You are on page 1of 17

RANCANGAN PENELITIAN

GUNA PENULISAN SKRIPSI

A. JUDUL :

TINDAK PIDANA MEMILIKI SARANG BURUNG


WALET
(Suatu Analisa di Blangbintang)

B. DATA PENELITI
Nama

: Maulidin

NIM

: 1103101010105

Angkatan

: 2011

SKS Yang Telah Dicapai

: 132SKS

Sudah/Belum Lulus Semua


Mata Kuliah Wajib

: Sudah

Alamat

: Gampong Tumpok lampoh

C. LATAR BELAKANG MASALAH


Sarang burung walet banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam
keperluan seperti beberapa di antaranya, pengobatan, makanan, kecantikan
karena dapat memperlambat proses penuaan (aging). Sarang walet sendiri
berasal sari air liur burung walet yang digunakan untuk nesting atau
bersarang. Proses nesting membutuhkan waktu yang cukup lama,
penyelesaian sarang ini terjadi sebelum musim dingin atau musim hujan.
Apabila sarang ini belum selesai ketika musim dingin menjelang, maka akan
sangat fatal akibatnya bagi burung walet.
1

Meninggalnya burung walet, karena tidak menyelesaikan proses


nesting tepat pada waktunya, merupakan gejala yang dihasilkan oleh proses
seleksi alam (natural selection) yang bersifat alami. Namun, apabila tidak
selesainya sarang tersebut akibat alasan lain, seperti penjarahan oleh manusia
misalnya, maka hal yang demikian itu tidak lagi disebut sebagai seleksi alam,
melainkan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam
Pasal 21 ayat (2) huruf e, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Burung walet sendiri termasuk hewan yang memiliki rentang waktu
reproduksi relatif pendek, yang mengancam unggas tersebut berada di
ambang kepunahan. Selain reproduksi, penyebab kepunahan spesies ini dapat
juga disebabkan oleh predator, iklim, bahkan dapat juga disebabkan oleh
campur tangan manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi,
yang dikaruniai tuhan dengan akal atau budi, untuk membedakan antara yang
benar dan salah, dengan diberkahinya akal, manusia seharusnya tidak menjadi
salah satu faktor penyebab kepunahan burung walet.
Blangbintang, wilayah yang menjadi sentra pertanian di Kabupaten
Aceh Besar ini, menjadi habitat terbaik bagi burung walet, karena termasuk
unggas pemakan biji-bijian seperti padi. Namun, sempurnanya habitat
tersebut, tercoreng oleh tindakan manusia, seperti yang dilakukan oleh salah
seorang penduduk Blangbintang ini, yang mengeksploitasi burung walet,
dengan memanfaatkan sarangnya untuk tujuan komersial semata, tanpa
menghiraukan populasi burung walet itu sendiri.

Seriusnya, isu hukum yang melanda burung walet, melahirkan


beberapa pertanyaan yang menarik untuk diteliti. Adapun pertanyaanpertanyaan yang dimaksud meliputi:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana memiliki sarang burung walet
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
2. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana memiliki sarang
burung walet?
3. Bagaimanakah upaya dan hambatan-hambatan yang ditemui oleh penyidik
dalam menindaklanjuti tindak pidana memiliki sarang burung walet?
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tindak Pidana Memiliki Sarang Burung Walet
Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit dibedakan menjadi
dua,

yaitu definisi menurut teori dan definisi menurut hukum positif

sebagaimana yang diuraikan sebagai berikut: 1


a. definisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah
suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan
si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; dan
b. definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar
feit adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundangundangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana,

yang

didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 91.

hukum larangan yang disertai ancaman pidana (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.2
Perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan
hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu merupakan
pengertian dari tindak pidana menurut Komariah Emong Supardjadja.3
Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan
terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.4
Roeslan Saleh mengemukakan

pendapatnya

mengenai

pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan


hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.5
Simons dikutip oleh Djoko Prakorso bahwa Hukum Pidana
adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dengan suatu
nestapa (pidana). Sedangkan menurut Van Hamel adalah semua dasardasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam
menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang
bertentangan dengan hukum dan mengenakan nestapa kepada yang
melanggar larangan-larangan tersebut.6 Kedua pendapat tersebut sama2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.71.
Komariah Emong Supardjadja, Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum Pidana
Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni,
Bandung, 2002, hal. 22.
4
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 6.
5
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hal. 13.
6
Djoko Prakoso, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998,
hal. 20.
3

sama menggunakan istilah nestapa (pesakitan) untuk mengungkapkan


pidana, dan keduanya pun mengesampingkan asas legalitas.
S. R. Sianturi memberikan pendapat yang bertolak belakang dari
yang telah diungkapkan oleh Simons dan Van Hamel. Beliau menyebutkan
bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.7
Marshal mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan
dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.8
Konsep KUHP mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.9
Indrianto Seno Aji megatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan
hukum,

terdapat

suatu

kesalahan

dan

bagi

pelakunya

dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.10


Memiliki sarang burung walet dilarang oleh Undang_Undang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tepatnya dalam
Pasal 21 ayat (2) huruf e. Sesuai dengan rumusan yang dimaksud pasal ini,
memiliki, menyimpan, sampai dengan memperniagakan sarang burung
walet sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana.
2. Teori Ketaatan dan Kesadaran Hukum
7

S. R. Sianturi, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni


AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hal. 205.
8
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 89.
9
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 98.
10
Indrianto Seno Aji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Prof. Oemar Seno
Aji & Rekan, Jakarta, 2002, hal. 155.

