You are on page 1of 25

STIMULASI MAGNETIK TRANSKRANIAL: MEMPELAJARI

NEUROFISIOLOGI MOTORIK DARI GANGGUAN KEJIWAAN


Abstrak
Dasar Pemikiran: Transcranial magnetic stimulation (TMS) adalah alat non-invasif
yang secara langsung merangsang neuron kortikal dengan cara menginduksi magnet
dan medan

listrik sekunder. Secara tradisional TMS telah digunakan untuk

mempelajari neurofisiologi motor pada subyek sehat dan mereka dengan gangguan
neurologis. Tujuan: Memberikan pengetahuan mengenai disfungsi motorik pada
berbagai gangguan kejiwaan yang disertai dengan penggunaan supplementasi dari
TMS, untuk mempelajari patofisiologi yang mendasari gangguan kejiwaan tertentu,
dan untuk menilai hasil pengobatan yang sedang berlangsung. Studi tersebut meliputi
pemeriksaan membran neuron motorik, kortikospinalis dan rangsangan intracortical.
Tujuan kami adalah untuk meninjau kembali temuan di masa yang lalu. Metode:
Kami meninjau literatur masa lalu mengenai TMS yang digunakan sebagai alat
penilaian dalam gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, gangguan mood, sindrom
Tourette, gangguan obsesif-kompulsif, attention-deficit hyperactivity disorder, dan
penyalahgunaan zat. Hasil: Sementara temuan masih awal karena sampel-ukuran
kecil, populasi pasien yang tidak konsisten (diagnosis, pengobatan), perbedaan
metodologi antara kelompok-kelompok penelitian, studi terbatas pada wilayah
motorik saja dan kemungkinan kurangnya sensitivitas dan spesifisitas, studi ini dapat
menghasilkan temuan yang menarik mengenai siapa saja yang berpotensi/trait- dan
juga penanda negara mana saja- yang lebih besar berpotensi memiliki gangguan
kejiwaan. Kesimpulan: Penelitian selanjutnya menggunakan TMS sendiri atau dalam
kombinasi dengan teknik neuroimaging lainnya menjanjikan dalam perluasan
penerapan TMS dari studi rangsangan motor untuk ke fungsi kognitif yang lebih
tinggi.
Kata kunci: Transcranial magnetic stimulation Psikiatri penanda-trait penanda
wilayah/negara kortikal rangsangan Neurofisiologi

Pendahuluan
Sejak demonstrasi pertama yaitu pada tahun 1985 oleh Barker dan rekanrekannya (1985a, 1985b) transcranial magnetic stimulation (TMS) telah menjadi
semakin populer, yang relatif mudah dipakai, efek sampingnya sangat sedikit, serta
potensi untuk digunakan pada berbagai hal/aplikasi. Telah digunakan untuk mengukur
rangsangan kortikospinalis, untuk memetakan fungsi motorik dan kognitif,
mempelajari jaringan saraf, dan untuk memodulasi fungsi otak yang bertujuan terapi
yang potensial (George dan Belmaker 2000; Mills 1999;. Pascual-Leone et al 1999,
2000).
Penggunaan yang paling tradisional dari TMS telah mempelajari jalur motorik
sentral pada subyek sehat dan pada pasien dengan gangguan neurologis. Temuan baru
dari kelainan sistem motorik pada gangguan neuropsikiatri dan wawasan yang lebih
luas tentang mekanisme aksi dari berbagai teknik TMS, mengundang eksplorasi
sistematis TMS dalam studi patofisiologi mengenai Gangguan kejiwaan dan juga
penilaian hasil pengobatan. Ulasan ini berfokus pada studi TMS yang relevan dengan
patofisiologi beberapa gangguan seperti skizofrenia, gangguan mood, sindrom
Tourette,

gangguan

obsesif-kompulsif

(OCD),

attention-deficit

hyperactivity

gangguan (ADHD), dan penyalahgunaan zat dan modulasinya terhadap intervensi


farmakologis atau train TMS berulang (repetitive TMS/TMS berulang, RTMS).
Teknik TMS digunakan dalam studi yakni meliputi pengukuran motor threshold,
silent period dan motor-evoked potentials (MEPs) untuk single pulse stimulation, dan
paired-pulse (PP) curve determination. Untuk mereview kembali tentang TMS dan
juga perannya dalam gangguan saraf digunakan acuan Boylan dan Sackeim (2000),
Rossini dan Rossi (1998), atau Ziemann et al (1998). Untuk mereview tentang peran
terapi TMS pada gangguan neuropsikiatri digunakan acuan George et al. (1999), Pos
et al. . (1999), atau Pridmore dan Belmaker (1999).
Mekanisme Dasar
TMS menggunakan prinsip induksi elektromagnetik, yang pertama kali
ditemukan oleh Michael Faraday pada tahun 1831. Yang melibatkan discharge yang
sangat besar (saat puncak: dibutuhkan sekitar 5.000 amp) dari sebuah bank kapasitor
yang dengan cepat mengalir melalui rangkaian LCR sederhana dan kemudian melalui
kumparan kawat tembaga. Sebuah rapid-time magnetic field diinduksi (rise time:
sekitar 0,1 ms, kekuatan medan: sekitar 2 T) pada level konduktor pertama, koil.

Ketika kumparan dipasangkan pada bagian kepala subjek, dan medan pulsa magnetik
menembus kulit kepala dan tengkorak dan menginduksi sebagian kecil arus paralel
untuk bidang kumparan di konduktor kedua yang berdekatan, di otak. Ketika arus
induksi cukup (beberapa mA / cm2), depolarisasi membran neuronal terjadi, dan
karenanya timbul generasi potensial aksi. Ketika kumparan dipasangkan tangensial ke
kulit kepala, arus induksi mengalir sejajar dengan permukaan permukaan otak,
demikian istimewa mengaktifkan elemen interneuronal yang berorientasi horizontal
ke permukaan otak (Day et al. 1989). Dalam kasus hand area dalam primary motor
cortex,

TMS

diduga

didominasi

dalam

mengaktifkan

sel-sel

piramidal

transynaptically melalui elemen interneuronal excitatory (Amassian et al 1990;. Hari


et al 1989;. Di Lazzaro et al 1999a, 1999b;. Nakamura et al. 1996). Hal ini didukung
oleh beberapa penelitian pada manusia (Day et al 1989;. Di Lazzaro et al 1999a,
1999b;.. Nakamura et al 1996) (Amassian et al 1990) dan monyet yang menunjukkan
bahwa perbedaan dalam latency antara respon elektromiografi (EMG ) atau tembakan
kortikospinalis/ corticospinalis volley yang ditimbulkan oleh stimulasi listrik dan
magnetik adalah dikarenakan waktu transmisi sinaptik di sirkuit kortikal. Hal tersebut
dikenal sebagai D and I wave hypothesis. Gelombang D adalah serangan pertama dari
multiple descending volley di sumsum tulang belakang yang ditimbulkan oleh
stimulasi transkranial. Istilah ini berasal dari asumsi bahwa hal itu ditimbulkan oleh
eksitasi langsung dari traktus neuron piramidal. Gelombang I adalah tembakan
berikutnya yang muncul yang akan dihasilkan oleh eksitasi langsung dari neuron
traktus piramida melalui interneuron kortikal. Aktivasi Transynaptic sel piramid
tampaknya benar asalkan intensitas stimulasi rendah, dan arus induksi adalah di arah
anterior dan tegak lurus dengan sulkus sentral (Brasil-Neto et al 1992;. Kaneko et al
1996a, 1996b;. Mills et al 1992;. Sakai et al 1997;... Werhahn et al 1994).
Resolusi spasial TMS diperkirakan menjadi sekitar 0,5-1,0 cm dalam hand area
dari korteks motor. Kombinasi studi neuroimaging telah menunjukkan area yang tepat
untuk menginduksi gerakan jari menggunakan TMS dan daerah diaktifkan karena
gerakan jari (Boroojerdi et al 1999;. Terao et al 1998.). Stimulasi langsung
diperkirakan mencapai sekitar 1- 2 cm untuk mencapai depolarisasi neuron, maka
memungkinkan hanya permukaan korteks yang dapat dirangsang (Barker 1999). Hal
ini tampaknya penting dalam studi gangguan neuropsikiatri, di mana peran penting
daerah subkortikal. Efek Transynaptic dari TMS dapat ke daerah-daerah terpencil
otak, namun, baru-baru ini telah ditunjukkan dengan teknik neuroimaging simultan

