You are on page 1of 27

54

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for The Study of Pain (IASP),
(1979, dalam Price dan Wilson, 2005), mendefinisikan nyeri sebagai
suatu

sensori

subjektif

dan

pengalaman

emosional

yang

tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual,


potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi
kerusakan. Menurut McCaffery dan Pasero (1999 dalam Wong. et al,
2008)

nyeri

adalah

mengalaminya,

apapun

mencakup

yang

ungkapan

dikatakan

oleh

verbal

maupun

orang

yang

nonverbal.

Sherrington (dalam Ganong, 2008), menyebut nyeri sebagai aspek


pelengkap fisik dari refleks protektif mutlak yang bersifat unik yaitu nyeri
memiliki efek yang tidak menyenangkan. Rasa nyeri merupakan akibat
serangkaian langkah kompleks yang berasal dari lokasi cedera meneuju
otak yang menafsirkan stimulus sebadai rasa nyeri (Kowalak, Welsh dan
Mayer, 2011). Rasa sakit didefinisikan sebagai sebuah pengalaman
indrawi dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan
aktual atau kerusakan jaringan potensial, atau yang dijelaskan dalam hal
kerusakan tersebut (American Academy Pediatric, 2012).

2. Klasifikasi nyeri

a. Nyeri berdasarkan durasi


1) Nyeri akut
Nyeri akut Ditandai dengan karakteristik awitan mendadak;
durasi singkat kurang dari 6 bulan; intensitas sedang sampai
parah; respon fisiologik; meningkat tekanan darah, nadi, dan
nafas, dilatasi pupilpucat, mual dan/atau muntah; cemas, gelisah;
tidak mampu berkonsentrasi (Price dan Wilson, 2005).

2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode waktu, berlangsung lama,
intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6
bulan (McCaffery, (1986 dalam Potter dan Perry, 2005).

b. Nyeri berdasarkan asal


1) Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh
aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer yang merupakan
reseptor khusus yang mengantarkan stimulus noxious. Nyeri
nosiseptif perifer dapat terjadi karena adanya stimulus yang
mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain.
Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri mosiseptif merupakan nyeri
akut (Andarmoyo, 2013).

2) Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik terkait dengan cedera pada saraf perifer,


saraf tulang belakang, atau otak. Sensasi dari rasa nyeri ini seperti
tertembak

atau tertusuk (Burns. et al, 2009). Nyeri neuropatik

merupakan nyeri kronis.

c. Nyeri Berdasarkan Lokasi


Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya menurut Potter dan
Perry (2006) (dalam Andarmoyo, 2013), dibedakan sebagai berikut:

1) Superficial atau kutaneus


Nyeri superfisial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi
kulit.

Karakteristik

dari

nyeri

berlangsung

sebentar

dan

terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam,


contohnya tusukan jarum suntik dan luka potong kecil/ laserasi.

2) Viseral dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi
akibat stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat
difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya bervariasi
tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial.
Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ yang
terlibat.

3) Nyeri alih (Referred Pain)


Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral
karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk

neuron sensori dari organ yang terkena ke dalam segmen medula


spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi
nyeri pada daerah yang tidak terkena. Karakteristik nyeri dapat
terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat
terasa dengan berbagai karakteristik. Contoh nyeri yang terjadi
pada infark miokard yang menyebabkan nyeri alih ke rahang,
lengan kiri, batu empedu yang dapat mengalihkan nyeri ke
selangkangan.

4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari
tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Karakteristik nyeri
seakan terasa menyebar kebagian tubuh bawah atau sepanjang
bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan.
Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral
yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari
iritasi saraf skiatik.

3. Fisiologi Nyeri
Menurut Price & Wilson (2005) stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: transduksi,
transmisi, modulasi, persepsi. 1) Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik
direseptor nyeri. 2) Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls
nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di

medula spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari


medula spinalis ke otak. 3) Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf
melalui jalu-jalur saraf desendens dari otak yang dapat memengaruhi
transmisi nyeri setinggi medula spinalis. 4) Persepsi nyeri adalah
pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh
aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.

a. Reseptor Nyeri dan Stimulasinya


Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan
tersebut mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada
keberadaan nosiseptor. Nosiseptor adalah saraf aferen primer untuk
menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Ujung-ujung saraf
bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka terhadap
rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang menimbulkan
nyeri (Price & Wilson, 2005).

b. Jalur Nyeri Di Sistem Saraf Pusat


1) Jalur Asendens
Serat saraf C dan A- Aferenyang menyalurkan impuls
nyeri masuk ke medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat
memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali
menyatu di kornu dorsalis medula spinalis. Daerah ini menerima,
menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis
medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan yang disebut

lamina (lamina 1 dan lamina 2 yang disebur substansia


gelatinosa) yang sangat penting dalam transmisi dan modulasi
nyeri. Substansia gelatinosa dihipotesiskan merupakan suatu
tempat

mekanisme

gerbang

yang

dijelaskan

dalam

teori

pengendalian gerbang. Dari kornu dorsalis impuls nyeri dikirim ke


neuron-neuron yang menyalurkan informasi ke sisi berlawanan
medula spinalis di komisura anterior dan kemudian menyatu di
traktus spinotalamikus anterolateralis yang naik ke talamus dan
struktur otak lainnya (Price & Wilson, 2005).

