You are on page 1of 28

LAPORAN

EVIDENCE BASED NURSING


Frail elderly people : Detection and management in primary
care

Disusun Oleh :
Kelompok 2 Blok 3.6
Atika Dwi Rahayu
(15783)
Sri Rahayu
(15784)
Annisa Hasna Rudanti
(15785)
Risky Ayu Apriliandi
(15786)
Widowati Budi Pratiwi (15787)
Hanif Miftahul Iza
(15788)
Intan Milasari
(15789)
Nella Sri Pujirahayu
(15790)
Fatin Hapsah Afifah
(15791)
Nurlaili Cahyani
(15792)
Kharina Nur Shabrina
(15793)
Fine Ismayani
(15794)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut UU No.13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2
menyatakan bahwa lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari
proses tumbuh kembang yaitu sejak dilahirkan pada usia balita, usia
mudah, usia dewasa sampai lanjut usia. Lanjut usia adalah

seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes RI,


2009).
Proporsi

orang

yang

sangat

tua

yang

paling

cepat

berkembang. Saat ini ada tiga juta orang lebih dari 80, dan jumlah
ini diperkirakan hampir dua kali lipat pada tahun 2030 (Kings Fund,
2012). Indonesia menduduki rangking keempat di dunia dengan
jumlah lansia 24 juta jiwa yang belum terlalu mendapat perhatian.
Tidak hanya menghadapi angka kelahiran yang semakin meningkat,
Indonesia juga menghadapi beban ganda (double burden) dengan
kenaikan jumlah penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) karena
usia harapan hidup yang makin panjang bisa mencapai 77 tahun
(Merry, 2008).
Salah satu masalah pada lansia adalah kelemahan yang tidak
dapat di diagnosis. Kelemahan pada lansia di integrasikan sebagai
istilah dari gambaran keadaan fungsional yang terbatas atau
tanggapan dalam menghadapi stres (Sari, Cracknell & Sheldon,
2008). Kelemahan merupakan keadaan terjadinya peningkatan pada
kerentanan resolusi homeostasis setelah stressor, yang dapat
meningkatkan risiko hasil yang merugikan (Eeles et al., 2012).
Kelemahan

dapat

berupa

ekspresi

klinis

yang

menyiratkan

kekhawatiran tentang lansia kerentanan dan penampilan luar atau


fisik seseorang (Walston et al., 2006).
Kelemahan pada lansia cenderung

memiliki

beberapa

komorbiditas, polifarmasi, gangguan sensorik dan kognitif - yang


semuanya terkait dengan peningkatan insiden bahaya kesehatan
(Thomas & Brennan, 2010). Efek bahaya dari kelemahan adalah
adanya cedera yang relatif kecil pada fisiologis, sosial atau
fungsional. Efek bahaya kelemahan ini dapat mengakibatkan
sindrom

geriatri

seperti

jatuh,

delirium,

dan

tekanan

ulcers

(Tsilimingras, Rosen & Berlowitz, 2009).


Kegagalan untuk mendeteksi keluhan kesehatan antara para
lansia dapat menyebabkan penurunan kemampuan mereka untuk
berfungsi secara independen (Christensen et al., 2009). Strategi
identifikasi awal dari lansia yang berisiko memiliki kesehatan yang

buruk dan intervensi dini harus mencegah atau menunda timbulnya


penurunan fungsional dan mempertahankan hidup mandiri (Bouman
et al., 2008).
Setelah masalah kesehatan dan keluhan diidentifikasi, fasilitas
perawatan

harus

disesuaikan

dengan

kebutuhan

lansia

dan

keterlibatan aktif lansia dalam pengambilan keputusan mengenai


kebutuhan mereka akan layanan perawatan didorong (Beswick et
al., 2010).
Berdasarkan uraian diatas, penulis melakukan pencarian
evidence based nursing untuk mencari dan mengkritisi adakah
pengkajian atau assessment untuk mengetahui kelemahan pada
lansia di pelayanan kesehatan.
B. Rumusan masalah
Berikut rumusan masalah yang di angkat berdasarkan latar belakang, kami
ingin mengetahui :
1. Apakah pentingnya

melakukan

pengkajian

atau

deteksi

dini

untuk

mengidentifikasi kelemahan fisik pada lansia ?


2. Bagaimana model pengkajian untuk mengidentifikasi kelemahan fisik pada
lansia?
3. Apa sajakah intervensi yang dapat diberikan bagi lansia yang teridentifikasi
mengalami kelemahan fisik ?
4. Bagaimana peran perawat dalam menggunakan pengkajian kelemahan fisik pada
lansia?
C. Tujuan
Dengan rumusan masalah diatas, kami memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang pentingnya melakukan pengkajian atau deteksi dini untuk
mengidentifikasi kelemahan fisik pada lansia
2. Mengetahui model dan penerepan pengkajian untuk mengidentifikasi kelemahan
fisik pada lansia.
3. Mengetahui beberapa intervensi yang dapat diberikan bagi lansia yang
teridentifikasi mengalami kelemahan fisik
4. Mengetahui peran perawat dalam menggunakan pengkajian kelemahan pada
lansia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Definisi Lansia
Lansia merupakan seseorang yang telah memasuki usia 60
tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses
yang disebut Aging Process atau proses penuaan (WHO).
Menurut

Undang-Undang

No

13

Tahun

1998

tentang

kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di


Indonesia adalah 60 tahun ke atas (Depkes, 2013).
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang
kondisi

untuk

stres

mempertahankan

fisiologis.

keseimbangan

Kegagalan

ini

berkaitan

terhadap
dengan

penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan


kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan

lanjut

usia

pada

Bab

Pasal

ayat

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua.


Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, contohnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur,
rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semangkin memburuk, gerakan lambat, dan figure
tubuh yang tidak proposional. Menua bukanlah suatu penyakit,
tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya
tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar
tubuh yang berakhir dalam kematian.
2. Klasifikasi Lansia
a. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria :

1) usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45


sampai 59 tahun.
2) usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun.
3) usia tua (old) antara 75-90 tahun.
4) usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
b. Departemen kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut :
1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai
masa virilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium.
3) Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) senium.
c. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1965:
Seseorang dikatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut
setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak
mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari
orang lain (Santoso, 2009).
3. Karakteristik Lansia
Karakteristik usia lanjut adalah munculnya beberapa perubahan
dalam tubuhnya. Perubahan pada lansia meliputi :
a. Perubahan kondisi fisik
Perubahan pada kondisi fisik pada lansia

meliputi

perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ


tubuh,

diantaranya

sistem

pernafasan,

pendengaran,

penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,


muskolosketal, gastrointestinal, urogenital, endokrin, dan
integumen. Masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan
pada lansia diantaranya lansia mudah jatuh, mudah lelah,
kekacuan mental akut, nyeri pada dada, berdebar-debar,
sesak nafas, pada saat melakukan aktifitas/kerja fisik,
pembengkakan pada kaki bawah, nyeri pinggang atau
punggung, nyeri sendi pinggul, sulit tidur, sering pusing, 14
berat badan menurun, gangguan pada fungsi penglihatan,
pendengaran, dan sulit menahan kencing.
b. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunann fungsi
kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat
sekali

kaitannya

dengan

perubahan

fisik,

keadaan

kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan

situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional sering


muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman
dan cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa
terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut
ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini bisa
meyebabkan lansia mengalami depresi.
c. Perubahan psikososial
Masalah perubahan psikososial serta

reaksi

individu

terhadap perubahan ini sangat beragam, bergantung pada


kepribadian individu yang bersangkuatan.
d. Perubahan kognitif
Perubahan pada fungsi kognitif di antaranya
kemunduran

pada

tugas-tugas

yang

adalah

membutuhkan

kecepatan dan tugas yang memerlukan memori jangka


pendek,

kemampuan

intelektual

tidak

mengalami

kemunduran, dan kemampuan verbal akan menetap bila


tidak ada penyakit yang menyertai.
e. Perubahan spiritual
Menurut maslow (1970), agama dan kepercayaan makin
terintegrasi dalam kehidupannya
B. Kelemahan Fisik Pada Lansia
Kelemahan didefinisikan sebagai keadaan klinis dikenali dari meningkatnya
kerentanan yang dihasilkan dari penurunan cadangan dan fungsi di beberapa sistem
fisiologis sehingga terjadi penurunan kemampuan untuk mengatasi stressor sehari-hari
atau akut terkait penuaan. Kelemahan adalah gangguan beberapa sistem fisiologis yang
saling terkait. Ada penurunan bertahap dalam cadangan fisiologis dengan penuaan tetapi,
dalam kelemahan, penurunan ini dipercepat dan mekanisme homeostatis mulai gagal.
Mekanisme penuaan yang kompleks ini dipengaruhi oleh faktor yang mendasari genetik
dan lingkungan.
Terdapat dua model mengetahui kelemahan adalah model fenotipe dan model
defisit kumulatif mendasari Study Kanada Kesehatan dan Penuaan (CSHA) Kelemahan
Indeks (FI). Menurut Fried et al. kelemahan memenuhi tiga dari lima kriteria fenotipe
yaitu menunjukkan: kekuatan pegangan rendah, energi rendah, memperlambat kecepatan
bangun, aktivitas fisik yang rendah, dan / atau penurunan berat badan yang tidak
disengaja. Faktor-faktor yang berpotensi penting lainnya seperti gangguan kognitif,