(lihat "Future directions" di bawah). Resolusi temporal yang sangat baik (durasi pulsa
magnetik adalah sekitar 0,3-1,0 ms) dan aplikasi yang unik membuat TMS sebagai
komplementer dan mampu bersaing dengan teknik neuroimaging lainnya.
Pengukuran dari Eksitabilitas Kortikospinal dan Kortikokortikal
Ada banyak teknik TMS yang telah digunakan untuk mengukur rangsangan
corticospinal dan corticocortical. Pengukuran ini dapat dipengaruhi oleh sejumlah
besar faktor metodologis (Pascual-Leone et al 1998;. Rossini dan Rossi 1998).
Karakteristik individu dan kondisi fisiologis memiliki efek besar pada tindakantindakan tersebut (Maeda et al 2000a, 2000b;.. Mills et al 1992). Misalnya, usia
subyek (Matsunaga et al 1998.) Atau kewenangan (McDonnell et al 1991;. Priori et al
1999;. Triggs et al 1999a.), Kelelahan (Brasil-Neto et al 1994;.. Hollge et al 1997 ),
hiperventilasi (Priori et al 1995), gender dan waktu dalam siklus menstruasi (Smith et
al 1999), perhatian (Kiers et al 1993), citra (Fadiga et al 1999; Hallett et al 1994), dan
observasi tindakan (Fadiga et al 1995;. Maeda et al 2002a;. Strafella dan Paus 2000)
semua mempengaruhi rangsangan kortikospinalis dan/ atau corticocortical. Selain itu,
stimulasi sebelumnya untuk elemen saraf lainnya dapat mempengaruhi rangsangan
dari korteks motorik karena koneksi aferen. Misalnya, langkah motor rangsangan
dapat dipengaruhi oleh modulasi stimulus sebelumnya dari cerebellum (Maeda et al
2000F; Ugawa et al 1999), Motor korteks kontralateral (Di Lazzaro et al 1999a,
1999b;. Leipert et al. 1996; Schnitzler et al 1996) atau saraf perifer (Tanggal et al
1991;

Ridding et al, 2000). Demikian pula, langkah-langkah dari pengukuran

rangsangan kortikospinalis dipengaruhi oleh kontraksi otot-otot target atau bahkan


otot yang berdekatan (Hess et al. 1986). Akhirnya, tentu saja sejumlah besar obat
secara nyata dapat mempengaruhi hasil tindakan TMS (untuk tinjauan melihat
Ziemann et al. 1998). Pada dasarnya, TMS memberikan stimulus konstan ke otak
subjek dan ada faktor yang berubah, baik jenis stimulus atau keadaan wilayah otak
yang menerima stimulus, mempengaruhi hasil.
1. Potensi Membangkitkan Motor / Motor Evoked Potential (MEP)
MEP merujuk pada potensi listrik yang direkam dari otot, saraf perifer, atau
sumsum tulang belakang dalam menanggapi rangsangan dari korteks motorik
atau jalur motorik dalam sistem saraf pusat (SSP). Teknik yang paling umum
digunakan saat ini untuk studi TMS melibatkan pemberian rangsangan pada

daerah kulit kepala yang melapisi korteks motor primer dan pencatatan senyawa
potensial aksi otot melalui elektroda permukaan. Stimulasi juga dapat diterapkan
pada tulang belakang leher yang melapisi cervical root yang juga ingin untuk
diaktifkan yaitu pada bersamaan saat merekam bentuk otot ekstremitas bagian
distal. Ukuran dari MEPs [puncak- ke puncak amplitudo (Gambar. 1, 1) atau area
di bawah kurva dari rectified MEP (Gbr. 1, 2)], dan latency (Gambar. 1, 3) dari
pulsasi TMS ke timbulnya MEP adalah yang mencerminkan rangsangan
kortikospinalis.

Gambar. 1a,b Motor evoked potential/Motor-membangkitkan potensi. a.


stimulus magnetik diterapkan pada daerah kulit kepala melewati motor korteks
primer dengan kumparan melingkar dan motor-evoked potensi yang
dikumpulkan dari abduktor polisis brevis (APB) dan tibialis anterior (AT). b
Angka tersebut menggambarkan rectified MEP (MEP perbaikan) dan MEP
nonrectified. Amplitudo (1), daerah di bawah kurva (2), dan latency (3) dari
MEPs yang dapat diukur.
2. Ambang Motorik
Ambang motorik, dengan konvensi, mengacu pada intensitas minimum untuk
membangkitkan respon motorik halus dari beberapa kriteria amplitudo dengan set
probabiliti. Ambang motorik dapat didefinisikan ketika target otot dalam keadaan
istirahat atau dibawah kontraksi volunter yang berkelanjutan. Ketika target otot
dalam keadaan istirahat, ambang motorik secara umum diartikan sebagai

intensitas terendah yang menginduksi 50 V

MEP dari puncak ke puncak

amplitudo otot target pada 50% percobaan memberikan hasil bahwa TMS
diterapkan pada tempat optimal(Rossini et al., 1994). Tempat optimal adalah
pada posisi kulit kepala (scalp) dari kumparan stimulasi yang TMS menginduksi
MEP dari amplitudo maximal pada otot target. Temapt optimal berbeda pada
target otot yang berbeda. Otot target yang biasanya digunakan untuk mengukur
ambang motorik adalah salah satu otot tangan intrinsik (misal: first dorsal
interosseus atau abductor pollicis brevis) yang membutuhkan intensitas terendah
untuk aktivasi (Wassermann et al., 1992). Hal ini membuat indera juga
memberikan konstribusi sirkuit tulang belakang yang relatif kurang untuk
proyeksi motorik kortikal ke otot tangan intrinsik. Salah satu faktor metodelogi
yang perlu diingat dalam menentukan ambang motorik adalah pentingnya interval
intertrail.
Ketika TMS berualang kali diterapkan ke daerah kortikal yang sama, respon
terhadap stimulus yang diberikan dapat dipengaruhi oleh efek dari stimulus
transcranial sebelumnya. (Hal ini menjadikan dasar teknik PP yang akan
dijelaskan dibawah). Oleh karena itu penting untuk memberikan waktu yang
cukup antara stimulus. Selama penentuan ambang motorik umumnya 5-10 menit
interval yang seharusnya digunakan (Chen et al., 1997). Faktor metodelogi lain
yang penting untuk diawasi adalah posisi anggota tubuh. Postur tungkai
menentukan masuknya afferen proprioceptive ke kortex motorik dan karena
postur yang berbeda dapat mengubah excitabilitas kortikal (Landau, 1952;
Wassermann et al., 1998). Oleh karena itu penting untuk menggunakan posisi
ekstremitas yang tetap dan saat melakukan studi determinasi ambang motorik.
Ambang motorik berkaitan dengan orientasi, kepadatan dan kerentanan
kelistrikan dari corticocortical dan oxon thalamocortical

yang terstimulus.

