Professional Documents
Culture Documents
mempelajari neurofisiologi motor pada subyek sehat dan mereka dengan gangguan
neurologis. Tujuan: Memberikan pengetahuan mengenai disfungsi motorik pada
berbagai gangguan kejiwaan yang disertai dengan penggunaan supplementasi dari
TMS, untuk mempelajari patofisiologi yang mendasari gangguan kejiwaan tertentu,
dan untuk menilai hasil pengobatan yang sedang berlangsung. Studi tersebut meliputi
pemeriksaan membran neuron motorik, kortikospinalis dan rangsangan intracortical.
Tujuan kami adalah untuk meninjau kembali temuan di masa yang lalu. Metode:
Kami meninjau literatur masa lalu mengenai TMS yang digunakan sebagai alat
penilaian dalam gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, gangguan mood, sindrom
Tourette, gangguan obsesif-kompulsif, attention-deficit hyperactivity disorder, dan
penyalahgunaan zat. Hasil: Sementara temuan masih awal karena sampel-ukuran
kecil, populasi pasien yang tidak konsisten (diagnosis, pengobatan), perbedaan
metodologi antara kelompok-kelompok penelitian, studi terbatas pada wilayah
motorik saja dan kemungkinan kurangnya sensitivitas dan spesifisitas, studi ini dapat
menghasilkan temuan yang menarik mengenai siapa saja yang berpotensi/trait- dan
juga penanda negara mana saja- yang lebih besar berpotensi memiliki gangguan
kejiwaan. Kesimpulan: Penelitian selanjutnya menggunakan TMS sendiri atau dalam
kombinasi dengan teknik neuroimaging lainnya menjanjikan dalam perluasan
penerapan TMS dari studi rangsangan motor untuk ke fungsi kognitif yang lebih
tinggi.
Kata kunci: Transcranial magnetic stimulation Psikiatri penanda-trait penanda
wilayah/negara kortikal rangsangan Neurofisiologi
Pendahuluan
Sejak demonstrasi pertama yaitu pada tahun 1985 oleh Barker dan rekanrekannya (1985a, 1985b) transcranial magnetic stimulation (TMS) telah menjadi
semakin populer, yang relatif mudah dipakai, efek sampingnya sangat sedikit, serta
potensi untuk digunakan pada berbagai hal/aplikasi. Telah digunakan untuk mengukur
rangsangan kortikospinalis, untuk memetakan fungsi motorik dan kognitif,
mempelajari jaringan saraf, dan untuk memodulasi fungsi otak yang bertujuan terapi
yang potensial (George dan Belmaker 2000; Mills 1999;. Pascual-Leone et al 1999,
2000).
Penggunaan yang paling tradisional dari TMS telah mempelajari jalur motorik
sentral pada subyek sehat dan pada pasien dengan gangguan neurologis. Temuan baru
dari kelainan sistem motorik pada gangguan neuropsikiatri dan wawasan yang lebih
luas tentang mekanisme aksi dari berbagai teknik TMS, mengundang eksplorasi
sistematis TMS dalam studi patofisiologi mengenai Gangguan kejiwaan dan juga
penilaian hasil pengobatan. Ulasan ini berfokus pada studi TMS yang relevan dengan
patofisiologi beberapa gangguan seperti skizofrenia, gangguan mood, sindrom
Tourette,
gangguan
obsesif-kompulsif
(OCD),
attention-deficit
hyperactivity
Ketika kumparan dipasangkan pada bagian kepala subjek, dan medan pulsa magnetik
menembus kulit kepala dan tengkorak dan menginduksi sebagian kecil arus paralel
untuk bidang kumparan di konduktor kedua yang berdekatan, di otak. Ketika arus
induksi cukup (beberapa mA / cm2), depolarisasi membran neuronal terjadi, dan
karenanya timbul generasi potensial aksi. Ketika kumparan dipasangkan tangensial ke
kulit kepala, arus induksi mengalir sejajar dengan permukaan permukaan otak,
demikian istimewa mengaktifkan elemen interneuronal yang berorientasi horizontal
ke permukaan otak (Day et al. 1989). Dalam kasus hand area dalam primary motor
cortex,
TMS
diduga
didominasi
dalam
mengaktifkan
sel-sel
piramidal
(lihat "Future directions" di bawah). Resolusi temporal yang sangat baik (durasi pulsa
magnetik adalah sekitar 0,3-1,0 ms) dan aplikasi yang unik membuat TMS sebagai
komplementer dan mampu bersaing dengan teknik neuroimaging lainnya.