kondisi sangat umum yang terkait dengan penurunan fungsional dan cacat, tidak
dimasukkan sebagai komponen dari fenotip. Sedangkan Kelemahan Indeks dengan
menghitung jumlah akumulasi defisit dari waktu ke waktu (disebut "index kelemahan
(FI)") termasuk kecacatan, penyakit, gangguan fisik dan kognitif, faktor risiko
psikososial, dan sindrom geriatrik (misalnya jatuh, delirium, dan inkontinensia urin.
Dikatakan bahwa, dibandingkan dengan Fried kelemahan fenotipe, FI adalah prediktor
yang lebih sensitif dari hasil kesehatan yang merugikan karena skala risiko yang lebih
halus bergradasi nya, dan ketahanan dalam kesimpulan klinis berkaitan dengan jumlah
dan komposisi sebenarnya dari barang-barang yang di FI.
Adapun Intervensi yang dapat diberikan bagi Lansia yang mengalami kelemahan
adalah sebagai berikut :
1. Intervensi Olahraga
Olahraga memiliki efek fisiologis pada otak, sistem endokrin, sistem kekebalan tubuh
dan otot rangka. Hasil dari intervensi latihan untuk lansia lemah menyimpulkan
bahwa olahraga dapat meningkatkan hasil dari mobilitas dan kemampuan fungsional.
2. Intervensi Nutrisi
intervensi gizi mungkin memiliki potensi untuk mengatasi gizi pada lansia dan
penurunan berat badan yang terganggu akibat dari kelemahan.
3. Pengobatan
Memonitoring medikasi sangat penting untuk mengkaji kebutuhan obat yang perlu
dikonsumsi dan yang perlu dihindari lansia, interaksi obat, dan sebagainya

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Pencarian Jurnal


Membuat PICO
P
: Elderly
I
: Assesment
C
:O
: Detection in Frail Elderly
2. Pertanyaan klinis: Bagaimana pengkajian pada lansia yang mengalami kelemahan?
3. Mencari jurnal melalui libmed.ugm.ac.id ScienceDirect dengan keyword primary
health care AND detection AND Frail Elderly
4. Pilih tipe Full Text Article jurnal 5 tahun terakhir
5. Ditemukan 1.083 jurnal yang berkaitan dengan kata kunci.
6. Dari beberapa jurnal, kami memilih jurnal untuk dikonsultasikan kepada dosen
pembimbing. Kemudian kami mengangkat jurnal berjudul Frail elderly people :
Detection and management in primary care sebagai jurnal utama.
7. Menganalisis jurnal tersebut.
8. Menarik kesimpulan.
A. Identitas Jurnal
1. Jurnal Utama
Judul
Penyusun

Tahun Terbit
Publikasi

: Frail elderly people : Detection and management in primary


care
: Inaki Martn-Lesende , Ana Gorronogoitia Iturbe , Marta
Molina Olivas , Pedro Abizanda Soler
: 2015
: Europran Geriatric Medicine

2. Jurnal Pendukung
Judul Artikel

: A 2 year multidomain intervention of diet,


exercise, cognitive
training, and vascular risk monitoring versus
control to prevent
cognitive decline in at-risk elderly people

Penyusun

(FINGER):
a randomised controlled trial
: Tiia Ngandu, Jenni Lehtisalo, Alina Solomon, Esko
Levlahti, Satu
Bckman,

Ahtiluoto, Riitta Antikainen, Lars

Tuomo

Hnninen,

Laatikainen,

Jaana

Mangialasche,

Teemu

Markku

Peltonen,

Antti

Lindstrm,
Paajanen,

Rainer

Jula,

Tiina

Francesca
Satu

Rauramaa,

Pajala,
Anna

Stigsdotter-Neely,
Tahun Terbit
Penerbit

Timo

Strandberg,

Jaakko

Tuomilehto, Hilkka Soininen, Miia Kivipelto.


: 2015
: Academy of Finlands Responding to Public Health
Challenges
Research Programme (SALVE) grants

B. Analisis dan Pembahasan Jurnal Utama


1. Metodologi
Penelitian ini dilakukan menggunakan instrumen untuk mendeteksi kelemahan pada
lansia yaitu mengguanakan tes fungsional kinerja (banyak direkomendasikan sebagai
pilihan pertama), fenotip klinis (Fried Kriteria), indeks multidimensi pendek, dan
instrumental activities of daily living (IADL), penilaian geriatri komprehensif (CGA)
yang bertujuan dalam memberikan manajemen perawatan primer dan skrining pada lansia
sebagai metode dalam mengkonfirmasi status atau mengarahkan pengelolaan pasien
lanjut usia yang memiliki kelemahan tertentu. Partisipan yang terlibat dalam skrining
umumnya dilakukan pada usia 70 tahun penelitian ini berjumlah 300 pasien, Kemudian
dilakukan pengkajian dengan instrumet diatas didapatkan 2 kelompok yaitu tidak ada
pasien lemah sejumlah 45 pasien dan tidak ada pasien non lemah 225 pasien.
2. Prevalensi dan intervensi kelemahan pada lansia
Di Spanyol prevalensi kelemahan pada lansia sebanyak 10% pada usia lebih dari 65
tahun. Prevalensi kejadian kelemahan lebih banyak terjadi pada wanita dan semakin
meningkat resikonya seiring bertambahnya usia. Kelemahan pada lansia merupakan
tahap awal dari adanya ketidakmampuan. Namun, kelemahan pada