Perubahan pada ambang batas tersebut dapat mencerminkan perubahan di


berbagai tingkat: membran saraf, kelistrikan oxon, struktur atau jumlah proyeksi
rangsangan ke pusat kortex motorik, atau peningkatan regulasi dari reseptor
regional (Ziemann et al., 1998). Ambang motorik dipercaya untuk mewakili
ukuran dari extabilitas membran neuron piramidal dari studi yang menunjukan
perubahan ambang batas motorik yang disebabkan oleh obat antiepilepsi (dosis
tunggal oral) dengan penonjolan aktivitas penghambatan kanal natrium dan
calsium namun dengan terbatas atau tidak ada interaksi neurotransmiter (Ziemann

et al., 1998). Hal ini konsisten dengan model matematika Hodgkin dan Huxley
(1952a, 1952b, 1952c) yang extabilitas membrannya bergantung pada
konduktivitas dari kanal ion. Terdapat studi, yang menggambarkan anestesi
intravena yang mempotensikan GABA (misalnya, natrium barbiturat thiopental
(pentothal) atau benzodiazepine midazolam) juga menurunkan amplitudo MEP
(Burke et al., 1993; Schonle et al., 1989). Hubungan studi intravena ini dan studi
dosis tunggal oral ini masih belum jelas karena pengertian administasi dan
dosisnya berbeda. Perbedaan dari ambang motorik saat istirahat dan kontraksi
dianggap mengindikasikan besarnya kendali voluntar pada jalur kortikomuscular
(Tergau et al., 1999).
Ambang motorik diketahui dengan besarnya variabilitas antar individu. Dua
studi dari University of South Carolina saat ini mengindikasikan bahwa
perhitungan signifikan dari variabilitas ini bergantung pada besarnya jarak dari
serabut TMS ke cortex motorik (Kozel et al., 2000; McConnell et al., 2001).
Seiring berjalannya waktu variabilitas antar individu semakin rendah diaman hal
tersebut sangan berguna pada studi longitudinal (Ziemann et al., 1998).
Kemampuan untuk memproduksi ambang batas motorik telah diuji oleh Mills dan
Nithi (1997). Mereka menemukan bahwa ambang batas motorik terdistribusi
normal dan tidak bergantung pada usia, jenis kelamin dan hemisphere. Estimasi
pengulangan menunjukan bahwa terdapat perubahan ambang motorik lebih dari
10% pada individu yang sama selama 1-3 bulan yang merupakan signifikan pada
5% responden dari studi yang melibatkan 102 tangan pada 55 subjek sehat.
Menentukan ambang batas dengan cara yang disarankan dapat memakan
waktu dan menggunakan EMG. Beberapa berpendapat untuk menggunakan
kedutan sebagai penanda dari efek TMS. Mereka menggunakan perangkat TMS
dengan intensitas output ditandai di 5

kenaikan pada dial analog dan

menemukan bahwa perbedaan proporsi diukur dengan pencatatatan dan


visualisasi EMG hingga 10% dari total output mesin. Mereka menyimpulkan,
bahwa dengan perangkat TMS yang digunakan dan teknik yang ketat, penentuan
ambang batas motorik dengan neurofisiologis dan dengan visualisasi metode
gerakan menghasilkan hasil yang sama. Bila memungkinkan tampaknya usaha
untuk mengukur ambang batas motorik layak dilakukan mengikuti prosedur yang
di rekomendasikan oleh International Federation of Clinical Neurophysiology

dengan menggunakan EMG khususnya saat mempelajari patofisiologi atau untuk


memantau subjek secara berkala (Rossini et al., 1994)
3. Masa laten Motor Evoked Potensial (MEP) dan waktu kondusi motorik
Durasi antara denyut TMS dan onset dari MEP adalah ukuran lain dari
corticospinal excitabilitas (Gambar 1, 3). Sebagai peningkatan intensitas stimuasi,
waktu laten menjadi lebih pendek. Waktu konduksi motorik masih menjadi hal
yang tradisional dalam penggunaan TMS. Hal ini diukur dengan menggabungkan
TMS seperti yang dijelaskan diatas dan stimulus magnetik (electrik) percutaneus
ke akar dorsal cervical atau perekaman gelombang F (F-wave). Transcranial
stimulation measures (TMS) mengukur total waktu konduksi antara cortex
motorik dan otot (gambar. 2a), serta stimulasi spinal (atau masa laten gelombang
F) yang mengukur tulang belakang ke waktu konduksi otot (gambar 2b).
Meskipun

stimulasi

dari

akar

cervical

berada

pada

tingkat

foramen

intervertebralis dan meninggalkan beberapa hal yang tidak tepat, pengukuran dari
dua substraksi mungkin menjadi ukuran yang wajar untuk waktu pusat konduksi
(gambar 2) (Chokroverty et al., 1991; Mills and Murray, 1986).

Gambar 2a, b Waktu tengah konduksi. a. dua ilustrasi diatas menunjukan


peragaan penggunaan dari stimulasi magnetik pada area kulit kepala (scalp)
yaitu cortex motorik primer (1) dan tulang cervical yang menargetkan pada akar
dorsal cervical (2). Motor-evoked potentials (MEPs) dapat direkam dari otot
intrinsik tangan seperti first dorsal interosseous (FDI) atau abductor pollicis
brevis (APB). b. bagian atas menunjukan EMG yang diperoleh dari stimulus
cortical, dan bagian bawah dari stimulasi cervical. Waktu tengan konduksi yaitu
dihitung sebagai perbedaan dari dua masa laten.

4. Periode Diam
Pengukuran yang sudah dijelaskan sebelumnya diketahui menjadi ukuran
efek eksitatorik, periode diam mungkin dapat dimanfaatkan untuk mengukur efek
penghambatan . Hal ini mengacu pada periode diam aktivitas EMG dari
kontraksi otot volunter yang diinduksi oleh stimulus (dalam kasus ini diterapkan
secara transkranial ke korteks motorik). Hal ini terdiri dari dua komponen dimana
komponen pertama diperkirakan dominan spinal dan menjadi spesifik kortikal
(Brasil - Neto et al 1995.;Fuhr et al . 1991; Inghilleri et al . 1993; Ziemann et
al.,1993). Kemungkinan untuk menginduksi periode diam pada saat ketiadaan
MEP, menimbulkan munculnya pemahaman bahwa jalur eksitatorik dan
inhibitorik desendens setidaknya independen atau memiliki ambang batas yang
berbeda (Rossini et al . 1995; Wassermann et al . 1993). Walaupun sudah
dikemukakan bahwa durasi periode kortikal-spinal menggambarkan fungsi dari
mekanisme inhibitorik GABAergik dan dopaminergic kortikal (Hallet, 1995;
Ziemann et al., 1998), secara fisiologis hal tersebut masih belum dimengerti
sepenuhnya.

