You are on page 1of 3

A.

Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau
lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi
kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif
dan pasca trauma otak (Soetomenggolo, 1999;Panayiotopoulos,2005)
B. KLASIFIKSI KEJANG
Berdasarkan serangan kejang epilepsi dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu kejang fokal (penyebabnya terbatas pada satu bagian otak
di salah satu hemisfer) dan kejang umum (adanya keterlibatan kedua
hemisfer sebagai penyebab kejang), kejang unclassified(kurangnya
informasi terhadap kategori kejang). Kejang fokal dapat disertai atau tanpa
penurunan kesadaran diklasifikasikan menjadi kejang parsial sederhana,
kejang parsial komplek, dan kejang parsial sekunder menjadi umum.
Kejang umum selalu disertai dengan penurunan kesadaran diklasifikasikan
menjadi kejang absanse, kejang absanse atipikal, kejang mioklonik, kejang
klonik kejang tonik, kejang tonik-klonik, dan kejang atonik. Kejang
unclassified didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana terjadi
perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum
terjadinya kejang (Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield,
2012)
C. EFEK KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI
Epilepsi pada kehamilan dibagi adlam 2 kelompok:
1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi
2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil
Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi,
dapat terjadi secara insidentil pada kehamilan(Laidlaw, 1988). Hormon
yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi yang hamil adalah
estrogen dan progesteron.
Pada seorang wanita yang hamil kadar estrogen dalam darah akan
menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamat
dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA)
akan menurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak
akan merangsang bangkitan epilepsi (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992). Pada
kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus
berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar
obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi
menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan
parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas
neuron dan mempresitasi bangkitan (Plum,1982: Laidlaw, 1988)
D. Komplikasi Kehamilan
Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik
adlam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh
epilepsi terhadap kehamilan yaitu:
1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%

2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 10%
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)
E. Komplikasi persalinan
Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko
karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partusprematur
lebih sering terjadi pada wanita epilepsi.Penggunaan obat anti epilepsi
mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur membran yang
terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita epilepsi hampir selalu
harus dipimpin oleh pakar obstetrik.Penggunaan firsep atau vakum sering
dilakukan dan juga seksio saesar. (dikutip dari Warta Epilepsi. 1992)
Teramo dan kawan-kawan (1985) menemukan, tak seorangpun dari 170
bangkitan umum pada 48 kehamilan yang diikuti selama 24 jam
menunjukkan komplikasi obstetrik (laidlaw, 1988).
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
1. Frekuensi bangkitan meningkat 33% !
2. Perdarahan post partum meningkat 10% !
3. Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi !
4. Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu,
terdapat resiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi
(Johnston, 1992)
F. Terapi obat anti epilepsi
Obat anti epilepsi mempunyai efek negatif maupun positif terhadap
kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi
dengan cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap
neurotransmitter, dan efek psikotropika(Mustarsid,dkk., 2011). Obat anti
epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi pasca
sinaps atau mempengaruhi sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan
eksitasi neuron yang berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan
kejang dan dapat menurunkan aktivitas epilepsi di sekeliling jaringan otak
yang normal. Pemberian OAE secara terus menerus dapat mengakibatkan
penurunan aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan
gangguan memori. penurunan daya ingat bersifat kumulatif, sehingga
semakin lama penderita mendapatkan terapi OAE maka semakin besar
kemungkinan
mengalami
gangguan
memori(Eddy,dkk.,2011;
Mustarsid,dkk.,2011).Anak dengan epilepsi biasanya membutuhkan
pengobatan anti epilepsi dalam jangka waktu yang yang cukup lama.
Beberapa obat anti epilepsi yang digunakan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, diantaranya
fenobarbital dan pirimidon pada pemberian kronik adalah mengantuk,
perubahan perilaku, perubahan perasaan,gangguan intelektual, penyakit
tulang metabolik, dan gangguan jaringan ikat. Fenitoin pada pemberian
kronik berupa hirsutisme, hipertrofi gingiva, gangguan perilaku dan fungsi
kognitif. Etosuksimid pada pemberian kronik dapat menyebabkan sefalgia
dan perubahan perilaku. Asam valproat pada pemberian kronik dapat

menyebabkan mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia,


bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit perdarahan dan
gangguan lambung. Sedangkan obat epilepsi yang dapat memperbaiki
fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar, dan lebih enak adalah
karbamazepin.Pengobatan epilepsi dengan politerapi juga sangat berkaitan
dengan terjadinya gangguan perkembangan dibandingkan dengan
monoterapi.Diantaranya penggunaan fenitoin dikombinasikan dengan
fenobarbital, karbamazepin, asam valproat, Isoniazid ( INH), dan
kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin sehingga
meningkatkan efek samping fenitoin. Klonazepam bila digunakan bersama
dengan fenobarbital atau golongan benzodiazepin lain dapat menyebabkan
gangguan emosi (Lazuardi, 1999). Kegagalan pada penggunaan
monoterapi akan menyebabkan penderita jatuh pada epilepsi intraktabel
yaitu kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari dua OAE lini
pertama dengan rata-rata serangan kejang lebih dari satu kali perbulan
selama 18 bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari tiga bulan.
Penderita yang mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
(Camfield dan Camfield, 2012)

You might also like