You are on page 1of 12

A.

Pendahuluan
Historiografi di Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu
diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama yang
diselenggarakan di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik balik dari
kesadaran Sejarah Baru. Sebetulnya kurun historiografi tradisionaldianggap
berakhir setelah terbitnya buku Critische Beschouwing van de Sedjarah van
Banten oleh Hoesein Djajadiningrat (1913), yang mengulas secara kritis
mengkaji tradisi penulisan babad dalam khasanah sastra. Tetapi pertanyaan
penulisan Historiografi Modern muncul sejak Seminar Sejarah Indonesia
Pertama

tersebut.

Saat

ini

muncul

nasionalisasi

atau

penggunaan

pribumisasi historiografi Indonesia (lihat Sue Nichterlien, 1974).


Perdebatan khasanah penulisan historiografi terus berlanjut hingga
tahun

1970an,

tentang

Netherlandocentrisme

dan

Indonesiacentrisme,

bagaimana meletakan peranan Bangsa Indonesia dalam jalannya sejarah yang


terjadi di nusantara ini. Hal seperti yang dicanangkan dalam seminar Sejarah
Nasional I (1957), yaitu Sejarah Indonesia yang nasionalistik. Selanjutnya pada
Seminar Sejarah Nasional II (1970) perkembangan historiografi Indonesia
mengarah pada pendekatan baru, yaitu kecenderungan pada sejarah sosial.
Pada tahun 1970, Arsip Nasional juga merintis program sejarah lisan (tutur).
Memang cukup besar perubahan yang konkrit pada kurun waktu tersebut
terhadap historiografi di Indonesia, seperti yang diwujudkan sosiologi
historiografi. Nuansa historiografi ini terus mempengaruhi para sejarawan
(sejarawan akademisi) dalam menulis karyanya, mereka banyak mempelajari
disiplin ilmu sosial lainnya, studi wilayah bahkan statistik. Perluasan penulisan
sejarah secara substantive, karena dengan pendekatan ilmu sosial ruang
lingkup sejarah tidak lagi dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang proses,
tetapi juga mulai memikirkan mengenai struktur. Penulisan sejarah, tidak hanya
deskriptif dan diakronik, tetapi mulai menuju kea rah tulisan yang analitik dan
sinkronik. Dengan demikian penulisan sejarah mencoba memperluas dimensidimensi yang disoroti, sehingga istilah sejarah multidimensional hampIr
mewarnai dalam setiap tulisan kesejarahan.
Namun demikian hasil karya mereka ini tidak banyak untuk diterbitkan,
sehingga masyarakat tidak bisa membaca secara leluasa. Dengan demikian
karya para sejarawan tersebut hanya diketahui dan hanya dapat dinikmati para
kalangan mereka sendiri. Meskipun sejarawan (akademisi) dalam melakukan
penelitian penulisan sejarah ini acapkali mendapat sponsor dari pemerintah
dalam bentuk proyek penulisan, sejarah militer, sejarah popular, sejarah lisan,
sejarah kota dan sebagainya. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan, yang
dapat merugikan bagi perkembangan historiografi Indonesia. Sehingga