2) Jalur desendens
Daerah-daerah tertentu diotak itu sendiri mengendalikan
atau memengaruhi persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik
berfungsi sebagai pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks
frontalis menghasilkan interpretasi dan respon rasional terhadap
nyeri. Jalur-jalur desendens serat eferen yang berjalan dari
korteks serebrum ke bawah medula spinalis dapat menghambat
atau memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui suatu
mekanisme umpan balik yang melibatkan substansia gelatinosa
dan lapisan lain di kornu dorsalis sehingga jalur-jalur desendens
dapat memengaruhi impuls nyeri ditingkat spinal (Price & Wilson,
2005).

4. Teori-teori nyeri
a. Teori Spesivitas

Teori spesivitas nyeri ini diperkenalkan oleh Descartes. Teori


ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri
yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di
otak dan bahwa hubungan antara stimulus dan respon nyeri yang
bersifat langsung dan invariabel. Prinsip teori ini adalah (1) reseptor
somatosensorik adalah reseptor yang mengalami spesialisasi untuk
berespons secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulus
tertentu, (2) tujuan perjalanan neuron aferen primer dan jalur
ascendens merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus
di perifer (Price dan Wilson, 2005).

b. Teori Pola (Pattern Theory)


Teori ini diperkenalkan oleh Goldscheider pada 1989. Teori
pola ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor
sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat
stimulasi reseptor yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf.
Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom, dan neuralgia teori pola ini
bertujuan

bahwa

rangsangan

yang

kuat

mengakibatkan

berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga


saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif yang mana rangsangan
dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis
(1993 dalam Andarmoyo, 2013)).

c. Teori pengontrolan Nyeri (Theory gate Control)


Teori kontrol gerbang nyeri berusaha menjelaskan variasi
persepsi nyeri terhadap stimulus yang identik (Price dan Wilson,

2005). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965 dalam
Andarmoyo, 2013), menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur
atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri.

Prinsip dasar pada teori kontrol gerbang adalah sebagai berikut:


1) Baik serat sensorik bermyelin besar (L) yang membawa informasi
mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer maupun serat
kecil yang membawa informasi mengenai nyeri menyatu di kornu
dorsalis medula spinalis.
2) Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi
(T) medula spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu
mekanisme gerbang di sel-sel substansia gelatinosa. Apabila
gerbang tertutup impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Apabila
gebang terbuka atau sedikit terbuka impuls nyeri merangsang sel
T di kornu dorsalis dan kemudian naik melalui medula spinalis ke
otak, tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri.
3) Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh jumlah relatif aktivitas
si serat aferen primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil
(S). Aktivitas diserat besar cenderung menghambat trasnmisi nyeri
(menutup gerbang), sedangkan aktivasi diserat kecil cenderung
mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang).

4) Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang


turun dari otak. Aspek mekanisme ini didasari oleh banyaknya
faktor psikologik yang diketahui mempengaruhi nyeri.
5) Apabila keluaran dari sel-sel T medula spinalis melebihi suatu
ambang kritis, terjadi pengaktifan sistem aksi untuk perasaan
dan respon nyeri. Apabila terjadi interaksi antara sistem
pengendalian gerbang dan sistem aksi atau otak dapat menyetel
gerbang

kembali

sewaktu

otak

menganalisis

dan

bekerja

berdasarkan sensorik yang diterimanya.

d. Endogeneous Opiat Theory


Suatu teori pereda nyeri yang relatif baru dikembangkan oleh
Avron Goldstein (1970) dimana ia menemukan bahwa terdapat
substansi seperti opiate yang terjadi secara alami di dalam tubuh.
Substansi

ini

disebut

endorphine,

yang

berasal

dari

kata

endogeneous dan morphine. Teori ini menjelaskan bahwa otak


menghasilkan opiate otak alami. Endorfin merupakan sistem
penekanan nyeri yang dapat diaktifkan dengan merangsang daerah
reseptor endorphin di zat kelabu periaqueduktus otak tengah
(deGroot, (1997 dalam Andarmoyo, 2013)). Endophine kemungkinan
bertindak sebagai neurotransmiter maupun neuromodulator yang
menghambat transmisi dari pesan nyeri. Jadi adanya endhorphine
pada sinaps sel-sel saraf menyebabkan status penurunan dalam
sensasi nyeri (Andarmoyo, 2013).

