You are on page 1of 16

Pemeriksaan dan Penatalaksanaan pada Pasien Demam Tifoid

Kevina Suwandi
102012001
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jl. Ardjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Email: kevinasuwandi@gmail.com
Pendahuluan
Demam merupakan suatu gejala dari beberapa penyakit. Namun tidak semua penyakit
menimbulkan demam. Demam biasanya disertai menggigil pada beberapa penyakit dan
kondisi tertentu. Dengan gejala demam saja, kita tidak bisa menentukan secara langsung
seseorang menderita penyakit tertentu, namun harus ada gejala penunjang yang lain atau
dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apakah seseorang dengan
demam tifoid, bagaiman pemeriksaan dalam meyakinkan penyakit tersebut, serta
epidemioligi serta etiologi dari penyakit ini. Dan juga terakhir bagaimana pentalaksanaan dari
pasien pada penyakit demam tifoid.
Anamnesis
Dalam dunia kedokteran, terdapat aforisme yang mengatakan bahwa dari 80% kasus,
diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, 10% berdasarkan pemerikasaan fisik dan dan
10% diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang. Anamnesis adalah langkah
pertama yang harus dilakukan oleh dokter apabila berhadapan dengan pasien. Dengan
melakukan anamnesis, data yang diperlukan dari pasien dapat dikumpulkan. Anamnesis
adalah proses komunikasi antara dokter dengan pasien melalui proses wawancara secara
langsung baik secara verbal maupun non verbal.1
Teknik anamnesis yang pertama dilakukan adalah:1
1. Memberikan salam kepada pasien
2. Menanyakan identitas pasien. Proses ini sangat penting untuk menghindari kekeliruan
yang dapat menyulitkan pasien maupun dokter.
3. Menanyakan keluhan-keluhan apa saja yang dirasakan pasien dan menentukan
keluhan utama beserta waktunya. Keluhan utama adalah keadaan yang mendorong
1

pasien untuk datang ke dokter. Keluhan utama harus disertai dengan waktu terjadinya
karena waktu timbulnya keluhan sangat membantu dokter untuk menentukan
diagnosis.
1. Menanyakan riwayat penyakit sekarang atau alur dari awal timbulnya keluhan
sampai datang ke rumah sakit, kapan mulai timbul gejala, sudah berapa lama
gejalanya, timbulnya mendadak atau tidak, adakah gejala lain yang menjadi
penyerta, dan kemudian menanyakan apakah pernah mengonsumsi obat sebelum
datang ke rumah sakit dan keluhan-keluhan penyerta lainnya yang dirasakan
pasien.
2. Menanyakan penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh pasien dan riwayat
penyakit keluarga biasanya riwayat penyakit menahun seperti alergi, asma, TB,
dan penyakit lainnya.
Pada pasien demam tifoid, hal-hal yang perlu ditanyakan pada saat melakukan anamnesis
(menanyakan keluhan dan riwayat penyakit sekarang) yaitu:
1. Apakah pasien mengalami demam secara bertahap pada minggu pertama lalu menetap
pada minggu kedua?
2. Jika pasien demam, apakah suhu meningkat terutama di sore dan malam hari?
3. Apakah di minggu pertama pasien merasa demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu
makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari?
4. Apakah di minggu kedua demamnya tinggi terus menerus?
5. Apakah nafas pasien berbau tak sedap, kulit dan rambut kering, bibir pecah-pecah,
lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor?
6. Apakah pasien merasa nyeri bila perut di raba, perut kembung?
7. Apakah pasien merasakan tubuhnya menggigil?
8. Apakah pasien merasa denyut jantungnya lemah dan badan terasa lemah?
9. Apakah pasien merasakan nyeri otot, ulu hati dan lambung?
Dari skenario, didapatkan bahwa pasien laki-laki 22 tahun mengeluh demam sejak 1 minggu
yang lalu. Kemudian. Demam terasa sepanjang hari dan lebih tinggi menjelang sore hari.
Keluhan disertai pusing, nyeriperut, mual dan muntah. Os belum buang air besar sejak 4 hari
yang lalu. Os juga kebiasaan makan di tempat yg kurang bersih. Dari keterangan ini, dokter
mendiagnosis bahwa pasien menderita demam tifoid dengan beberapa diagnosis pembanding.
Oleh karena itu dokter harus melakukan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan suatu keterampilan pemeriksaan dasar yang harus dimiliki oleh
seorang dokter dalam mendukung diagnosanya terhadap suatu penyakit. Seorang dokter yang

