You are on page 1of 4

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini,
maka dapat ditegakan diagnosis kerja yaitu otitis eksterna difus dan rhinitis alergi intermitten
ringan. Hasil anamnesis yang mendukung adanya telinga terasa penuh dan gatal. Disebabkan
oleh kebiasaan mengorek telinga. Ditemukan juga gejala hidung tersumbat dan bersin-bersin
terutama pada pagi hari. Keluhan tersebut muncul terutama ketika terpapar debu. Keluhan
diperberat pada pagi hari dan ketika hari hujan. Pasien sebenarnya tidak memiliki keluhan di
tenggorok, tetapi apabila ditanya pasien sering merasa mengganjal dan mendehem untuk
menghilangkan rasa mengganjal tersebut.
Pada pemeriksaan fisik telinga, ditemukan liang telinga kiri sempit, hiperemis, udem,
laserasi, dan nyeri penarikan daun telinga. Selain itu, didapatkan juga lapisan berwarna putih
susu yang menutup sebagian liang telinga pasien. Pada telinga kanan, didapatkan membrane
timpani pasien perforasi tipe sentral dan terdapat sekret mucopurulent di liang telinga kanan
pasien. Pada pemeriksaan fisik hidung, ditemukan konka inferior kedua hidung tampak livid
dan terdapat sekret yang encer dan bening. Pada pemeriksaan fisik di tenggorok, didapatkan
dinding posterior faring pasien hiperemis dan bergranul. Selain itu, arcus palatopharingeus
nya juga hiperemis.
Dengan gejala yang mendukung tersebut maka diagnosis yang diambil adalah otitis
eksterna difusa dan otomikosis di telinga kiri. Otitis media supuratif kronis aktif tipe aman di
telinga kanan pasien. Pasien juga didiagnosis dengan rhinitis allergi intermiten ringan dan
faringitis kronis tipe hiperplastik.
Penatalaksanaan medika mentosa yang diberikan pada pasien ini adalah obat tetes
H2O2 3% untuk telinga kanan dan kiri, obat tetes anti jamur nystatin untuk telinga kanan
pasien, antibiotic amoksisilin tablet 2x1 tablet selama 7 hari dan loratadin 10 mg 1x1 tablet
selama 7 hari. Pasien diedukasikan dengan modifikasi diet makanan sehariannya untuk
mengobati faringitis kronisnya.

Prognosis ad vitam adalah bonam karena tidak mengancam nyawa pasien. Ad


sanationam adalah dubia ad bonam karena bila pengobatan tidak adekuat dan kontak dengan

alergen tidak dihindari maka dapat berlanjut menjadi sinusitis. Ad functionam adalah dubia
ad bonam.

PR dr Wiendyati
1) Komposisi obat rivanol

Komposisi : Etakridina laktat 0,1% dalam air.


Kegunaan : Untuk membunuh kuman penyakit kulit, digunakan sebagai cairan cuci
luka dan kompres penyakit kulit.

2) Berapa lama batas waktu pemberian dekongestan untuk mengelakkan rhinitis


medikamentosa?
Dekongestan topikal(obat tetes hidung atau semprot)mempunyai efek yang lebih
cepat dibanding dekongestan oral.Akan tetapi dekongestan topikal hanya
diperbolehkan selama 5-7 hari.jika lebih dari 7 hari akan menimbulkan rebound
phenomenon(fenomena balik),efek obat semakin berkurang dan jika diteruskan,gejala
hidung tersumbat jadi menetap dengan ingus berlebihan.Oleh karena itu sebaiknya
jika sudah 7 hari dekongestan topikal diganti dengan dekongestan oral saja.
3) Patofisiologi penggunaan dekongestan sehingga menyebabkan rhinitis
medikamentosa?
Mukosa hidung terdiri dari dua komposisi pembuluh darah berupa pembuluh darah
resistensi dan pembuluh darah kapasitansi. Pembuluh darah resistensi terdiri dari
arteri kecil, arteriol, dan anastomosis arteriovenosus, mengalir ke pembuluh
kapasitansi, yang terdiri dari sinusoid vena. Pemakaian topikal vasokonstriktor yang
berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala
obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat
tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa adrenergik yang tinggi di
mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensivitas reseptor alfa
adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung) menghilang.
Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga
sebagai rebound congestion.
4) Fisiologi Otot Stapedius dan Otot Tensor Tympani
Muskulus stapedius
Muskulus ini berkontraksi oleh aktivasi suara dengan intensitas tinggi dan berfungsi
membatasi amplitudo stapes. Kontraksi m. stapedius tidak menyebabkan pergerakan
membran timpani yang dapat diamati tetapi dapat meningkatkan impedansi akustik
telinga tengah sehingga dapat dicatat dengan mengukur perubahan impedansi telinga.
Kontraksi ini disebut sebagai refleks stapedius yang merupakan refleks akustik telinga
tengah.

Muskulus tensor timpani

Suara keras secara langsung menimbulkan aktivasi m. tensor timpani sehingga


membran timpani tertarik ke dalam kearah kavum timpani. Kontraksi muskulus ini
disebut refleks muskulus tensor timpani dan merupakan bagian dari refleks akustik
telinga tengah. Hasil kontraksi kedua muskulus ini menggerakan struktur telinga
tengah (maleus dan stapes) kearah yang berbeda atau bersifat antagonis tetapi
merupakan sistem kerja yang sinergis karena kekuatan kontraksi digunakan pada
osikula tegak lurus terhadap axis rotasi primer dari rantai osikula.
Efek utama kontraksi ini menjadikan sistem transmisi telinga tengah lebih sulit
dan tidak seefektif transmisi pada suara normal. Transmisi suara berfrekuensi rendah
(< 2 Hz) dilemahkan oleh kontraksi kedua muskulus telinga tengah dan fungsi
melemahkan dari m. stapedius lebih baik dari pada m. tensor timpani. Pengurangan
intensitas oleh karena kontraksi muskulus ini kurang lebih sekitar 5-14 dB (sampai 20
dB) pada kebisingan dengan intensitas tinggi dan 2-5 dB untuk suara dengan
intensitas rendah.

You might also like