, lebarnya 5-7 cm
dan tebalnya 2,5-3 cm dengan berat masing-masing ginjal 150 gr. Ginjal kiri
lebih panjang dan tinggi dari ginjal kanan dikarenakan hati berada di atas
ginjal kanan.
Ginjal dikelilingi berbagai lapisan jaringan yang melindungi dan
mempertahankan posisi ginjal, lapisan terluar berupa jaringan fibrous yang
disebut kapsula renalis, kapsula renalis ini dikelilingi oleh lapisan lemak
ferirenal dan pacia gerota yang akan melindungi semua bagian ginjal kecuali
hilum, area dimana pembuluh darah keluar dan masuk daerah ini.
Ginjal dibagi dua daerah yang berbeda yaitu korteks (bagian luar) dan
medula (bagian dalam). Medula dibagi menjadi baji segitiga yang disebut
piramid. Terdapat 12 sampai 18 piramid untuk setiap ginjal. Piramid-piramid
tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolom bertini. Piramid
tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulusa dan duktus
pengumpul nefron. Papila atau aspek dari tiap piramid membentuk duktus
papilari belini. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung
pelvis ginjal membentuk cawan yang disebut kaliaks minor. Selanjutnya
bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Merupakan reservoar utama
sistem pengumpul urine.

Gambar 6. Anatomi potongan melintang ginjal

Struktur Mikroskopis Ginjal


Menurut Syaifuddin (2002), struktur mikroskopis ginjal terdiri dari satuan
fungsional ginjal dinamakan nefron, mempunyai lebih kurang 1,3 juta
nefron, selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah, arteri renalis
membawa darah murni dari aorta ke ginjal. Lubang-lubang yang terdapat
pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi
yang disebut glomerulus.
1

Glomerulus, bagian ini merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang


terletak di dalam kapsula bowman dan menerima darah dari arteriol
aferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui arteriol aferen
natrium secara bebas difiltrasi dalam glomerulus sesuai dengan
konsentrasi.
Kalium juga difiltrasi secara bebas, diperkirakan 10-20% kalium plasma
terikat oleh protein dan tidak bebas difiltrasi sehingga kalium dalam
keadaan normal kapsula bowmen. Ujung buntu tubulus ginjal yang
bentuknya seperti kapsula cekung meliputi glomerulus yang saling
melilitkan diri.

Tubulus proksimal konvulta, tubulus ginjal yang langsung dengan 15 mm


diameter 55m, bentuknya berkelok-kelok menjalar dari korteks ke
bagian medula dan kembalui ke korteks sekitar 2/3 dari natrium yang
berfiltrasi diabsorbsi secara isotonis bersama klorida. Proses ini
melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium
akan mengurangi pengeluaran air dan natrium, hal ini dapat mengganggu
pengenceran dan pemekatan urine yang normal. Kalium diresorbsi lebih
dari 70% kemungkinan dan dengan mekanisme transportasi aktif akan
terpisah dari resporsi natrium.

Gelung henle (ansa henle), bentuknya lurus dan tebal diteruskan ke


segmen tipis, selanjutnya ke segmen tebal panjangnya 12 mm, total
panjang ansa henle 2-14 mm. klorida secara aktif diserap kembali pada
cabang asedens gelung henle dan natrium yang bergerak secara pasif
untuk mempertahankan kenetralan listrik. Sekitar 25% natrium yang
difiltrasi diserap kembali karena darah nefron bersifat tidak permeabel
terhadap air. Reabsorbsi klorida dan natrium dipars asendens penting
untuk pemekatan urine karena membantu mempertahankan integritas
gradiens konsentrasi medulla. Kalium terfiltrasi sekitar 20-25%
diabsorbsi pada pars asendens lengkung henle. Proses pasi terjadi karena
gradien elektrokimia yang timbul sebagai akibat dari reabsorbsi aktif
klorida pada segmen nefron ini.