menimbulkan para sejarawan tidak dapat memilih sendiri objek penelitian, dan
jarang penelitian yang bersifat murni sejarah.
Semakin kencangnya kecenderungan perkembangan sejarah sosial
tersebut, berdampak pada semakin munculnya penulisan sejarah lokal, yang
menekankan pada topik dan isu, sebuah sejarah yang problem~oriented.
Perkembangan dan Perubahan menjadi isu sentral, dengan bandingan yang
sama dalam perspektif sejarah.
Perlu dipaparkan perbedaan sejarah lisan dan tradisi lisan. Jan Vansina
(1972) memberi batasan bahwa tradisi lisan (oral tradition) sebagai oral
testimony transmilited verbally, from one generation to ther next one or more.
Sedangkan Sejarah Lisan, penggalian sumber sejarah yang sengaja dicari
melalui teknik wawancara. Meskipun Sejarah Lisan ini pada awalnya mendapat
kritikan yang cukup gencar, karena mengutamakan atau mementingkan para
kesaksian documenter (misalnya saksi atau pelaku sejarah), tetapi sekarang
dengan adanya teknologi perekaman (audio) perekaman dan penyimpanan
sumber lisan dapat teratasi. Tradisi Lisan ini menjadi sumber bukan saja bagi
antropologi tetapi juga para sejarawan.
B. Keterjalinan Unsur Fiksional dan Faktual
1. Jalinan Fiksi dan Fakta dalam Cerita Raden Wiralodra
Merujuk pada pendapat Raglan dalam Dananjaya (1984: 66) yang
mengemukakan bahwa legenda adalah sebuah cerita prosa tau puisi rakyat
yang dianggap sebagai kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi.
Kejadian itu seringkali dipandang sebagai sejarah kolektif, sungguhpun
karena tidak tertulis, akhirnya mengalami distorsi sehingga seringkala dapat
jatuh berbeda dengan kisah aslinya. Jadi sejarah ysang ditampilkan dalam
Wiralodra yang kemudian menjadi legenda merupakan sebuah kreatifitas
pengarang yang mencampurbaurkan tokoh-tokoh historis dengan tokohtokoh fiktif . Karena itu, cerita anatara unsure-unsur fiksional dan factual
yang tergolong ke dalam legenda yang berasal dari kesusastraan agama
yang disebut hagiografi legends of the saint) yang berarti tulisan, karangan
atau buku mengenai penghidupan orang-orang saleh. Kendati demikian,
cerita Raden Wiralodra juga mengandung unsur legenda orang-orang suci
dalam agama dan legenda alam gaib (supranatural legends) karena berisi
kisah mengenai hal-hal supranatural, azimat, ramalan dan kekuatan gaib.
Keterjalinan antara fakta dan fiksi dapat dilihat dari alur cerita pelaku
(tokoh), latar, dan amanat cerita dengan tokoh utama Raden Wiralodra.
Fakta-fakta yang pernah terjadi atau yang diduga pernah terjadi pada masa
hidupnya Raden Wiralodra dikemas oleh para penutur atau penulis, baik
dari kalangan istana maupun masyarakat, dengan latar belakang, maksud,

dan tujuan penulisan cerita Raden Wiralodra dari masing-masing


lingkungan.
Ini menunjukan dapat diartikan bahwa R. Wiralodra merupakan
tokoh sentral dengan fakta-fakta di sekitarnya, namun diselimuti oleh unsur
fiksional hasil kreatifitas pengarang atau pendukungnya. Legen dan dan
fakta berada dalam satu bingkai cerita R. Wiralodra yang satu mainnya
saling terjalin. Dari sudut pandang cerita, R. Wiralodra merupakan karya
sastra dengan tokohnya sebagai tokoh historis, bukan tokoh fiktif yang
dikemas

dalam

naskah-naskah

tradisi

masyarakat

Indramayu

dan

sekitarnya. Pada intinya, unsur fiktif dan fakta dikemas dalam cerita R.
wiralodra yang memberikan gambaran tentang riwayat R. Wiralodra
sebagai pelaku utama dalam cerita ini.
2. Alur Cerita
Bila memperhatikan alur cerita R. Wiralodra yang dituturkan oleh
Tim Penyusun Sejarah Indramayu (1977), yang menjadi sumber utama
adalah buku Babad Dermayu dalam bentuk wawacan atau macapat.
Meskipun minimnya sumber yang semestinya menjadi acuan dalam
penulisan sejarah, tetapi Tim yang dipimpin oleh H.A. Dasuki dan dibantu
dengan beberapa peminat sejarah telah menunjukan kesungguhan yang
perlu diacungi jempol. Jerih payah usaha yang tanpa dedikasi yang tinggi,
sulit untuk mewujudkannya.
Seperti yang kami ulas di depan, diakui dan dituturkan oleh hampir
seluruh masyarakat Indramayu dengan dukungan para sesepuhnya, bahwa
tokoh R. Wiralodra menjadi tokoh utama atau sentral dengan diselimuti oleh
berbagai fiksi. Sehingga dalam alur cerita rakyat tersebut hamper sama
dengan tradisi sejarah lisan, baik ditinjau dalam alur tokoh maupun alur
peristiwanya. Seperti yang dipaparkan dalam buku Sejarah Indramayu
dalam Dekade Kedatangan R. Wiralodra, penyusunan alur ceritanya seperti
pada pemaparan sejarah Sunan Rokhmat Suci, Sunan Cipancar, Syekh
Fattah Rohmatullah, Syekh Jafar Siddik dan Sunan Papak sebagai tokohtokoh penyebar penyebar Agama Islam di daerah Garut. Begitu juga seperti
sejarah Sunan Gunung Jati, seorang tokoh pendiri Kesulatan di Cirebon
dan sekaligus penyebar Agama Islan di daerah Cirebon dan sekitarnya.
Pada umumnya penyusunan alur cerita sejarah tradisional adalah
sebagai berikut :
a. Keberangkatan tokoh, dari tempat asal (dengan alasan mencari ilmu,
berburu binatang, membuka daerah baru karena mendapat wangsit,
dan sebagainya).

