You are on page 1of 5

FILSAFAT PANCASILA MENURUT

DRIYARKARA
Menurut Driyarkara, filsafat merupakan kedalaman hidup. Tiga metode untuk
merefleksikan Pancasila menurut Driyarkara adalah:
1) berpikir tentang Pancasila melalui pengalaman sehari-hari,
2) membatinkan Pancasila, dan
3) menjalankan Pancasila secara dialektis.
Dasar refleksi yang dilakukan oleh sosok Driyarkara adalah Pidato Soekarno. Caranya
adalah dengan mengutip, memberi pendalaman dan kritik. Driyarkara tidak masuk ke dalam
wacana tentang Pancasila lewat pertentangan ideologi tetapi justru masuk dalam sisi
manusia-nya. Menurut pandangan Driyarkara, manusia terhubung dengan alam; dengan alam,
manusia menerima nasibnya, tetapi juga bisa memberikan arti atau makna.
Driyarkara
mengistilahkannya
dengan
pengertian Membudaya
dan
Membudayakan. Dengan kata lain, manusia cenderung bersatu dengan membentuk
komunikasi dengan sesama dan yang menyatukan adalah cinta kasih. Benci adalah bentuk
penyelewengan dari cinta kasih. Kodrat manusia menurut Driyarkara adalah ada bersama
dengan cinta kasih kepada Tuhan. Menurut Driyarkara, Pancasila sebagai dalil
filsafat berarti bahwa manusia ada bersama dengan cinta kasih yang merupakan wujud dari
perikemanusiaan. Prinsip-prinsip yang mengikat manusia dalam kebersamaannya kemudian
dikenal dengan istilah demokrasi. Realitas ini sebenarnya relevan untuk semua manusia, tidak
hanya manusia di Indonesia. Pancasila sebagai Dasar Negara sendiri mengandung tujuan
untuk kesejahteraan umum. Pancasila berada di tengah agama dan sekularitas, di mana agama
tidak bisa mengintervensi negara ataupun sebaliknya. Driyarkara juga mengungkapkan
bahwa isi Pancasila adalah humanisme yang sosialistis.
Titik tolaknya adalah filsafat manusia yang memandang keberadaan manusia di dunia
sebagai pribadi (persona). Karena manusia berada di dunia, maka dunia diartikan sebagai
kondisi eksistensial. Dalam dunia, manusia terhubung dengan alam jasmani dan manusia lain,
serta
hal
itu
dipahami
dalam
hubungannya
dengan
Yang
Mutlak.
Ketiga hubungan itu merupakan kesatuan berdasar cinta kasih dari dan kepada Tuhan. Cinta
kasih itu bukanlah rasa romantis sesaat, tetapi pengertian yang muncul dari pengalaman
mendalam dan bila disadari betul dapat membentuk diri dan yang lain: cinta yang
menyempurnakan. Cinta kasih ini primer dalam hidup manusia, dan dari sini, dapat dilihat
kait-mengait antarsila, yang akhirnya sila Ketuhanan sebagai dasar semua sila.
Antarsila
Driyarkara membawa hal ini dalam refleksi akan Pancasila, dengan bertitiktolak dari
sila kedua: sila perikemanusiaan menunjukkan realitas yang dialami manusia sebagai ada
bersama dengan cinta kasih, yaitu menghormati, menjunjung tinggi sesama manusia, setiap
manusia, segala manusia. Sila keadilan sosial sebagai isi dari perikemanusiaan itu sendiri,
yaitu membuat, memiliki, dan menggunakan barang-barang dunia yang berguna sebagai
syarat, alat, perlengkapan hidup secara bersama-sama. Sementara, sila demokrasi sebagai
bentuk perikemanusiaan, yaitu mengadakan kesatuan-karya dengan saling menghormati dan

