You are on page 1of 6

Laporan Kasus: Pemberian Vaksin Hepatitis B Rekombinan

yang disertai Paralisis Nervus Fasialis Transien ( Bells palsy )


R. Paul*1 dan L. F. A. Stassen2
Uraian:

Menyoroti komplikasi yang jarang terjadi setelah pemberian vaksin hepatitis B dan
mendiskusikan penyebabnya
Penting untuk mengetahui diagnosis banding dari Bells palsy, kasus yang umum terjadi di bagian
bedah mulut.

Bells palsy merupakan paralisis otot wajah unilateral transien dengan onset yang terjadi secara mendadak
oleh karena gangguan pada nervus kranialis. Berikut disajikan kasus pasien wanita usia 26 tahun dengan
kelumpuhan lower motor neurone fasial kanan yang terjadi setelah vaksinasi hepatitis B. Hal yang
menarik perhatian adalah penyebab terjadinya Bells palsy sebagai komplikasi yang jarang terjadi akibat
vaksinasi hepatitis B dan langkah-langkah yang dilakukan sebagai tatalaksana hal tersebut.
PENDAHULUAN
Seorang wanita berusia 26 tahun, bekerja sebagai perawat di bagian dental datang ke poli rawat jalan kirakira enam jam setelah diberikan vaksin hepatitis B dengan keluhan kelemahan pada wajah sebelah
kanan.Dari keluhan yang disampaikan tidak didapatkan tanda-tanda sakit, tidak ada eritema lokal,
bengkak ataupun nyeri pada lokasi inokulasi vaksin (region deltoid kanan).Tidak ada riwayat perjalanan
keluar kota atau tanda-tanda infeksi saluran pernaps
asan atas maupun bawah. Riwayat medisnya baik, tidak sedang menjalani pengobatan rutin dan tidak
memiliki alergi tertentu serta tidak dalam keadaan stress atau tekanan lainnya.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darahnya 128/76 mmHg, laju pernapasan 16x/menit,
nadi 72x/menit dan suhu tubuhnya 36,8C. Wajah dan kepala simetris, glandula parotis tidak membesar
dan tidak ditemukan limfadenopati servikal ataupun fasial. Tidak ada ruam ataupun vesikel pada kanalis
aurikularis.Tidak ada keluhan tinnitus, tidak ada keluhan pusing berputar sehingga sindrom Ramsey Hunt
dapat disingkirkan.Pasien tidak dapat mengerutkan dahi, kelemahan pada wajah sebelah kanan, dan tidak
dapat menutup mata sebelah kanan secara sempurna.Pasien juga mengeluh rasa pengecapan yang
berkurang pada lidahnya.
Situs inokulasi pada regio deltoid kiri tidak menunjukkan adanya nyeri, eritema, atau tanda-tanda
infeksi.Hasil foto radiologi thoraks dan pemeriksaan darah rutin normal (hitung darah lengkap,
pemeriksaan urea dan elektrolit, tes fungsi hepar).Nilai serum ACE (angiontensin converting enzyme)
adalah 12 (nilai normal berkisar 9-67 unit, meskipun bervariasi pada laboratorium yang berbeda.
Hubungan dari tes ini akan dibahas kemudian). Tidak ada gangguan pada nervus kranialis lainnya dan
pada pemeriksaan otoskopi normal.Hasil MRI dari otak tidak menunjukkan adanya patologi intra kranial
dan serum darah negatif untuk diabetes, virus herpes simpleks dan sarkoid.