lansia dapat

dilakukan deteksi dini dan sangat besar kemungkinannya dapat dipulihkan ke keadaan
sebelumnya. Intervensi lebih dini akan sangat membantu mencegah timbulnya
dampak atau kondisi yang lebih parah. Kelemahan pada lansia terjadi pada seseorang
yang mengalami penurunan fungsi fisiologis disertai dengan masalah kesehatan lain
seperti hospitalisasi, jatuh, komplikasi pos operasi, infeksi, imobilitas dan masalah
lansia lainnya. Hingga saat ini patofisiologi dari kelemahan itu sendiri belum
diketahui akan tetapi efek dari kelemahan bersifat sitemik. Oleh sebab itu sangat sulit
untuk menentukkan intervensi yang tepat pada lansia dengan kelemahan. Setiap
individu memiliki kebutuhan intervensi yang berbeda beda disesuaikan dengan
kebutuhan masing individu tersebut. Namun, beberapa intervensi yang paling biasa
dilakukan yaitu:
a. Olahraga dan aktivitas fisik
Olahraga dan aktivitas merupakan rekomendasi utama untuk mengatasi
kelemahan. Untuk jenis, frekuensi, durasi, intensitas dan lokasi latihan fisik

belum terdapat penjelasan lebih lanjut. Namun, lebih dianjurkan pada olahraga
dan

aktivitas

fisik

yang

mengutamakan

ketahanan,

kekuatan

dan

keseimbangan.
b. Pemenuhan Nutrisi
Pemenuhan nutrisi yang adekuat juga sangat dianjurkan untuk mengatasi
kelemahan pada lansia terutama jika diimbangi dengan olahraga. Pemenuhan
vitamin D sebagai suplemen tubuh yang sesuai untuk meningkatkan massa dan
kekuatan otot.
c. Manajemen yang adekuat
Manajemen yang adekuat

pada

penyakit

kronis

(depresi, diabetes,

osteoporosis, arthrosis, penyakit kardiovaskular, dll) termasuk pencegahan


kompilkasi yang terkait atau memburuknya penyakit itu sendiri. Apabila lansia
mengalami penyakit kronis yang berlanjut maka harus segera dibawa ke
tenaga kesehatan yang profesional.
d. Monitoring medikasi yang biasa dilakukan secara rutin.
Memonitoring medikasi sangat penting untuk mengkaji kebutuhan obat yang
perlu dikonsumsi dan yang perlu dihindari lansia, interaksi obat, dan
sebagainya
e. Menghindari dan meminimalkan dampak dari kejadian stres.
Lansia lebih rentan mengalami stres, salah satu penyebabnya yaitu penyakit
kronis yang dialami lansia.
3. Model Kelemahan
Secara umum, ada dua model konseptual kelemahan pada lansia, dengan strategi
pendekatan yang berbeda, yaitu :
a) Kelemahan yang tampak secara fisik
Kelemahan yang tampak terdiri dari 5 komponen klinis yaitu penurunan berat
badan yang tidak menentu, kelemahan dalam menggenggam, energi yang lemah
dan kelelahan yang terus menerus serta adanya perlambatan dalam berjalan.
b) Model defisit kumulatif sebagai pendekatan multidimensional
Ini jenis model yang didasarkan pada perhitungan indeks, diperoleh dengan
menggunakan sistem skoring dari beberapa domain multidimensional dikaitkan
dengan peningkatan risiko penurunan fungsional dan atau efek samping. Salah
satu kelebihan indeks kumulatif yaitu dengan menunjukkan skor (antara 0 dan 1)
yang menjelaskan adanya proporsi dari item yang tidak normal yang menunjukkan
adanya kelemahan.

Gambar 1. Deteksi kelemahan dan proposal untuk manajemen dalam perawatan primer
Gambar 1 menunjukan alur dalam penelitian ini yaitu mengenai pemilihan lansia yang
berpotensi mengalami kelemahan. Dalam hal ini skrining dilakukan pada usia lanjut

70 tahun. Dilakukan penilaian yang sistematis dari latihan fisik (dari usia

muda), setelah itu dilakuakn pencegahan primer sesuai rekomendasi dan latihan
berupa intervensi latihan fisik. Dalam melakukan pengkajian tersebut dapat
menggunakan uji kinerja yang fungsional meliputi berbagai kegiatan hidup sehari-hari
,hal ini untuk menunjang manajemen kelemahan pada lansia.

Table 1. Different characteristics of the frailty detection tools used in primary care.

Dari tabel 1 didapatkan hasil bahwa:


1.

Kolom pertama menunjukkan bahwa semakin banyak tanda positif (+) dari setiap

2.

metode, semakin positif terjadi kelemahan pada lansia.


Kolom kedua menunjukkan bahwa semakin banyak tanda positif (+) dari setiap

3.

metode, semakin efektif untuk mendeteksi adanya kelemahan pada lansia.


Kolom ketiga menunjukkan adanya semakin banyak tanda positif (+) dari setiap

4.

metode, semakin mudah digunakan.


Kolom keempat menunjukkan adanya semakin banyak tanda positif (+) dari
setiap metode, semakin memiliki validasi yang baik.