b. Perjalanan Tokoh, di perjalanan mendapat halangan, cobaan, bencana,


menemui binatang buas, dan sebagainya.
c. Memenangkan perjuangan, baik dalam memperluas wilayah pengaruh,
menegakan agama, maupun adu kedigjayaan, dan sebagainya.
d. Tokoh kembali ke daerah asal, atau
e. Tampil sebagai raja atau penguasa di daerah baru dan sekitarnya
dengan

terus

berupaya

untuk

memperluas

pengaruh

ataupun

kekuasaanya.
Sedangkan alur peristiwa dalam cerita R. Wiralodra dapat dibagi
dalam beberapa episode, yaitu sebagai berikut :
a. Episode Latar Waktu, meliputi :
1) Masa hidup Tumenggung Gagak Singalodra, mempunyai 5 putra,
yaitu 1) Raden Wangsanegara, 2) Raden Ayu Wangsayuda, Raden
Raden Wiralodra, dan 4) Raden Tanujaya, dan 5) Raden Tanujiwa.
Selayaknya dipaparkan kerajaan di Bagelen dengan penguasa
Tumenggung Gagak Singalodra yang merupakan episode pertama
dalam cerita Raden Wiralodra.,
2) Masa hidup Raden Wiralodra dengan keempat saudaranya dalam
lingkungan keluarga Tumenggung Gagak Singalodra, merupakan
episode kedua. Diantara kelima putera Tumenggung Gagak
Singalodra, Raden Wiralodra mempunyai cita-cita tinggi, yaitu ingin
membangun suatu negara untuk diwariskan kepada anak-cucunya.
Untuk mempersiapkan diri untuk cita-citanya tersebut, Raden.
Wiralodra banyak belajar, seperti layaknya seorang kesatria,
seperti melatih ilmu beladiri (kanuragan).
3) Masa hidup Raden Wiralodra, merupakan episode ketiga yang
merupakan inti dari cerita sejarah Indramayu. Hal dapat dimulai
dengan usaha-usaha atau kegigihan Raden Wiralodra berangkat
menuju daerah Lembah Tepian Sungai Cimanuk (Indramayu)
setelah dia memperoleh petunjuk lewat wangsit. diturkan terlebih
dahulu.
b. Episode Latar Lakuan, meliputi :
1) Perilaku Masa Hidup Tumenggung Gagak Singalodra,
a) Awal mendirikan pemerintahan di Banyuurip, Bagelen (Jawa
Tengah)
b) Menenamkan pendidikan kepada kelima putranya, yaitu 1)
Raden Wangsanegara, 2) Raden Ayu Wangsayuda, Raden
Raden Wiralodra, dan 4) Raden Tanujaya, dan 5) Raden
Tanujiwa dalam

kepemerintahan, kesaktian (kanuragan),

agama dan sebagainya.

c) Kedatangan R. Wiralodra setelah merantau di Lembang


Sungai Cimanuk (Indramayu)
2) Perilaku Raden Wiralodra
a) Cerita tentang kelahiran dan masa kecil R. Wiralodra, di
tengah keluarga Tumenggung Gagak Singalodra, penguasa di
Banyuurip, Bagelen (Jawa Tengah).
b) Pencarian jatidiri, dimulai dari ketertarikan R. Wiralodra pada
cita-cita

ingin

membangun

suatu

negara

yang

dapat

diwariskan kepada anak cucunya (generasi penerusnya).