Berdasarkan hasil tersebut yang didapatkan maka dibuat diagnosa kelumpuhan lower motor neurone
fasial.
Dilakukan tindakan lokal berupa pemberian lubrikasi pada mata dengan memberikan air mata artifisial
dan dipasang eye patch.Pasien dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan oftamologi pada hari yang sama dan
tidak dilakukan pemeriksaan follow up. Setelah dua kali follow up rawat jalan di bagian dental, pasien
tersebut menunjukkan perbaikan yang spontan dengan tatalaksana konservatif pada hari ke-21 dan gejala
Bells palsy telah hilang sama sekali pada hari ke-30.
DISKUSI
Bells palsy telah diketahui secara keseluruhan dan umum terjadi namun etiologinya hingga kini masih
belum diketahui secara jelas.Frekuensi Bells palsy sekitar 20/100.000 individu per tahun dengan
perkiraan tingkat kekambuhan sebesar 9%. 1 Pasien yang menunjukkan tanda-tanda Bells palsy umumnya
mengalami penurunan pergerakan pada dahi bagian ipsilateral dan tidak dapat menutup mata dengan
sempurna, lipatan nasolabial menghilang dan perubahan sensasi pada bagian wajah yang terkena dengan
gambaran berupa mulut tertarik ke sisi kontralateral.
Gejala tambahan berupa hiperakusis, produksi air mata yang berkurang dan menurunnya rasa pengecapan
dapat terjadi. Maillefert et al. pada tahun 1997 melaporkan kasus neuropati nervus mentalis setelah
pemberian vaksin hepatitis B.2Bells palsy umumnya self-limitingdengan prognosis yang baik, namun
onsetnya yang mendadak, progresi yang cepat dan gambaran yang dramatis dapat mengkhawatirkan
pasien maupun dokter.
Bells palsy merupakan diagnosis eksklusi (Tabel 1). Paralisis nervus fasialis yang didapat maupun
kongenital harus dieksklusikan sebelum dibuat suatu diagnosis Bells palsy.3
Tabel 1 Diagnosis Banding Kelumpuhan Nervus Fasialis7-8
Penyakit

Etiologi

Faktor yang membedakan

Nuklear ( perifer)
Penyakit Lyme

Spirocheta Borrelia burgdorferi

Otitis media

Bakteri pathogen

Sindrom Ramsey Hunt

Virus herpes zoster

Sarkoidosis atau sindrom GuillainBarr


Tumor

Respon autoimun

Riwayat terpapar kutu, ruam atau arthralgia,


terpapar dengan wilayah endemik penyakit
Lyme
Onset yang bertahap: nyeri telinga, demam,
penurunan pendengaran konduktif
Gejala awal yang berat berupa nyeri, erupsi
vesikular pada kanalis aurikularis atau faring
Seringkali bilateral

Kolesteatoma, glandula parotis

Onset bertahap

Supranuklear (sentral)
Sklerosis multipel
Stroke

Demielinasi
Iskemik, hemoragik

Tumor

Metastasis, primer di otak

Gejala neurologis tambahan


Seringkali ekstremitas pada bagian yang
lumpuh juga terkena
Onset bertahap, perubahan status mental,
riwayat kanker