Ewick dan Sylbey, merumuskan kesadaran hukum itu


mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memahami hukum dan
institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan
makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. Bagi Ewick dan
Sylbey, kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya
merupakan persoalan praktek untuk dikaji secara empiris. Dengan kata
lain, kesadaran hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan
bukan hukum sebagai aturan norma atau asas.11
Di dalam literatur-literatur hukum yang ditulis oleh pakar-pakar
terkenal di dunia dibedakan adanya dua macam kesadaran hukum, yaitu:12
a. Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai
ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai degan aturan hukum
yang disadarinya atau dipahaminya.
b. Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam
wujud menentang hukum atau melanggar hukum.
Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum
dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan. Sering
orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum,
padahal kedua hal itu, meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap
tidak persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif
atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam
masyarakat.13

11

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta,
2009, hal. 298.
12
Ibid, hal. 510.
13
Ibid, hal. 299.

Ketaatan hukum sendiri, masih dapat dibedakan kualitasnya


dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakan oleh H. C. Kelman maupun L.
Pospisil sebagai berikut:14
a. Compliance atau pemenuhan;
b. Indentification atau identifikasi; dan
c. internalization atau internalisasi.
Achmad Ali menyatakan bahwa dengan mengetahui adanya tiga
jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran
ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang-undangan sebagai bukti
efektinya aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada perbedaan
kualitas efeketifitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati
suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang
bersifat compliance atau identification saja, berarti kualitas
efektifitasnya masih rendah; sebaliknya semakin banyak ketaatannya
internalization, maka semakin tinggi kualitas efektifitas aturan hukum
atau perundang-undangan itu.15
Lebih lanjut Achmad Ali menambahkan jenis ketaatan hukum,
yang disebutnya sebagai teori ketaatan hukum karena kepentingan.
Menurut Achmad Ali, apabila direnungkan baik-baik, ternyata jika
seseorang disodori dengan keharusan untuk memilih, maka seseorang akan
menaati aturan hukum dan perundang-undangan, hanya jika dalam sudut
pandangnya, keuntungan-keuntungan dari suatu ketaatan, ternyata
melebihi biaya-biayanya (pengorbanan yang harus dikeluarkannya).
Diakui oleh Achmad Ali bahwa pandangannya ini dipengaruhi oleh
14
15

Ibid, hal. 347-348.


Ibid, hal. 349.

pandangan mazhab hukum ekonomi, yang memandang berbagai faktor


ekonomi sangat memengaruhi ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya,
keputusan seseorang yang bertalian dengan faktor biaya atau
pengorbanan, serta keuntungan jika ia menaati hukum; juga faktor
yang turut menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukum,
sangat ditentukan oleh asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta
berbagai faktor subjektif lain, demikian juga proses-proses yang
dengannya seseorang ia memutuskan apakah ia akan menaati suatu aturan
hukum atau tidak. Dalam kaitannya ini, seyogyanya pembuat perundangundangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi yang
akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan menjadi target
peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap peraturan tersebut, dan
olehnya itu, pembuat undang-undang harus secara optimal memiliki
kemampuan menentukan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut
membentuk pilihan orang-orang yang akan menjadi sasaran perundangundangan itu.16
3. Teori Pemidanaan
Teori-teori

pemidanaan

berkembang

mengikuti

dinamika

kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya


kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial
masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu
sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori
absolut

(retributif),

teori

relatif

(deterrence/utilitarian),

teori

penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial


16

Ibid, hal. 350.

(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai


aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.17
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi
berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri.
Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi
kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan
bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi
penderitaan.18
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana
mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.
Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan
masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang
secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.19
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas
pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata
lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya
17

Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika


Aditama, Bandung, 2009, hal. 22.
18
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.
105.
19
Ibid, hal. 106.

10

teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan
kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki
pribadi si penjahat.20
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat
pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya.
Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku
sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral
masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut
Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian
sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari
nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus
mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan
sanksi yang bersifat treatment.21
Teori perlindungan sosial

(social

defence)

merupakan

perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya


Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh
pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk

20

Ibid, hal. 107.


Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik hukum pidana kajian kebijakan
kriminalisasi dan dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 96-97.
21

kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada


umumnya.22
F. RUANG LINGKUP DAN TUJUAN PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Demi menghindari pembahasan masalah yang tidak terarah dan
agar penulisan pokok penelitian ini tercapai, maka ruang lingkup
penelitian ini dibatasi mengenai tindak pidana memiliki sarang burung
walet di Blangbintang, yang pembahasannya termasuk dalam bagian
permasalahan hukum pidana.
2. Tujuan Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan lebih tertuju pada sasaran yang
hendak dicapai serta berpangkal tolak dari dasar-dasar pemikiran tersebut
maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana memiliki
sarang burung walet.
b. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana
memiliki sarang burung walet.
c. Untuk mengetahui upaya dan hambatan yang ditemui dalam
menindaklanjuti tindak pidana memiliki sarang burung walet.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini yang digunakan adalah yuridis empiris dengan
pertimbangan titik tolak penelitian terhadap tindak pidana modifikasi
kendaraan roda dua dan untuk mendapatkan bahan dan data dalam penelitian
ini, maka dilakukan melalui penelitian lapangan.
1. Definisi Operasional Variabel
a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan yang disertai ancaman pidana (sanksi) yang

22

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992,

hal. 12.

11

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan


tersebut.23
b. Kriminologi adalah cabang ilmu hukum pidana yang mempelajari
tentang sebab-sebab terjadinya tindak pidana, dan segala hal yang
terkait dengan delik.
c. Penegakan hukum adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh sistem
peradilan pidana, seperti upaya preventif, kuratif, rehabilitatif, dan
represif, dalam rangka mewujudkan tujuan hukum.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi dari penelitian ini adalah Gampong Blangbintang
Kabupaten Aceh Besar. Dipilihnya Kota Banda Aceh dan Aceh Besar
karena beberapa tindak pidana memiliki sarang burung walet tersebut,
beberapa di antaranya terjadi di wilayah hukum Blangbintang.
3. Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu, gejala atau
seluruh kejadian ataupun seluruh unit yang ingin diteliti. 24 Adapun yang
menjadi populasi penelitian ini adalah Penyidik Kepolisian Sektor
Blangbintang dan Pemilik sarang burung walet.
4. Cara Penentuan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti. Sampel
merupakan bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya.
Dalam penelitian ini digunakan metode purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini biasa
diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan
terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan

23

Bambang Poernomo, Op.Cit, hal. 91.


Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 119.
24

12

sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan


tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang di tetapkan.25
Responden atau orang yang memberikan informasi dan terlibat
langsung dalam penelitian meliputi para Pemilik sarang burung walet
yang berkedudukan di Blangbintang, Kabupaten Aceh Besar. Sementara
yang menjadi informan atau orang yang memberikan informasi namun
tidak terlibat langsung dalam penelitian terdiri dari, Penyidik Kepolisian
Sektor Blangbintang, dan Ahli hukum pidana.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian data (field research) untuk memperoleh data primer
yaitu akan dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai
responden dan informan yang telah ditentukan sebelumnya. Penelitian
kepustakaan (library research) untuk memperoleh data sekunder
dilakukan dengan cara mengkaji/mempelajari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, buku teks lainnya serta
makalah dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
6. Cara Menganalisis Data
Semua data yang terkumpul, baik melalui penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Data primer dan sekunder yang berhasil dikumpulkan melalui
penelitian lapangan kemudian diolah secara sistematis dan selanjutnya di
interprestasikan sehingga dapat memberi analisis dalam penulisan karya
ilmiah.
25

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung,


2008, hal. 85.

13

H. Jadwal Penelitian
Untuk melaksanakan penelitian ini, penulis memperkirakan waktu
yang diperlukan dengan perincian sebagai berikut:
1. Pengurusan Surat Izin
: 10 hari
2. Pengumpulan Data
: 10 hari
3. Pengolahan Data
: 10 hari
4. Analisa Data
: 10 hari
5. Penyusunan Skripsi
: 10 hari
Jumlah
: 50 hari
Banda Aceh, 25 Mei 2016
Pelaksana Penelitian

Maulidin
NIM. 1103101010105

14

KERANGKA PENULISAN SKRIPSI


ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB

I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang Masalah


Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Sistematika Pembahasan

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI TINDAK PIDANA


MEMILIKI SARANG BURUNG WALET
A. Tindak Pidana Memiliki Sarang Burung Walet
B. Teori Ketaatan dan Kepatuhan Hukum
C. Teori Pemidanaan
BAB III TINDAK PIDANA MEMILIKI SARANG BURUNG
WALET DI BLANGBINTANG
A. Pengaturan Tindak Pidana Memiliki Sarang Burung Walet
B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Memiliki Sarang
Burung Walet
C. Upaya dan Hambatan yang Ditemui dalam Menindaklanjuti
Tindak Pidana Memiliki Sarang Burung Walet
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence)
Termasuk
Interpretasi
Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009.
15

16

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.


Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001.
Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT.
Rafika Aditama, Bandung, 2009.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Indrianto Seno Aji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Prof.
Oemar Seno Aji & Rekan, Jakarta, 2002.
Komariah Emong Supardjadja, Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum
Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan
Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
2009.
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1981.
S. R. Sianturi, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Alfabeta,
Bandung, 2008.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik hukum pidana kajian
kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005.

17

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran
Negara Tahun 1959 Nomor 75).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad 1915 Nomor 732).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia (Berita Republik Indonesia
II Tahun 1946 Nomor 9).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 76).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 96).

You might also like