5. Respon Bayi Terhadap Nyeri

Potter dan Perry (2005) menjelaskan bahwa respon yang muncul


akibat nyeri terbagi dua, yaitu respon fisiologis dan respon perilaku.

a. Respon Fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke
batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respon nyeri (Potter dan Perry, 2005). Respon
fisiologis yang mengindikasikan nyeri, antara lain adalah kulit
kemerahan,

peningkatan

keringat,

tekanan

darah.

nadi,

dan

pernafasan, gelisah, dan dilatasi pupil (Wong. et al, 2008).

b. Respon Perilaku
Pada saat nyeri dirasakan pada saat itu mulai suatu siklus
yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk
menghilangkannya dapat mengubah kualitas kehidupan secara
bermakna (Potter dan Perry, 2005). Perubahan perilaku merupakan
indikator umum nyeri dan sangat bermanfaat dalam mengkaji nyeri
pada anak-anak nonverbal. Respon prilaku pada bayi muda
ditunjukkan dengan respon umum terhadap rigiditas atau memukulmukul, kemungkinan refleks lokal menarik diri dari area yang
terstimulasi, menangis dengan keras, ekspresi pada wajah (alis
menurun dan berkerut bersamaan, mata tertutup rapat, dan mulut
terbuka serta membentuk bujur sangkar). Pada bayi yang lebih tua
menunjukkan respon tubuh terlokalisasi dengan secara sengaja
menarik diri dari area yang terstimulasi, menangis dengan keras,
ekspresi wajah menunjukkan nyeri, resistensi fisik (terutama

mendorong stimulus menjauh setelah terjadi nyeri) (Wong. et al,


2008).

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri


Potter dan Perry (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi nyeri antara lain: 1) usia, 2) jenis kelamin 3)
kebudayaan, 4) makna nyeri, 5) perhatian, 6) ansietas, 7) keletihan, 8)
pengalaman sebelumnya, 9) gaya koping, 10) dukungan keluarga dan
sosial. Harkreader, Hogan dan Thobaben (2007), menjelaskan faktor
yang mempengaruhi nyeri anatara lain: 1) faktor semasa hidup/ usia;
2)faktor fisiologis; 3) faktor budaya dan gaya hidup; 4) faktor religius dan
5) faktor sosial dan lingkungan.

7. Pengkajian Nyeri Pada Bayi


Pengkajian nyeri merupakan komponen penting dari proses
keperawatan. Menurut Mc. Cance. et al. (2006 dalam Wong. et al, 2008)
tujuan dari pengkajian nyeri adalah memperoleh informasi tentang lokasi,
intensitas nyeri dan akibat yang ditimbulkan pada anak.

a. Pengalaman Nyeri
Pada bayi pengalaman nyeri ini dapat ditanyakan pada orang
tua misalnya bagaimana anak mengekspresikan rasa sakit baik
secara verbal dan perilaku, pengalaman dan reaksi sebelumnya
tentang situasi yang menyakitkan, upaya anak mengatasi rasa sakit,

upaya yang dilakukan untuk mengurangi rasa sakit (Ball dan Bindler,
2009).

b. Budaya yang mempengaruhi nyeri


Budaya

anak-anak

dan

pembelajaran

sosial

memiliki

pengaruh yang luar biasa pada ekspresi nyeri. Anak-anak belajar


secara langsung dan tidak langsung dari orang tua mereka tentang
bagaimana respon terhadap nyeri (Ball dan Bindler, 2009).

c. Skala pengkajian nyeri


Untuk mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling
valid dan dapat dipercaya maka skala yang dipilih disesuaikan
dengan usia, kemampuan dan kesukaan anak.

1) Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)


NIPS dirancang untuk mengukur nyeri pada bayi prematur
dan bayi cukup bulan hingga usia 6 minggu setelah lahir. Alat ini
menilai ekspresi wajah, tangisan, pola pernafasan, posisi kaki dan
tangan, dan kepekaan terhadap rangsang. Kisaran nilai untuk 0 =
tidak ada nyeri dan 7 = nyeri terberat (Ball dan Bindler, 2008).
Tabel 2.1 Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)

Karakteristik
Ekspresi wajah
0 = otot relaks; 1 = meringis

Kriteria Skor
0. Wajah
tenang
dengan
eksprei natural
1. Otot-otot wajah kaku dan
dahi, dagu, rahang berkerut

