Professional Documents
Culture Documents
Sejarah
Sydenhams chorea pertama kali dibahas dalam literatur medis pada tahun 1686
oleh Thomas Sydenham. Kelainan ini juga disebut dengan
Chorea akut
Chorea minor
Rheumatic chorea
Gejala / Tanda
Sydenhams chorea merupakan komplikasi neurologis dari infeksi streptokokus galur
tertentu (misalnya, streptokokus beta-hemolitikus grup A). gejala awalnya adalah
nyeri tenggorok (faringitis) yang diikuti oleh demam rematik mendadak (akut) sekitar
1-5 minggu kemudian. Periode bebas gejala antara faringitis dan onset ARF disebut
dengan periode laten. ARF adalah suatu penyakit inflamasi (sequelae) yang
mengikuti infeksi streptokokus grup A yang mengenai beberapa jaringan dan organ,
seperti sendi, kulit, jaringan ikat di bawah kulit (jaringan sub cutan), jantung, dan
otak. Gejala dan tanda yang ditemukan dapat bervariasi antar pasien. Sebagai
contoh, pada 20% kasus, Sydenhams chorea hanyalah satu-satunya manifestasi
ARF; sedangkan pada kasus yang lain Sydenhams chorea adalah gejala akhir dari
ARF, setelah gejala-gejala berikut ini:
Pembengkakan dan inflamasi (artritis) pada minimal satu sendi yang dicirikan
dengan nyeri (arthralgia), nyeri tekan, rasa hangat dan warna kemerahan
pada regio sendi yang terkena. Artritis dan demam adalah gejala yang paling
sering ditemukan pada ARF. Tanpa terapi (seperti obat anti inflamasi), artritis
dapat mengenai beberapa sendi dengan cepat dengan onset yang hampir
bersamaan. Karena artritis umumnya bermigrasi dari satu sendi ke sendi
lainnya, kondisi ini disebut dengan poliartritis migratori. Sendi tungkai,
seperti lutut dan tumit, umumnya terkena lebih dahulu, diikuti dengan area
lain seperti pergelangan tangan dan siku. Sendi jari tangan, jari kaki, atau
tulang belakang juga dapat terkena. Karena nyeri yang sangat hebat pada
sendi yang terkena, anak-anak mungkin datang dengan sangat gelisah
hanya karena adanya pakaian, selimut, atau sprei yang menutupi sendi yang
terkena.
gejala
Sydenhams
chorea
memiliki
lesi
pada
bahwa
sekitar
jantungnya.
80%
Karditis
pasien
yang
Lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung yang tebal (myokardium)
Ruam-ruam kulit (erythema marginatum) yang tidak gatal (non pruritik) yang
dicirikan dengan makula berwarna kemerahan yang sementara, terutama di
badan dan memudar di bagian tengahnya. Ruam-ruam kulit ini dapat
ditemukan pada awal penyakit, dan dapat tetap ada atau mengalami
rekurensi meskipun gejala lainnya telah menghilang. Hal ini umumnya hanya
terjadi pada pasien dengan karditis.
Nodul sub cutam atau struktur seperti nodul yang keras dan kecil di dalam
kulit dari berbagai sendi, seperti siku, lutut, dan tulang belakang. Seperti
erythema marginatum, temuan yang jarang terjadi ini hanya ditemukan pada
pasien yang menderita karditis. Nodul sub cutam cenderung muncul setelah
minggu pertama penyakit dan biasanya menghilang dalam 1 hingga 2
minggu.
Gerakan chorea dan gangguan emosional atau perilaku juga dapat timbul
pada penderita ARF, umumnya terjadi 1 hingga 6 bulan (atau lebih) setelah onset
penyakit. Namun rata-rata interval waktunya adalah sekitar 8 minggu. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, Sydenhams chorea dapat terjadi sendiri atau sebagai
komplikasi dari penyakit yang lain. Meskipun beberapa pasien Sydenhams chorea
tidak memiliki gejala ARF yang lain, evaluasi diagnostik yang cermat dapat
menemukan adanya murmur jantung. Pada beberapa pasien (30%) chorea terjadi
bersamaan dengan poliartritis migratori.