Table 2. Performances of tools classifying patientsas Frail vs non-frail


Pada tabel 2 menunjukkan Kinerja alat untuk mengklasifikasikan pasien
sebagai lemah vs non-lemah. Dari tabel tersebut diperoleh hasil bahwa sensitivitas,
spesifisitas dan rasio kerasio kemungkinan beberapa alat tersebut, dihitung dari
beberapa penelitian yang di terbitkan dari beberapa negara tersebut menunjukan hasil
bahwa kejadian terbanyak pada pasien yang akan dinilai setelah scrining yaitu 166
pasien pada tes berjalan cepat.
c) Instrumen pengkajian kelemahan pada lansia
Instrumen dan alat untuk mendeteksi kelemahan mengunakan 6 kegiatan
dalam melakuakan pengkajian :

1. L
a
m
p
ir
a
n
1
:
menjelaskan tentang kelemahan yang tampak
a. Menayakan penurunan berat badan.
b. Menanggapai pertanyaan tertentu yang berhubungan dengan kekuatan
atau energi yang dimiliki.
c. Menilai kekuatan otor dapat di dilakuakn dengan kekuatan cengkraman.
d. Mengukur tingkat aktivitas fisik dengan menggunakan kalkulator atau
skala aktivitas fisik.
e. Mengkaji ketingkat kelambatan atau kecepatan dalam berjalan.

2. Lampiran 2 : menjelaskan kecepatan dan jangka waktu gaya berjalan.


a) Gait Speed
Lansia diminta untuk berjalan digaris lurus sejauh 6-8 meter kemudian
dihitung seberapa lama waktu yang dibutuhkan.
Pada pelayanan primer, jarak yang digunakan hanya sekitar 3-4 meter,
dikarenakan keterbatasan ruang.

Hasil pengkajian : Menjelaskan adanya resiko kelemahan apabila waktu


yang dibutuhkan antara 1-0,8 m/s.
b) Timed Up and Go Test
Lansia diminta duduk dengan bersandar di kursi, kemudian diminta untuk
bangun dari kursi (jika memungkinkan dianjurkan tanpa menggunakan
bantuan tangannya). Dianjurkan untuk berjalan sejauh 3 m lalu berjalan
kembali menuju ke kursi dan duduk kembali (dalam hal ini diperbolehkan
menggunakan alat bantu seperti tongkat). Penilaian hasil ditunjukkan jika
lansia membutuhkan waktu lebih dari 20 s menunjukan bahwa mereka
memiliki resiko tinggi untuk jatuh, batasan lebih umum digunakan untuk
mendeteksi kelemahan.

3. Lampiran 3 : pengkajian daya tahan kinerja fisik yang pendek atau tes
Guralink
Instrumen ini terdiri dari tiga tes :
a. Keseimbangan (posisi inside by side, semi tandem, dan tandem)
b. Kecepatan cara berjalan (lebih dari 2,4 atau 4 m)
c. Naik turun kursi (sekali atau dilakukan secara berulang sebanyak 5
kali)
Dalam melakukan test tersebut sangat penting dilakukan
dengan urut, sebagian pasien mungkin dapat menjadi kelelahan
jika kita mulai dengan tes berdiri dari kursi, karena hal ini dapat

mengakibatkan hasil yang buruk (unpresentatively). Dalam


pelatihannya dibutuhkan sekitar 6-10 menit. Dari keseluruhan
scoring

dan

hasil

interpretasi

yang

di

peroleh

dengan

menjumlahkan hasil dari ke tiga sub-tes, menghasilkan : skor 0


(rendah) dan 12, dengan perubahan 1-point signifikasi klinis jika
mendapatkan skor <10 menunjukkan kelemahan dan berisko tinggi
mengalami jatuh dan kecacatan.

4. Lampiran 4 : SHARE-FI scale (5 item version)


a) Kelelahan : mengidentifikasi adanya respon positif untuk suatu pertanyaan, pada akhir
bulan, apakah anda mempunyai sedikit energy untuk melakukan sesuatu yang Anda
lakukan?
b) Kehilangan nafsu makan: pengurangan nafsu makan untuk menjawab pertanyaan,
bagaimana nafsu makan anda? atau keadaan non spesifik ataupun respon tidak terkode
pada pertanyaan ini, dengan jawaban kurang untuk pertanyaan: jadi, apakah Anda
mempunyai porsi makan yang biasa atau lebih sedikit?

c) Kelemahan: menilai dengan kekuatan pegangan tangan (kg) menggunakan dynamometer


(beban 100kg, dynamometer Smedley), mengikuti prosedur yang dideskripsikan oleh
Mohd Hairi et al. (menggunakan nilai normative untuk jenis kelamis dan BMI). Dua
pengukuran yang berturutan didapat dari pengukuran tangan kanan dan kiri. Yang paling
tinggi dari nilai 4 adalah yang dipilih.
d) Kesusahan berjalan: mengenali pertanyaan positif untuk salah satu yang diikuti:karena
masalah kesehatan atau masalah fisik, Anda mempunyai kesulitan terhadap sesuatu untuk
mengikuti aktivitas setiap hari: berjalan 100m atau menaiki anak tangga tanpa istirahat
(tidak termasuk kesulitan dalam tiga bulan terakhir)
e) Aktivitas fisik: menilai dengan menggunakan pertanyaan :seberapa sering Anda
menggunakan aktivitas yang memerlukan low atau moderate level energy seperti
berkebun, mencuci mobil atau hanya sekedar berjalan? dengan penggolongan jawaban
1= lebih dari seminggu sekali; 2=sekali seminggu; 3= 1 atau 3 kali dalam sebulan dan 4=
pernah atau tidak pernah sama sekali.