Tangisan
0 = tidak menangis; 1 = merengek; 2 =
tangisan kuat

0. Tenang, tidak menangis


1. mengerang ringan
2. menjerit keras, meningkat,
melengking
dan
terusmenerus

Pola pernapasan
0 = relak; 1 = perubahan pernafasan

0. Pola pernafasan biasa


1. perubahan dalam menarik
napas, tidak teratur, lebih
cepat dari biasanya tersedak
atau menahan napas

Tangan
0 = relak; 1 = fleksi/ ekstensi

0. Relak
1. tegang, lengan lurus, kaku,
atau ekstensi dan/ atau
fleksi

Kaki
0 = relak
1 = fleksi/ ekstensi

0. Relak
1. Tegang, kaki lurus, kaku,
atau ekstensi dan/ atau
fleksi

Kepekaan terhadap rangsang


0 = tidur/ bangun; 1 = rewel

2. Tenang, tidur
3. Gelisah/ meronta-ronta

Sumber: Lawrence J. et al. (1993, dalam Ball dan Bindler, 2008).

2) FACES Pain Rating Scale


Skala ini terdiri dari enam wajah kartun yang memiliki
rentan dari wajah tersenyum untuk tidak ada nyeri sampai wajah
berurai air mata untuk nyeri yang paling berat. Skala nyeri ini
digunakan untuk anak-anak usia minimal 3 tahun. Skala wajah
memberikan tiga skala dalam satu skala, yaitu ekspresi wajah,
angka, dan kata-kata.
Gambar 2.2 FACES Pain Rating Scale

Sumber: Wong, D.L. dan Baker, C.M. (1988, dalam Ball dan Bindler, 2008).

3) Objective Pain Score (OPS)


Skala ini dugunakan untuk usia 4 bulan 18 tahun. Kriteria
yang dinilai adalah tekanan darah (0-2), menangis (0-2), bergerak
(0-2), agitasi (0-2), evaluasi verbal dan bahasa tubuh (0-2).
Rentang skor 0 = tidak nyeri dan 10 = nyeri yang paling buruk
(Hannallah. et al. (1987) dalam Wong. et al, 2008).

4) Childrens Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS)


Skala ini digunakan untuk usia 1-5 tahun. Kriteria yang
dinilai menangis (1-3), Wajah (0-2), verbal anak (0-2), torso (1-2),
sentuhan (1-2), tungkai (1-2). Rentang skor 4 = tidak ada nyeri; 13
= nyeri paling buruk (Mc. Grath. et al. 1985 dalam Wong. et al,
2008).

5) Nurses Assesment of Pain Inventory (NAPI)


Skala ini digunakan pada bayi baru lahir sampai dengan
usia 16 tahun. Kriteria yang dinilai gerakan tubuh (0-2), wajah (03), sentuhan (0-2). Rentang skor untuk 0 = tidak ada nyeri, 10 =
nyeri terburuk) (Stevens, 1990 dalam Wong. et al, 2008).

6) Behaviral Pain Score (BPS)


Skala ini digunakan pada bayi usia 4-6 bulan. Kriteria yang
dinilai ekspresi wajah (0-2), tangisan (0-3), gerakan (0-3). Rentang
skor untuk 0 tidak ada nyeri dan 8 = nyeri yang terburuk
(Robieux. et al. 1991 dalam Wong. et al, 2008).

7) Modified Behavioral Pain Scale (MBPS)


Skala ini digunakan untuk usia 4-6 bulan. Kriteria yang
dinilai ekspresi wajah (0-3), tangisan (0-4), gerakan (0,2,3).
Rentang skor untuk 0 = tidak ada nyeri dan 10 = nyeri yang
terburuk (Tadio. et al, 1995 dalam Wong. et al, 2008).

8) Pain Rating Scale (PRS)


Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada
bayi umur 1-36 bulan. Skala ini terdiri dari 6 penilaian dengan skor
total 0 = tidak nyeri dan 5 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut
adalah 0 (tersenyum, tidur, tidak ada perubahan ketika di pindah
atau disentuh), 1 (minum sedikit, tidak tenang, bergerak,
menangis), 2 (tidak makan/ minum, periode menangis singkat,
dapat dihibur, dengan mengayun atau empeng), 3 (perubahan
tingkah

laku,

iritabel,

menghentak

lengan/

tungkai,

wajah

meringis), 4 (meronta, berteriak, orang tua meminta obat, tidak


bisa dihibur), 5 (idur periode lama terganggu oleh hentakan,
menangis terus, respirasi cepat dangkal (Joyce. et al, 1994 dalam
Wong. et al, 2008).

9) CRIES (Crying, Requiring increased oxigen, Increased vital


sign, Expression, and Sleeplessness)
Skala nyeri ini digunakan untuk usia gestasi 32-60 minggu.
Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 0 untuk tidak ada
nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut terdiri dari

menangis (0-2), peningkatan kebutuhan tambahan oksigen (0-2),


Peningkatan tanda vital (0-2), ekpresi (0-2), tidak bisa tidur (0-2)
(Krechel. S.W. dan Bildner. J. 1995 dalam Wong. et al, 2008).

10) FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability) behavioral


scale
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada
anak mulai usia 1 bulan - 3 tahun (Glasper & Richardson, 2006)
atau 2 bulan 7 tahun (Hockenberry & Wilson, 2009). Skala ini
terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 0 untuk tidak ada nyeri
dan 10 untuk nyeri hebat. Adapun hasil skor perilakunya adalah 0
untuk rileks dan nyaman; 1-3 untuk nyeri ringan/ ketidaknyamanan
ringan; 4-6 nyeri sedang; 7-10 nyeri berat.
Tabel 2.2. Skala Nyeri Perilaku FLACC

Face
muka

(ekspresiTidak ada ekspresiKadangkala meringisSering


yang khusus atauatau
mengerutkanmengerutkan dahi
tersenyum
dahi, menarik diri
secara
terus
menerus,
mengatupkan
rahang,
dagu
bergetar

Legs
kaki)

(gerakanPosisi normal atauTidak


tenang,Menendang atau
rileks
gelisah, tegang
menarik kaki

Activity (aktivitas) Berbaring tenang,Menggeliat-geliat,


Melengkung,
posisi
normal,bolak
balikkaku, atau terus
bergerak denganberpindah, tegang
menyentak
mudah
Cry (Menangis)

Tidak
menangisMerintih
(terjaga atau tidur) merengek,
kadangkala
mengeluh

atauMenangis
terus
menerus, berteriak
atau terisak-isak,
sering mengeluh

Consolability
(kemampuan
dihibur)

Senang, rileks

Ditenangkan denganSulit untuk dihibur


sentuhan
sesekali,atau sulit untuk
pelukan,
ataunyaman
berbicara,
dapat
dialihkan

Sumber: Merkel. Voepel-lewis, Shayevitz, et al (1997) dalam glasper & richardson, 2006;
hockenberry & willson (2009). The flacc is a behavioral pain assesment scale university of
michigan health system (can be reproduced for clinical or research use) telah diolah kembali

8. Dampak Nyeri
Menurut Wong. et al, (2008: ), nyeri yang tidak diterapi pada bayi
akan mengakibatkan akibat yang akut dan akibat potensial jangka
panjang. Akibat akut dari nyeri yang tidak ditangani antara lain
perdarahan periventrikuler/ intraventrikular, peningkatan pelepasan kimia
dan hormon, pemecahan cadangan lemak dan kabohidrat, hiperglikemia
berkepanjangan, peningkatan morbiditas pasien NICU, memori kejadian
nyeri, hipersensitivitas terhadap nyeri, respon terhadap nyeri memanjang,
inervasi korda spinalis yang tidak tepat, respon terhadap rangsang tidak
berbahaya yang tidak tepat, penurunan ambang nyeri. Akibat potensial
jangka panjang dari nyeri yang tidak di terapi antara lain peningkatan
keluhan somatik tanpa sebab yang jelas, peningkatan respon fisiologis
dan

tingkah

laku

terhadap

nyeri,

peningkatan

prevalensi

defisit

neurologis, masalah psikososial, penolakan terhadap kontak manusia,


keterlambatan perkembangan, gangguan neurobehavioral, defisit kognitif,
gangguan belajar, kinerja motorik buruk, masalah perilaku, defisit
perhatian, tingkah laku adaptif buruk, ketidakmampuan menghadapi
situasi baru, masalah dengan impulsivitas dan kontrol sosial, defisit
belajar, perubahan tempramen emosi pada masa bayi dan masa kanakkanak, peningkatan respon stres hormonal di kehidupan dewasa kelak.

Taddio, Shah, Atenafu, dan Katz (2009), menunjukkan bahwa bayi


yang terkena tusukan jarum berulang (lebih dari 5) yang menyakitkan
pada hari pertama hidup menunjukkan respon nyeri lebih besar saat
tusukan jarum berikutnya ketika dibandingkan dengan bayi yang telah
terkena lebih sedikit tusukan jarum. Hal ini juga tampak bahwa persepsi
nyeri yang diubah memiliki konsekuensi jangka panjang dalam beberapa
bayi, yang dapat mencakup kognitif dan perilaku, seperti yang dijelaskan
oleh Klein, Gaspardo, Martinez, Grunau, dan Linhares (2009), yang
meneliti apakah rasa sakit dan stres yang dialami bayi prematur diprediksi
mempengaruhi temperamen masa balita.

