Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui penyebab atau etiologi sinusitis maksilaris.
1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu
gigi dan mulut terutama yang berkaitan dengan sinusitis maksilaris
I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu gigi dan mulut.
BAB II
LAPORAN KASUS
: Tn. S
Alamat
: Ampelgading
Umur
: 50 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Penjahit
Status Perkawinan
: Menikah
Suku
: Jawa
Konsul dari
: Poli THT
Menderita
Tanggal Periksa
: 29 September 2011
Pasien datang ke poli gigi RSUD kepanjen konsulan dari poli THT dengan
keluhan sejak 3 hari yang lalu hidung yang sebelah kanan keluar cairan agak
kental berwarna kekuningan dan berbau. Tetapi pasien mengaku tidak ada rasa
nyeri/sakit.
3. Riwayat Perawatan
Gigi:
Tidak pernah/disangkal
Jaringan lunak rongga mulut dan sekitarnya:
Tidak pernah/disangkal
4. Riwayat kesehatan
Kelainan darah
Kelainan endokrin
Gangguan nutrisi
Kelainan jantung
Kelainan kulit dan kelamin
Gangguan pencernaan
Gangguan respiratori
Kelainan imunologi
Gangguan TMJ
Tekanan darah 180/90 mmHg
Diabetes melitus
Lain-lain Pasien alergi Penisilin (+)
5. Obat-obatan yang telah/sedang dijalani
Sejak tadi pagi pasien sedang mengkonsumsi obat anti Hipertensi dari
dokter praktek pribadi di tempat pasien tinggal
6. Keadaan sosial/kebiasaan
Menengah ke atas / Pasien mengaku menggosok gigi 2X sehari
7. Riwayat keluarga
Kelainan darah
: Disangkal
Kelainan endokrin : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Kelainan jantung : Sodara-sodaranya Hipertensi (+)
Kelainan syaraf
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
Lain-lain
: Disangkal
2.3. Pemeriksaan Klinis
1. Ekstra oral
Muka
: Simetris
Pipi kiri
Pipi kanan
Bibir atas
Bibir bawah
Sudut mulut
Kelenjar submandibularis kanan
Kelenjar submandibularis kiri
Kelenjar submentalis
Kelenjar leher
Kelenjar sublingualis
Kelenjar parotis kiri
Lain-lain
2. Intra oral
Mukosa labial atas
Mukosa labial bawah
Mukosa pipi kanan
Mukosa pipi kiri
Bukal fold atas
Bukal fold bawah
Labial fold atas
Labial fold bawah
Gingiva rahang atas
Gingiva rahang bawah
Lidah
Dasar mulut
Palatum
Tonsil
Pharynx
5
GP 6 Sondase (+), Perkusi (-), Palpasi (-), CE (+)
GR 8
Kalkulus 5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
Gigi tanggal
8,7 8
8,7,6 6,7
8,7 8
8,7,6 6,7
5
Pro Scaling 5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
Pro Protesa
8,7 8
8,7,6 6,7
2.6 Medikamentosa
R/ Clindamicin cap. 300 mg, No. XV
S 3 dd cap. I pc
Elemen
8,7,6 8
Diagnosa
Abses
Periodontal
Therapi
R/ Clindamicin cap
Keterangan
DHE:
Stabilkan tekanan
S 3 dd cap. I pc
darah terlebih
Pro Incisi
dahulu
Biasakan
Gigi Goyang +
Pro Ekstraksi
menggosok gigi 3
Karies
Superfisialis
teratur, terutama
malam hari
Gangren Pulpa
Pro Ekstraksi
sebelum tidur
Kontrol ke dokter
Gangren Radix
Pro Ekstraksi
7
5
Karis
Superfisialis
Pro Konser
5,4,3,2,1 1,2,3
2,1 1,2
Kalkulus
Pro Scaling
8,7 8
8,7,6 8,7
Gigi Tanggal
Pro Protesa
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (FK UI, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi (FK UI, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati
(Hilger, dkk,1997).
3.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat
virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi yaitu
dikarenakan bakteri anaerob yang ditemukan sebagai penyebab sinusitis
maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar,
kelainan imunologi,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener dan diluar negri adalah penyakit
fibrosis kistik (Mangunkusumo, 2001).