f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
f)
Lampiran 5 : Skala FRAIL adalah kuisioner untuk mengkaji model kelemahan
yang tampak (fraily phenotype) dan FI, hal yang dikaji meliputi lima
komponen, yaitu :
a. Fatigue
Dalam kurun waktu 4 minggu, seberapa sering merasa lelah?
b. Daya tahan
Apakah mempunyai kesulitan berjalan 10 langkah tanpa istirahat dan
tanpa bantuan?
c. Ambulasi
Apakah mempunyai kesulitan berjalan di halaman tanpa bantuan?
d. Penyakit
Apakah mempunyai penyakit seperti diabetes, hipertensi, kanker,
tumor, penyakit paru-paru kronis, penyakit jantung, angina, CHF,
asthma, artritis, dan penyakit ginjal?
e. Penurunan berat badan
Hitung berat badan sekarang dan berat badan pada 1 tahun yang lalu

Total skor adalah 0-5 dengan perhitungan 1 poin untuk masing-masing


komponen. Jika hasilnya 3-5 poin maka frail (lemah), 1-2 poin prefrail, dan 0 point dikatakan sehat.

g) Lampiran 6 :
IADL ada 2 yaitu Lawton IADL scale dan kuisioner VIDA. Kuisioner ini
untuk mengidentifikasi individu pada stase awal kemunduran fungsional
yang berhubungan dengan menurunnya IADL (Intrumental Activities of
Daily Living). Untuk kuisioner VIDA ada di lampiran 6 dengan total skor
38 untuk 10 komponen yaitu

a. menyiapkan obat,
b. menggunakan telepon,
c. malakukan pekerjaan rumah,
d. mengatur keuangan,
e. pergerakan di luar rumah,
f. menggunakan perabotan rumah tangga
g. berbelanja
h. menggunakan pintu
i. menggunakan transportasi
j. menjaga hubungan sosial
C. Analisis dan Pembahasan Jurnal Pendukung
1. Metode
Penelitian ini dinamakan The Finnish Geriatric Intervention Study
atau FINGER menggunakan metode double-blind randomised
control trial. Penelitian ini dilakukan di 6 daerah di Filandia
(Helsinki, Vantaa, Kuopio, Oulu, Seinajoki, dan Turku) selama 2
tahun pada 7 September 2009 sampai dengan 24 November
2011.
2. Partisipan
a. Kriteria inklusi:
1) Usia 60-77 tahun
2) Memiliki CAIDE (Cardiovaskuler Risk Factor, Aging, and
Dementia).
b. Kriteria Eksklusi :
1) Sebelumnya terdiagnosa demensia
2) Berisiko terkena demensia setelah pengobatan
3) Hasil pengkajian mental dibawah 20 poin

3. Prosedur
Semua partisipan (baik intervensi dan kontrol) dilakukan
monitoring selama 3 kali dalam 2 tahun penelitian, yaitu bulan ke
6, 12, dan 24 untuk pengecekan tekanan darah, berat badan, dan
BMI lingkar pinggul.

Selain itu, selama studi dilakukan skrining

mengenai riwayat pengobatan dan latihan fisik.


Kelompok intervensi mendapatkan 4 komponen intervensi,
yang pertama intervensi nutrisi. Tujuan dari intervensi ini
rekomendasi untuk lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur ,
dan mengkonsumsi sereal dan susu rendah lemak.mengurangi
konsumsi sukrosa kurang dari 50 g/ hari, dan mengkonsumsi ikan
sedikitnya 2 porsi dalam seminggu.
Intervensi yang kedua yaitu program latihan fisik.
Latihan

ini

dipandu

oleh

fisioterapi

dengan

tujuan

untuk

memperkuat otot-otot secara progresif selama 1 sampai 3 kali per


minggu dan latihan aerobik selama 2 sampai 5 kali per minggu,
termasuk latihan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Program
penguatan otot ini terdiri dari 8 grup otot utama, yaitu ekstensi
dan fleksi lutut, otot perut dan otot punggung, rotasi, otot tangan,

dan otot lengan, otot ekstremitas bawah). Sedangkan untuk


latihan aerobik dilakukan selama 7 kali dalam 2 tahun, yaitu pada
bulan ke 1, 3, 6, 9, 12, 18, dan 24.
Intervensi yang ketiga yatu latihan kognitif. Intervensi
ini berupa 6 sesi kelompok terkait edukasi psikologis, antara lain
perubahan kognitif pada usia lanjut, memori, dan pengambilan
strategi dalam kehidupan sehari-hari, dan 4 sesi dilakukan pada
sesi individu.
Intervensi yang keempat yaitu manajemen metabolik
dan faktor risiko pada vaskuler. Dilakukan pemantauan oleh
perawat pada bulan ke 3, 6, 9, 12, dan 18 untuk mengukur
tekanan darah, berat badan dan BMI, lingkar panggul, latihan
fisik, dan rekomendasi untuk manajemen gaya hidup atau
lifestyle.
Kelompok kontrol diberikan pelayanan kesehatan secara umum.
4. Hasil dan pembahasan