9. Penatalaksanaan Nyeri
Dalam dunia keperawatan manajemen nyeri dilakukan dengan
tujuan mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri, mengurangi
kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang
persisten, mengurangi penderitaan dan atau ketidakmampuan akibat
nyeri, meminimalkan reaksi tak di inginkan atau intoleransi terhadap
terapi nyeri, meningkatkan kualitas hidup dan mengoptimalkan kemapuan
pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari (Andarmoyo, 2013).
Ball dan Bindler (2008), menjelaskan bahwa pemilihan terapi yang
tepat sangat penting untuk membantu pasien dalam mengurang nyeri,
sehingga efek samping dan terapi tersebut dapat dihindarkan. Tindakan
dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama yaitu
tindakan

farmakologis

farmakologis

dan

menggunakan

nonfarmakologis.

Tindakan

opioid,

(Nonsteroidal

NSAIDs

intervensi
Anti-

Inflamatory Drugs), Acetaminophen. Terapi komplementer adalah metode

nonfarmakologis mengontrol nyeri tanpa menggunakan analgesik.


Manajemen nyeri nonfarmakologis dapat menggunakan beberapa cara
diantaranya terapi panas dan dingin, penggunaan larutan sukrosa,
distraksi, stimulasi dan mesase pada kulit, tehnik relaksasi, imaginasi
terpimpin, hipnosis, Cognitive Behavior Therapy (CBT), Transcutaneous
Electrical Nerve Stimulation (TENS).
Tindakan non farmakologis umum digunakan untuk nyeri akut
misalnya teknik sensorimotor untuk bayi seperti dot, membedong,
menggendong, bernyanyi, mendengarkan musik santai dan/ atau musik
rok, larutan sukrosa dapat diberikan melalui dot (Burns. et al, 2009).
Beberapa penelitian menemukan mengenai beberapa alternatif
penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis pada bayi yang dapat digunakan
seperti mengatur posisi (Cole & Jorgensen, 1997; Kisilevsky, Hain. et al,
1997), menghisap nonnutritif (dengan dot) (Stevens, Yamada & Ohlsson,
2005) dan metode kanguru (Gray, Watt, & Blass, 2000; Johnston. et al
2003) (Hockenberry dan Willson, 2009).
Penelitian lain juga menjelaskan beberapa alternatif tehnik
nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri pada bayi antara lain dengan
menyusui (pemberian ASI) (Razek & Dein, 2008; Leite. et al, 2009),
pemberian sukrosa (Harrison. et al, 2009; Young & Marcellas, 2013;
Harrison, 2008), pemberian larutan glukosa (Axelin. et al, 2009; Tadio. et
al, 2009), vapocoolant spray (Cohen. et al, 2009), pengaturan posisi
(Morrow, Hidinger dan Faulk, 2010).
American

Academy

of

Pediatric/

AAP

(2006)

juga

telah

mengeluarkan rekomendasi mengenai penilaian nyeri dan manajemen


nyeri

pada

bayi.

Protokol

perawatan

ini

termasuk

penggunaan

manajemen nonfarmakologi sebagai pendekatan untuk mencegah nyeri


pada bayi melalui metode seperti menyusui nonnutritive (NNS),
perawatan metode kanguru (KMC), pemberian sukrosa oral, dan
pembedongan.
Adapun penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis pada bayi
dijelaskan sebagai berikut:

1)

Terapi Panas Dan Dingin


Penggunaan panas mengakibatkan dilatasi pembuluh darah.
Peningkatan sirkulasi darah akan menghilangkan kerusakan sel dari
asalnya. Panas juga menyebabkan relaksasi otot dan menghentikan
nyeri. Menurut Steven (2000, dalam Andarmoyo, 2013), dengan
pemberian panas pembuluh-pembuluh darah akan melebar sehingga
memperbaiki peredaran darah, dengan cara ini penyaluran zat asam
dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zatzat yang di buang akan diperbaiki.
Adapun penggunaan terapi dingin diyakini memperlambat
kemampuan saraf nyeri mengirimkan impuls nyeri. Dingin juga
mengontrol rasa sakit dengan mengurangi edema dan inflamasi (Ball
dan Bindler, 2009). Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang
memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada
tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi (Andarmoyo,
2013).

2)

Pengaturan Posisi

Morrow, Hidinger, dan Faulk (2010) melakukan penelitian


pada 42 neonatus dengan membedong dan mengatur posisi.
Membedong dikombinasikan dengan pengaturan posisi tegak pada
bayi selama prosedur penusukan tumit menawarkan perawatan
metode nonfarmakologis pengurangan nyeri pada saat penusukan
tumit. Teknik ini dapat dengan mudah diimplementasikan pada setiap
unit. Selain itu, teknik ini tidak memerlukan biaya apapun atau
pengembangan kebijakan, sehingga kemungkinan perawat dapat
menerapkannya dalam praktek sehari-hari .