Berdasarkan penelitian post-marketing surveillance yang dilakukan oleh Shaw et al. pada tahun 1998
yang mencatat kejadian berlawanan setelah dilakukannya pemberian vaksin hepatitis B pada 850.000
orang, maka para peneliti tersebut menemukan tiga kasus neuropati pleksus brakialis, empat kasus
mielitis transversa, lima kasus neuritis optikus, lima kasus radikulopati lumbal, sembilan kasus sindrom
Guillain-Barr, dan sepuluh kasus Bells palsy.4
Beberapa gejala tambahan seperti hiperakusis, penurunan produksi air mata dan penurunan rasa
pengecapan dapat timbul. Maillefert et al. pada tahun 1997 melaporkan kasus neuropati nervus mentalis
setelah pemberian vaksin hepatitis B.2 Vaksinasi virus hepatitis B (HBV) penting untuk mengurangi
insiden infeksi oleh HBV.
Meskipun vaksin HBV merupakan yang paling aman diantara vaksin lainnya, namun sering terjadi reaksi
berlawanan.Tujuh ratus laporan tentang reaksi berlawanan terhadap vaksin hepatitis B dilaporkan ke
Vaccine Adverse Events Reporting Systems (VAERS); 16% dari laporan tersebut diduga kerusakan pada
myelin di sistem saraf. Ada 21 laporan kasus tentang paralisis fasial. 5
Etiologi dan patogenesis dari Bells palsy masih belum jelas. Diperkirakan bahwa salah satu penyebab
Bells palsy adalah terjadinya reaktivasi dari virus herpes simpleks laten dan kaitan infeksi pada ganglia
genikulata nervus fasialis. Diajukanlah suatu hipotesis tentang demielinasi segmental yang dimediasi oleh
sistem imun. Diketahui pula bahwa vaksin hepatitis berkaitan dengan sindrom Guillain-Barr dan
demielinasi, kemungkinan melalui mekanisme respon sistem imun.5,6
Ada kemungkinan bahwa vaksin HBV memicu terjadinya Bells palsy melalui mekanisme yang sama,
meskipun belum tersedia data yang dapat mengkonfirmasi hal tersebut.
Prioritas pertama tindakan yang dilakukan adalah menyingkirkan diagnosa sindrom Guillain-Barr yang
dapat mengancam kehidupan. Jika diduga menderita sindrom Guillain-Barr, maka pasien harus dirawat
di rumah sakit dan dipantau secara ketat terhadap kemungkinan komplikasi pada saluran pernapasan dan
harus dilakukan kontak dengan tim anestesi.
Tindakan yang harus dilakukan termasuk pemeriksaan laboratorium berupa hitung darah lengkap, tes
antibodi treponema fluoresen, serologi HIV, glukosa darah puasa dan laju pembekuan darah.Titrasi lyme
polymerase chain reactions (PCR) penting dilakukan dan dilakukan pengukuran tingkat antibodi
antinuklear.MRI dapat mengidentifikasi lesi sekecil apapun pada nervus kranialis tujuh, lesi intrakranial
dan pelebaran atau penyempitan pada kanalis akustikus internus.Perhatian yang khusus diberikan untuk
menggambarkan sistem nervus sentral, dasar kranium, meningens, dan sudut serebelopontin.Berikut
pembahasan tentang Bells palsy iatrogenik, penyakit Lyme, sindrom Guillain-Barr, sarkoidosis dan
reaktivasi virus herpes.

PENYAKIT LYME
Penyakit Lyme merupakan paralisis wajah bilateral yang disebabkan oleh infeksi spirochaeta Borrelia
burgdorferi.Penyakit ini sering terjadi pada awal musim panas berupa lesi kulit eritema
migrans.Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan imunologik menggunakan titrasi antibodi
terhadap spirochaeta.Terapi dengan antibiotik harus segera diberikan dan tidak dihentikan hingga ada

konfirmasi serologis. Jenis terapi ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan stadium dari penyakit
tersebut.7

SINDROM GUILLAIN BARR


Sindrom Guillain-Barr yang sering disebut ascending inflammatory demyelinating polyneuropathy
(AIDP), gambaran klinisnya yang tampak adalah keterlibatan otot-otot volunter dari tungkai atas dan
bawah, badan dan wajah. Yang sering terkena adalah nervus kranial VII, IX dan X. Dalam 27-50% kasus,
nervus fasialis sering terkena.7 Lima puluh persen dari pasien yang terkena sindrom inimengalami
kelumpuhan wajah bilateral. Prognosisnya baik bila diketahui lebih awal.Terapi berupa pertukaran plasma
dan pemberian immunoglobulin intravena selama sepuluh hari dari onset gejala.

SARKOIDOSIS
Pada sarkoidosis diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan darah (serum angiotensin
converting enzyme), biopsi organ yang terinfeksi, dan pembesaran dari nodus limfe hilus pada foto
radiologi thoraks atau CT-scan thoraks.Pada neurosarkoidosis, jumlah protein cairan serebrospinal
umumnya meningkat dan jumlah glukosa cairan serebrospinal berada dalam batas normal atau sedikit
dibawah batas normal. Umumnya cairan serebrospinal mengandung sebagian besar limfosit. 8,9