baik, dapat mendiagnosis secara tepat hanya dengan melakukan pemeriksaan fisik tanpa
pemeriksaan laboratorium, khususnya untuk penyakit-penyakit yang memang tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan penyakit demam, pemeriksaan
fisik yang dilakukan adalah
1. Perabaan abdomen pada regio epigastrium terutama pada ulu hati. Pada manusia
normal nyeri tekan (-). Pada skenario di dapatkan nyeri tekan (+).
2. Pemeriksaan suhu. Pemeriksaan suhu tubuh dapat dilakukan dengan cara, yaitu rektal,
oral dan aksila. Dari ketiganya ini lebih akurat dengan cara aksila. Suhu tubuh pada
manusia, normalnya 36,5C sampai 37,5C.2 Dari skenario didapatkan suhu pasien
yaitu 37,8oc.
3. Pemeriksaan frekuensi pernapasan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara inspeksi
dimana pada pasien laki-laki dilihat di bagian abdomen sedangkan pada pasien
perempuan dilihat di bagian thoraks. Dari skenario didapatkan frekuensi pernapasan
18 kali per menit.
4. Pemeriksaan denyut nadi. Pemeriksaan nadi merupakan pemeriksaan gelombang
aliran darah yang dipompa oleh jantung dengan meraba arteri radialis. Denyut jantung
normal pada manusia dewasa adalah 70-80 kali per menit.2 Dari hasil pemeriksaan
didapati pasien mempunyai denyut nadi 90 kali/menit.
5. Pemeriksaan tekanan darah. Pemeriksaan tekanan darah untuk mengetahui jumlah
darah yang diedarkan oleh jantung setiap terjadi kontraksi dengan menggunakan
tensimeter. Normalnya tekanan darah manusia adalah 120/80 mmHg. 2 Dari hasil
pengukuran tekanan darah didapat 120/80 mmHg.
Pada pemeriksaan fisik yang terdapat pada skenario, suhu normal yaitu 37,8 oC, RR =
18x/menit, N= 90x/menit, dan TD= 120/80 mmHg.

Differential Diagnosis
Diagnosis memerlukan aspek logis. Semakin sulit masalah klinis yang didapatkan, semakin
penting juga pendekatan berdasarkan logika dalam menghadapi masalah tersebut. Pendekatan
semacam ini mengisyaratkan agar dokter menyusun dengan teliti setiap permasalahan yang
ditunjukan oleh gejala dan hasil-hasil pemeriksaan fisik serta laboratorium dan kemudian
mencari jawaban bagi masing-masing permasalahan.3 Differential diagnosis merupakan suatu
diagnosis pembanding dengan gejala yang serupa terhadap penyakit utama, yang didapatkan
ketika melakukan anamnesis. Oleh karena itu perlu adanya pemeriksaan fisik dan

laboratorium untuk menegakkan diagnosis utama. Dari gejala-gejala yang dialami pasien, ada
beberapa penyakit yang menjadi diagnosis pembanding yaitu:
Demam berdarah dengue
Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4, dan keempat serotype ini mempunyai gejala yang berbeda-beda jika menyerang
manusia. Demam berdarah dengue ditularkan dari 1 manusia ke manusia lainnya dengan
perantaraan/gigitan nyamuk. Nyamuk yang paling sering menimbulkan demam berdarah
yaitu nyamuk Aedes aegypti betina. Masa inkubasi DBD dimulai dari gigitan nyamuk sampai
timbul gejala berlangsung selama 2 minggu. Darah penderita sudah mengandung virus 1-2
hari sebelum terserang demam. Biasanya demam timbulnya tiba-tiba, tinggi, terus-menerus
berlangsung 5-7 hari, sakit kepala, menggigil dan disertai kemerahan pada wajah. Suhu tubuh
biasanya mencapai