Untuk mempersiapkan diri, beliau semangat untuk belajar
berbagai ilmu layaknya seorang ksatria. Dilanjutkan dengan
cerita R. Wiralodra melakukan tapabrata dan bersemedi di
perbukitan Malaya di kaki Gunung Sumbing.
c) Cerita tentang R. Wiralodra mendapatkan wangsit, setelah
melakukan tapabrata untuk mendapatkan petunjuk dari
sanghyang widi, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan
cita-cita luhurnya membangun suatu Negara.
d) Hai Wiralodra, apabila engkau ingin berbahagia serta
keturunanmu di kemudian hari, pergilah merantau kea rah
matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk.
Manakala engkau telah tiba di sana, berhentilah dan tebanglah
hutan

belukar

secukupnya

untuk

mendirikan

sebuah

pedukuhan dan menetaplah di sana. Kelak tempat itu akan


menjadi subur dan makmur dan tujuh keturunanmu akan
memerintah di sana. (Dasuki dkk, 1977:57).
Dilanjutkan dengan pengkajian wangsit pada diri R. Wiralodra dan
diteruskan dengan meminta pendapat dari ayah-bundanya tentang wangsit
yang datang padanya.
Cerita perjuangan dalam perjalanan mencari lembah Sungai Cimanuk
Cerita tentang R. Wiralodra mendapatkan wangsit, setelah melakukan
tapabrata untuk mendapatkan petunjuk dari sanghyang widi, apa yang
harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita luhurnya membangun
suatu Negara. Cerita diawali R. Wiralodra memohon ijin dan restu dari
kedua orang tuanya untuk mewujudkan cita-cita luhurnya dengan
mengikuti

wangsit

yang

didapat

setelah

melakukan

tapabrata.

Disamping itu dipaparkan juga dengan cerita suka dan duka dan
pelajaran yang dapat diambil selama perjalanan yang memakan waktu
3 tahun, hingga R. Wiralodra dan Ki Tinggil mengikuti kijang kencana
bermata berlian atas petunjuk Ki Sidun. Selanjutnya tibalah di tepi
sungai dan beristirahat karena kecapean setelah mengejar mengikuti

kemana kijang kencana berjalan. Dalam tidurnya R. Wiralodra


bermimpim bertemi Ki Sidun, berkata bahwa : Hai cucuku, inilah hutan
Cimanuk yang Tuan cari, di sinilah kelak tuan bermukim anak cucu
tuan dengan tenteram dan berbahagia. Setelah bangun dari tidurnya,
segera mereka memilih tempat dan membangun pondok dengan
peladangan yang terus berkembang menjadi perkampungan, hingga
menjadi pedukuhan. Tersebutlah tempat pertama dipilih berada di
sebelah barat daerah di ujung Sungai Cimanuk.
Cerita R. Wiralodra membangun pemerintahan,
1. Kegigihannya mendirikan pondok, sawah dan ladang yang
semakin lama semakin berkembang. Tingkah laku dan budi pekerti
yang baik, luhur dan bijaksana mengundang simpati dan disegani
berbagai kalangan karena beliau juga membekali diri dengan ilmu
kanuragan yang memadai. Citra yang baik tersebut mengundang
orang-orang yang melintasi dan ada juga sengaja berdatangan
untuk bergabung dan bertempat tinggal di daerah sekitar R.
Wiralodra. Selanjutnya pengaruh R. Wiralodra semakin meluas ke
daerah-daerah sekitarnya, dari pedukuhan berkembang menjadi
pusat pemerintahan. Setelah dianggap pemerintahan yang beliau
bangun cukup kondosif, beliau menitipkan sementara kepada Ki
Tinggi untuk menggantikan sementara. Hal ini karena kerinduang
R. Wiralodra kepada kedua orang tua dan saudara-saudara di
Banyuurip, Bagelen (Jawa Tengah).
2. Adu tanding antara R. Wiralodra dengan Nyi Endang Darma; Nyi
Endang Darma bertempat tinggal dan mendirikan perkampungan
setelah mendapatkan ijin dari Ki Tinggil, karena pada saat itu R.
Wiralodra sedang menengok orang tua dan saudaranya di
Bagelen. R. Wiralodra kembali ke Indramayu mengingat ada
perselisihan antara Nyi Endang Darma dengan Pangeran Guru,
mengikibatkan

Pangeran

Guru

gugur.