Pada beberapa pasien, gerakan chorea terjadi secara akut dan mendadak.
Pada beberapa pasien, gejala timbul secara bertahap dan tersembunyi, seringkali
berlangsung selama berminggu-minggu sebelum pasien datang ke dokter. Pada
mayoritas anak, gerakan yang ireguler dan involunter ini awalnya mucul seperti
kegelisahan, seperti kesulitan menulis. Beberapa gangguan emosional dan perilaku
dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu sebelum onset terjadinya
chorea. Anak-anak umumnya menjadi gelisah, agresif, atau sangat emosional.
Gerakan chorea pada Sydenhams chorea terdiri dari gerakan cepat, ireguler,
dan tidak terkontrol yang menghilang saat tidur dan bertambah berat saat stres,
lelah, sangat senang, atau faktor-faktor yang lain. Bila bertambah parah, gerakan ini
akan bersifat bellistik. Kedua sisi tubuh umumnya terkena (bilateral). Namun, pada
20% pasien, gerakan involunter yang abnormal mungkin unilateral atau hanya pada
satu sisi tubuh (hemichorea). Area yang terkena mungkin adalah elompok otot dan
lengan atas dan lengan bawah, badan, wajah, dan leher. Banyak pasien juga
mengeluhkan kelemahan otot.
Gangguan yang terjadi cukup bervariasi, mulai dari inkoordinasi ringan saat
melakukan gerakan volunter tertentu hingga gangguan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, yang dapat mengakibatkan kecacatan yang signifikan. Sebagai contoh,
gangguan neuromuskular pada Sydenhams chorea adalah gerakan chorea, tonus
otot yang lemah, dan/atau kelemahan otot yang dapat menimbulkan hal-hal berikut
ini:
Facial grimacing
Peningkatan iritabilitas
Perubahan mood yang sering dan reaksi emosional yang berlebihan (emosi
yang labil), seperti episode menangis yang tidak terkontrol
Kebingungan
Psikosis transien
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan penyakit ini bervariasi
antar pasien. gejala yang timbul cenderung tidak diketahui sebelumnya dan
memburuk dalam beberapa minggu hingga bulan (biasanya sekitar 2-4 minggu), dan
menghilang secara bertahap dalam 3-6 bulan. Namun, pada beberapa kasus, dapat
terjadi gejala sisa dari chorea dan gangguan perilaku. Selain itu, pada 20% pasien,
Sydenhams chorea dapat mengalami rekurensi, biasanya dalam 2 tahun setelah
onset yang pertama. Rekurensi juga sering terjadi selama kehamilan pada wanita
yang menderita ARF pada masa kanak-kanak. Rekurensi ini juga berhubungan
Penyebab / Patofisiologi
ARF adalah reaksi inflamasi lambat yang terjadi karena adanya infeksi
bakteri streptokokus (streptokokus beta-hemolitikus grup A). selain faktor herediter,
beberapa faktor lingkungan, termasuk kondisi tempat tinggal yang terlalu ramai dan
malnutrisi, juga meningkatkan resiko terjadinya infeksi streptokokus. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, beberapa peneliti menemukan bahwa hormon seks
(hormon estrogen pada wanita) berperan dalam terjadinya Sydenhams chorea. Oleh
karena itu, wanita lebih sering terkena daripada pria, terutama pada usia pubertas.
Rekurensi juga berhubungan dengan terapi estrogen atau kehamilan.