Pada Gambar 2 di atas

menunjukkan bahwa efek yang

signifikan pada outcome primary, ditunjukkan perubahan NTB Z skor


total dalam 2 tahun, yaitu 020 (SE 001, SD 051) pada kelompok
intervensi 0 16 (0 01, 0 51) pada kelompok kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa kelompok intervensi 25% lebh tinggi total Z


skor NTB daripada kelompok kontrol. Selanjutnya, terdapat efek
yang signifikan pada hasil kognitif dari executive functioning (p=0
039) and processing speed (p=0 029). Hal ini menunjukkan bahwa
pada kelompok intervensi 83% lebih tinggi executive fundtioning
dari pada kelompok kontrol, sedangkan pada processing speed
kelompok intervensi 150% lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.

Pada tabel 2 menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan


dari 2 kelompok terkait skor memori. Risiko oenurunan kognitif
mengalami

peningkatan

di

kelompok

kontrol

dibandingkan

kelompok intervensi (odds ratio 131,95% CI 101171).

Tabel 3 menunjukkan adanya efek yang dirasakan selama studi


berlangsung. Namun, dari intervensi yang dilakukan tidak ada yang
mengalami masalah serius dan tidak memerlukan hospitalisasi.

BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN
1. Perawat sebagai care provider
Perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada lansia dengan melakukan
screening kelemahan pada lansia menggunakan instrumen yang relevan. Perawat juga
dapat melakukan berbagai tindakan mandiri untuk menindaklanjuti hasil screening
tersebut.
2. Perawat sebagai collaborator
Perawat dapat bekerjasama dalam sebuah tim dengan tenaga kesehatan lain dalam
melakukan screening kelemahan lansia maupun menindaklanjuti hasil screening
tersebut.
3. Perawat sebagai educator
Perawat dapat memberi edukasi kepada lansia maupun keluarganya terkait beberapa
aktifitas yang bermanfaat untuk mencegah kelemahan pada lansia seperti melakukan
olahraga maupun aktifitas fisik, menjaga status nutrisi yang adekuat, manajemen
penyakit kronis yang adekuat, mengikuti medikasi yang diresepkan dokter secara
rutin serta menghindari kondisi yang dapat menyebabkan stres.
4. Perawat sebagai change agent
Perawat dapat menginisiasi penggunaan instrumen yang relevan untuk screening
kelemahan pada lansia di pelayanan kesehatan primer, melakukan pengembanganpengembangan program kesejahteraan lansia baik di Rumah Sakit, Pelayanan Primer
(Puskesemas) maupun di dalam komunitas.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan Analisis dan Pembehasan yang telah kami lakukan di atas, dapat
diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :
1. Kelemahan pada lansia merupakan awal dari adanya ketidakmampuan. Namun,
kejadian tersebut dapat dideteksi dini dan besar kemungkinan untuk dipulihkan.
Intervensi dini penting dilakukan karena akan sangat membantu mencegah
timbulnya dampak atau kondisi yang lebih parah.
2. Secara umum, ada dua model konseptual dalam melakukan pengkajian untu
mengidentifikasi kelemahan fisik pada lansia, dengan strategi pendekatan yang
berbeda, yaitu:
a. kelemahan secara fisik yang ditandai dengan adanya lima komponen klinis
diantaranya penurunan berat badan yang tidak menentu, kelemahan dalam
menggenggam, energi yang lemah dan lain lain.
b. Lalu yang kedua adalah model defisit kumulatif sebagai pendekatan
multidimensional yang didasarkan pada perhitungan indeks, diperoleh dengan
menggunakan sistem skoring dari beberapa domain multidimensional.
3. Setiap individu lansia memiliki kebutuhan intervensi yang berbeda yang
disesuaikan dengan kebutuhannya. Intervensi tersebut diantaranya adalah :
a. olahraga dan aktifitas fisik, dimana ini menjadi rekomendasi utama untuk
b.
c.
d.
e.

mengatasi kelemahan pada lansia;


pemenuhan nutrisi yang adekuat terutama jika diimbangi dengan olahraga.
Manajemen yang adekuat pada penyakit kronis dan pencegahan kompilkasi.
Monitoring medikasi untuk mengkaji kebutuhan obat;
dan menghindari serta meminimalkan dampak dari kejadian stres.