Tubulus distal konvulta, bagian ini adalah tubulus ginjal berkelok-kelok


dan letaknya jauh dari kapsula bowman panjang 5 mm. tubulus distal dari
masing-masing nefron bermuara ke duktus koligens yang panjangnya 20
mm. Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan
medulla ginjal yang bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus
dan bermuara ke dalam duktus belini, seterusnya menuju kalik minor ke
kalik mayor, dan akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis renalis

pada aspeks masing-masing piramid medula ginjal, panjang nefron


keseluruhan ditambah duktus koligens adalah 45-65 mm. nefron yang
berasal dari glomerulus korteks (nefron korteks) mempunyai ansa henle
yang memanjang ke dalam piramid medula.
5

Duktus koligen medula ini saluran yang secara metabolik tidak aktif.
Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium urine terjadi di sini dengan
aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorbsi natrium. Duktus ini
memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalium. Ekskresi
aktif kalium diperhatikan pada duktud koligen kortikal dan mungkin
dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi
dalam duktus koligen medula.

Gambar 7. Nefron ginjal

Fungsi Ginjal

Menurut Syaifuddin (1997), fungsi ginjal adalah:


a) Memegang peranan penting dalam peranan zat-zat toksin atau racun.
b) Mempertahankan suasana keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan
tubuh
c) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
d)

Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum,


kreatinin dan amoniak.

e)

Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam


tubuh.

Pembuluh Darah Ginjal


Arteri Renalis merupakan percabangan dari aorta abdominalis letaknya
kira-kira setinggi vertebra lumbalis dua, karena aorta terletak di sebelah kiri
garis tengah maka arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri.
Setiap arteri renalis bercabang waktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah ke dalam vena kava inferior yang terletak
di sebalah kanan garis tengah. Sehingga vena renalis kiri kira-kira dua kali
lebih panjang dari vena renalis kanan. Arteri renalis masuk ke dalam hilus,
kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara
piramid selanjutnya membentuk arteri akuarta yang melengkung melintas
basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuarta kemudian membentuk
arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriol
interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen. Arteriola aferen
akan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus.
Skematik sirkulasi darah ginjal ditunjukkan berikut ini:
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis arteri renalis kanan dan
kiri arteri interlobalis aorta aferen glomerolus arteriol aferen
vena interlobularis vena arkuarta vena interlobaris vena renalis
vena kava inferior.

Proses pembentukan kemih dimulai dengan proses filtrasi plasma pada


glomerulus. Proses filtrasi ini dinamakan ultrafiltrasi glomerulus.
Aliran darah ginjal (renal blood flow) adalah sekitar 20-25% dari curah
jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Bila hematokrit normal (45%) maka
aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 ml/menit, sekitar seperlima dari
plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman
atau dikenal dengan istilah GFR (Glomerulus Filtration Rate).
b. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa dikenal gagal ginjal kronik atau
penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangaan gagal ginjal yang progresif
dan lambat, biasanya berlangsung berapa tahun. Ginjal kehilangan kemampuan
asupan diet normal. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit
merusak nefron ginjal. (Price, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 ml/menit.
(Suyono, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal merupakan penurunan laju filtrasi
glomerulus (Glomerolus Filtration Rate/GFR) yang dapat digolongkan ringan dan
berat (Mansjoer, 2000).
c. Klasifikasi
Penyakit gagal ginjal kronik umumnya dibagi menjadi 5 stadium,
pembagiannya dilakukan berdasarkan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate) yaitu:
1) Stadium 1

Kerusakan ginjal dengan GFR normal (> 90 mL/menit/1,73m2). Kerusakan pada


ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama
penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan
gagal ginjal dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
2) Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/menit/1,73m2).
Saat fungsi ginjal mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan
gagal ginjal yang dilami pasien dan meneruskan pengobatan untuk mengurangi
resiko masalah kesehatan lain.
3) Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59 mL/menit/1,73m2). Saat gagal ginjal sudah
berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum.
Sebaiknya konsultasi dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini.
4) Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/menit/1,73m2). Teruskan pengobatan
untuk komplikasi gagal ginjal dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan
persiapan. Bila pasien memilih hemodialisis, maka akan membutuhkan tindakan
untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar siap
menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah
kateter harus ditanam dalam perut atau mungkin pasien ingin minta anggota
keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
5) Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR < 15 mL/menit/1,73m2). Saat ginjal tidak bekerja cukup
untuk menahan kehidupan, pasien akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan
ginjal.
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan rumus:

CCT (ml/menit) = (140-umur) x berat badan (kg)


72 x creatinin serum
Pada wanita, hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m2
Wanita

