Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Post Partum adalah masa dimulai setelah partum selesai kira-kira 4-6 minggu
setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandung kembali seperti keadaan
sebelum hamil. Dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikososial terhadap
proses melahirkan.
Perdarahan, terutama perdarahan postpartum masih merupakan salah satu dari
sebab utama kematian ibu dalam persalinan. Karena itu ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi perdarahan postpartum,
yaitu penghentian perdarahan, jaga jangan sampai timbul syok, penggantian darah
yang hilang. Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan. Bila plasenta sudah lepas dan turun
kebagian bahwa rahim, maka uterus akan berkontraksi (His pengeluaran plasenta)
untuk mengeluarkan plasenta.
Dalam sub bab ini akan dibahas lebih singkat tentang gambaran perdarahan
postpartum dan pentalaksanaan-Nya. Hasil survey demografi dan kesehatan
Indonesia (SDKI) menyebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2010
sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini turun bila
dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 307 per 100.000 kelhairan hidup.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir.
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari
4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah
membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian
dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan
berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III
persalinan selesai
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun
merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga
berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan
wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok.
2.2
Retensio plasenta 16% - 17% , Sisa plasenta 23% - 24%, Laserasi jalan lahir 4% 5%, Kelainan darah 0,5% - 0,8%.
2.3
angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2010 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu ini turun bila dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 307
per 100.000 kelhairan hidup.
Menurut hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT), penyebab kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan postpartum 28%, eklamsia 24%, infeksi 11%, komplikasi
massa nifas 8%, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetric 3%. Distribusi
persentase penyebab kematian ibu dapat dilihat pada diagram berikut
2.4
2.4.1
Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35
tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun
fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan
pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal
yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah
usia 30-35 tahun.
2.4.2
Pendidikan
Menurut Depkes RI (2009), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki
pengaruh pada
peningkatan kemampuan
berfikir, dimana
seseorang
yang
berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,
umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan
individu yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia
yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan
mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan
mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan
yang bergizi.
2.4.3
Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum
primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu
dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin
sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus
semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas
1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
2.4.4
terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough
(1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai faktor
predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam
jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang
baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu
kembali seperti kondisi sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim
dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu
diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
2.4.5
kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas
harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan
berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin,
eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar,
infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.
2.4.6
Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah
kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan
konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel darah merah
masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi
pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan
haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu rendah
yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya volume darah berarti
meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk memproduksi sel-sel darah
merah sehingga tubuh dapat menormalkan konsentrasi hemoglobin sebagai protein
pengankut oksigen.
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi
komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan
metabolisme energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan
oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah
merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat
dan
pengawasan
hemoglobin
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat digolongkan
sebagai berikut (mochtar, 2007) :
1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan
3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang
4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada
trimester I dan trimester III.
2.5
Perdarahan pospartum primer adalah perdarahan yang terjadi pasca persalinan yang
dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer
adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio
uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2.5.2
2.6
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang
terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan
tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan
kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.
2.7
ringkas membuat diagnosis adalah seperti palpasi uterus untuk meraba kontraksi
uterus dan tinggi fundus uteri, memeriksa plasenta dan ketuban lengkap atau tidak,
melakukan eksplorasi kavum uteri (untuk mencari sisa plasenta dan ketuban, robekan
rahim, plasenta suksenturiata), inspekulo (untuk melihat robekan pada serviks,
vagina, dan varises yang pecah), dan pemeriksaan laboratrium yaitu periksa darah
lengkap salah satunya WBC dan HGB, clot observation test atau COT (Sofian, 2011).
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel
berikut ini :
Tabel 1. Diagnosis Perdarahan Postpartum
2.8.1
Suportif
perbaikan keadaan umum, penambahan cairan, dan darah serta komponen -
komponennya.
2.8.2
Kausatif
Melakukan
identifikasi
penyebab
perdarahan
dan
usaha
untuk
10
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
b. Pemberian obat uterotonika :
1) Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara intramuscular,
intravena, atau subcutan.
2) carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa
diare, hipertensi, mual, muntah, febris, dan takikardia.
3) Pemberian misoprostol (800 - 1.000 g) per-rektal.
11
12
Bila penanganan dengan non operatif ini tidak berhasil, baru dilakukan
penanganan secara operatif ( laparotomi dengan pilihan bedah konservatif
(mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi ), yaitu :
a. Laparatomi pemakaian metode B-Lynch
b. Ligasi arteri uterina, arteri hipogastrika ( iliaka interna )
2.9
Komplikasi Postpartum
Komplikasi perdarahan postpartum yang paling berat yaitu syok. Bila terjadi
syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi komplikasi lanjutan yaitu anemia
dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan anemia bisa berlangsung berat
sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai oleh pembekuan intravaskuler merata
dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ seperti gagal ginjal mendadak.
2.10
13
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc
atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama
atau sesudah lahirnya plasenta. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian
yaitu:
postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta,
kelainan pembekuan darah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bunke,J.W., and Hofmeister,F.J.: Uterine inversion obstetrical entity or oddity.
Amer.J.Obste Gynec,91:934,2009.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 22ndedition. Mc GrawHill. New York : 2005.
Gabbe : Obstretics Normal and Problem Pregnancies,4 th ed.,Copyright 2002
Churchil Livingstone, Inc.
Rajan PV, Wing DA. Postpartum hemorrhage: evidence-based medical interventions
for prevention and treatment. Clinical obstetrics and gynecology 2010;53:16581
Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH.
Seattle : 2002.
Sofian.,Amru.2012. Perdarahan postpartum : Rustam Mochtar Sinopsis Obstetetri,
jilid 1. Jakarta :EGC. Halaman 206-11.
The 2009 national blood collection and utilization survey report. US Department of
Health and Human Services, Office of the Assistant Secretary for Health,
2011.
(Accessed
november
21,
2014,
at
http://www.aabb.org/
programs/biovigilance/nbcus/Pages/default.aspx.)
Tuncalp O, Hofmeyr GJ, Gulmezoglu AM. Prostaglandins for preventing postpartum
haemorrhage. Cochrane Database Syst Rev2012;8:CD000494.
Williams Obstretics 21 st Ed: F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.Grant
MD,Kenneth J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md Gilstrap,John C.,Md Hauth,
Katherine D.,Clark,Katherine D.Wenstrom,by McGraw-Hill Profesional
(April 27,2008)
Alhamsyah.
Retensio
Plasenta. Disitasi
tanggal
22 September
15
22 September
tanggal
22 September
2008 dari
:http://www.who.int/reproductivehealth/impac/Procedures/Manual_removal_P
77_P79.html. [update : November 2014].
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri.
Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Winkjosastro H, Hanada . Perdarahan Pasca Persalinan. Disitasi tanggal 21
September2008 dari:http://http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/c
klobpt12.html [update : 21 november 2014].
16