menerima sesama sebagai pribadi dengan segala hak dan kewajibannya. Sila kebangsaan
sebagai spesifikasi perikemanusiaan, yaitu kesatuan dalam hidup menegara yang saling
membantu memperkembangkan unsur-unsur yang beragam. Dan sila ketuhanan merupakan
dasar dari semua sila, yaitu menyadari keterbatasan diri, ketidaksempurnaan diri dalam hidup
sehari-hari.
Implikasi dari kelima sila ini cukup besar, karena ide-ide asasi yang terkandung dalam
tiap sila bersifat universal. Maka, Pancasila yang merupakan dalil-dalil filosofis bersifat
universal, yang juga dapat diterima semua orang. Rumusan filsafat manusia berdasarkan
Pancasila ini akan menjadi pendirian hidup (Weltanschauung) apabila dilakukan dengan
kesungguhan hati.
Bukan negara agama
Sebagai dasar negara, Pancasila, menurut Driyarkara memiliki arti khusus bagi bangsa
ini. Artinya, masyarakat di luar Indonesia tidak dapat menjadikan Pancasila sebagai dasar
negaranya, karena tidak terikat dengan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD).
Menurut Driyarkara, sebagai dasar negara, Pancasila memiliki pendirian yang tetap.
Pancasila menjadi alasan negara ini berdiri. Pancasila bagai kompas yang menunjuk ke mana
bangsa ini melangkah. Tapi, kompas itu tidak menyajikan rincian praktis, sehingga Pancasila
dapat disebut sebagai ideologi terbuka.
Karena Pancasila adalah dasar negara, maka ia menjadi dasar hidup berbangsa,
bermasyarakat, serta bernegara. Artinya, ia menuntut sikap hidup, baik bersama maupun
pribadi. Secara lebih luas, karena dasar negara berhubungan dengan UUD 1945, Driyarkara
menegaskan, tujuan yang tercantum pada UUD 1945 adalah kesejahteraan bersama, dan
kesejahteraan ini dasarnya adalah ketuhanan. Maka negara yang berdasarkan Pancasila bukan
negara agama atau negara profan, tetapi negara yang mengutamakan kesejahteraan umum,
dengan tetap menghargai kesucian hidup yang mengarah pada Tuhan. Pemilahan wilayah
antara agama dan negara memang diperlukan dalam gerak tersebut.

Refleksi Pancasila
Pada 1966, Driyarkara kembali merefleksikan Pancasila. Pada tahun itu, ia lebih banyak
melihat hubungan Pancasila dengan kehidupan sehari-hari. Hubungan Pancasila dan hidup
ada bila Pancasila merupakan pedoman. Karena hidup dilaksanakan dengan dan dalam
macam-macam perbuatan, maka pedoman itu harus merupakan pedoman perbuatan seharihari. (Karya Lengkap Driyarkara, hlm. 881)
Sebagai pedoman perilaku seharihari, ia menunjukkan sikap-sikap umum yang diterangi
sila-sila dan cita-cita yang diarah. Ia menunjukkan bahwa sikap global yang dituntut
Pancasila adalah humanisme religius-sosialistis, bentuk penghargaan terhadap manusia yang
tidak meniadakan Tuhan ataupun tidak meniadakan manusia. Dengan terang itu, Driyarkara
mengurai sikap-sikap yang diterangi masing-masing sila.

Sila ketuhanan yaitu mengakui kedaulatan Tuhan, menyerahkan diri, dan mengabdi untuk
Tuhan. Pengabdian dilakukan melalui perbuatan dan toleransi kebebasan pada human
person. Sila kemanusiaan, mengakui martabat, hak asasi, dan kebebasan manusia. Sila
kebangsaan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individual. Masyarakat
wajib melaksanakan tugas sesuai dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing.
Sila demokrasi wajib memperlakukan sesama sebagai partner kerja. Antarmasyarakat berani
mengkritik dan menyatakan mana yang benar dan salah. Sila keadilan sosial mengakui dan
mengangkat sesama sebagai socius dan alam budaya yang merupakan bagian dari diri
manusia.
Namun, bila dilihat dari kacamata filsafat politik, uraian Driyarkara mengenai Pancasila
menjadi kurang tepat. Karena pada dasarnya Pancasila sebagai dasar negara adalah prinsip
politik. Sebagai prinsip politik, ia harus menciptakan dan mengondisikan semua aspek
kehidupan di dalam suatu negara yang akan dibentuk, bukan prinsip kodrat manusia. Tapi,
sumbangan berharga dari refleksi Driyarkara ini memperkaya pemahaman akan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini dapat menjadi orientasi dan penunjuk bagi pranata
kenegaraan dan kebijakan publik, serta bagi warga bangsa ini.
Muncullah beragam tanggapan Misalnya, pertanyaan mengenai bagaimana rumusan
akhir dari sila 1, serta bagaimana bila perdamaian kemungkinan justru menjadikan tidak
bersatu (sila 3)? Menanggapi pertanyaan tersebut, Frater Yudho menjelaskan bahwa maksud
akhir dari sila 1 adalah bahwa manusia menerima kelebihan dan kekurangan serta tersungkur
di hadapan Tuhan. Citra manusia yang mendalam mengakui bahwa ada yang terbatas, tetapi
menyadari pula ada kasih. Hidup itu berproses, sadar adanya realitas jahat dan ambivalen;
karena itu, manusia diajak untuk bersikap diskretif menuju Allah. Jiwa menyatu dengan Allah
melalui keseimbangan dalam doa dan karya. Tentang sila 3, menurut Driyarkara, apa yang
dimaksud persatuan adalah dengan menyadari unsur dalam diri manusia: satria dan benowo
(jahat), sisi baik dan sisi jahat. Driyarkara menekankan pentingnya cinta kasih, kalau ada
benowo (jahat) harus dikembalikan ke cinta kasih.
Dalam sesi ke-2 sarasehan ini, Romo Mutiara Andalas menyampaikan juga
pandangan Driyarkara tentang Pendidikan. Kondisi pendidikan yang ada di Indonesia saat ini
masih cenderung individualis dan didominasi oleh negara. Tujuan pendidikan di Indonesia
masih terfokus pada dua hal yang bertentangan, yaitu antara pembentukan kepribadian
seorang anak atau mendidik untuk dapat hidup bermasyarakat. Keinginan Driyarkara adalah
agar tujuan pendidikan tersebut tidak jatuh dalam salah satu kutub. Yang menjadi hak dan
kewajiban dari orangtua adalah menjadi pembimbing ke arah kepribadian, sedangkan
kewajiban negara adalah mengakui dan melindungi orangtua dalam mendidik anaknya.
Pendidikan dapat diselenggarakan oleh negara dengan menyelenggarakannnya langsung, atau
memberi kepercayaaan kepada pihak swasta. Konstruksi pengajaran jangan hanya bersifat
pragmatis, atau terjebak pada bahaya penyempitan. Pendidikan hendaknya bersifat
inkulturatif dan progresif, untuk mendidik dan mengajar, memasukkan manusia baru dalam
kebudayaan. Pendidikan juga sebaiknya mengacu pada pengembangan integrasi yang
bertujuan untuk menggunakan unsur asli dalam pengajaran demi kemanusiaan. Kenyataanny,
pendidikan selama ini sering jatuh dalam aspek intelektualis saja. Seharusnya dunai
pendidikan mengandung unsur pengembangan keberanian, rasa tanggung jawab; menjadi
lebih informatif dan formatif; mengantar apa yang implisit menjadi eksplisit melalui riset dan
ekskursi. Pendidikan juga harus mengandung unsur pemanusiaan ke arah kebudayaan dan
ilmu sosial serta ilmu alam.