Gambar 3a, b Curva paired-pulse (PP). a. Electromyograpic (EMG) menjiplak


dikumpulkan ketika stimulasi magnetik sub ambang diterapkan sendiri (AC
stimulus, CS), stimulus supra-ambang diterapkan sendiri (test stimulasi, TS)
atau dua denyut (CS diikuti oleh TS) yang diterapkan dengan interstimulus
interval (ISI) dari 1 ms (khas ISI untuk menentukan inhibisi intracortical, ICI)
atau 10 ms (fasilitasi intracortical, ICF). Ukuran Ukuran semua MEPyang
diperoleh selama stimulasi dipasangkan di berbagai ISIs dinyatakan sebagai
perubahan proporsional ( ) dari ukuran anggota MEP untuk TS sendiri. b.
panduan curva PP dari kanan (1) dan kiri (2) hemispheres (hari ke 1 dan hari
ke 2). Bars standart errors. Tidak ada perbedaan antara hemispheres
kanankanan dan kiri atau antara hari ke 1 dan hari ke 2.

5. Ukuran MEP pada teknik paired-pulse (PP)


Salah satu teknik yang paling terkenal untuk studi excitabilitas intracortical
adalan teknik PP. Teknik PP menyelidiki terutama excitabilitas intracortical. Pada
teknik tersebut dua stimulasi magnetik tersebut disampaikan secara berurutan
pada wilayah kortikal yang sama melalui stimulasi serabut tunggal. Pertama
conditioning stimulasi (CS) dianggap sebagai kondisi dari respon terhadap (test)
stimulasi (TS) kedua. Efek yang diperoleh bergantung pada intensitas CS,
interval antara rangsangan (interstimulus interval, ISI), intensitas TS dan ukuran
MEP yang diinduksi oleh TS. Intensitas dari CS dan TS mempengaruhi dari efek
sikuit yang berbeda sehingga diarahkan oleh intensitas stimulasi yang berbeda.
Interstimulus interval (ISI) mempengaruhi hasil dari waktu konstan setiap sirkuit
yang berbeda. Pada ISI yang sangat pendek (<1 ms), konstanta waktu neural dari
waktu elemen yang distimulasi yang diteliti pada interaksi ISI 1-4 ms antara input
gelombang I ke saraf corticospinal dan pada ISI 1.5-20 ms circuit corticocortical
inhibitor (ICI) dan facilitator (ICF) yang dapat diteliti.
Semua efek muncul untuk memediasi cortical dan ICI (pada ISIs antara 1 dan
4 ms) dan ICF (pada ISIs antara 8 dan 12 ms) tampak sebagaiakibat aktivasi
sirkuit yang terpisah. Penghambatan tampak mencerminkan aktivitas inhibitor
interneuron atau inhibitor connection antara output sel cortical. Fasilitasi
tampaknya sebagian disebabkan oleh interaksi fasilitasi antara I gelombang dan
mengambil tempat di korteks motorik pada atau dari ujung neuron kortikospinal.
Efek dari kelainan dan medikasi yang berbeda pada fase inhibitorik dan
fasilitatorik dari kurva PP menunjukkan bahwa mekanisme GABAergik,
dopaminergic, dan glutamatergik juga terlibat. Medikasi yang meningkatkan
aktivitas GABAergik telah menunjukkan peningkatan derajat dari ICI dan
penurunan ICF yang ditimbulkan oleh stimuli TMS (INghilleri et al., 1996;
Werhahn et al., 1998; Ziemann et al., 1996b, 1996c). Sebaliknya, pada penyakit
Parkinson, defisiensi dopamine berhubungan dengan menurunnya ICI pada waktu
ISI yang pendek (<5 ms; Berardelli et al. 1996; Ridding et al. 1995; Ziemann et
al. 1996a). Selebihnya, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
fase dini dari fasilitasi relatif kurva PP pada ISI dengan perkiraan 3 ms sama

seperti ICF yang berhubungan dengan modulasi eksitatorik glutamatergik


intrakortikal (Detsch and Koech 1997; Liepert et al. 1997; Ziemann et al. 1996d).
Teknik ini akan menjadi sangat terkenal sebagai mekanisme yang mudah
dipahami, variabilitas antar dan intraindividual cukup kecil dan hal tersebut
diperkirakan untuk mempelajari secara khusus sirkuit intracortical (Maeda et al.,
2002b; Ziemann, 1999; Gambar 3b).
Studi Eksitabilitas Kortikal pada Gangguan Psikiatri
Pengamatan klinis dan klasifikasi gejala merupakan aspek yang penting dalam
diagnosis psikiatri. Sejauh ini temuan obyektif akan membangun peningkatkan
pemikiran biologi tentang gangguan kejiwaan; namun, tidak mengherankan bahwa
banyak upaya yang baru telah dibuat untuk menentukan penanda neurofisiologis.
Berpikirlah, tentang bagian yang sangat besar dari hasil yang dilakukan dengan
electroencephalography (EEG) yang sudah di invention memang bertujuan untuk
memahami kondisi kejiwaan. Banyak studi telah meneliti pola neurofisiologis
berbagai gangguan neuropsikiatri sebelum dan setelah perawatan. Misalnya,
Davidson et al. (1999), menggunakan analisis topografi kekuasaan dan pola EEG,
compelling kemajuan dalam neurobiologi emosi serta

patofisiologi depresi.

Penelitian lain telah melihat fluktuasi diurnal (Moffoot et al. 1994),

perubahan

metabolik (Goodwin et al. 1993), aliran darah otak (Bench et al. 1995), uji supresi
deksametason (Arana et al. 1985), dan hubungan antara potensi dengan pendengaran
P3 (Blackwood et al. 1987) dan telah menemukan perubahan atau "normalisasi" pada
pemulihan dari penyakit episode. Sejauh ini tidak ada penelitian yang menjadi ukuran
praktis untuk mendukung penilaian atau dapat mengikuti perjalanan klinis pasien
dengan gangguan kejiwaan karena sensitivitas atau spesifisitas yang rendah.
Sepanjang ini penelitian untuk menentukan penanda neurofisiologis untuk
mendukung penilaian gangguan jiwa atau untuk menemukan korelasi dengan hasil
pengobatan, telah dilakukan di beberapa kelompok penelitian, meskipun tidak banyak,
telah

dilakukan

seperti

pemeriksaan

rangsangan

motorik

pada

gangguan

neuropsikiatri menggunakan TMS.


1. Skizofrenia
Defisit motor adalah gambaran yang dikenal pada pasien dengan skizofrenia
dengan

atau

tanpa

pengobatan.

Gambaran

tersebut

termasuk

seperti

penghambatan saccadic (misalnya, Curtis et al, 2001;. Funahashi et al 1990;.

Maruff et al. 1998; McDowell dan Clementz 2001; Ross et al. 1998), gerakan
involunter abnormal (mis, Ismail et al. 1998; Manschreck et al. 1990), kelainan
grip kekuatan dan ketangkasan jari (misalnya, Lohr dan Caligiuri 1995), kelainan
ketegangan otot grip dengan induksi (misalnya, Rosen et al. 1991), inkoordinasi
umum dan kecanggungan (misalnya, Chen et al. 2000), dan gangguan aktivitas
psikomotor (misalnya, Walker 1994).