BELLS PALSY IATROGENIK


Suatu tinjauan literatur menggambarkan insiden iatrogenik atau paralisis fasial post operasi yang dibuat
oleh berbagai penulis. Etiologi yang berbeda-beda telah disampaikan, seperti ekstraksi gigi dengan
anestesi lokal, infeksi, steotomi, prosedur preprostetik, eksisi tumor atau kista, pembedahan pada sendi
temporomandibular dan tindakan bedah pada fraktur fasial dan bibir sumbing. 10 Pembedahan
timpanomastoid juga dapat menyebabkan kelumpuhan fasial, meskipun dengan munculnya mikroskop
modern dan stimulator nervus fasial menyebabkan insidennya berkurang. 11
Literatur melaporkan tiga mekanisme bagaimana tindakan dental dapat merusak struktur saraf: trauma
langsung pada nervus oleh karena jarum suntik, kompresi atau formasi hematoma intraneural, dan
toksisitas dari anestesi lokal.12,13
Beberapa percobaan telah dilakukan untuk menggolongkan kelumpuhan fasial namun belum ada satupun
yang diterima secara universal.The House-Brackmann Grading System telah merekomendasikan standar
universal untuk menilai derajat kelumpuhan fasial. 14
Sehubungan dengan injeksi dental, vasospasme dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
diperkirakan sebagai mekanisme kelumpuhan fasial dan diharapkan dapat diobati melalui pleksus saraf
simpatis yang berasal dari arteri karotis eksterna. Anestesi lokal dengan adrenalin sebagai vasokonstriktor
dan trauma langsung yang mungkin terjadi dari jarum suntik dapat menjadi rangsangan potensial untuk
vasospasme.15

TATA LAKSANA
Kelemahan nervus fasialis pada pasien dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan hingga tingkat
yang mengkhawatirkan.Merupakan hal yang penting dilakukan oleh seorang dokter gigi dalam menilai
pasien tersebut dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi ketakutan pasien
sehingga dokter gigi secara bersamaan dapat memeriksa dan mengobati.
Disarankan pada pasien dengan keluhan yang berat, dengan adanya sekret yang berlebihan, kemerahan
pada mata, gangguan penglihatan atau tidak dapat menutup mata atau kedua matanya, harus diperiksa
oleh dokter oftalmologis segera pada hari itu juga saat gejala pertama kali muncul.Pasien diberikan tetes
mata lubrikan pada siang hari dan salep saat malam hari. Pasien diinstruksikan untuk menggunakan cover
/ patch / tape yang menutupi mata pada malam hari menggunakan plain gauze / micropore dressing.
Beberapa pasien mungkin memerlukan toksin botulinum / tarsorrhapy.
Suatu penelitian acak yang cukup besar telah mengajukan bahwa prednisolon tunggal (dosis 25mg dua
kali sehari) selama sepuluh hari merupakan terapi yang efektif bersama-sama dengan pengukuran lokal
untuk menilai dan melindungi bagian mata.Pada pasien dengan kelumpuhan nervus tersebut,terapi awal
dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan kesempatan pemulihan secara komplit. Belum ada
data manfaat asiklovir yang diberikan tunggal atau tambahan manfaat pemberian asiklovir yang
dikombinasikan dengan prednisolon.16
KESIMPULAN
Dalam anamnesis harus ditanyakan urut-urutan onset, riwayat terapi dental terbaru dengan menggunakan
anestesi lokal, riwayat sebelumnya terhadap paralisis fasial, infeksi saluran pernapasan atas, riwayat
bepergian keluar kota, gejala otologi, perubahan rasa pengecapan, kebas pada wajah, vesikel pada kanalis
aurikularis, dan riwayat imunisasi yang terakhir.
Pada pasien ini, penyebab yang sangat mungkin terjadi untuk Bells palsy transien yang dialaminya adalah
pemberian sekunder dari vaksin HBV rekombinan.Pasien merupakan asisten perawat yang memulai masa
pelatihannya dengan ijin kesehatan kerja.Sangat menarik mengetahui bahwa tipe yang beragam dari HBV
rekombinan yang digunakan di beragam sektor layanan kesehatan untuk vaksinasi dan onset kelumpuhan
fasial berkorelasi terhadap jenis-jenis tertentu.Hal ini juga menunjukkan bahwa ada saja jenis tertentu
yang berimplikasi dalam kasus kelumpuhan fasial atau komplikasi lainnya dibandingkan dengan tipe
lainnya yang digunakan.Berdasarkan uraian suatu literatur, belum jelas bahwa tipe vaksin yang digunakan
yang menimbulkan laporan kasus terjadinya kelumpuhan fasial.Penulis menyarankan untuk diadakannya
penelitian berbasis populasi terkontrol untuk menentukan apakah hal tersebut memiliki hubungan kausal
atau koinsidental.
Pada seluruh pekerja layanan kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, dan lain-lain) yang memulai
pelatihan atau prakteknya, pada pasien yang menunjukkan gambaran Bells palsy dan baru saja mendapat
vaksin, maka vaksin HBV harus dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab gejala setelah seluruh
penyebab lainnya disingkirkan dan bila menemukan pasien yang mengalami stress atau tertekan dengan
adanya gejala kelumpuhan fasial maka harus dilakukan pendekatan terhadap pasien tersebut untuk
mengurangi kecemasannya, melindungi mata dan memulai terapi medis jika memungkinkan.
REFERENSI