Pengukuran dari Eksitabilitas Kortikospinal dan Kortikokortikal
Ada banyak teknik TMS yang telah digunakan untuk mengukur rangsangan
corticospinal dan corticocortical. Pengukuran ini dapat dipengaruhi oleh sejumlah
besar faktor metodologis (Pascual-Leone et al 1998;. Rossini dan Rossi 1998).
Karakteristik individu dan kondisi fisiologis memiliki efek besar pada tindakantindakan tersebut (Maeda et al 2000a, 2000b;.. Mills et al 1992). Misalnya, usia
subyek (Matsunaga et al 1998.) Atau kewenangan (McDonnell et al 1991;. Priori et al
1999;. Triggs et al 1999a.), Kelelahan (Brasil-Neto et al 1994;.. Hollge et al 1997 ),
hiperventilasi (Priori et al 1995), gender dan waktu dalam siklus menstruasi (Smith et
al 1999), perhatian (Kiers et al 1993), citra (Fadiga et al 1999; Hallett et al 1994), dan
observasi tindakan (Fadiga et al 1995;. Maeda et al 2002a;. Strafella dan Paus 2000)
semua mempengaruhi rangsangan kortikospinalis dan/ atau corticocortical. Selain itu,
stimulasi sebelumnya untuk elemen saraf lainnya dapat mempengaruhi rangsangan
dari korteks motorik karena koneksi aferen. Misalnya, langkah motor rangsangan
dapat dipengaruhi oleh modulasi stimulus sebelumnya dari cerebellum (Maeda et al
2000F; Ugawa et al 1999), Motor korteks kontralateral (Di Lazzaro et al 1999a,
1999b;. Leipert et al. 1996; Schnitzler et al 1996) atau saraf perifer (Tanggal et al
1991;
daerah kulit kepala yang melapisi korteks motor primer dan pencatatan senyawa
potensial aksi otot melalui elektroda permukaan. Stimulasi juga dapat diterapkan
pada tulang belakang leher yang melapisi cervical root yang juga ingin untuk
diaktifkan yaitu pada bersamaan saat merekam bentuk otot ekstremitas bagian
distal. Ukuran dari MEPs [puncak- ke puncak amplitudo (Gambar. 1, 1) atau area
di bawah kurva dari rectified MEP (Gbr. 1, 2)], dan latency (Gambar. 1, 3) dari
pulsasi TMS ke timbulnya MEP adalah yang mencerminkan rangsangan
kortikospinalis.
amplitudo otot target pada 50% percobaan memberikan hasil bahwa TMS
diterapkan pada tempat optimal(Rossini et al., 1994). Tempat optimal adalah
pada posisi kulit kepala (scalp) dari kumparan stimulasi yang TMS menginduksi
MEP dari amplitudo maximal pada otot target. Temapt optimal berbeda pada
target otot yang berbeda. Otot target yang biasanya digunakan untuk mengukur
ambang motorik adalah salah satu otot tangan intrinsik (misal: first dorsal
interosseus atau abductor pollicis brevis) yang membutuhkan intensitas terendah
untuk aktivasi (Wassermann et al., 1992). Hal ini membuat indera juga
memberikan konstribusi sirkuit tulang belakang yang relatif kurang untuk
proyeksi motorik kortikal ke otot tangan intrinsik. Salah satu faktor metodelogi
yang perlu diingat dalam menentukan ambang motorik adalah pentingnya interval
intertrail.
Ketika TMS berualang kali diterapkan ke daerah kortikal yang sama, respon
terhadap stimulus yang diberikan dapat dipengaruhi oleh efek dari stimulus
transcranial sebelumnya. (Hal ini menjadikan dasar teknik PP yang akan
dijelaskan dibawah). Oleh karena itu penting untuk memberikan waktu yang
cukup antara stimulus. Selama penentuan ambang motorik umumnya 5-10 menit
interval yang seharusnya digunakan (Chen et al., 1997). Faktor metodelogi lain
yang penting untuk diawasi adalah posisi anggota tubuh. Postur tungkai
menentukan masuknya afferen proprioceptive ke kortex motorik dan karena
postur yang berbeda dapat mengubah excitabilitas kortikal (Landau, 1952;
Wassermann et al., 1998). Oleh karena itu penting untuk menggunakan posisi
ekstremitas yang tetap dan saat melakukan studi determinasi ambang motorik.