39C 40C

dan bersifat bifasik. Terdapat ruam kulit atau bercak-bercak

merah pada wajah, leher, dan dada, tampak bintik- bintik merah ketika diperiksa dengan uji
torniquet, terjadi pembesaran hati (hepatomegali), tekanan darah menurun sehingga
menyebabkan syok, terjadi penurunan trombosit di bawah 100.000/mm3 dan terjadi
peningkatan hematokrit diatas 20 %, pada tingkat lanjut terjadi mimisan dari hidung dan gusi,
terjadinya melena (buang air dengan kotoran berupa lendir yang bercampur darah), tampak
bintik-bintik merah sebagai bentuk dari pecahnya pembuluh darah dan demam yang
dirasakan menyebabkan pegal dan sakit pada sendi.4
Pada skenario, demam yang terus menerus sesuai dengan gejala penyakit DBD karena pada
DBD, demam akan terus-menerus selama 5-7 hari, namun rasa menggigil, dan kemerahan
pada wajah yang dialami oleh penderita DBD, berbeda dengan skenario. Selain itu, pada
penderita DBD ditemukan ruam kulit atau bercak-bercak merah pada wajah, leher, dan dada,
tampak bintik- bintik merah ketika diperiksa dengan uji torniquet.
Malaria
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium, dan ditularkan lewat
tusukan nyamuk Anopheles. Penyakit malaria diawali dengan gejala yang tidak spesifik
diantaranya lesu, sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus, bahkan terjadi demam yang

tidak teratur, kemudian diikuti gejala demam yang khas, splenomegali, dan anemi yang
dikenal dengan trias malaria. Gejala utama malaria yaitu demam. Jenis demam pada malaria
menurut ulangan demamnya ada 2 jenis utama yaitu tertian dan kuartana. Demam
paroksismal tertiana yaitu demam yang berulang setiap 48 jam atau setiap hari ketiga,
sedangkan demam paroksismal kuartana yaitu demam yang berulang setiap 72 jam atau
setiap hari keempat. Serangan demam malaria terjadi selama 2-12 jam. Dengan 3 stadium
yaitu stadium menggigil, acme dan sudoris. Dua atau tiga hari kemudian terulang kembali
serangan demam dengan stadium-stadium yang sama.
Pada malaria gejala demamnya berbeda dengan gejala demam pada skenario. Pada skenario,
gejala demam berlangsung terus-menerus secara bertahap (demam enteric) dalam waktu lebih
dari 5 hari sedangkan pada malaria demam hilang timbul. Oleh karena itu, pasien pada
skenario tidak menderita malaria.5
Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan Leptospira. Manusia dapat
terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Masa inkubasi 2-26 hari,
biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Gejala klinisnya sering demam, menggigil, sakit
kepala, mual, muntah, nyeri abdomen terkadang diare. Keluhan pasien biasanya demam yang
muncul mendadak, sakit kapala, nyeri otot, mata merah, dan mual atau muntah. Pada
pemeriksaan laboratorium leukositosis normal dan kadang turun sedikit. Leptospirosis
memiliki 2 fase yaitu fase leptospiraemia dan fase imun.6
Pada leptospirosis gejala demamnya hampir sama dengan gejala demam pada skenario. Pada
skenario, gejala demam berlangsung terus-menerus secara bertahap (demam enteric) dalam
waktu lebih dari 5 hari yang membedakan adalah diare pada leptospirosis. Sedangkan pasa
demam tifoid menyebabkan tidak BAB. Selain itu pada leptospirosis menyebabkan mata
merah.6
Demam tifoid.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput lendir usus dan
jika tidak diobati dapat menyerang jaringan tubuh yang lain. Kumam penyebabnya adalah
Salmonella typhi (basil gram negatif) yang memasuki tubuh melalui mulut dengan
perantaraan makanan dan minuman yang telah terkontaminasi bakteri ini. Kuman ini terdapat