3.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar didalam KOM. Mucus
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Sampai Bila kondisi ini menetap,
secret yang
(Cora, 2003)
Interaksi makrofag dan limfosit T
kartagener,
granulomatosa,
infeksi
Reaksi cepat
virus
maupun
bakteri
Reaksi lambat
(Dharmabakti, 2003).
Odem
Vasodilatasi
Pe permeabilitas kapiler
Sumbatan pada hidung
Rinore
Odem
Sesak nafas
Gangguan ventilasi
pH sinus
Retensi mukus
Eksudat purulen
Nyeri
Pilek bau
Infeksi
hipoksia
Kuman menyebar
10
3.4 Klasifikasi
Berdasarkan konsensus tahun 2004,
sinusitis
gigi),
yang
sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hamophilus influenza,
Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis.
11
Sinusitis maksila
Sinusitis etmoid
Sinusitis frontal
Sinusitis sfenoid
mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala berikut seperti sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba
bronkhitisdan serangan asma yang
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal.
Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
Nyeri / sakit kepala
Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis
Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat komplikasi di paru
Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.
Gejala objektif
12
3.6 Diagnosa
Diagnosis
dan
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu menilai kondisikondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas
udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standar
diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun,
karena mahal hanya dikerjakan sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
13
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna.
Lebih baik lagi bila diambil dari pungsi sinus maksila (Merry, 2001).
3.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis
tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan
kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang
dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah
kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache,
migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia
atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena
demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat
yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial (Michael, 1987).
3.8 Pengobatan
Sinusitis maxillaris akut umumnya di terapi dengan:
1.
2.
3.
4.
perbaikan dalam dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari
meskipun konfirmasi radiologis dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu 2
minggu atau lebih. Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif
menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut
gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus demikian, ostium sinus dapat odem
14
sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk abses sejati. Bila demikian,
terdapat indikasi irigasi antrum segera (George et al, 1997)
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor-faktor
penyebab Infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi yang
disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri atas 5
bagian utama , yaitu :
1. Menghindari alergen penyebab.
Dapat dilakukan dengan mengisolasi penderita dari alergen, menempati
suatu sawar antara penderita dan alergen atau menjauhkan dari penderita
alergen.
Untuk
pencegahan
ini,
diperlukan
identifikasi
alergen
dan
adalah
siproheptadin,
etanolamin,
hidroksizin,
etilendiamin,
pirezin.
Efek
alkelamin,
antihistamin
fenotiazin,
klasik,
yaitu
15
mulut dan tenggorok serta sedatif, yaitu merupakan efek samping yang paling
sering terjadi (Roesmono, 1980 dan Oedono, 1999 dalam Cora, 2003)
Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran , yaitu
terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan cetirizine.
Golongan ini tidak mempunyai hubungan kimia yang langsung dengan
histamin, hanya mempunyai suatu struktur nitrogen aromatik yang sama dalam
bentuk piperidin, piperazin atau piridin. Efek antihistamin baru, yaitu sebagai
antihistaminic long action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup
diberika 1 x sehari. Hal ini karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar
lepas, sehingga efek terapinya lebih lama, selain dari itu efek antikolinergiknya
lebih ringan dari non sedatif karena tidak menembus sawar otak serta
stabiliator sel mastosit, sehingga dapat mencegah terjadinya degranulasi atau
penglepasan mediator amine-vasoaktif dengan mencegah influk ion Ca
kedalam sel mastosit. Dengan demikian antihistamin generasi kedua ini dapat
mencegah gejala-gejala yang ditimbulkan, baik oleh mediator yang sudah
terbentuk (preformed ) maupun yang belum terbentuuk (newly generated)
(Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna bila diberikan
bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk pengobatan polip
hidung tidak memberikan hasil (Oedono, 1999 dalam Cora, 2003). Golongan
simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini mengurangi edema
mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan menghambat penglepasan
histamin dari mastosit melalui rangsangan reseptor beta. Obat obat
dekongestan dapat dibedakan menjadi dekongestan sistemik, biasanya peroral,
misalnya fenil propanolamin, efedrin HCI dan pseudeoefedrin HCI, dan
dekongestan lokal yang terdiri dari derivat imidazolin (oxymetazoline,
xylometazoline), derivat simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine,
efedrin HCI). Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau
kombinasi dengan antihistamin H1 lokalisata peroral pada pengobatan rinitis
alergi.