Setelah

dilakukan

pemeriksaan dan penyelidikan, bahwa Nyi Endang yang tidak


bersalah. Maka kakak dan adik R. Wiralodra dipersilahkan unjuk
tanding, tetapi tidak ada yang mengalahkan Nyi Endang Darma.
Selanjutnya R. Wiralodra sendiri untuk mencoba adu kesaktian
dengan Nyi Endang Darma, tetapi tidak ada yang kalah. Akhirnya
Nyi Endang Darma merasa kewalahan menghadapinya, maka
menjeburkan diri ke Sungai Cimanuk dan meminta namanya
diabadikan untuk menamakan suatu daerah. Adu kesaktian kedua
tokoh ini sangat penting karena mewarnai tentang penggunaan

nama Darma Ayu uterus berkembang menjadi Indramayu, kota


yang kita cintai sekarang ini.
3. Peresmian Pedukuhan Darma Ayu, dimulai pertemuan Raden
Wiralodra dengan Pangeran Arya Kemuning dan Patih Dipasara
yang mengaku utusan dari Gusti Sinuhun Cirebon, bahwa R.
Wiralodra beum minta ijin membuka hutan dan pendirian
pedukuhan

di

wilayah

kekuasaan

Cirebon.

Karena

terjadi

perselihan pendapat, kedua tokoh ini terjadi perkelahian yang


dimenangkan oleh R. Wiralodra. Untuk itulah Wiralodra untuk
segera meresmikan pendirian pedukuhan dalam sebuah upacara
resmi, dengan nama Darma Ayu sesuai dengan nama Nyi Endang
Darma. Tetapi dari untaian cerita tersebut, ada beberapa masalah
yang tertinggal dan perlu ada pengkajian lebih lanjut, yaitu tanggal
lahir

Kabupaten

Indramayu

diambil

pada

saat

diresmikan

Pedukuhan Darma Ayu, ataukah ketika Raden Wiralodra membuka


pertama kali membuka hutan untuk mendirikan pemukiman, atau
keberangkatan Raden Wiralodra dari Bayuurip, Bagelen untuk
mencari Lembah Sungai Cimanuk?
Bila kita memperhatikan dilihat dari alur cerita baik latar waktu
maupun lakuan tokoh, menunjukan adanya keterjalinan antar fiksi dan fakta
yang begitu kuat. Unsur-unsur fiksi dalam cerita Raden Wiralodra dapat
terangkum dalam cerita tersebut di atas. Sementara unsur fakta hanya
ditujukan oleh beberapa unsur-unsur fakta hanya ditujukan oleh beberapa
hal sebagai berikut :
1. Tokoh Raden Wiralodra dan Ki Tinggil pernah hidup, didukung oleh
tinggalan arkeologis, yaitu kuburannya yang berada di daerah sebelah
barat Sungai Cimanuk, tepatnya di Blok Karang Baru, Kelurahan
Sindang.
2. Episode perilaku yang masuk akal, tanpa bias dilancak kebenarannya,
meskipun secara psikologis, masyarakat mempercayai dan mengakui
kebenaran cerita tersebut, antara lain :
a. Keteguhan Raden Wiralodra melakukan migrasi dari Banyuurip,
Bagelan ke Lembah Sungai Cimanuk.
b. Ki Sidun menuntun derap langkah Raden Wiralodra dan Ki Tinggil
untuk mencapai tempat yang dituju, yaitu Lembah Sungai Cimanuk
sesuai dengan wangsit hasil tapabrata.
c. Adu kekuatan atau kedigjayaan antara dua tokoh, yaitu Raden
Wiralodra dengan Nyi Endang Darma yang hingga dapat berubah
ujud atau rupa untuk saling mengelabui.

d. Kebesaran hati Raden Wiralodra meresmikan pedukuhan yang


dirintis dan dibangun dengan susah payah dan penuh tantangan
tersebut diambil dari nama Nyi Endang Darma, yaitu Pedukuhan
Darma Ayu.
e. Jalinan Raden Wiralodra dengan tokoh Indrawijaya yang disebutsebut dalam Babad Cirebon, apakah identik atau berbeda tokoh.
f.