dalam tinja, urin atau darah. Penyakit ini paling sering diderita oleh kelompok umur 12-30
tahun, diikuti kelompok umur 30-40 tahun. Gejala klinis infeksi ini adalah demam biasanya
>5 hari terutama malam hari demam makin tinggi, nyeri/kembung pada abdomen. 5 Selain itu,
terjadi gangguan BAB, perdarahan pada usus karena kuman Salmonella typhi ini menyerang
jaringan limfoid di usus kecil yaitu plak peyeri sehingga plak peyeri ini membesar.
Membesarnya plak peyeri menyebabkan jaringan ini menjadi rapuh dan mudah rusak oleh
gesekan makanan yang melaluinya. Apabila plak peyeri mengalami kerusakan yang parah
maka dinding usus juga ikut menipis, sehingga pembuluh darah setempat juga ikut rusak dan
terjadi pendarahan.4 Pada pemeriksaan klinis demam tifoid, didapatkan suhu tubuh yang
tinggi, lidah kotor dengan tepian merah, serta terdapat pembesaran limpa dan hati.
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik (golongan kloramfenikol) yang
salah satu efeknya dapat menurunkan panas dan sterilisasi darah.5
Gejala-gejala yang dikeluhkan pasien pada skenario sangat mirip dengan gejala demam
tifoid, oleh karena itu diagnosis utama yang ditegakkan adalah pasien pada skenario
menderita demam tifoid.
Untuk memperkuat diagnosis yang didapat dari pasien setelah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai pemeriksaan
penunjang. Namun sebelum melakukan pemeriksaan, dokter berkewajiban menjelaskan
kepada pasien dengan cara yang mudah dimengerti pasien mengenai prosedur apa saja yang
harus dijalani pasien, dan meminta persetujuan pasien untuk melakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang
Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dokter belum bisa menegakkan diagnosis
utama, maka dilakukan pemeriksaan penunjang. Pada demam tifoid, diagnosis klinik
digambarkan dengan gambaran demam yang khas. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium:6
1) Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.

Pada skenario ini di dapatkan hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin leukosit 6000/L,
hemoglobin 14 gr/dL, hematokrit 40%, dan trombosit 200.000/L dan imunoglobulin 14.
2) Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thyphi. Pada uji widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita demam tifoid yaitu:

Aglutinin O (dari tubuh kuman)

Aglutinin H (flagela kuman)

Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin diatas hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 46 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
3) Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah
untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna
dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif
untuk hasil tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walaupun tidak
secara spesifik menunjukkan pada S.typhi. Infeksi S.paratyphi akan memberikan hasil
negatif.
4) Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terpadat pada protein membran
luar Salmonella Typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan

dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat
50kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
5) Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada spesimen
serum. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida S.typhoid dan
anti IgM, reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan latex
pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien,
tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 425oC ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai pada inkubasi strip
pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah
inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol
harus terwarna dengan baik. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (1 hari) dilakukan tanpa
peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala.
6) Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:

Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.

Volume darah yang kurang (diperlukan kurang kebih 5 cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman.

Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam


darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif.

Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.

Diagnosis kerja
Diagnosis kerja merupakan diagnosis utama tentang penyakit yang diderita pasien setelah
melakukan anamnesis dan pemeriksaan terhadap pasien. Demam selama 7 hari pada pasien
skenario telah berlangsung sepanjang hari dan pada malam hari lebih panas, dari anamnesis
diketahui bahwa keluhan pada pasien ini memiliki gambaran yang spesifik, yaitu demam
yang sudah cukup lama dan terus menerus, mual dan muntah, nyeri hati dan kepala. Demam
tifoid dapat dipikirkan karena pada pasien ini dijumpai gejala yang sama seperti gelaja
demam tifoid.6
Dari anamnesis, dijumpai peningkatan suhu tubuh yang terutama pada sore atau malam hari
serta demam yang terus-menerus selama kurang lebih 7 hari, sehingga dapat dipikirkan
penyebab demam pada pasien ini bukan demam malaria.6
Dari anamnesis pula diketahui bahwa pasien tidak mengeluhkan adanya bintik-bintik
merah pada kulit, adanya gusi berdarah maupun mimisan, sehingga dapat dipikirkan
penyebab demam pada pasien ini bukanlah demam berdarah. Berdasarkan pengertian tersebut
didapatkan working diagnosis untuk kasus ini yaitu demam tifoid.6
Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa. Infeksi berasal dari penderita atau
seseorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang mengandung kuman yang keluar
bersama fasesnya atau bersama kemih (carrier). Kuman kuman ini mengkontaminasi
makanan, minuman, dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman typhus yang penting,
karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Infeksi selalu terjadi pada saluran
pencernaan. Porte dentree ialah jaringan limfoid usus halus. Dari usus, kuman kuman
menuju ke kelenjar getah bening mesenterium, disini mereka berpoliferasi lalu menuju ke
ductus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah. Banyak kuman musnah,
endotoksinnya keluar dan menyebabkan gejala gejala penyakit.7
Epidemiologi Demam Tifoid

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981-1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi
26.606 kasus.6
Insidens demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di
daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan.6
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tertinggi.6
Patofisiologis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella Paratyphi (S.paratyphi)
kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.6