Pemakain lama antihistamin lokal dan dekongestan tidak dianjurkan, karena
antihoistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi dan dekongestan lokal dapat
16
17
secara bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi
toleransi pada penderita alergi. Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal)
akan menimbulkan perubahanperubahan klinis dan imunologik sebagai berikut:
1) Kenaikan pada Ig D khususnya antibody penghambat Ig G1 dan Ig G4 yang
tetap akan tinggi selama imunoterapi diberikan. Peran Ig G1 dan Ig G4 diduga
untuk menetralkan alergen sebelum mencapai Ig E yang terikat di sel mastosit.
Besarnya kenaikan Ig G yang terbentuk dipengaruhi oleh dosis alergen yang
diberikan . 2) kenaikan kadar Ig E pada imunoterapi, kemudian turun perlahanlahan sampai lebih rendah dari kadar sebelum imunoterapi dalam waktu 18-24
bulan, kemudian dapat naik lagi dalam waktu 1-2 tahun setelah imunoterapi
dihentikan. 3) kenaikan kadar Ig A dan Ig G dalam sekret hidung. 4)
Berkurangnya responsivitas limfosit secara invitro, 5) meningkatkan nilai
ambang dosis alergen yang digunakan pada tes provaksi hidung. 6) Supresi
reaksi lambat pada tes kulit intradermal terhadap alergen spesifik. 7)
berkurangnya penglepasan histamin oleh basofil. Dari berbagai penelitian
menunjukkan sekitar 60-90 % kasus memberikan respons dengan imunoterapi
konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3
kelompok, yaitu : 1) Penderita mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi
dihentikan. 2) Penderita mengalami perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi
kadang-kadang timbul gejala yang dapat diatasi dengan terapi medikamentosa.
3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan keadaan
sebelumnya.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu
tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen
yang tidak tepat, dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah
(Roesmono 1980 dalam Cora, 2003). Meskipun imunoterapi efektif untuk
pengobatan rinitis alergi, namun efektivitasnya belum dapat dipastikan pada
pengobatan polip hidung. Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah
golongan penyakit kolagen dan glomerulonefritis karena dapat menyebabkan
penyakit bertambah aktif. Pada kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih
hati-hati. Beberapa penulis menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena
dapat menyebabkan malformasi pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada
18
yang menyatakan bahwa antigen yang diberikan tidak dapat melalui sawar
(barier) plasenta (Roesmono 1980 dalam Cora, 2003).
4. Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.
Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang
menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang
dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala -gejala yang
menyertai rinitis alergi, polip hidung dan sinusitis. Penanganan faktor-faktor ini
sama pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya.
5. Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal.
Pembedahan disini untuk mengurangi gejala alergi seperti sinusitis dan
polip nasi. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drenase hidung serta
mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai.4,26 Pengobatan pada
sinusitis maksila kronis, pada prinsipnya memperbaiki drenase dan
menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah mengalami
kerusakan. Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat reversibel dan
ireversibel sehingga, pengobatan sinusitis maksila, terdiri atas :(Sharma, 2001
dan Oedono, 1999 dalam Cora, 2003).
Pengobatan konservatif. Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa
yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil.
Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk
mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa nyeri, obat
antibiotik, sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan
kultur resistensi kuman. Biasanya diberikan antibiotik yang mempunyai
spektrum luas selama 10-14 hari. Termasuk pula pengobatan diatermi, dengan
sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermi). Dengan pengobatan ini
maka temperatur sinus akan naik antara 1,7 sampai 2,2 C, sehingga akan
memperbaiki vaskularisasi sinus maksila. Diatermi dapat diberikan selama 10
hari dan tidak boleh digunakan dalam keadaan akut. Memperbaiki lingkungan
yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang bersih, terutama pada
anak-anak dapat membantu mempercepat kesembuhan (Sharma, 2001 dan
Lund, 1997 dalam Cora, 2003).