Pertanyaan yang muncul pada sesi kedua menyentuh banyak hal, seperti: Apakah
sosok Driyarkara pernah mengajar? Lalu bagaimana pandangan beliau tentang pendidikan
religiusitas? Frater Yudho, yang banyak mempelajari mengenai sosok Driyarkara sebagai
bahan skripsi akhirnya, tidak yakin bahwa Driyarkara pernah mengajar filsafat pendidikan.
Mungkin pandangan Driyarkara tentang pendidikan berangkat dari situasi pendidikan yang
konteksnya feodal. Ditambahakan pula oleh Romo Henk, bahwa pada saat itu, Driyarkara
mengajar filsafat agama dalam konteksnya untuk memahami Allah. Harus diingat bahwa
pada waktu itu tidak ada sesuatu yang sangat sistematis. Driyarkara tidak hanya memusatkan
diri sebagai orang Jawa tetapi sebagai orang yang berada di atas semua aliran-aliran itu.
Romo Kieser juga memberikan tambahan tentang jejak Driyarkara, bahwa beliau tidak
pernah secara langsung bertemu dengan sosok Driyarkara. Mereka hanya melakukan kontak
melalui korespondensi terkait dengan jurnal/artikel filsafat.
Selain itu, muncul pertanyaan mengenai bagaimana local wisdom Driyarkara sebagai
orang Jawa ditunjukkan? Lalu bagaimana pandangan Driyarkara mengenai konflik
inkulturasi? Romo Andalas menanggapi bahwa filsafat pendidikan adalah langkah kedua;
karena langkah pertama adalah terlibat dalam pendidikan itu sendiri. Dasar dari
perikemanusiaan adalah cinta kasih, yang menunjuk pada teks Injil. Driyarkara merujuk juga
pada teks dalam bahasa Jawa dalam kerangka iman Kristiani. Bahasa Indonesia ini masih
muda bila dibandingkan dengan bahasa Itali, Jerman, dll. Bahasa Indonesia belum sampai
tahap seperti bahasa lain. Menutup diri terhadap budaya-budaya lain adalah sikap yang sangat
tidak bijaksana, karena dapat mengerdilkan bangsa sendiri.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FILSAFAT PANCASILA MENURUT DRIJARKARA
KELOMPOK 7
ADMINISTRASI PERPAJAKAN D

Muhammad Adi Viviana

(135030400111047)

Nurhadi Handono

(13503040

Luis N.R

(13503040

Rukayah

(13503040

Tifanny Claudia

(13503040

Universitas Brawijaya
Tahun ajaran 2013/20114

You might also like