Salah satu penelitian pertama rangsangan motor di skizofrenia dilakukan


oleh Puri et al. (1996). Mereka mengambil penelitian dari sembilan pasien
skizofrenia bebas narkoba (tujuh orang obat-naive) dengan kontrol usia yang
sama dan ambang motor yang sama, latency dari MEP, dan latency di bawah
kontraksi otot tangan dominan mereka. Meskipun tidak signifikan perbedaan di
ambang motor atau latency dari penekanan, pasien memiliki rata-rata secara
signifikan lebih pendek pada latency dari anggota parlemen dibandingkan kontrol
(Gambar. 4b, 1). Temuan ini dianggap relatif karena bisa disebabkan kurangnya
reaksi motor dalam penghambatan kortikospinalis, perubahan situs aktivasi TMS,
atau kelainan fungsi saraf perifer. Penelitian ini diikuti oleh kelompok yang sama
untuk mempelajari respon EMG dengan pengaruh obat antipsikotik di TMS

(Davey et al. 1997). Mereka membandingkan kelompok pasien neuroleptik bebas


skizofrenia dengan sekelompok pasien skizofrenia pada rejimen antipsikotik
stabil. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian gejala dan durasi
penyakit. Tidak ada perbedaan yang signifikan di ambang motor, latency dari
anggota parlemen, atau total durasi periode diam. Pasien yang pernah menjalani
pengobatan, diperlihatkan penekanan EMG yang signifikan lebih lemah di bagian
awal dari periode diam dan karenanya latency lebih lama untuk mencapai
maksimum dari periode diam (Gambar. 4b, 2 dan 3). Para penulis menyarankan
bahwa ini merupakan temuan yang mungkin dihasilkan dari obat yang
mengganggu sistem dopaminergik dalam ganglia basal, yang menghidupkan
proyek ke sirkuit penghambatan dalam korteks motor. Jumlah kelainan belum
diteliti yang berhubungan dengan disfungsi motorik atau gejala lainnya.
Sebaliknya, penelitian yang lebih baru oleh Boroojerdi et al. (1999) tidak
menemukan perbedaan latency seperti di skizofrenia pasien (pada obat)
dibandingkan dengan usia dan gender kontrol yang sehat. Temuan negatif ini
menunjukkan pentingnya diferensiasi antara mekanisme patologis dan fisiologis
dari gangguan dan tindakan obat (Davey dan Puri 2000). Boroojerdi et al. (1999)
menemukan,

bagaimanapun,

waktu

transcallosal

konduksi

dan

durasi

penghambatan secara signifikan lebih lama terjadi di kelompok pasien.


Studi lain yang meneliti ambang motor, MEP amplitudo, dan konduksi
motorik sentral waktu dari kedua belahan pada sepuluh pasien dengan depresi
berat, sepuluh dengan skizofrenia kronis, dan sepuluh kontrol (Abarbanel et al.
1996). Semua pasien berada di dalam pengaruh obat psikotropika. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam waktu konduksi motorik sentral atau berbeda
interhemisphericence di salah satu langkah di seluruh kelompok. Namun, penulis
menemukan peningkatan yang signifikan dalam MEP amplitudo dan penurunan
ambang motor pada pasien dengan skizofrenia dibandingkan dengan pasien
dengan depresi atau kontrol. Mereka mengkaitkan ini dengan "peningkatan
excitability otak" untuk kemungkinan defisiensi GABA di skizofrenia.
Sayangnya, efek pembaur yang mungkin dari obat dapat menjelaskan temuan
tanpa melihat penyakit yang mendasarinya. Dalam studi pasien skizofrenia baru
pada obat neuroleptik dibandingkan dengan off obat (setidaknya 4 bulan) dan
kontrol (Pascual-Leone et al. 2002), pasien skizofrenia (didiagnosis dengan
Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi 4), tujuh unmedicated

dan tujuh pada neuroleptics konvensional, dibandingkan tujuh pasien dengan usia
dan gender sebagai kontrol normal. Teknik diukur dengan TMS. Pasien dengan
obat menunjukkan ambang motor lebih tinggi di kedua belahan otak dari pasien
dan subjek kontrol tanpa pengobatan. Kedua kelompok pasien menunjukkan pola
terbalik dari interhemispheric karena perbedaan ambang motor. Sementara
kontrol normal memiliki ambang batas yang lebih tinggi untuk otak kanan
daripada otak kiri, dan sebaliknya untuk kelompok pasien. Pasien dengan obat
juga menunjukkan secara signifikan ICI relatif menurun pada pasien tanpa
pengobatan dan subjek kontrol (Gambar. 5a). Perbedaan ini lebih jelas untuk pada
otak kanan dari otak kiri. Oleh karena itu, pasien tanpa pengobatan dan pasien
yang tampak normal pada langkah-langkah ini, pengobatan dengan neuroleptik
konvensional dikaitkan dengan peningkatan threshold bermotor dan penurunan
ICI. Penyakit skizofrenia juga dapat dikaitkan dengan pola terbalik dari threshold
motor interhemispheric.

Dalam tindak lanjut studi Freund et al. (1999) penelitian rangsangan kortikal
dari

enam

pasien

nonschizophrenic

dengan

dystonia

dyskinesia

dan

membandingkannya dengan kontrol yang sehat dan dengan tiga kelompok pasien
skizofrenia tanpa gejala motor yang berbeda dalam eksposure mereka ke obat

neuroleptik. Semua kelompok untuk usia dan jenis kelamin yang sama. Pasien
dengan dystonia dyskinesia menunjukkan
ICI signifikan lebih rendah dari kontrol dan medication-pasien naive
(Gambar. 5b). Bagaimanapun, tidak ada perbedaan signifikan di ICI atau ICF
antara pasien nonschizophrenic dystonia dyskinesia dan pasien skizofrenia yang
secara resmi diobati dengan neuroleptik meskipun bermotor absen gejala.
Temuan ini menunjukkan bahwa predisposisi beberapa pasien yang rentan
diperlukan untuk manifestasi dari dystonia dyskinesia di pasien yang diobati
dengan neuroleptik konvensional.
Kubota et al. (1999) mempelajari terkait gerakan potensi serebral (MRCPs)
dan konduksi motorik di 27 pasien skizofrenia pada obat dan 27 sehat kontrol.
Mereka menemukan perbedaan yang signifikan dalam jumlah kejadian tersebut
dari MRCPs antara dua kelompok tanpa perbedaan signifikan dalam waktu
konduksi motorik, baik cabang atau pusat. Meskipun bagian otak yang tepat dari
generasi MRCP tidak diketahui, secara umum diterima di suatu tempat di lobus
frontal (Shibasaki et al. 1980). Temuan ini membuat mereka menyimpulkan
bahwa kelainan motorik pada pasien skizofrenia tidak berasal dari saluran motor
kortikospinalis tapi di motor yang mengintegrasikan sistem di lobus frontal.
Secara bersama-sama, temuan ini tampaknya memberikan beberapa bukti
defisiensi GABA atau dopamin yang berfungsi abnormal di daerah subkortikal
yang memproyeksikan ke motor sistem dalam skizofrenia. Studi pada pasien
dalam pengobatan menyarankan pengaruh utama gangguan sistem dopaminergic.
Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa semua studi di atas tidak memberikan efek
mengganggu pengobatan pada penderita.
2. Depresi
Gejala dibagi antara sindrom kelelahan kronis dan depresi, seperti gangguan
kongnitif, depresi, dan kecemasan. Samii et al. (1996) mempelajari fasilitasi
postexercise MEP dan dukungan pression pada 12 pasien dengan sindrom
kelelahan kronis, 10 unipolar atau depresi bipolar, dan 18 kontrol yang sehat.
Semua pasien dalam pengobatan gratis. Mereka menemukan bahwa fasilitasi
postexercise secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan sindrom
kelelahan kronis dan depresi dibandingkan kontrol. Karakteristik mengurangi
fasilitasi postexercise berbeda, namun pasien dengan sindrom kelelahan kronis
memiliki kekurangan utama dalam fasilitasi sedangkan pola dalam pasien depresi

lebih mirip dengan kontrol tapi memburuk lebih cepat dari kontrol. Hal ini
mungkin

menjelaskan

beberapa

gejala

depresi

seperti

kelelahan

dan

keterbelakangan motor. Namun, pada penelitian lain melaporkan temuan agak


bertentangan. Pada 16 pasien dengan utama gangguan depresi (unipolar dan
bipolar), kebanyakan dari mereka pada pasien dengan pengobatan, Steele et al.
(2000) menemukan durasi yang lebih lama dari periode diam dibandingkan
kontrol normal. Temuan ini tidak mendukung gagasan seorang peneliti yang
menyatakan defisit dopamine pada pasien depresi dengan klinis penghambatan
studi masa depan, perlu pendekatan yang berbeda untuk mengatasi masalah ini
lebih lanjut.