: 88 - 128 mL/menit/1,73 m2

d. Penyebab
Menurut Mansjoer (2000), penyebab gagal ginjal kronik adalah:
1) Glomerulonefritis
2) Nefropati analgesik
3) Nefropati refluk
4) Ginjal polikistik
5) Nefropati diabetik
6) Hipertensi fokus pembahasan dalam laporan pendahuluan
7) Obstruksi
8) Gout
9) Tidak diketahui
e. Patofisiologi
Hipertensi dan gagal ginjal memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya,
penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan
dalam hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor
dari sistem renin-angiotensin dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin.
Nefrosklerosis menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal

akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal
kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih (Price & Wilson, 2006).
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap
diatas batas normal yang disepakati, yaitu diastolik 90 mmHg atau sistolik 140
mmHg. Sekitar 90% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya yang disebut
hipertensi esensial (etiologi dan patogenesis tidak diketahui). Hipertensi esensial
dapat diklasifikasikan menjadi benigna: bersifat progresif lambat; dan maligna:
bertambah berat dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada
berbagai organ (Price & Wilson, 2006).
Hipertensi yang berlangsung lama mengakibatkan perubahan-perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung,
otak, ginjal, dan mata. Bila hipertensi esensial tetap jinak, pasien tidak akan
menderita kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan kematian akibat uremia.
Sebagian besar kasus insufisiensi ginjal yang dihubungkan dengan nefrosklerosis
jinak memiliki penyakit ginjal yang mendasarinya. Proteinuria dan azotemia ringan
dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa gejala dan kebanyakan pasien
meninggal akibat uremia yang disebabkan oleh hipertensi yang sudah memasuki
stadium maligna, hal ini terjadi pada kurang dari 10% kasus hipertensi esensial (Price
& Wilson, 2006).
Hipertensi maligna bisa diartikan sebagai hipertensi berat dengan tekanan
diastolik lebih tinggi dari 120 sampai 130 mmHg, retinopati stadium IV, disfungsi
ekskresi ginjal yang berkisar dari proteinuria, hematuria, sampai azotemia. Hipertensi
maligna dapat terjadi setiap saat dalam perjalanan hipertensi jinak, tetapi biasanya
baru terjadi sesudah bertahun-tahun. Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat
hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan
akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal.
Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan

perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial
(Price & Wilson, 2005).
Arteria renalis dapat tersumbat oleh plak aterosklerotik atau displasia
fibromuskular sehingga mengakibatkan hipertensi yang sering merupakan jenis
progresif cepat. Aterosklerosis sering ditemukan pada laki-laki tua dan biasanya
mengenai mengenai sepertiga proksimal arteria renalis didekat aorta. Stenosis arteria
renalis dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bila ukuran arteri berkurang sampai
70% atau lebih, maka terjadilah iskemia ginjal. Iskemia ginjal mengaktifkan sistem
renin-angiotensin yang diikuti hipertensi. Meskipun jarang menyebabkan hipertensi
(sekitar 0,5% dari kasus hipertensi), stenosis arteria renalis termasuk kasus yang
penting karena koreksi dengan pembedahan dapat mengurangi hipertensi dan
menimbulkan perbaikan yang cukup nyata (Price & Wilson, 2006).
Stenosis arteria renalis unilateral tidak saja menyebabkan atrofi iskemik
ginjal yang terserang tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan nefrosklerosis
hipertensif dari ginjal kontralateral. Jika ginjal kontralateral mengalami nefrosklerosis
yang nyata akibat hipertensi yang ditimbulkan renin, maka fungsi ginjal yang
mengalami iskemia mungkin menjadi yang lebih baik di antara kedua ginjal tersebut
karena dengan adanya stenosis arteria renalis maka ginjal yang tersumbat agak
terlindung dari pengaruh hipertensi sistemik (Price & Wilson, 2006).
Stenosis arteria renalis dapat dicurigai apabila hipertensi terjadi pada
seseorang yang berusia < 30 tahun, terdapat hipertensi dengan awitan yang sangat
mendadak pada usia berapapun, terdapat perburukan yang pasti dari hipertensi yang
sebelumnya terkontrol dengan baik. Temuan fisik yang menunjukkan adanya stenosis
arteria renalis antara lain bising sistolik dan diastolik yang terus-menerus dapat
didengar di atas epigastrium atau pinggang. Uji skrining kaptopril adalah prosedur
pilihan untuk menduga adanya stenosis arteria renalis karena pengujian ini memiliki
spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar daripada 95% (Badr & Brenner dalam
Price & Wilson, 2006).

f. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul dapat bermacam-macam antara lain:
1) Sistem gastrointestinal
a) Anoreksia,

nausea,

vomitus

yang

berhubungan

dengan

gangguan

metabolisme protein.
b) Foter uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia.
2) Kulit
a) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom. Gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksik uremik dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
b) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
c) Urea frost akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat
3) Sistem hematologi
a) Berkurangnya produksi eritropoitin, sehingga rangsangan eritropoisis pada
sumsum tulsng menurun.
b) Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritroosit dalam suasana uremia
toksik.
c) Difisiensi besi, asam folat akibat nafsu makan yang kurang.
d) Perdarahan pada saluran cerna dan kulit
e) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidismesekunder
f) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia akibat agregasi dan adhesi
trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan adenosis
difosfat.
4) Sistem saraf dan otot
a) Resties leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan.
b) Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar terutama
ditelapak kaki.

c) Ensefalopati metabolik: Lemah tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi


tremor, miokionus dan kejang.
d) Miopati: Kelemahan dan hipotropi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas
proksimal.
5) Sistem kardiovaskuler
a) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktifitas
system renin-angiotensin-aldosteron.
b) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung

koroner

akibat

arterosklerosis

dan

gagal

jantung

akibat

penimbunan cairan dan hipertensi.


6) Sistem endokrin
a) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun akibat penurunan
sekresi testosterone dan spermatogenesis.
b) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan sekresi dan insulin.
c) Gangguan metabolisme.
d) Gangguan metabolisme vitamin D.
7) Gangguan sistem lain
a) Tulang: osteodistrofi renal yaitu osteomalasia, osteofibfosa, osteoskerosis dan
kalsifikasi metastatik.
b) Asidosis

metabolik

akibat

penimbunan

asam

organik

sebagai

hasil

metabolisme
c) Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalsemia, hipokalsemia.
g. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan medis pada gagal ginjal kronik
adalah:
1) Tentukan dan tatalaksana penyebab
2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan dan cairan dan garam, pada
beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretin loop

(bumetarid, asam etokrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan


pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan pencatatan keseimbangan
cairan/masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml.
3) Diet tinggi kalori dan rendah protein (20-40 g/hari) menghilangkan gejala
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan
gejala. Hindari masukan dan berlebihan dari kalium dan garam.
4) Kontrol Hipertensi
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan di
atur sendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan diuretik koop,
selain obat anti hipertensi.
5) Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
Hal yang sering ditemukan adalah hiperglikemia dan asidosis berat hindari
kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obatobatan yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya menghambat ACE
dan obat anti inflasi nonsteroid). Asidosis berat atau kekurangan garam yang
menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaniresis. Deteksi
melalui kalium plasma EKG. Gejala-gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat
plasma kurang dari 15 mmol/liter.
6) Mencegah dan tatalaksana tulang ginjal
Hiperpospatemia dikontrol oleh obat yang mengikat posfat seperti alumunium
hidroks (330-800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000 mg) pada setiap makan.
7) Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus di terapi sebagai pasien imunosupresif dan di terapi lebih
ketat.
8) Modifikasi terapi obat dan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya misalnya digoksin
aminogikosid, analgetik opiat, amfoteris dan alopurinol.
9) Deteksi dan terapi komplikasi

Awasi dengan ketat kemungkinan enselopati uremia, perikarditis neunpari


perifer, hiperkolemia yang meningkat kelebihan cairan infeksi yang mengancam
jiwa, kegagalan untuk bertahan sehingga diperlukan dialisis.
10) Persiapan dialisis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik diabetes. Indikasi dilakukan
dialisa biasanya adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas mesti telah
dilakukan terapi konservatif atau terjadi komplikasi.
h. Pemeriksaan Penunjang
1)

Pemeriksaan Laboratorium
a) Laboratorium darah:
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb,
trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan
immunoglobulin).
b) Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM,
keton, SDP, TKK/CCT.

2)

Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).

3)

Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostat.

