You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid


adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang
terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh
patogen dan multifikasinya dalam sel-sel fagosit mononuklear pada hati,
limpa, kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum. 1
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 1525 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.

Di Indonesia

demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering
pada anak besar, umur 5- 9 tahun. Sehingga masih diperlukan adanya
pengkajian mengenai demam tifoid. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid
adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang
terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh
patogen dan multifikasinya dalam sel-sel fagosit mononuklear pada hati,
limpa, kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum. 3
Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella enterik serotype typhi maupun paratyphi. Nma lain penyakit ini
adalah enteric fever, ataupun paratyphus abdominalis. Tifoid karier adalah
seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S. Typhi setelah
satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.4

1.2 Etiologi dan predisposisi


Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. 5 Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
Bakteri Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :5
1. Antigen dinding sel (O) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup.

2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dalam


flagella,bersifat spesifik spesies.
3. Antigen

virulen

(Vi)

merupakan

polisakarida,

berada

di

kapsul.

Berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin.


Endotoksin merupakan bagian terluar dinding sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A
Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membran Protein :6
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar
b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan
cairan ke dlm membran sitoplasma
c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid

1.3 Patofisiologi
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau
urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1

Penderita Demam Tifoid


Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang
menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di
dalam kandung empedu dan ginjalnya. 1
Karier Demam Tifoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid,
tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh
setelah 2 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces
atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. 1
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung
empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena
itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus
dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan
anatominya. Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis. 1
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan
tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain,
seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/
sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan
pada virus hepatitis.

c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru


sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber
penularan

penyakit

tersebut

untuk

masa

tertentu,

yang

masa

penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya


kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B. `
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Menurut penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu 106 -109 untuk
dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang
simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 6
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat

fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi

yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti


demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental, dan koagulasi. 1
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia

jaringan

(S.

typhi

intra

makrofag

menginduksi

reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ).


Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi. 4
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat

timbulnya

komplikasi

seperti

gangguan

neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 6


1.4 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari.
Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan
yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak brsemangat. Kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 6
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga. 3

b. Gangguan saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal, bahkan dapat terjadi diare. 3
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah. 3
d. Gejala Lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um
seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia.
Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak dan mungkin pula
ditemukan epistaksis. 6

Rose Spot
2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan
rata-rata antara 1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,

hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status
nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan
demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada
minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat
sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. 4
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih
jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1 oC tidak
diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis. 1
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: 2
a. Pemeriksaan darah tepi2
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser
ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut.

Penelitian oleh beberapa ilmuwan

mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita
demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
b. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan2

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan


bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam
tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid,
karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi;
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang
yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam
sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan
sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut Biakan darah terhadap
Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80%
atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 1050% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu

pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara


perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang
sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena
adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada
anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. 2
Kegagalan

dalam

isolasi/biakan

dapat

disebabkan

oleh

keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,


jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 2
c. Identifikasi kuman melalui uji serologis2
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan

ke

dalam

tabung

tanpa

antikoagulan.

Metode

pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

10

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih


didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). Berikut adalah
macam-macam uji serologis yang dapat membantu menegakan
diagnosis demam tifoid :
1) Uji Widal2
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi
ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat
dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh Choo
dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif
sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid

anak dengan hasil biakan

positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 6474% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini
harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan

11

antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah


endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan
spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi
penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan
tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya
masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi
O dan H pada anak-anak sehat.
a) Antigen O2
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar
tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida.
Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam,
alkohol dan asam yang ence1.
b) Antigen H2
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela,
fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi
mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki
beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan
di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c) Antigen Vi2
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang
melindungi kuman dari fagositosisn dengan struktur kimia
glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1 jam pada suhu
60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier.

12

d) OuterMembrane Protein (OMP) 2


Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan
yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya.

OMP ini

terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.


Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP
C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang
berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten
terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein,
bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum
diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52
kDa. 5
2) Tes TUBEX2
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan

partikel

yang

berwarna

untuk

meningkatkan

sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen


O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi
akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun
belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas

100%

dan

spesifisitas

100%.15

Penelitian

lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9


Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan

13

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,


terutama di negara berkembang.
3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT2
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan

pengikatan

kompetitif

dan

memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.


Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M
ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.
Beberapa

keuntungan

metode

ini

adalah

memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan


untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang

14

belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.
4) Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)2
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel
feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh
Fadeel dkk (2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen.
Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.1
5) DIPSTIK2
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,

15

tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat


yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
6) Identifikasi kuman secara molekuler2
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk
(1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas
yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu
mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Kendala yang sering dihadapi pada
penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
10 dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen
feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan
hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.

4. Gold Standard Diagnosis


Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya
kuman Salmonella typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau
dari aspirat duodenum. Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu
yang lama sehingga secara klinik tidak menjadi patokan untuk
memberikan terapi. Dengan demikian secara praktis diagnosis klinis
demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan

darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam

spesimen yang digunakan untuk kultur :2

16

a. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah


1) Baku emas (mahal, waktu lama)
2) Waktu pengambilan: minggu I demam
3) Prosedur pemeriksaan isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia,
tes serologik .
4) Negatif palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen.
sedikit
b. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam
3) Prosedur pemeriksaan isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia,
tes serologik .
4) Hasil (+) mendukung diagnosa jika gejala klinis (+) .
c. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin
1) Waktu pengambilan: minggu II & III demam.
2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril.
3) Prosedur pemeriksaan isolasi kuman, identifikasi dengan
biokimia, tes serologik.
1.5 Panatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Indikasi rawat
Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur.
Jika klinis disertai hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak
adekuat, dehidrasi, keadaan umum lemah, maka harus di rawat
inapkan. 3
b. Perawatan
Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian
secara bertahap mulai mobilisasi. 3
c. Diet
Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus
mengutamakan lunak, mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat,
dan tidak menimbulkan gas. Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi
sering. Biasanya disajikan dalam bentuk bubur saring. 3

17

d. Medikamentosa
Obat

terpilih

untuk

penderita

demam

tifoid

adalah

kloramphenikol dengan dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2


gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas panas, minimal diberikan
selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian kloramphenikol panas
tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari diberkan
secara Iv selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl,
dan atau leukosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin. 3
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80
mg/kg BB/kali dan diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
8

Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan


dosis awal 3 mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8
kali (selama 48 jam), lalu di stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5
kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit, dan dilakukan Lumbal
Punksi bila tidak terdapat kontraindikasi.3
2. Non medikamentosa
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum
dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja
dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih,
pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar
Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu
pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.2
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah
vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi.
Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan
secara oral. Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin
tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid

18

diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang


berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang
mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak
boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas
yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,
orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang
mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan
kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. 4
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan
problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang
menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.
Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin
tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam
(sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)
kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per
100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi
adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100) dan perut tidak enak.4

1.6 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang
dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya adalah 5,7%.7

19

1.7 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :1
a. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
b. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi

kardiovaskular:

kegagalan

sirkulasi

perifer

(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.


2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang
terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.4

20

BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik


terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan
kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella
typhi maupun Salmonella paratyphi. Utama dari manifetasi klinik demam tifoid
adalah : adanya demam lebih dari 7 hari, gangguan gastrointestinal, gangguan
kesadaran dan gangguan lain. Penegakan diagnosis dari demam tifoid adalah
didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gold
standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
Penatalaksanaan kasus demam tifoid memerlukan upaya medikamentosa dan non
medika mentosa. Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi 2, komplikasi
intestinal dan ekstraintestinal.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
2. WHO. Background Document; The Diagnosis, Treatment, And Prevention
of Typhoid Fever. Geneva;2003.
3. Soedarmo, S. Poorwo Sumarmo,dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
4. Tanto, Chris. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014.
5. Brook, Geo .F,dkk. Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology.
United States: McGraw-Hill Companies; 2013.
6. Kliegman, Robert M.Nelson Textbook of Pediatrics 20th Edition.
Philadephia: Elsevier; 2016.
7. Kasper, Dennis L., Faci Anthony S. Horrisons Infectious Disease. United
States; McGraw-Hill Companies; 2010.
8. Bruton, Laurance L. Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
THERAPEUTICS 12th Twelfth. United States: McGraw-Hill Companies; 2011.

22

You might also like