Selanjutnya akan muncul, apakah benar Raden Wiralodra dan Ki


Tinggil merupakan orang pertama yang bermukim di daerah
Indramayu, bila dikaitkan juga dengan pertemuan dan dialog
dengan Ki Kemuning, bahwa yang membuka hutan dan mendirikan
pedukuhan harus minta ijin terlebih dahulu kepada penguasa
Cirebon.

g. Begitu juga hubungan Indramayu dengan Palembang, dengan


kedatangan Pangeran Guru.
h. Dengan sudah dikenalnya nama Cimanuk hampir di seluruh
masyarakat Jawa Barat bahkan di Jawa Tengah dan Palembang,
maka muncul pertanyaan mungkinkah di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Cimanuk pernah ada kekuasaan sebelum Raden Wiralodra
datang?
i.

Tokoh Raden Wiralodra, Ki Tinggil dan Nyi Endang Darma pada


saat datang ke Indramayu sudah memeluk agama Islam. Bila kita
melihat makam Raden Wiralodra dan Ki Tinggil memang keduanya
membujur utara-selatan layaknya makam Islam.

C. Amanat dan Motif Cerita


Amanat yang terkandung dalam cerita Raden Wiralodra sebagian besar
mengenai bagaimana mendirikan dan membangun pemerintahan yang baik,
dicontohkan dari yang lebih kecil yaitu mendirikan dan membangun pedukuhan
Darma Ayu. Hal ini yang dapat ditarik kesimpulan dalam alur cerita, pelaku atau
tokoh dan perilakunya, dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Nilai-nilai yang terkandung diselimuti fiksi cerita Raden Wiralodra, antara lain :
1. Nilai-nilai legendaris yang mengungkap segala aspek legenda sebagai
sebuah wacana untuk sekedar meyakinkan kepercayaan masyarakat
tentang berbagai cerita yang diyakini seolah-olah pernah terjadi dan
menjadi cikal-bakal suatu tempat.
2. Nilai mistis dengan munculnya berbagai azimat, ramalan, dan kekuatan
gaib yang hingga kini di kalangan masyarakat tertentu masih dijadikan
pegangan kesaktian, tolak bala, atau sumber membawa keberkahan.
Senjata