10

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain.6
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus.6
Gambaran Klinis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat
dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.6
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.6
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu 1oC tidak diikuti denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor
di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, psikosis. Roseolae jarang
ditemukan di Indonesia.6

11

Preventif
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid,
menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara yang
berasal dari wisatawan macanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan
hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah
kunjungan wisata. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid
yaitu :6
1. Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi cukup sulit dan perlu biaya
yang cukup besar dari segi pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara
aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola
sarana makanan minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik
beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat,
yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang
yang telah diketahui menginap kuman S.typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik
maupun hiperendemik. Sasaran vaksin tergantung daerahnya endemis atau non endemis,
tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:6
Daerah non endemik:

12

Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi:


a) Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b) Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan minuman
c) Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid:
a) Pencarian dan eliminasi sumber penularan
b) Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c) Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik:
a) Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar
prosedur kesehatan (perebusan >57oC, iodisasi, dan klorinisasi)
b) Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi
makanan segar (sayur/buah)
c) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ terutama tubuh dapat diserang
dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu :6
a) Komplikasi intestinal: pendarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
b) Komplikasi ekstra-intestinal:
o Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
o Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis
o Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
o Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis
o Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
o Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis

13

o Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik


Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:6
1.

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan,
minun, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
pernyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian

2.

dan perlengkapan yang dipakai.


Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan
rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup
penting dalam proses penyembuhan penyakit tifoid, karena makanan yang kurang
akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses

3.

penyembuhan akan menjadi lama.


Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid

4.

adalah:
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid.
Diberikan sampai dengan 7 haribebas panas. Dari pengalaman penggunaan obat ini

5.

dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.


Tiamfenikol hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan

6.

7.

8.

kloramfenikol.
Kotrimoksazol, efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol dan
diberikan selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksilin, kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih
randah dibandingkan dengan kloramfenikol dan digunakan selama 2 minggu
Sefalosporin generasi ketiga, yang efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson
diberikan jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan sebelumnya, dan
tipe komplikasi yang terjadi. Penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika dapat

14

meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak anak berusia lebih tua). Pengobatan
dengan kloramfenikol berhasil menurunkan angka kematian hingga 1% di berbagai daerah.
Adanya penyakit dasar yang melemahkan, perforasi saluran cerna atau perdarahan yang
hebat, akan meningkatkan kemungkinan kematian.8
Kekambuhan terjadi pada 10% penderita yang tidak mendapat pengobatan antibiotika.
Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2 minggu setelah penghentian obat dengan
antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi, kekambuhan tersebut umumnya
bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan dapat terjadi berkali kali pada orang
yang sama.8
Individu yang mengesekresikan S. Typhosa selama 3 bulan atau lebih setelah infeksi biasanya
menjadi ekskretor setahun setelah infeksi atau sering seumur hidup. Risiko menjadi karier
kronis pada anakanak adalah kecil, tetapi akan meningkat seiring bertambahnya umur. Lima
persen penderita orang dewasa akan menjadi karier kronis; umumnya mereka mengalami
infeksi kronis kandung empedu dan akan diekskresikan lewat tinja.8
Kesimpulan
Demam tifoid disebabkan oleh salmonela typhi yang menyerang usus halus seseorang. Gejala
khas pada tifoid adalah demam terus menerus pada sore dan malam hari dan pemeriksaan
seperti pada kasus yiatu widal. Dari anamesis serta pemeriksaan pasien positif terkena
demam tifoid yang belum terlalu kronik. Dengan penatalaksanaan yang baik dan benar pasien
akan sembuh dengan cepat .

DAFTAR PUSTAKA
1. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran: bagaimana dokter berpikir,
bekerja dan menampilkan diri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006.h.213-20.
2. Santoso M, Sumadikarya I, Winami W, dkk. Buku penuntun keterampilan medik
(skill-lab). Jilid ke-2. Jakarta: FK UKRIDA; 2008.h.14-7.
3. Asdie A H (editor). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta:
EGC; 2012.h.977-89.

15

4. Bherman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC;
2000.h.970-74, 1115-30.
5. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2009.h.209-27.
6. Sudoyo, Setiyohadi, Idrus, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.1008, 2797-805, 2807-11.
7. Setyawan S. Penyakit infeksi dalam: patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.h. 67-8.
8. Behrman RE. Penyakit menular dalam ilmu kesehatan anak bagian dua. Jakarta:
EGC; 2002.h. 95-100.

16

You might also like