Sebuah studi kemudian dilakukan dalam fasilitasi postexercise dan


penekanan dalam sepuluh pasien dengan gangguan depresi mayor (Unipolar dan
bipolar) pada berbagai pengobatan dan dalam sepuluh kontrol sehat (Shajahan et
al. 1999a). Fasilitator awal diamati pada kedua kelompok. Bagaimanapun
fasilitasi ini kembali ke tingkat dasar tanggapan MEP secara signifikan yang lebih
cepat daripada kelompok kontrol. Mereka menindaklanjuti studi mereka dengan
memeriksa pasien yang sembuh dari depresi (Shajahan et al. 1999b). Mereka

membandingkan sepuluh pasien depresi, sepuluh pasien (lima di antaranya


termasuk orang-orang dalam kelompok depresi) yang sudah sembuh dengan obat
dalam 6 bulan sebelumnya dan sepuluh kontrol sehat. Semua pasien dalam
pengobatan saat tertekan pasien menunjukkan penurunan fasilitasi postexercise
dibandingkan dengan dua kelompok lain, sedangkan pulih pasien dan kontrol
memiliki perbedaan yang signifikan dalam fasilitasi (Gbr. 6). Mereka tidak
menemukan perbedaan yang signifikan kinerja psikomotor antara depresi
kelompok sakit dan kelompok pulih. Para penulis berpendapat bahwa pengukuran
ini lebih sensitif dibandingkan langkah klinis.

Dalam beberapa tahun terakhir telah terakumulasi bukti bahwa RTM


memiliki efek antidepresan atas dan di luar kontribusi plasebo (George et al.
1999; Lisanby dan Sackeim 2000). Meskipun tidak diketahui utilitas klinis,
"buta" studi menunjukkan bahwa frekuensi rendah (sama dengan atau kurang dari
1 Hz) RTM ke korteks prefrontal dorsolateral kanan (Klein et al. 1999) atau
frekuensi tinggi RTM (lebih besar dari 1 Hz) ke korteks prefrontal dorsolateral
kiri (Berman et Al. 2000; George et al. 1997, 2000; Grunhaus et al. 2000;
Pascual-Leone et al. 1996) menggunakan efek antidepresan. Frekuensi rendah
dan frekuensi tinggi RTM diduga menekan dan merangsang korteks, masingmasing (Pascual-Leone et al. 1998; Wassermann et al. 1998), meskipun studi
terbaru menunjukkan bahwa "frekuensi tergantung efek aturan" tidak dapat

dengan mudah disamaratakan, dan tinggi variabilitas dapat ditemukan dengan


pengukuran ukuran MEP (Maeda et al. 2000e). Dengan RTM uji klinis, selain
intervensi lain, ada kenaikan bukti pembalikan atau perubahan dalam aktivitas
otak setelah sukses pengobatan depresi. Beberapa telah meneliti otak
metabolisme glukosa dan menemukan bahwa ada korelasi negatif respon
antidepresan setelah frekuensi rendah (1 Hz) dibandingkan dengan frekuensi
tinggi (20 Hz) RTM ke meninggalkan daerah prefrontal (Kimbrell et al. 1999).
Selain itu, mereka menemukan bahwa respon yang lebih baik untuk 20 RTM Hz
adalah terkait dengan tingkat hypometabolism dasar, sedangkan respon
antidepresan untuk 1 RTM Hz cenderung dikaitkan dengan hipermetabolisme
dasar. Mereka menyimpulkan bahwa respon antidepresan dapat bervariasi sebagai
fungsi dari frekuensi stimulasi dan mungkin tergantung pada metabolisme otak
pretreatment. Studi lain mencontohkan aliran darah otak terbayang sebelum dan
setelah pengobatan RTM (Teneback et al. 1999). Mereka menemukan korelasi
negatif antara tingkat keparahan depresi dan aliran darah dalam bilateral lobus
temporal medial, korteks prefrontal kiri, dan berekor. Responden menunjukkan
peningkatan frontal rendah pada aktivitas lobus, dan ini menjadi lebih signifikan
setelah pengobatan. Ada juga bukti pembalikan uji penekanan dexamethasone
dengan antidepresan sukses pengobatan RTM (Pridmore 1999; Reid dan
Pridmore 1999). Pada subjek normal Schutter et al. (2001) baru-baru ini
melaporkan peningkatan yang signifikan dalam EEG kontralateral aktivitas theta
setelah RTM frekuensi rendah ke kanan korteks prefrontal dan pengurangan
kecemasan. Menggunakan TMS sebagai alat neurofisiologis motor, Triggs et al.
(1999b) mempelajari sepuluh pasien depresi dengan frekuensi tinggi (20 Hz)
pengobatan RTM ke kiri daerah prefrontal selama 2 minggu dan menemukan itu
harus dikaitkan dengan penurunan ambang motor belahan ipsilateral (yaitu,
peningkatan rangsangan kortikal). Disana penurunan yang signifikan terjadi
setelah sesi RTM dikupas sebelum sesi dan pada minggu kedua pengobatan RTM
dibandingkan dengan yang pertama. Para penulis, tidak melaporkan korelasi
kemungkinan ini behubungan dengan perubahan ambang motor untuk keparahan
mereka dari depresi. Triggs et al. (1999b) telah menyarankan, berdasarkan hasil
tersebut, RTM akan mengaktivasi otak daerah prefrontal di daerah terpencil dari
stimulasi, konsistensi data pencitraan fungsional (Peschina et al. 2001; Teneback
et al. 1999), analisis EEG spektral (Tormos et al. 1998), dan motor rangsangan

(Rollnik et al. 2000). Bagaimanapun, penelitian harus ditafsirkan dengan hati-hati