Ambang motorik berkaitan dengan orientasi, kepadatan dan kerentanan
kelistrikan dari corticocortical dan oxon thalamocortical
yang terstimulus.
et al., 1998). Hal ini konsisten dengan model matematika Hodgkin dan Huxley
(1952a, 1952b, 1952c) yang extabilitas membrannya bergantung pada
konduktivitas dari kanal ion. Terdapat studi, yang menggambarkan anestesi
intravena yang mempotensikan GABA (misalnya, natrium barbiturat thiopental
(pentothal) atau benzodiazepine midazolam) juga menurunkan amplitudo MEP
(Burke et al., 1993; Schonle et al., 1989). Hubungan studi intravena ini dan studi
dosis tunggal oral ini masih belum jelas karena pengertian administasi dan
dosisnya berbeda. Perbedaan dari ambang motorik saat istirahat dan kontraksi
dianggap mengindikasikan besarnya kendali voluntar pada jalur kortikomuscular
(Tergau et al., 1999).
Ambang motorik diketahui dengan besarnya variabilitas antar individu. Dua
studi dari University of South Carolina saat ini mengindikasikan bahwa
perhitungan signifikan dari variabilitas ini bergantung pada besarnya jarak dari
serabut TMS ke cortex motorik (Kozel et al., 2000; McConnell et al., 2001).
Seiring berjalannya waktu variabilitas antar individu semakin rendah diaman hal
tersebut sangan berguna pada studi longitudinal (Ziemann et al., 1998).
Kemampuan untuk memproduksi ambang batas motorik telah diuji oleh Mills dan
Nithi (1997). Mereka menemukan bahwa ambang batas motorik terdistribusi
normal dan tidak bergantung pada usia, jenis kelamin dan hemisphere. Estimasi
pengulangan menunjukan bahwa terdapat perubahan ambang motorik lebih dari
10% pada individu yang sama selama 1-3 bulan yang merupakan signifikan pada
5% responden dari studi yang melibatkan 102 tangan pada 55 subjek sehat.
Menentukan ambang batas dengan cara yang disarankan dapat memakan
waktu dan menggunakan EMG. Beberapa berpendapat untuk menggunakan
kedutan sebagai penanda dari efek TMS. Mereka menggunakan perangkat TMS
dengan intensitas output ditandai di 5
stimulasi
dari
akar
cervical
berada
pada
tingkat
foramen
intervertebralis dan meninggalkan beberapa hal yang tidak tepat, pengukuran dari
dua substraksi mungkin menjadi ukuran yang wajar untuk waktu pusat konduksi
(gambar 2) (Chokroverty et al., 1991; Mills and Murray, 1986).
4. Periode Diam
Pengukuran yang sudah dijelaskan sebelumnya diketahui menjadi ukuran
efek eksitatorik, periode diam mungkin dapat dimanfaatkan untuk mengukur efek
penghambatan . Hal ini mengacu pada periode diam aktivitas EMG dari
kontraksi otot volunter yang diinduksi oleh stimulus (dalam kasus ini diterapkan
secara transkranial ke korteks motorik). Hal ini terdiri dari dua komponen dimana
komponen pertama diperkirakan dominan spinal dan menjadi spesifik kortikal
(Brasil - Neto et al 1995.;Fuhr et al . 1991; Inghilleri et al . 1993; Ziemann et
al.,1993). Kemungkinan untuk menginduksi periode diam pada saat ketiadaan
MEP, menimbulkan munculnya pemahaman bahwa jalur eksitatorik dan
inhibitorik desendens setidaknya independen atau memiliki ambang batas yang
berbeda (Rossini et al . 1995; Wassermann et al . 1993). Walaupun sudah
dikemukakan bahwa durasi periode kortikal-spinal menggambarkan fungsi dari
mekanisme inhibitorik GABAergik dan dopaminergic kortikal (Hallet, 1995;
Ziemann et al., 1998), secara fisiologis hal tersebut masih belum dimengerti
sepenuhnya.
patofisiologi depresi.
perubahan
metabolik (Goodwin et al. 1993), aliran darah otak (Bench et al. 1995), uji supresi
deksametason (Arana et al. 1985), dan hubungan antara potensi dengan pendengaran
P3 (Blackwood et al. 1987) dan telah menemukan perubahan atau "normalisasi" pada
pemulihan dari penyakit episode. Sejauh ini tidak ada penelitian yang menjadi ukuran
praktis untuk mendukung penilaian atau dapat mengikuti perjalanan klinis pasien
dengan gangguan kejiwaan karena sensitivitas atau spesifisitas yang rendah.