4)

Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.

i. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dapat bermacam-macam tergantung organ
yang terkena antara lain:
1) Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium, tamponade jantung
2) Gangguan elekrolit: hiponatremia, asidosis, hiperkalemia (akibat penuruan
ekskresi, asidosis mertabolik, katabolisme dan masukan diet yang berubah)
3) Neurologi: iritabilitas, neuromuscular, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran,
kejang
4) Gastrointestinal: nausea,

muntah,

gastritis,

ulkus peptikum,

pendarahan

gastrointestinal
5) Hematologi: anemia (akibat penurunan eritropeitin penurunan tentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrom testinal akibat iritasi diet toxin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis), diatesis, hemoragik
6) Infeksi: pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial
7) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin
angiotensin aldosteron
8) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat refensi fosfat, kadar kalsium
peningkatan kadar aluminium

3. a. Pohon Masalah

Kekhawatiran terhadap kesehatan


Ansietas

pola napas
PerubahanKetidakefektifan
status kesehatanHiperkapnea
Asidosis metabolik

Kerusakan reabsorbsi bikarbonat dan produksi amonia

b. Data yang Perlu Dikaji


Riwayat Kesehatan
1)

Data Demografi
a) Umur: biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun, walaupun pada
kenyataanya banyak penderita dengan umur sebelum usia 60 tahun.
b) Jenis kelamin: wanita mempunyai insiden infeksi traktus urinarius dan
pielonefritis lebih tinggi daripada pria yang dapat berlanjut menjadi gagal
ginjal kronik.
2)

Riwayat Kesehatan Pasien

a) Riwayat masalah ginjal (sistem perkemihan)


b) Pasien telah berobat kemana dan jenis obat yang dikonsumsi seperti penyakit
ginjal, batu ginjal dan uretra, batu kandung kemih, pembedahan sistem
kemih.
c) Riwayat

penyakit

kronis:

hipertensi,

kardiovaskuler,

DM,

infeksi

streptokokus, obat-obatan nefrotoksik (garamicyn)


d) Riwayat adanya trauma/injuri
3)

Riwayat Kesehatan Keluarga


a)

Adakah keluarga yang menderita penyakit ginjal seperti


polycistis

b) Penyakit kronik yang lain seperti DM, Batu ginjal, Kardiovaskuler,


hipertensi, kelainan bawaan.
4)

Riwayat Diet

a) Kebiasaan minum: jumlah, jenis air minum


b) Kebiasaan makan: makanan segar/diawetkan, susu, protein, kalsium
5)

Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi akan mempengaruhi tingkat pendidikan, sedangkan


tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan klien dan hal ini
akan berpengaruh pola hidup dan kebiasaan sehari-hari yang akan
mencerminkan tingkat kesehatan pasien.

6) Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi, obat-obatan yang digunakan seperti


garamicin, analgetik yang lama, obat arthritis, obat hipertensi, obat
kardiovaskuler, obat diabetes melitus.
7)

Riwayat kesehatan sekarang adanya dalam perubahan


a)

Karakteristik urine

b)

Pola BAK

c)

Kemampuan untuk mengontrol BAK

d)

Perubahan frekuensi

e)

Merasa nyeri

Serangan dan lamanya: kejadian setelah BAK atau selama BAK

Lokasi penyebaran: pada punggung

Nyeri menjalar dari abdomen bagian bawah sampai perineum,


skortum/labia.

Nyeri kesulitan BAK (dysuria)

Karakter dan beratnya: rasa terbakar dan sakit

Faktor yang meringankan: perubahan posisi

Faktor yang memberatkan: obat-obatan

f) Distensi bladder, spasme


g) Tanda dan gejala yang menyertai seperti demam, menggigil, berkeringat,
perubahan kulit, pruritus, bekuan uremik dan uremik sebagai gejala
akumulasi sampah metabolisme dalam darah yang diakibatkan karena gagal
ginjal yang ditandai dengan anoreksia, mual, muntah, kram otot, pruritus,
lemah dan mudah lelah.
8)

Keadaan Umum
a)

Kulit: pucat, kemerahan, kuning kelabu

b)

Edema

c) Tanda-tanda vital: nadi lemah dan halus, terjadi hipotensi orthostatik akibat
hipovolemia, nafas pendek, dapat terjadi peningkatan suhu.

d) Tingkat kesadaran: penurunan kesadaran bias terjadi stupor sampai dengan


koma.
e) Konsentrasi: ketidakmampuan konsentrasi, keilangan memori, kacau.
f) Kemampuan bicara: stress, perasaan tidak berdaya.
g) Gaya jalan: adanya kesemutan dan kram pada otot ekstremitas bawah
mempengaruhi gaya berjalan klien dengan gagal ginjal kronik.
h) Koordinasi anggota gerak:

kram pada otot ekstremitas, sindroma kaki

gelisah, kebas rasa terbakar pada kaki.