karena itu penelitian terbuka, maka

kemungkinan bahwa terjadinya bias

pengamat bisa mempengaruhi hasil. Dalam uji coba klinis RTM di pasien
pengobatan bebas dengan pengobatan utama anti gangguan depresi kita
menerapkan frekuensi tinggi (10 Hz) RTM ke daerah prefrontal dorsolateral kiri
selama 2 minggu tapi gagal menemukan penurunan yang signifikan pada motor
threshold (Ng et al., data tidak dipublikasikan). Dalam sebuah studi yang berbeda
di mana pasien bebas pengobatan dengan gangguan depresi mayor pengobatan
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, rangsangan kortikal ditemukan
asimetris (Maeda et al. 2000c). Kami menggunakan teknik PP dan menemukan
bahwa motor utama kiri korteks menunjukkan excitability-intracortical signifikan
lebih rendah di 6 ms interstimulus selang, yang diduga dipengaruhi oleh
penghambatan interneuronal dan fasilitasi sirkuit (Gambar. 7a). Tidak ada
asimetri yang signifikan dalam kontrol sehat. Kami melakukan penelitian lain dan
contoh rangsangan intracortical terbayang sebelum dan sesudah tinggi frekuensi
(10 Hz) RTM ke daerah prefrontal dorsolateral kiri (Maeda et al. 2000D). Pasien
dengan kemampuan (yaitu, semakin rendah kiri dan kanan lebih tinggi relatif
terhadap korteks motorik kontralateral mereka) dikaitkan dengan hasil
pengobatan. Selain itu, kami menemukan "normalisasi "(yaitu, kurva PP mereka
tidak lagi signifikan yang berbeda) di penanggap sedangkan nonresponders
memiliki lebih besar "asimetri" dari sebelumnya pretreatment (Gambar. 7b).
Dalam semua studi ini pada pasien depresi, TMS administrator dengan keparahan
pasien dari depresi, hanya ada satu administrator TMS yang diberikan teknik ini,
dan data dianalisis menggunakan sistem otomatis. Oleh karena itu tidak mungkin
bahwa TMS administrator yang bias, atau bahwa temuan itu karena variabilitas
antar individu dalam administrasi TMS. Selain itu, hasil ini sebanding dengan
sebuah studi normal di mana kurva PP dari belahan kiri dan kanan, dan dua hari
terpisah, berbeda tidak signifikan (Maeda et al. 2002b). ICI, tetapi bukan ICF,
menunjukkan korelasi yang baik di dalam individu. Secara bersama-sama, studi
ini menunjukkan bahwa RTM ke daerah prefrontal mengubah aktivitas otak jauh
dari lokasi stimulasi. Selain itu, studi ini konsisten dengan literatur tentang
hypoactivitas belahan otak kiri pada pasien depresi dan 'normalisasi' dengan
pengobatan antidepresan sukses, dan teori-teori regarding lateralisasi belahan
otak dalam regulasi suasana hati (Davidson 1998; Wheeler et al 1993.). Berkaitan

dengan bukti kelainan motorik pada depresi, keterbelakangan psikomotor telah


lama dikenal sebagai gambaran kardinal, dan komponen keterbelakangan motor
psikomotor telah dilaporkan paling prediktif dengan hasil terapi (Sobin dan
Sackeim 1997) dan menjadi berkorelasi dengan tingkat keparahan depresi (Austin
et al. 1992). Efek lateralitas belum diperiksa sebagian karena keterbatasan skala
penilaian yang tersedia (CORE: Hadzi-Pavlovis et al. 1993; MARS: Sobin dan
Sackeim 1997). Tingginya tingkat depresi pada penyakit motor seperti penyakit
Parkinson, supranuclear palsy, Huntington, sindrom Meige dan Wilson
memberikan bukti lebih lanjut yang menghubungkan disfungsi umum fungsi
motor dan suasana hati. Oleh karena itu mungkin tidak terlalu mengejutkan
menemukan pola rangsangan motor normal yang diukur dengan TMS.
3. Gangguan Tourette
Gangguan Tourette ditandai dengan fluktuasi motorik dan tics vokal. Saat ini,
mengurangi kontrol motor impuls terutama disebabkan oleh peningkatkan
transmisi dopaminergik pada tingkat striatum, menyebabkan kekurangan kontrol
penghambatan

melalui

lingkaran

korteks-striatal-pallidal-thalamic-kortikal

sensorimotor. Ziemann et al. (1997) meneliti 20 pasien dengan gangguan Tourette


dan 21 kontrol yang sehat dengan TMS untuk menyelidiki kemungkinan
mekanisme kekurangan kontrol impuls motor pada gangguan Tourette. Mereka
mengukur ambang motor, kortikal periode diam, dan ICI dan fasilitasi. Mereka
menemukan pemendekan periode diam (Gambar. 8a) dan pengurangan di ICI
(Gambar. 8b). Temuan ini yang menonjol terutama ketika tics hadir dalam otot
sasaran EMG atau di pasien tanpa pengobatan neuroleptik. Temuan ini konsisten
dengan hipotesis mereka bahwa tics di gangguan Tourette ini berasal dari
gangguan terutama subcorvertikal yang mempengaruhi korteks motor melalui
penghambatan sinyal aferen atau dari gangguan inhibisi langsung pada tingkat
korteks motorik atau keduanya.

4. Obsessive Compulsive Disorder (OCD)


Greenberg et al. (2000) meneliti 16 pasien OCD beberapa sedang dalam
terapi dan 11 dicocokkan sebagai kontrol sehat. Mereka diukur ambang motor
saat beristirahat, dan ambang motor saat aktif., durasi periode diam kortikal, serta
ICI dan fasilitasi. Serupa dengan penemuan gangguan dan fokal distonia milik
Tourette, penelitian ini menemukan penurunan yang signifikan ICI relatif
terhadap kontrol (Fig. 8d). Selain itu, penurunan ambang motor saat istirahat dan
ambang motor saat aktif diamati (Fig. 8c), yang semuanya menunjukkan
peningkatan rangsangan kortikal yang abnormal. Pasien dengan tik komorbid
memiliki keabnormalan yang lebih besar. Penelitian ini menunjukkan bahwa
gejala yang mirip dan sering tumpang tindih dan OCD herediter serta sindrom
Tourette mungkin menandakan patofisiologi umum pada sirkuit yang melibatkan
korteks frontal, striatum, globus pallidus, dan thalamus. Penulis dengan hati-hati
menyatakan bahwa defisit yang mereka temukan mungkin predisposisi terhadap

penyakit, tetapi peristiwa patofisiologi berikutnya diperlukan untuk munculnya


gejala.
5. Gangguan Hiperaktivitas Penurunan Perhatian
Gangguan kejiwaan lain yang baru-baru saja dipelajari menggunakan TMS
dan neurofisiologi motor adalah ADHD (Ucles et al.2000). Ucles et al. (2000)
meneliti 27 anak dan remaja berusia 4-18 tahun dengan ADHD. Nilai rata-rata
untuk waktu konduksi sentral pada subyek secara signifikan lebih tinggi daripada
kelompok kontrol normal, kasus dicocokkan untuk IQ, umur, dan jenis kelamin.
Selain itu, mereka menemukan keasimetrisan hemisfer secara signifikan untuk
waktu konduksi sentral. Para penulis menunjukkan bahwa temuan ini terkait
dengan keterlambatan pematangan sistem kortikomotoneuronal.
6. Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan kokain secara kronik dikenal karena pengaruhnya terhadap
sejumlah

neurotransmitter

yang

terlibat

dalam

keseimbangan

rangsangan/pnghambatan pada korteks serebral. Sebuah studi pendahuluan


mengukur ambang motor bilateral dilakukan oleh Boutros et al. (2001) pada
sepuluh subyek dengan ketergantungan kokain yang berpuasa menggunakan
kokain selama 3 minggu, dan kontrol normal. Mereka menemukan bahwa
keduanya baik ambang motor istirahat kanan dan kiri secara signifikan lebih
tinggi pada subyek dengan ketergangungan kokain daripada pada subyek kontrol.
Mereka menunjukkan , atrofi otak yang berhubungan dengan penggunaan kokain
tidak diperhitungkan dalam hasil. Namun demikian, data mereka menunjukkan
bahwa penggunaan kokain kronis secara signifikan mengubah rangsangan
kortikal ke arah peningkatan penghambatan atau penurunan rangsangan. Para
penulis berhipotesis bahwa pengamatan ini menunjukkan adaptasi efek dari
intoksikasi kokain yang memicu rangsangan kortikal dan kejang.
7. Studi Rangsangan Kortikal di Negara Lain yang Relevan
Salah satu isu yang telah ditunjukkan oleh Smith et al. (1999) adalah
perubahan rangsangan kortikal selama siklus menstruasi. Mereka menggunakan
teknik PP untuk mengukur rangsangan kortikal dari 13 wanita sehat selama fase
folikular (progesteron rendah) dan fase luteal (progesteron tinggi) pada siklus
menstruasi. Mereka menemukan peningkatan yang signifikan dalam ICI pada
fase luteal daripada fase folikular, serupa dengan efek obat benzodiazepine (BZP)
yang dilaporkan. Tidak ada perubahan signifikan dalam ICF atau ambang batas
motor. Ini telah ditunjukkan dalam studi pada hewan bahwa metabolisme