Pungsi dan irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif,
diperlukan untuk mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila yang dapat
19
dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus medius, meatus inferior dan
fosa kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 3 hari sekali. Jika
terdapat nanah (pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan
dipertimbangkan pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus
maksila ialah tidak boleh dilakukan pada saat ada infeksi akut karena dapat
mengakibatkan oesteomielitis dan trauma pada maksila. Antrostomi intranasal,
yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan
rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan ventilasi sinus
maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi berulang
kali dan tidak dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi
yang cukup baik ialah yang diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya
serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama antrostomi dapat dilakukan
operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi (Lund, 1997
dalam Cora, 2003)
Pengobatan operatif radikal. Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan
mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi
ini dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas
sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan
sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke
atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut
mukosa yang inversibel dibersihkan (Lund, 1997 dalam Cora, 2003). Bedah
sinus endoskopik fungsional. Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan
kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop
(teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan
oleh penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama
dari infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus
maksila akan terbentuk kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah
beberapa waktu sinus akan kembali normal, sehingga pembedahan radikal
tidak diperlukan lagi (Lund, 1997 dalam Cora, 2003
Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:
1. Medikamentosa
Medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan
pada anak anak.
20
a. Orang dewasa
i.
Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii.
Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,
atau
iii.
atau
Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau
Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral
selama 10 hari dengan:
-
3. Tindakan pembedahan
Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris,
yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris,
prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral
dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris
21
22
4. Kelainan intrakranial
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss sinus
cavernosus.
5. Kelainan paru
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial.
Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru
23
3.10 Prognosis
Prognosis sinusitis sangat baik dengan kurang lebih 70% pasien sembuh
tanpa pengobatan. Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 %
akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita
bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang
dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan
yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,
brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya (Piccirillo, dkk, 1997).
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang
dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa
orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain
abscess, meningitis) dan mucocele formation (Rukmini, 1997).
Gingiva bengkak,
disebabkan infeksi jaringan periodontal dan gigi masih vital. Diagosa abses
periodontal dapat diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaan
radiografi. Pada pemeriksaa radiologi tampak gambaran radio luncent pada
samping permukaan gigi, secara khas nampak di apex dari akar. Walau
bagaimanapun karena lokasi anatomi, kadang-kadang tidak ada perubahan
gambaran radiography, kerusakan tulang yang luas dapat terlihat. Gambaran
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sinusitis, merupakan salah satu penyakit atau kelainan pada sinus paranasal
yang akhir-akhir ini semakin meningkat angka kejadiannya. Dampak yang
ditimbulkan oleh penyakit ini bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan
25
yang berat. Betapapun ringannya dampak yang ditimbulkan, penyakit ini selalu
menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Sehingga akan terjadi pula
kerugian, baik yang dapat ternilai maupun yang tidak dapat ternilai harganya.
Pasien dalam kasus ini didiagnosa suspect sinusitis maxillaris akut et causa
abses periodontal berdasarkan anamnesa dan temuan klinik. Sinusitis maxillaries
akut adalah peradangan pada bagian sinus maksilaris yang terjadi beberapa hari
sampai dengan 4 minggu. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluhkan
dari hidung yang sebelah kanan mengeluarkan cairan agak kental berwarna
kekuningan dan berbau. Sedangkan dari pemeriksaan didapatkan abses
periodontal kanan kiri belakang pada ginggiva superiornya.
Penatalaksanaaan sinusitis maksilaris dengan pemberian Clindamicin 300
mg sebagai antibiotik. Selain itu perlu rawat bersama dengan spesialis THT untuk
penanganan sinusitis maksilaris.
4.2 Saran
Saran pada pasien dengan kasus ini adalah:
Menjaga oral hygiene dengan menggosok gigi yang benar 3 kali sehari atau
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2007.
Dharmabakti US. 2003. Penatalaksanaan Baku Sinusitis. Dalam: Kumpulan
Abstrak Kongres Nasional XIII. PERHATI KL. Bali 14-16 Oktober 2003;
57.
E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. Dkk
(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ;
85-87
Elfahmi. 2001. Gambaran klinis Ostio Meatal pada Sinusitis maksila kronis
dengan peme riksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT USU,; 63-6
George L Adams, Lawrence R Boeis, Peter H.Hilger; alih bahasa Caroline wijaya;
editor Harjanto Effendi. 1997. BOEIS: buku ajar penyakit THT (BOEIS
findamental of otolaryngology) edisi 6. Jakarta: EGC
Hilger PA. 1989. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company ;
206 - 48.
Hilger PD. 1989 Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,;
249 270
Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT
(BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997.
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik
TL. Acute Sinusitis Medical Treatment; 1989. p.173-902
Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA:
WB Saunders Company; 1989. p.240-62
27