3)

Keperawatan Metode Kanguru


Demikian juga dengan keperawatan metode kanguru telah
terbukti

menjadi

analgesik

yang

efektif

bagi

bayi

prematur

dibandingkan pada bayi yang cukup bulan. Kashaninia, Sajedi,


Rahgozar, dan Noghabi (2008) menjelaskan respon nyeri bayi saat
menerima suntikan vitamin K bahwa bayi dipilih secara acak
menerima Keperawatan Metode Kanguru (KMK) selama 10 menit
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap pengurangan nyeri yang
dinilai dengan skala NIPS (Neonatal Infant Pain Score).

4)

Menyusui
Menyusui juga menjadi metode yang efektif untuk mengurangi
rasa sakit untuk bayi. Leite, et al. (2009), dalam penelitiannya
mengenai pengaruh menyusui pada respon nyeri pada bayi cukup
bulan menjelaskan bahwa bayi cukup bulan yang diberi ASI selama

prosedur pengumpulan darah secara signifikan mengurangi nyeri


pada bayi.
Penelitian serupa dilakukan oleh Razek & Dein, (2008),
mengenai efek menyusui terhadap perbaikan nyeri pada bayi yang
diimunisasi diperoleh hasil bahwa durasi menangis kelompok
intervensi lebih rendah di bandingkan dengan kelompok kontrol,
frekuensi

jantung

pada

kelompok

intervensi

lebih

lambat

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengukuran skor nyeri


menggunalakn Facial Pain Rating Scale. Adapun pengukuran nyeri
dengan menggunakan NIPS(Neonatal Infant Pain Scale) diperoleh
hasil rata-rata skor nyeri lebih rendah pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol.

5)

Mengisap non-nutritive (dengan dot)


Menghisap non-nutritive/ NNS (Non-Nutritive Sucking) telah
dilaporkan sebagai analgesik untuk prosedur yang menyakitkan pada
bayi, dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh Im, Kim, Park,
Sung, dan Oh (2008) mengenai pengaruh Yakson (metode sentuhan
tradisional korea) dan menghisap non-nutrisi dalam memperbaiki
nyeri pada prosedur penusukan tumit untuk pengambilan sampel
darah dengan penilaian menggunakan NIPS (Neonatal Infant pain
Scale) menjelaskan bahwa menghisap nonnutritif efektif untuk
menghilangkan rasa sakit dibandingkan dengan sentuhan yang dinilai
dengan skala NIPS.

6)

Distraksi

Distraksi
berbagai

merupakan

kegiatan

untuk

kegiatan
membantu

melibatkan
dia

atau

anak

dalam

memokuskan

perhatiannya pada sesuatu selain rasa sakit dan kecemasan terkait


dengan prosedur. Contoh kegiatan distraksi mendengarkan musik,
menyanyikan sebuah lagu, bermain game, termasuk game virtual
reality, menonton televisi atau video dan fokus pada gambar sambil
menghitung (Ball & Bindler, 2008). Menurut Smeltzer & Bare (2002
dalam Andarmoyo, 2013), distraksi diduga dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang
mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Potter dan Perry (2005), menjelaskan stimulus sensori yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin.

7)

Stimulasi/ Pijatan Pada Kulit


Stimulasi kulit meliputi gosokan lembut di daerah yang
menyakitkan,

memijat

kulit

dengan

lembut,

menahan

atau

menggoyangkan anak. Sentuhan dan pijat memberikan stimulus


untuk rangsang nyeri yang ditransmisikan dari saraf perifer ke
sumsum tulang belakang. Tindakan ini dapat mengurangi rasa sakit
yang dirasakan oleh anak (Ball & Bindler, 2008). Pijat dapat dilakukan
dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap
berbagai titik-titik pemicu miofasial di seluruh tubuh. Pijat memiliki
efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang
penuh perhatian (Price dan Wilson, 2005).

8)

Tehnik Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari


ketegangan dan stres (Potter dan Perry, 2005). Teknik relaksasi
digunakan untuk mengurangi ketegangan otot. Metode relaksasi
meliputi pernapasan berirama dan tegang yang bergantian selama 10
detik, bergerak dari kelompok otot khusus untuk otot yang lebih
sentral. Meningkatkan relaksasi dengan memfokuskan perhatian
anak pada sesuatu yang menyenangkan (Ball & Bindler, 2008).

9)

Imaginasi Terpimpin
Imajinasi adalah proses kognitif yang mendorong anak untuk
memusatkan konsentrasi pada suatu peristiwa atau tempat yang
tidak terkait dengan proses nyeri. Fokusnya dapat mengeksplorasi
tempat favorit, melakukan kegiatan favorit, mengingat cerita lucu,
atau menjadi superhero. Metode ini paling efektif pada anak di atas
usia 6 tahun (Ball & Bindler, 2008).