1. Sarnat H B, Behrman R E, Kliegman R M, Arvin A M (eds). Paediatric critical care. In Nelson textbook of
pediatrics, 17th ed. pp 2081-2081. Philadelphia: WB Saunders Company, 1996.
2. Maillefert J F, Farge P, Gazet-Maillefert M P, Tavernier C. Mental nerve neuropathy as a result of hepatitis B
vaccination. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radial Endod 1997; 83: 663664.
3. Sinsawaiwong S, Thampanitchawong P. Guillain-Barr syndrome following recombinant hepatitis B vaccine and
literature review. J Med Assoc Thai 2000; 83: 11241126.
4. Shaw F E Jr, Graham D J, Guess H Aet al. Postmarketing surveillance for neurologic adverse events reported
after hepatitis B vaccination. Experience of the first three years.Am J Epidemiol 1988; 127: 337352.
5. Waisbren B A. How safe is universal hepatitis B vaccination? New Yorkers for Vaccination Information and
Choice. Online information available at http://nyvic.org/nyvic/health/hep-b/howsafe.htm (accessed 19 August 2013).
6. Adour K K, Byl F M, Hilsinger R L Jr, Kahn Z M, Sheldon MI. The true nature of Bells palsy: analysis of 1,000
consecutive patients. Laryngoscope 1978; 88: 787801.
7. May M. The facial nerve.p 181. New York: Thieme Inc, 1986.
8. Delaney P. Neurologic manifestations in sarcoidosis: review of the literature, with a report of 23 cases. Ann Intern
Med 1977; 87: 336345.
9. Hoitsma E, Faber C G, Drent M, Sharma O P. Neurosarcoidosis: a clinical dilemma. Lancet Neurol 2004; 3: 397
407.
10. Vasconcelos B C, Bessa-Nogueira R V, Maurette P E, Carneiro S C S A. Facial nerve paralysis after impacted
lower third molar surgery: a literature review and case report. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2006; 11: E175178.
11. Kumar R, Karthikeyan C V, Singh C A, Preetam C, Sikka K. Iatrogenic facial nerve palsy Prevention is better
than cure: analysis of four cases. Indian J Otolaryngol 2011; 17: 170172.
12. Burke R H, Adams J L. Immediate cranial nerve paralysis during removal of a mandibular third molar. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 1987; 63: 172174.
13. Pogrel, M A, Bryan J, Regezi J A. Nerve damage associated with inferior alveolar nerve blocks. J Am Dent
Assoc 1995; 126: 11501155.
14. Evans R A, Harries M L, Baguley D M, Moffat D A. Reliability of the House and Brackmann grading system for
facial palsy. J Laryngol Otol 1989; 103: 10451046.
15. Cousin G C. Facial nerve palsy following intra-oral surgery performed with local anaesthesia. J R Coll Surg
Edinb 2000; 45: 330333.
16. Sullivan F M, Swan I R, Donnan P T et al. Early treatment with prednisolone or acicyclovir in Bells palsy.N
Engl J Med 2007; 357: 15981607.

You might also like