You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia yang hidup diera kemajuan teknologi dan informasi
diperhadapkan pada stresor yang tinggi. Ketidakmampuan manusia secara
individual beradaptasi dengan berbagai stresor yang dihadapi akan memiliki
kecenderungan untuk mengalami gangguan jiwa. Terjadinya gangguan jiwa
juga akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari
tahun ke tahun di berbagai negara. WHO (2009) memperkirakan 450 juta
orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang
dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan
akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya.
Klien gangguan jiwa sebenarnya masih bisa dilatih untuk hidup
produktif, namun stigma dari masyarakat membatasi mereka untuk
mengembangkan kemampuannya. Gangguan jiwa selama berpuluh-puluh
tahun dianggap sebagai penyakit yang membahayakan karena tidak mampu
mengendalikan psikologis dan emosi sehingga sering ditunjukkan dengan
respon perilaku yang aneh dan amarah. Kejadian ini membuat kebanyakan
individu meyakini bahwa mereka perlu diasingkan dari masyarakat dan
dirawat di rumah sakit (Videbeck, 2008).
Gangguan jiwa merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui
perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau
psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma,
dihubungkan dengan distres atau penyakit, tidak hanya dari respon yang
1

diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara


individu dan lingkungan sekitarnya (Kaplan &Sadock (2007). Demikian
juga Townsend (2005) menyatakan gangguan jiwa sebagai respon
maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang
ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan norma lokal dan budaya setempat, dan mengganggu fungsi sosial,
pekerja, dan fisik individu.
Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa berat yang
paling banyak ditemukan. Skizofrenia merupakan suatu reaksi psikotik yang
mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, perilaku dan hubungan sosial
individu ke arah maladaptif. Departemen Kesehatan RI (2003) mencatat
bahwa 70% gangguan jiwa terbesar di Indonesia adalah Skizofrenia.
Kelompok Skizofrenia juga menempati 90% pasien di rumah sakit jiwa di
seluruh Indonesia (Jalil, 2006). Stuart dan Laraia (2005) menyatakan
skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai
area fungsi individu, termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi,
menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan
emosi dan berperilaku yang dapat diterima secara rasional. Skizofrenia
juga diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang
aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).

Gejala skizofrenia menurut PPDGJ III (dalam Maslim, 2001) dibagi


dalam dua gejala utama yaitu gejala positif dan negatif. Gejala positif

diantaranya delusi, halusinasi, kekacauan kognitif, disorganisasi bicara, dan


perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah. Gejala negatif atau gejala
samar yang dialami klien skizofrenia dapat berupa afek datar, tidak memiliki
kemauan, merasa tidak nyaman, dan menarik diri dari masyarakat
(Videbeck, 2008).

Perilaku kekerasan termasuk gejala positif yang

ditunjukkan oleh klien skizofrenia dan merupakan gejala utama yang paling
mudah dikenali dan menjadi alasan keluarga membawa klien untuk berobat
ke rumah sakit.
Perilaku kekerasan merupakan ungkapan maladaptif

dari marah.

Perasaan marah biasa dialami oleh setiap individu dan merupakan ungkapan
yang normal ketika mendapatkan stresor atau ada kebutuhan yang tidak
terpenuhi.

Videbeck, (2008) mengatakan bahwa kemarahan memang

merupakan suatu respon yang normal, namun apabila diungkapkan secara


tidak tepat dapat menimbulkan permusuhan dan agresi yang tidak mampu
diungkapkan secara asertif dapat memanjang hingga respon yang paling
maladaptif

yaitu perilaku kekerasan.

Stuart dan Laraia (2005)

mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk


perilaku untuk melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan
secara verbal atau fisik dan dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu dari
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai melukai pada
tingkat serius dan membahayakan.
Klien dengan perilaku kekerasan dapat dikenali dari gejala-gejala
yang ditunjukkan seperti mondar-mandir, gelisah, ekspresi muka dan bahasa
tubuh tegang, memberikan ancaman melakukan pembunuhan atau ancaman

bunuh diri, agitasi meningkat, reaksi yang berlebihan terhadap stimulus


yang

datang

dari

lingkungan,

cemas

hingga

panik,

kesulitan

menginterpretasikan lingkungan, mudah curiga, kerusakan proses pikir,


perasaan marah, dan tidak mampu menanggapi situasi secara proporsional
Townsend (2009).

Rumah Sakit Jiwa Prof Dr. V.L Ratumbuysang

Propinsi Sulawesi Utara, merupakan Rumah Sakit khusus merawat klien


dengan gangguan jiwa. Data awal pada pencatatan melalui catatan rekam
medik pada periode bulan Juni sampai dengan September 2012 di
ruangan Waraney didapatkan sebanyak 75 klien atau 80,64 % dari 97
klien

yang

memiliki

diagnosa

keperawatan

gangguan

persepsi

halusinasi disertai perilaku kekerasan.


Klien dengan perilaku kekerasan perlu disadarkan tentang cara
marah yang baik serta bagaimana berkomunikasi merupakan cara yang
efektif untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan. Bahwa marah bukan
suatu yang benar atau salah, harus disadari oleh klien. Untuk itu dari
penyuluhan klien untuk mencegah perilaku kekerasan berisi tentang
bagaimana mengidentifikasi marah.memberikan kesempatan untuk marah.,
mempraktekkan ekspresi marah, terapkan ekspresi marah dalam situasi
nyata.

B. Rumusan Masalah
Perilaku kekerasan merupakan diagnosa keperawatan utama selain
gangguan persepsi sendori halusinasi baik pendengaran maupun penglihatan

yang ditemukan pada klien dengan skizofrenia. Oleh karena isi


halusinasilah terkadang klien sering mengalami berupa perintah untuk
melakukan tindakan kekerasan baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan sekitar merupakan ancaman yang membahayakan keamanan.
Ungkapan marah yang konstruktif dapat membuat perasaan lega, sehingga
mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan
kata-kata yang mudah dimengerti dan diterima tanpa menyakit hati orang
lain akan memberikan perasaan puas yang berdampak pada penurunan
gejala perilaku kekerasan.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang ungkapan
marah terhadap kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr. V.L Ratumbuysang Propinsi
Sulawesi Utara.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a.

Diidentifikasinya karakteristik pasien perilaku kekerasan di Rumah


Sakit Jiwa Prof Dr. V.L Ratumbuysang Propinsi Sulawesi Utara.

b.

Diidentifikasinya ungkapan marah pada pasien dengan perilaku


kekerasan.

c.

Diidentifikasinya kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada


klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr. V.L Ratumbuysang
Propinsi Sulawesi Utara.

d.

Diidentifikasinya gambaran tentang respon marah terhadap


kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr. V.L Ratumbuysang Propinsi Sulawesi
Utara.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi
Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa oleh perawat klinik di
ruang akut dan intermediate dalam upaya mengungapkan kemarahan
bagi pasien sebagai suatu bentuk terapi dalam mengontrol perilaku
kekerasan pada klien skizofrenia.
2. Bagi Klien dan Keluarga
Menambah kemampuan klien perilaku kekerasan dalam mengontrol
perilaku maladaptifnya sedangkan bagi keluarga akan menambah
kemampuan dan pengetahuan baru dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami perilaku kekerasan
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini sebagai evidance based atau data dasar dalam
mengembangkan pengetahuan peneliti tentang pasien dengan perilaku
kekerasan.

You might also like