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1) Mata
Sering ditemukan warna konjungtiva yang pucat/putih, edema preorbial.
2) Wajah
Apakah ada muka tampak sembab atau tidak. Muka sembab disebabkan karena
udem .
3) Leher
Sering terjadi peningkatan vena jugularis sebagai akibat dari peningkatan tekanan
pengisian pada atrium kanan pada kondisi gagal jantung kanan.
4) Pemeriksaan Ginjal
Kaji daerah abdomen pada garis midklavikula kiri dan kanan atau daerah
costovertebral angle (CVA), normal keadaan abdomen simetris, tidak tampak
masa dan tidak ada pulsasi, bila tampak ada masa pulsasi kemungkinan ada
polikistik, hidronefrosis ataupun nefroma. Apakah adanya bunyi vaskuler aorta
maupun arteri renalis, bila ada bunyi desiran kemungkinan adanya RAS (Renal
Arteri Stenosis), nefro scelerotic. Bila terdengar desiran, jangan melakukan
palpasi, cedera pada suatu aneurisme di bawah kulit terjadi sebagai akibatnya tes
CVA bila adanya nyeri tekan di duga adanya implamasi akut.

Keadaan normal, ginjal tidak teraba. Apabila teraba membesar dan kenyal,
kemungkinan adanya polikistik maupun hidroneprosis. Bila dilakukan penekanan
pasien mengeluh sakit, hal ini tanda kemungkinan adanya peradangan.
5) Pemeriksaan Kandung Kemih
Di daerah supra pubis dipalpasi apakah ada distensi. Normalnya kandung kemih
terletak di bawah sympisis pubis, tetapi setelah membesar organ ini dapat terlihat
distensi pada supra pubis, pada kondisi normal yang berarti urine dapat
dikeluarkan secara lengkap dari bendung kemih, kandung kemih tidak teraba.
Bila ada obstuksi di bawah dan prodiksi urine normal maka urine tidak dapat
dikeluarkan, hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih.
6) Pemeriksaan Meatus Uretra
Inspeksi pada meatus uretra apakah ada kelainan sekitar labia, untuk warna dan
apakah ada kelainan pada orifisium uretra pada laki-laki dan juga lihat cairan
yang keluar.
7) Pemeriksaan Prostat Melalui Anus
Mengidentifikasi pembesaran kelenjar prostat bagi laki-laki yang mempunyai
keluhan mengarah kepada hypertropu prostat. Akibat pembesaran prostat,
berdampak penyumbatan partial atau sepenuhnya kepada saluran kemih bagian
bawah normalnya prostat dapat teraba dengan diameter sekitar 4 cm dan tidak
ada nyeri tekan.
1. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban jantung
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan (edema)
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (NANDA, 2011)

5. Rencana Tindakan Keperawatan


No
1.

2.

Diagnosa
Keperawatan

Tujuan dan
Kriteria Hasil

Intervensi keperawatan

Penurunan curah
jantung berhubungan
dengan peningkatan
beban jantung

NOC
Cardiac Pump Effetiveness
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
penurunan curah jantung pasien
teratasi dengan kriteria hasil:
1. Tanda vital dalam rentang normal
(TD: 120/80 mmHg, RR 16-20
x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt, Suhu
36,5-37,5o C)
2. Dapat mentoleransi aktivitas
3. Tidak ada penurunan kesadaran
4. Tidak ada edema paru, perifer, dan
tidak ada asites
5. Tidak ada penurunan kesadaran
6. Tidak ada distensi vena leher
7. Warna kulit normal

NIC
Cardiac Care
1. Evaluasi adanya nyeri dada
(intensitas, lokasi, durasi)
2. Catat adanya disritmia jantung
3. Monitor status pernafasan
4. Monitor balance cairan
5. Atur periode latihan dan
instirahat menghindari
kelelahan
6. Monitor toleransi aktivitas
pasien
7. Monitor adanya dispnea,
fatigue, tekipneu dan ortopneu
8. Anjurkan untuk menurunkan
stress

Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan
dengan hiperventilasi
sekunder

NOC
Respiratory Status : ventilation
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam pola
nafas pasien kembali efektif dengan
kriteria hasil:
1. Menunjukkan jalan nafas yang
paten (pasien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal,

NIC
Airway Management
1. Posisikan pasien semi fowler
2. Buka jalan nafas pasien jika
perlu
3. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan (cracles)
4. Monitor respirasi dan status O2
5. Berikan terapi oksigenasi
6. Pertahankan jalan nafas yang
paten

Rasional

1. Mengetahui adanya iskemia


pada jantung
2. Mengetahui adanya gangguan
denyut jantung
3. Pernafasan abnormal
menandakan gagal jantung
4. Mengetahui adanya
penumpukan cairan yang akan
memberatkan jantung
5. Menjaga pasien tetap toleransi
terhadap aktivitas
6. Membantu pasien agar dapat
melakukan aktivitas sesuai
kemampuannya
7. Mengetahui secara dini tandatanda gagal jantung
8. Stress dapat memperberat gejala
gagal jantung

1. Meningkatkan pembukaan
saluran nafas
2. Menigkatkan kepatenan jalan
nafas
3. Suara tambahan menandakan
adanya gangguan (penumpukan
secret)
4. Status oksigenasi menunjukan
jalan nafas yang paten

3.

Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan akumulasi cairan
(edema)

tidak ada suara nafas abnormal)


2. Tanda vital dalam batas normal
(TD: 120/80 mmHg, RR 16-20
x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt, Suhu
36,5-37,5o C)

7. Observasi adanya tanda-tanda


hipoventilasi
8. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi

NOC
Fluid balance
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam volume
cairan pasien seimbang dengan kriteria
hasil:
1. Terbebas dari edema dan efusi
2. Terbebas dari distensi vena
jugularis
3. Tanda vital normal (TD: 120/80
mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
4. Bunyi nafas bersih, tidak ada
dispnea/ortopnea
5. Terbebas dari distensi vena
jugularis
6. Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung

NIC
Fluid Management
1. Monitor masukan makanan dan
cairan dengan catatan intake
dan output
2. Monitor status hemodinamik
3. Monitor vital sign
4. Kaji luas edema
5. Pasang urin kateter jika
diperlukan
6. Monitor hasil laboratorium
yang sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Hematokrit,
osmolalitas urin)
7. Kolaborasi dalam pemberian
diuretik (Wilkinson, 2006)

5. Meningkatkan status O2 dalam


tubuh
6. Mempertahankan suplai
oksigen yang maksimal ke
dalam tubuh
7. Hipoventilasi dapat
menyebabkan tubuh
kekurangan oksigen
8. Kecemasan/gelisah dapat
mempengaruhi status
pernapasan

1. Mengetahui adanya retensi


cairan dalam tubuh
2. Mengetahui kelainan dari nilai
CVP
3. Vital sign yang abnormal
digunakan untuk mengetahui
adanya gagal jantung
4. Mengetahui tingkat keparahan
retensi cairan
5. Memonitor eliminasi urin
secara berkala dan untuk
mengurangi ketidaknyamanan
ketika BAK
6. Hasil laboratorium membantu
dalam penegakan diagnosa
7. Menurunkan tingkat retensi
cairan

6. Evaluasi
Setelah dilakukan implementasi terkait perencanaan tindakan keperawatan
(intervensi) yang telah dibuat, perlu adanya evaluasi terkait:
1. Penurunan curah jantung pasien teratasi

Tanda vital dalam rentang normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80-

100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)


Dapat mentoleransi aktivitas
Tidak ada penurunan kesadaran
Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
Tidak ada penurunan kesadaran
Tidak ada distensi vena leher
Warna kulit normal
2. Pola napas pasien kembali efektif
Menunjukkan jalan nafas yang paten (pasien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

Tanda vital dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100
x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)

3. Volume cairan pasien seimbang

Terbebas dari edema dan efusi


Terbebas dari distensi vena jugularis
Tanda vital normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt,

Suhu 36,5-37,5o C)
Bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea/ortopnea
Terbebas dari distensi vena jugularis
Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arief. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
NANDA. 2011. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:


EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Syaifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

You might also like