azimat

Raden

Wiralodra

diantaranya

cakra,

yang

dapat

mengalahkan Dewi Larawana, dan memukul ke suatu sungai untuk


mengetahui kebenaran sebuah sungai atau bukan, dan cerita-cerita lainnya.
3. Nilai pendidikan atau hikmah yang tidak lepas dari kreativitas pengarang,
seperti seseorang yang tampil sebagai tokoh pemimpin masyarakat atau
pemimpin pemerintahan yang memerlukan perjuangan yang panjang,
proses pencarian ilmu, penambahan wawasan ke berbagai tempat, serta
ujian dan cobaan di sepanjang perjalanan dalam pencarian ilmu, sebagai
suatu teladan yang perlu kita ambil.
Nilai-nilai mistis dan magis ditujukan adanya azimat-azimat, ramalan,
dan kekuatan mewarnai cerita Raden Wiralodra. Unsur azimat, ramalan, dan
kekuatan gaib mengisyaratkan adanya kemampuan yang luar biasa dari Raden
Wiralodra karena ia dibekali atau mempunyai beragam azimat yang diberikan
tidak hanya oleh manusia biasa, tetapi juga oleh binatang atau dewa-dewa.
Sementara itu, asal-usul sebuah tempat, jelas sebagai sebuah cerita legenda
dari nama-nama tempat yang ada di Indramayu yang dikaitkan dengan
serangkaian kisah yang dicocokan dengan nama tempat.
Namun dalam cerita atau kisah Raden Wiralodra ini, seolah-olah
pengarang tidak melakukan legimitasi yang berlebihan dari tokoh yang ada. Hal
ini biasanya terjadi sejarah tradisional, seperti cerita Syarif Hidayatullah yang
dikaitkan dengan peniruan atau kemiripan kisah Nabi Muhammad, yang
mengandung isyarat keinginan pengarang untuk menempatkan Sunan gunung
Jati sebagai tokoh yang sederajat dengan nama Muhammad. Meskipun
pengarang cerita raden Wiralodra masih mencantumkan kelebihan kemampuan
Raden. Wiralodra, seperti kemampuan mistis dan magis, yaitu diantaranya
dapat berdialog dan sekaligus secara bijaksana dapat mengalahkan kekuasaan
bangsa jin, siluman, dedemit dan merkayangan dengan rajanya Budipaksa.
D. Sumbangsih Bagi Ilmu Sosial
Bila cerita Raden Wiralodra tersebut memang terjadi pada tahun aka
1432 atau sekitar tahun 1510 Masehi, dapat dikategorikan informasi sejarah
tentang berbagai perubahan sosial yang dialami oleh penduduk di hampir di
seluruh nusantara. Perubahan sosial pada kurun waktu ini merupakan tema
yang sangat luas cakupannya karena semua kejadian dalam periode ini yang
dikelompokan ke dalam zaman baru sejarah Indonesia kurang lebih tahun
1500 dan seterusnya penuh dengan perubahan sosial. Perubahan sosial ini ini
terjadi disebabkan oleh semakin meluasnya pengembangan agama Islam
hiingga mengarah pada semakin mewarnai sistem politik yang ditandai oleh
adanya perubahan keyakinan agama Islam dari kejayaan agama Hindu-Budha
ke

masa

perkembangan

agama

Islam.

Pada

saat

yang

bersamaan,

mewujudkan pada institusionaisasi Islam dengan bermunculannya kerajaan-

kerajaan Islam yang menggantikan posisi dan kedudukan kerajaan-kerajaan


Hindu-Budha (lihat Kartodirdjo, 1992:145).
Dari sinisme Lyotard bisa dimaknai bahwa setiap momen atau peristiwa
di muka bumi ini tak lagi bisa dilihat dari perspektif deterministik historisnya
pendekatan Marxian semata. Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
dalam Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics
(2001: 105ff), analisis kelas tak mungkin lagi digunakan untuk mengonstruksi
(baca: memahami) setiap momen atau peristiwa sejarah. Kedua teoritikus politik
pasca-Marxisme ini memperkenalkan analisis wacana sehingga setiap momen
atau peristiwa dipahami secara esensial, tak lagi historis terus-menerus.
Perubahan sosial ini meliputi transformasi pada system sosial,ekonomi,
dan politik. Oleh karena itu dalam menganalisa sejarah tradisonal ini dapat
memakai perspektif struktural dengan bantuan ilmu social dan sosiologi. Tetapi
alangkah lebih lengkap dalam historiografi sejarah tradisional ini dengan
pendekatan multidimensional yang menerapkan berbagai pendekatan secara
serentak atau berbarengan. Metodologi gejala historis, ada relevansi kuat, tidak
hanya macrohistory tetapi juga microhistory secara deskriptif-naratif. Hal ini
kurang bermakna apabila sejarah mikro diterangkan secara analitis-kritis
pengungkapan gejala-gejala yang menunjukan secara umum, kecenderungan,
dan struktur yang dapat dibuat generalisasi lewat perbandingan-perbandingan
dengan disiplin ilmu lain akan semakin memudahkan. Dengan demikian,
terbukalah kesempatan yang sangat bagi pertumbuhan dan pengkajian
berbagai ragam sejarah baru, antara lain sejarah politik, sejarah social, sejarah
sosiologis, dan sejarah agraris (lihat Kartodirdjo, 1992:146). Cerita yang
menyajikan perspektif perubahan social pada abad ke-16 Masehi memberikan
gambaran fenomena sosiologis yang dapat diambil manfaatnya bagi bidang ilmu
sosial.
Dalam tataran ilmu politik dan pemerintahan, cerita Raden Wiralodra
memberikan gambaran mengenai pola distribusi kekuasaan, jenis otorita, dan
struktur kekuasaan yang ditandai oleh orientasi nilai dan pandangan hidup tokoh
Raden Wiralodra. Bila kita memperhatikan teori yang dilontarkan oleh Max
Webber, ada tiga jenis otoritas kepemimpinanyang diusung oleh Raden
Wiralodra, yaitu :
1)