10) Hipnosis
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Hipnosis menggunakan sugesti dan kesan
tentang perasaan rileks dan damai (Potter dan Perry, 2005). Anakanak yang berespon terhadap hipnosis merasa lebih santai dan
mengalami penurunan rasa sakit (Ball & Bindler, 2008).

11) CBT (Cognitive Behavior Therapy)


Berbagai tehnik psikologis seperti persiapan dengan boneka,
bermain peran, model peran, dan berlatih perilaku yang diinginkan

dapat dikombinasikan dengan relaksasi, hipnosis, dan imajinasi


dipandu untuk mempromosikan mengatasi beberapa prosedur invasif
pada anak-anak dengan kanker dan penyakit kronis (Ball & Bindler,
2008).

12)

Electroanalgesia/ Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation


(TENS).
Electroanalgesia/ Trancutaneous Electrical Nerve Stimulation
(TENS) dilakukan dengan stimulasi pada kulit dengan menggunakan
arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektrode luar. TENS
efektif untuk mengontrol nyeri pascabedah dan mengurangi nyeri
yang disebabkan oleh prosedur pascaoperasi (Potter dan Perry,
2005). Stimulasi listrik ini lebih kuat daripada impuls nyeri karena teori
gerbang kontrol diperkirakan mengganggu transmisi rasa sakit dari
saraf perifer ke sumsum tulang belakang. TENS dapat digunakan
untuk manajemen nyeri baik yang akut dan kronis. Efek samping
hanya dikenal adalah iritasi kulit di lokasi elektroda (Ball & Bindler,
2008).

13) Larutan Glukosa


Glukosa adalah bahan bakar metabolik utama pada mamalia
(kecuali pemamah biak) dan bahan bakar utama bagi janin. Secara
biomedis

glukosa adalah monosakarida terpenting yang terdapat

secara alamiah dalam makanan. Glukosa berasal dari sari buah,


hidrolisis pati, gula tebu atau bit, maltosa dan laktosa (Murray. et al,
2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Axelin. et al,


(2009), bahwa pemberian glukosa oral menurunkan nyeri (21,25 %)
dibandingkan dengan plasebo air (12,5 %) dan dibandingkan dengan
opioid (5 %) atau dengan sentuhan orang tua (5 %).

14) Larutan Sukrosa


Sukrosa merupakan salah satu jenis karbohidrat yaitu
disakarida yang penting bagi tubuh. Sukrosa berasal dari gula tebu
dan bit, sorghum serta beberapa buah dan sayur (Murray, Granner, &
Rodwell, 2009). Larutan sukrosa dengan konsentrasi (24%) dengan
dot dapat digunakan sebagai pengurang nyeri pada bayi prematur
dan bayi baru lahir sampai usia satu bulan. Kontak sukrosa dengan
mukosa

oral

menyebabkan

nyeri

alami

berkurang

dengan

mengaktifkan opioid endogen (Morash & Fowler (2004 dalam Ball &
Bindler, 2008)). Efek analgesik dari sukrosa berlangsung sekitar 3
sampai 5 menit, dengan puncak dalam 2 menit. Dot dapat dicelupkan
ke dalam larutan atau dibasahi kemudian dapat dicelupkan ke dalam
paket gula (Greenberg, (2002 dalam Ball & Bindler, 2008)).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stevens, Yamada, &
Ohlsson, (2010), menemukan bahwa sukrosa oral dapat mengurangi
respon nyeri yang menerima prosedur penusukan tumit. Sistematik
review dan meta analisi pada 44 penelitian yang dilakukan oleh
Harrison, Beggs and Stevens (2012), menunjukkan bahwa efek
sukrosa secara konsisten dapat mengurangi respon perilaku (durasi
menangis, wajah, dan skor nyeri pada prosedur invasif dibandingkan
dengan pemberian plasebo. Penelitian yang dilakukan oleh Shiiba. et

al, (2012), tentang efek larutan manis terhadap toleransi ambang


nyeri pada anak yang diinjeksi pada umur 6-9 tahun menunjukkan
hasil bahwa pemberian sukrosa oral 24% sebanyak 0,5 ml dapat
mengurang nyeri. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Harrison. et
al, (2009), tentang pengaruh sukrosa pada bayi yang menerima
prosedur invasif selama perawatan di rumah sakit dengan 55 bayi
bayi sebagai responden menggunakan desain prospektif longitudinal
cohort dengan penilaian NFCS (Neonatal facial coding system) yang
diberikan sukrosa oral sebelum dan selama prosedur penusukan
tumit menunjukkan perubahan denyut jantung selama prosedur
penusukan tumit adalah 0,541% menjadi 1.353%, p = 0.02 dengan
CI 95%) dan berkurangnya skala nyeri.

You might also like