Sepanjang ini penelitian untuk menentukan penanda neurofisiologis untuk
mendukung penilaian gangguan jiwa atau untuk menemukan korelasi dengan hasil
pengobatan, telah dilakukan di beberapa kelompok penelitian, meskipun tidak banyak,
telah
dilakukan
seperti
pemeriksaan
rangsangan
motorik
pada
gangguan
atau
tanpa
pengobatan.
Gambaran
tersebut
termasuk
seperti
Maruff et al. 1998; McDowell dan Clementz 2001; Ross et al. 1998), gerakan
involunter abnormal (mis, Ismail et al. 1998; Manschreck et al. 1990), kelainan
grip kekuatan dan ketangkasan jari (misalnya, Lohr dan Caligiuri 1995), kelainan
ketegangan otot grip dengan induksi (misalnya, Rosen et al. 1991), inkoordinasi
umum dan kecanggungan (misalnya, Chen et al. 2000), dan gangguan aktivitas
psikomotor (misalnya, Walker 1994).
bagaimanapun,
waktu
transcallosal
konduksi
dan
durasi
dan tujuh pada neuroleptics konvensional, dibandingkan tujuh pasien dengan usia
dan gender sebagai kontrol normal. Teknik diukur dengan TMS. Pasien dengan
obat menunjukkan ambang motor lebih tinggi di kedua belahan otak dari pasien
dan subjek kontrol tanpa pengobatan. Kedua kelompok pasien menunjukkan pola
terbalik dari interhemispheric karena perbedaan ambang motor. Sementara
kontrol normal memiliki ambang batas yang lebih tinggi untuk otak kanan
daripada otak kiri, dan sebaliknya untuk kelompok pasien. Pasien dengan obat
juga menunjukkan secara signifikan ICI relatif menurun pada pasien tanpa
pengobatan dan subjek kontrol (Gambar. 5a). Perbedaan ini lebih jelas untuk pada
otak kanan dari otak kiri. Oleh karena itu, pasien tanpa pengobatan dan pasien
yang tampak normal pada langkah-langkah ini, pengobatan dengan neuroleptik
konvensional dikaitkan dengan peningkatan threshold bermotor dan penurunan
ICI. Penyakit skizofrenia juga dapat dikaitkan dengan pola terbalik dari threshold
motor interhemispheric.
Dalam tindak lanjut studi Freund et al. (1999) penelitian rangsangan kortikal
dari
enam
pasien
nonschizophrenic
dengan
dystonia
dyskinesia
dan
membandingkannya dengan kontrol yang sehat dan dengan tiga kelompok pasien
skizofrenia tanpa gejala motor yang berbeda dalam eksposure mereka ke obat
neuroleptik. Semua kelompok untuk usia dan jenis kelamin yang sama. Pasien
dengan dystonia dyskinesia menunjukkan
ICI signifikan lebih rendah dari kontrol dan medication-pasien naive
(Gambar. 5b). Bagaimanapun, tidak ada perbedaan signifikan di ICI atau ICF
antara pasien nonschizophrenic dystonia dyskinesia dan pasien skizofrenia yang
secara resmi diobati dengan neuroleptik meskipun bermotor absen gejala.
Temuan ini menunjukkan bahwa predisposisi beberapa pasien yang rentan
diperlukan untuk manifestasi dari dystonia dyskinesia di pasien yang diobati
dengan neuroleptik konvensional.
Kubota et al. (1999) mempelajari terkait gerakan potensi serebral (MRCPs)
dan konduksi motorik di 27 pasien skizofrenia pada obat dan 27 sehat kontrol.
Mereka menemukan perbedaan yang signifikan dalam jumlah kejadian tersebut
dari MRCPs antara dua kelompok tanpa perbedaan signifikan dalam waktu
konduksi motorik, baik cabang atau pusat. Meskipun bagian otak yang tepat dari
generasi MRCP tidak diketahui, secara umum diterima di suatu tempat di lobus
frontal (Shibasaki et al. 1980). Temuan ini membuat mereka menyimpulkan
bahwa kelainan motorik pada pasien skizofrenia tidak berasal dari saluran motor
kortikospinalis tapi di motor yang mengintegrasikan sistem di lobus frontal.