Otoritas Kharismatik, kepemimpinan yang berdasarkan pengaruh dan

kewibawaan pribadi.
2)

Otoritas Tradisional, dimiliki berdasrkan pewarisan atau turun-

temurun. Raden Wiralodra dikisahkan keturanan penguasa di Banyuurip,


Bagelen, Jawa Tengah.
3)

Otoritas Legal-Rasional, berdasarkan jabatan dan kemampuan, mulai

dari merintis membuka dan mendirikan pedukuhan Darma Ayu.

10

E. Penutup
Dari uraian yang dapat kami paparkan di atas, ada beberapa catatan
kesimpulan yang dapat kami sampaikan, yaitu sebagai berikut :
1) Cerita sejarah Raden Wiralodra telah membaurkan unsur-unsur fiksional
dan faktual yang di dalamnya saling terjalin. Tetapi di dalamnya juga
mengandung sejumlah informasi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai
disiplin ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial untuk menggali isi dan makna dari
sebuah karya sastra sejarah.
2) Karena terbatasnya sumber sejarah yang memadai, yang menjadi sumber
utama adalah buku Babad Dermayu dalam bentuk wawacan atau macapat.
Meskipun demikian, kami patut penghargaan atas kegigihan dan dan
kesungguhan yang didasari kecintaan terhadap kedaerahan dan kecintaan
terhadap kesejarahan. Alangkah baik dan lengkap untuk memecahkannya,
dapat

dilakukan

dengan

pendekatan

multidimensional,

menerapkan

berbagai pendekatan secara serentak atau berbarengan. Metodologi gejala


historis, ada relevansi kuat, tidak hanya macrohistory tetapi juga
microhistory secara deskriptif-naratif.
3) Bias yang terjadi di setiap penulisan sejarah (sebagai manifestasi
interpretasi pada peristiwa di masa lalu) pada prasangka dan relativisme
budaya, maupun kepentingan personal (termasuk ideologi) yang dianut,
sehingga memengaruhi upaya pencarian kebenaran atas peristiwa di masa
lalu. Membaca teks secara kritis merupakan permulaan penemuan
kebenaran sejarah.
F. Daftar Pustaka
Ali, Mohammad dkk. 1975. Sejarah Jawa Barat, Pandangan Filsafat Sejarah.
Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa
Barat.
Dahuri, Rokhmin, Bambang Irianto dan Eva Nur Arovah. 2004. Budaya Bahari,
Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta, Humaniora.
Dasuki, 1977. Sejarah Indramayu. Cetakan Ketiga. Indramayu, Sudiam..
Effendi, Dedy dan Warjita. 2006. Sunan Rohmat Suci Godog. Garut, Yayasan
Bangun Siswa.
Ekadjati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta,
Pustaka Jaya.
Kartodirdjo, Sartono. 1982.

Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta, Gramedia.


Lubis, Nina Herlina dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Jilid I. Bandung, Satya
Historika.
Matta, Anis. 2004. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta, The Tarbawi Center.

11

Popper, Karl P. 1985. Gagalnya Historisisme. Terjemahan Nena Suprapto.


Jakarta, LP3ES.
Simanjuntak, Togi. 2007. Kritik Historisisme Historiografi Peristiwa 1965.
Jakarta, Kompas Cyber Media.
Sumardjo, Jacob. 2007. Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan HermeneutisHistoris terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta,
Qalam.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Birokrasi. Terjemahan
Sunarto. Jakarta, Sinar Harapan.
Wildan,

Dadan.

2003.

Sunan

Gunungjati,

Pembumian

Islam

dengan

Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung, Humainora.

12

You might also like