Penelitian pendukung juga mengatakan hal yang serupa yaitu, lansia yang akan
diketahui status kelemahannya melakukan monitoring dan skrining mengenai
riwayat pengobatan dan latihan fisik lansia tersebut. Dimana penelitian memuat
empat intervensi yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, yaitu intervensi
nutrisi, program latihan fisik, latihan kognitif dan menejemen metabolik. Hasil
penelitian menunjukkan adanya efek yang dirasakan selama pemberian intervensi.
4. Peran dan aktivitas perawat dalam melakukan pengkajian dapat menggunakan uji
kinerja yang fungsional meliputi melakukan pengujian terhadap berbagai kegiatan
sehari-hari yang dapat menunjang manajemen kelemahan pada lansia. Untuk
mendeteksi kelemahan mengunakan 6 kegiatan dalam pengkajian. Pertama, Fried
Frailty Phenotype, kedua, Gait Speed and Timed Up and Go Tests, ketiga, SPPB
atau Guralnik Test, keempat, Share Fi Scale, kelima, Frail Scale dan keenam
adalah VIDA Quesionair.
B. Saran

Bagi keluarga
1. Keluarga yang memiliki anggota lansia dapat melaksanakan skrinning dini agar
dapat mengetahui status kelemahan lansia.
2. Keluarga pula dapat membantu dalam pemenuhan nutrisi dan monitoring aktifitas
pada lansia sehari harinya.
Bagi perawat
1. Perawat dapat lebih banyak membaca literatur terkini mengenai masalah
kelemahan pada lansia.
2. Perawat dapat lebih sering mengimplementasikan kepada klien lansia dengan
status kelemahan positif.
3. Perawat dapat mengedukasi keluarga terkait intervensi yang dapat dilakukan
pada lansia yang memiliki kelemahan seperti pemenuhan nutrisi, pencegahan
komplikasi maupun pelaksanaan aktifitas fisiknya.
Bagi pemerintah
1. Memfasilitasi pelayanan primer masyarakat dengan lebih baik dan memadai
lagi.
2. Memberikan kebijakan-kebijakan khusus untuk meningkatkan kesejahteraan
lansia.
3. Merancang dan menyediakan sistem asuransi maupun pembiyaan yang lebih
efektif dan adil untuk meningkatkan kesejahteraaan lansia.

DAFTAR PUSTAKA
Beswick,A.D., Gooberman-Hill, R.,Smith, A., Wylde, V., Ebrahim, S.
2010. Maintaining Independence In Older People. Rev Clin
Gerontol .20: 128-153. 10.1017/S0959259810000079.
Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas.
Jakarta : Salemba Medika.
Eeles, E.M., White, S.V., OMahony, S.M., Bayer, A.J., Hubbard, R.E.
2012.The Impact Of Frailty And Delirium On Mortality In Older
Inpatients. Age Ageing; 41: 41216
Farizati,Karim. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta : Depkse RI
Lancet. 2014. Frailty in Older People. Europe PMC Funders Author
Manuscripts.

Lepeleire De Jan et al. 2009. Frailty: an emerging concept for


general practice. British Journal of General Practice
Martn-Lesende I , Iturbe A , Olivas M M , Soler P A. 2015. Frail elderly people :
Detection and management in primary care. Europran Geriatric Medicine:
Spanyol. Diakses pada Selasa, 24 Mei 2016 pukul 08.00 WIB.
Ngandu Tiia, Lehtisalo J, Solomon A, Levlahti E, Ahtiluoto S,
AntikainenR , Bckman L, Hnninen T, Jula A, Laatikainen T,
Lindstrm J, Mangialasche Paajanen J, Pajala S , Peltonen M,
Rauramaa R, Stigsdotter-Neely A, Strandberg T, Tuomilehto J,
Soininen H, Kivipelto M. 2015.

A 2 year multidomain

intervention of diet, exercise, cognitive training, and vascular


risk monitoring versus control to prevent cognitive decline in
at-risk elderly people (FINGER): a randomised controlled trial.
Academy of Finlands Responding to Public Health Challenges
Research Programme (SALVE) grants. Diakses pada Selasa, 24 Mei
2016 pukul 08.00 WIB.
Nina,Waaler. 2007. Its never to late : physical activity and elderly
people. Norwegian knowledge centre for the health service.
Sari,A.B., Cracknell,A., Sheldon,T.A. 2008. Incidence, Preventability
And Consequences Of Adverse Events In Older People: Results
Of A Retrospective Case-Note Review. Age Ageing;37(3):265-9.
Simpson,Richard

J.,

Thomas,W

Lowder.,

Guillaume,Spielmann.,

Austin,B Bigley., Emily,C LaVoy., Hawley,Kunz. 2012. Exercise


and the aging immune system. Aging Research Review 11 404420
The Kings Fund. 2012. The Care Of Frail Older People With Complex
Needs: Time For A Revolution. London: Kings Fund.
Thomas, E.J., Brennan,T.A. 2010. Incidence And Types Of Preventable
Adverse Events In Elderly Patients: Population Based Review Of
Medical Records. British Medical Journal;320(7237):741-4.

Tsilimingras, D., Rosen, A.K., Berlowitz, D.R. 2009. Patient safety in


geriatrics: a call for action. J Gerontol A Biol Sci Med
Sci;58(9):M813-9.
Wara, Kushartanti. 2010. Aktivitas Fisik dan Senam Usila. FIK UNY
Qian Li Xue. 2012. The Frailty Syndrome: Definition and Natural
History. Clin Geriatry Med. National Institute oh Health.
WHO.

2016.

Definition

of

an

older

or

elderly

person.

http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/
(diakses pada 25 Mei 2016 pukul 20.00)

You might also like