Secara bersama-sama, temuan ini tampaknya memberikan beberapa bukti
defisiensi GABA atau dopamin yang berfungsi abnormal di daerah subkortikal
yang memproyeksikan ke motor sistem dalam skizofrenia. Studi pada pasien
dalam pengobatan menyarankan pengaruh utama gangguan sistem dopaminergic.
Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa semua studi di atas tidak memberikan efek
mengganggu pengobatan pada penderita.
2. Depresi
Gejala dibagi antara sindrom kelelahan kronis dan depresi, seperti gangguan
kongnitif, depresi, dan kecemasan. Samii et al. (1996) mempelajari fasilitasi
postexercise MEP dan dukungan pression pada 12 pasien dengan sindrom
kelelahan kronis, 10 unipolar atau depresi bipolar, dan 18 kontrol yang sehat.
Semua pasien dalam pengobatan gratis. Mereka menemukan bahwa fasilitasi
postexercise secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan sindrom
kelelahan kronis dan depresi dibandingkan kontrol. Karakteristik mengurangi
fasilitasi postexercise berbeda, namun pasien dengan sindrom kelelahan kronis
memiliki kekurangan utama dalam fasilitasi sedangkan pola dalam pasien depresi
lebih mirip dengan kontrol tapi memburuk lebih cepat dari kontrol. Hal ini
mungkin
menjelaskan
beberapa
gejala
depresi
seperti
kelelahan
dan
pengamat bisa mempengaruhi hasil. Dalam uji coba klinis RTM di pasien
pengobatan bebas dengan pengobatan utama anti gangguan depresi kita
menerapkan frekuensi tinggi (10 Hz) RTM ke daerah prefrontal dorsolateral kiri
selama 2 minggu tapi gagal menemukan penurunan yang signifikan pada motor
threshold (Ng et al., data tidak dipublikasikan). Dalam sebuah studi yang berbeda
di mana pasien bebas pengobatan dengan gangguan depresi mayor pengobatan
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, rangsangan kortikal ditemukan
asimetris (Maeda et al. 2000c). Kami menggunakan teknik PP dan menemukan
bahwa motor utama kiri korteks menunjukkan excitability-intracortical signifikan
lebih rendah di 6 ms interstimulus selang, yang diduga dipengaruhi oleh
penghambatan interneuronal dan fasilitasi sirkuit (Gambar. 7a). Tidak ada
asimetri yang signifikan dalam kontrol sehat. Kami melakukan penelitian lain dan
contoh rangsangan intracortical terbayang sebelum dan sesudah tinggi frekuensi
(10 Hz) RTM ke daerah prefrontal dorsolateral kiri (Maeda et al. 2000D). Pasien
dengan kemampuan (yaitu, semakin rendah kiri dan kanan lebih tinggi relatif
terhadap korteks motorik kontralateral mereka) dikaitkan dengan hasil
pengobatan. Selain itu, kami menemukan "normalisasi "(yaitu, kurva PP mereka
tidak lagi signifikan yang berbeda) di penanggap sedangkan nonresponders
memiliki lebih besar "asimetri" dari sebelumnya pretreatment (Gambar. 7b).
Dalam semua studi ini pada pasien depresi, TMS administrator dengan keparahan
pasien dari depresi, hanya ada satu administrator TMS yang diberikan teknik ini,
dan data dianalisis menggunakan sistem otomatis. Oleh karena itu tidak mungkin
bahwa TMS administrator yang bias, atau bahwa temuan itu karena variabilitas
antar individu dalam administrasi TMS. Selain itu, hasil ini sebanding dengan
sebuah studi normal di mana kurva PP dari belahan kiri dan kanan, dan dua hari
terpisah, berbeda tidak signifikan (Maeda et al. 2002b). ICI, tetapi bukan ICF,
menunjukkan korelasi yang baik di dalam individu. Secara bersama-sama, studi
ini menunjukkan bahwa RTM ke daerah prefrontal mengubah aktivitas otak jauh
dari lokasi stimulasi. Selain itu, studi ini konsisten dengan literatur tentang
hypoactivitas belahan otak kiri pada pasien depresi dan 'normalisasi' dengan
pengobatan antidepresan sukses, dan teori-teori regarding lateralisasi belahan
otak dalam regulasi suasana hati (Davidson 1998; Wheeler et al 1993.). Berkaitan
melalui
lingkaran
korteks-striatal-pallidal-thalamic-kortikal
neurotransmitter
yang
terlibat
dalam
keseimbangan
prefrontal korteks dan hubungan multimodal korteks akan lebih diinginkan. Bahkan
saat ini, mengukur efek motor, penelitian yang meninjau potensi TMS untuk menjadi
alat yang berharga tidak hanya sebagai alat terapi pada neuropsikiatri tetapi juga
dalam studi patofisiologi yang mendasari (terutama untuk gangguan dengan disfungsi
motor yang diketahui).