progesteron meningkatkan aktivitas GABA, menghasilkan efek fisiologi


menyerupai BZP dan mengurangi rangsangan saraf. Estradiol memiliki efek
rangsang yang diukur dari rangsangan saraf, mungkin melalui sistem glutamat.
Ini sulit untuk ditunjukkan pada manusia menggunakan teknik konvensional.
Penelitian sebelumnya mengenai rangsangan kortikal belum mempertimbangkan
kemungkinan pengacau seperti perbedaan jenis kelamin dan fase siklus
menstruasi. beberapa penelitian memiliki subyek wanita lenih banyak (Kubota et
al. 1999: 12 pasien pria/15 pasien wanita, 16 pria normal/15 wanita normal;
Shajahan et al. 1999a, 1999b: 2 pasien pria/8 pasien wanita dengan depresi, 1
pasien pria/9 pasien wanita dalam oemulihan, 3 paria normal/7 wanita normal;
Steele et al. 2000: 4 pasien pria/12 pasien wanita, 6 pria normal/13 wanita
normal) atau rasio pria-wanita yang tidak diketahui (Samii et al. 1996). Meskipun
efek dari siklus menstruasi pada rangsangan motor selain PP dan ambang motor
tidak diketahui, penelitian dengan proporsi wanita yang lebih besar mungkin
rentan mengacaukan.
Penelitian ini tidak hanya menyajikan kemungkinan pengacau pada
penggunaan TMS di populasi wanita menstruasi tetapi juga dapat memberikan
informasi menarik mengenai hubungan antara siklus menstruasi, rangsangan
kortikal, dan gangguan neuropsikiatri serta pasien yang terpengaruh dengan status
hormonal mereka.
Petunjuk
Kami telah meninjau literatur sebelumnya mengenai penelitian rangsangan motor
menggunakan TMS pada gangguan neuropsikiatri. Penelitian ini baru saja dimulai,
dan temuannya masih merupakan temuan awal. Seperti pada penelitian neurofisiologi
tradisional, keterbatasan dalam interpretasi data ini muncul dari ukuran sampel yang
kecil, populasi pasien yang tidak konsisten (diagnosis, pengobatan), perbedaan
metodologi antara kelompok, dan kemungkinan kurangnya sensitivitas dan
spesifisitas. Penelitian yang dilakukan pada pengukuran rangsangan kortikal
menggunakan TMS didominasi menggunakan EMG (oleh karena sistem motor)
sebagai pengukur hasil. Ini merupakan konsekuensi logis dari sejarah TMS dan
kemudahan induksi MEP menggunakan TMS. Untuk tujuan penerapan TMS pada
penelitian mengenai patofisiologi dari gangguan neuropsikiatri, bagaimanapun, sistem
motor bukan proyeksi kortikal utama. Memang, evaluasi rangsangan kortikal pada

prefrontal korteks dan hubungan multimodal korteks akan lebih diinginkan. Bahkan
saat ini, mengukur efek motor, penelitian yang meninjau potensi TMS untuk menjadi
alat yang berharga tidak hanya sebagai alat terapi pada neuropsikiatri tetapi juga
dalam studi patofisiologi yang mendasari (terutama untuk gangguan dengan disfungsi
motor yang diketahui).
Namun demikian, TMS dapat dikaitkan dengan pengukuran lain dari aktivitas
otak dan penelitian tersebut menjanjikan untuk memperluas penerapan TMS dalam
penelitian

patofisiologi

dan

gangguan

neuropsikiatri.

Aplikasi

baru

ini

menggabungkan TMS dan teknik neuroimaging lain sudah menjadi populer di bidang
kognitif neuroscience untuk menyelidiki hubungan otak-perilaku. Satu dapat
menyelidiki hubungan antara aktivitas kortikal fokal dan perilaku, untuk meneliti
waktu dimana aktivitas pada daerah kortikal tertentu yang memberikan kontribusi
untuk memberikan tugas dan memetakan fungsi hubungan antara daerah-daerah otak
(untuk review lihat Pascual-Leone et al. 2000; Walsh da Rushworth 1999).
Sebagai contoh, TMS dapat dikombinasikan dengan EEG untuk menyelidiki
hubungan kortikokortikal (Ilmoniemi et al. 1997). TMS dalam kombinasi dengan
poyensu yang dimunculkan atau steady-state EEG dapat digunakan untuk mengukur
rangsangan dari daerah kortikal nonmotor (bayangkan, misalnya, mengukur modulasi
P300 dalam respon TMS ke daerah prefrontal korteks; Kahkonen et al. 2001;
Ilmoniemi et al. 1997; Izumi et al. 1997; Nikouline et al. 1999; Schurmann et al.
2001; Tiitinen et al. 1999; Virtanen et al. 1999). TMS dalam kombinasi dengan
tomografi

emisi positron dapat menyoroti hubungan fungsional korteks dengan

subkorteks dan daerah korteks lain tetapi juga dapat memberikan informasi tentang
rangsangan daerah korteks yang ditargetkan (Fox et al. 370 1997; Mottaghy et al.
2000; Paus dan Wolforth 1998; Paus et al. 1997, 1998; Siebner et al. 1998, 1999,
2001; Strafella and Paus 2001). Penggunaan ligan spesifik, seperti, reseptor GABA
atau dopaminergik, dapat digunakan untuk mengukur tindakan neurokimia in vivo
dalam merespon TMS dari bagian otak tertentu (Strafella et al. 2001). Tomografi
penghitungan emisi foton tunggal dapat digunakan untuk menyelidiki 99mTchexamethylpropyleneamine oxime secara bersamaan selama rTMS. Penelitian telah
menunjukkan modulasi lokal dan berbeda dari aliran darah bagian otak (Catafu et al.
2001; Peschina et al. 2001; Teneback et al. 1999; Zheng 2000). Kombinasi rTMS
dengan sonografi Doppler transkranial dapat menunjukkan modulasi hemodinamik
serebral dalam daerah stimulasi serta bagian terpencil dengan mengukur rata-rata

kecepatan aliran darah otak, indeks pulsasi, dan konsumsi oksigen (Pecuch et al.
2000; Sander et al. 1995, 1996). Perubahan ini dapat dideteksi bahkan dengan tidak
adanya perubahan perilaku (Sander et al. 1995, 1996).
Akhirnya, solusi dari permasalahan metodologi substansial (Bohning et al. 1998),
kombinasi dari TMS dan MRI fungsiobal dapat digunakan untuk mempelajari respon
langsung dan transinaptik otak untuk TMS oada target otak tertentu (Bohning et al.
1998, 1999, 2000a, 2000b; George 1999).
Semua teknik ini menggabungkan TMS dengan pengukuran rangsangan motor
neurofisiologis simultan bersama-sama dengan metode pencitraan otak (termasuk
kombinasi masa depan alat seperti pencitraan optik otak, sprektoskopi magnetik
resonansi, dan ensefalogram-magnetik) tidak hanya memungkinkan pemodelan yang
koheren dari fungsi otak manusia yang lebih tinggi, tetapi dapat sangat memperluas
potensi penggunaan TMS dengan tujuan diagnostik pada neuropsikiatri.

You might also like