Namun demikian, TMS dapat dikaitkan dengan pengukuran lain dari aktivitas
otak dan penelitian tersebut menjanjikan untuk memperluas penerapan TMS dalam
penelitian
patofisiologi
dan
gangguan
neuropsikiatri.
Aplikasi
baru
ini
menggabungkan TMS dan teknik neuroimaging lain sudah menjadi populer di bidang
kognitif neuroscience untuk menyelidiki hubungan otak-perilaku. Satu dapat
menyelidiki hubungan antara aktivitas kortikal fokal dan perilaku, untuk meneliti
waktu dimana aktivitas pada daerah kortikal tertentu yang memberikan kontribusi
untuk memberikan tugas dan memetakan fungsi hubungan antara daerah-daerah otak
(untuk review lihat Pascual-Leone et al. 2000; Walsh da Rushworth 1999).
Sebagai contoh, TMS dapat dikombinasikan dengan EEG untuk menyelidiki
hubungan kortikokortikal (Ilmoniemi et al. 1997). TMS dalam kombinasi dengan
poyensu yang dimunculkan atau steady-state EEG dapat digunakan untuk mengukur
rangsangan dari daerah kortikal nonmotor (bayangkan, misalnya, mengukur modulasi
P300 dalam respon TMS ke daerah prefrontal korteks; Kahkonen et al. 2001;
Ilmoniemi et al. 1997; Izumi et al. 1997; Nikouline et al. 1999; Schurmann et al.
2001; Tiitinen et al. 1999; Virtanen et al. 1999). TMS dalam kombinasi dengan
tomografi
subkorteks dan daerah korteks lain tetapi juga dapat memberikan informasi tentang
rangsangan daerah korteks yang ditargetkan (Fox et al. 370 1997; Mottaghy et al.
2000; Paus dan Wolforth 1998; Paus et al. 1997, 1998; Siebner et al. 1998, 1999,
2001; Strafella and Paus 2001). Penggunaan ligan spesifik, seperti, reseptor GABA
atau dopaminergik, dapat digunakan untuk mengukur tindakan neurokimia in vivo
dalam merespon TMS dari bagian otak tertentu (Strafella et al. 2001). Tomografi
penghitungan emisi foton tunggal dapat digunakan untuk menyelidiki 99mTchexamethylpropyleneamine oxime secara bersamaan selama rTMS. Penelitian telah
menunjukkan modulasi lokal dan berbeda dari aliran darah bagian otak (Catafu et al.
2001; Peschina et al. 2001; Teneback et al. 1999; Zheng 2000). Kombinasi rTMS
dengan sonografi Doppler transkranial dapat menunjukkan modulasi hemodinamik
serebral dalam daerah stimulasi serta bagian terpencil dengan mengukur rata-rata
kecepatan aliran darah otak, indeks pulsasi, dan konsumsi oksigen (Pecuch et al.
2000; Sander et al. 1995, 1996). Perubahan ini dapat dideteksi bahkan dengan tidak
adanya perubahan perilaku (Sander et al. 1995, 1996).
Akhirnya, solusi dari permasalahan metodologi substansial (Bohning et al. 1998),
kombinasi dari TMS dan MRI fungsiobal dapat digunakan untuk mempelajari respon
langsung dan transinaptik otak untuk TMS oada target otak tertentu (Bohning et al.
1998, 1999, 2000a, 2000b; George 1999).
Semua teknik ini menggabungkan TMS dengan pengukuran rangsangan motor
neurofisiologis simultan bersama-sama dengan metode pencitraan otak (termasuk
kombinasi masa depan alat seperti pencitraan optik otak, sprektoskopi magnetik
resonansi, dan ensefalogram-magnetik) tidak hanya memungkinkan pemodelan yang
koheren dari fungsi otak manusia yang lebih tinggi, tetapi dapat sangat memperluas
potensi penggunaan TMS dengan tujuan diagnostik pada neuropsikiatri.