Mekanisme dasar dari terjadinya ARF belum diketahui. Namun, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh gangguan reaksi imun
dimana antibodi yang dihasilkan oleh tubuh melawan sel tubuh sendiri. Menurut teori
ini (disebut dengan mimikri autoimun), protein asing (antigen) dari bakteri tertentu
sangat mirip dengan protein tubuh; sebagai akibatnya, sistem imun manusia tidak
dapat membedakan kedua protein tersebut sehingga terkadi respons autoimun.
periode bebas gejala antara hilangnya nyeri tenggorok (faringitis) dan onset gejala
ARF juga mendukung teori mekanisme imun yang abnormal yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
Selain itu, para ahli menyatakan bahwa Sydenhams chorea dapat
disebabkan oleh respons autoimun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein
streptokokus atau antigen tertentu (protein M streptokokus) dapat menginduksi
produksi antibodi dalam tubuh (antibodi antineuronal) yang berreaksi silang dengan
sel tubuh sendiri di regio otak tertentu. (protein M dari streptokokus grup A
mengandung rangkaian asam amino yang sama dengan protein dalam jaringan
manusia). Terlebih lagi, beberapa peneliti telah mendeteksi antibodi tertentu
(antibodi immunoglobulin G[IgG]) pada anak-anak dengan Sydenhams chorea yang
berinteraksi dengan protein selular (antigen neuronal) di dalam basal ganglia, seperti
nukleus kaudatus dan nukleus sub thalamikus). Basal ganglia merupakan kumpulan
sel berpasangan yang terletak di dalam otak dan memegang peranan penting dalam
mengawali dan mengatur gerakan tubuh.
Dalam penelitian yang lain, peneliti menemukan bahwa selama serangan
akut, 80% pasien ARF memiliki antibodi terhadap cardiolipin (antibodi anti
cardiolipin). Cardiolipin adalah suatu campuran lemak (fosfolipid) yang terletak di
membran dalam mitokondria dan membran sel bakteri. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara prosentase pasien dengan antibodi ini yang mengalami dan tidak
mengalami Sydenhams chorea.
Seperti yang telah dikelaskan di atas, Sydenhams chorea disebabkan oleh
respons autoimun atau inflamasi yang dimediasi oleh antibodi di basal ganglia. Para
ahli menyatakan bahwa pencitraan dapat memberikan informasi tambahan
mengenai patofisiologi dari Sydenhams chorea. Sebagai contoh, pencitraan ini
dapat menunjukkan peningkatan metabolisme yang abnormal (hipermtabolisme) di
regio tertentu di otak. Hal ini mencerminkan terjadinya proses autoimun. Positron
emission tomography (PET) Sydenhams choreaan dapat menunjukkan adanya
peningkatan metabolisme glukosa di dalam basal ganglia (seperti striatum). Temuan
ini berkebalikan dengan penyakit Huntington dan chorea yang herediter, dimana
PET menunjukkan penurunan metabolisme glukosa dan oksigen. Selain itu,
pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari pasien Sydenhams chorea
menunjukkan pembesaran ukuran3 struktur mayor dari basal ganglia, yaitu nukleus
kaudatus, globus pallidus, dan putamen. Hal ini menunjukkan adanya proses
inflamasi.
Diagnosis
Diagnosis Sydenhams chorea dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena penyakit awalnya (faringitis) dapat terjadi 6 bulan sebelum
onset chorea, banyak pasien yang tidak ingat akan adanya riwayat infeksi
streptokokus. Selain itu, mungkin tidak ada bukti terjadinya infeksi streptokokus grup
A. bukti dari terjadinya infeksi streptokokus grup A meliputi:
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, chorea dapat disertai dengan gejala atau
tanda ARF yang lain. Tidak ada gambaran klinis atau pemeriksaan laboratorim
tunggal yang dapat menegakkan diagnosis ARF secara pasti. Adanya gambaran
klinis tertentu, disebut kriteria Jones, menunjukkan kemungkinan terjadinya ARF.
Kriteria Jones yang terbaru (direvisi oleh Amerivan Heart Association pada tahun
1992) meliputi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria
mayor meliputi poliartritis migratori, karditis, erythema marginatum, nodul sub cutan,
dan chorea. Kriteria minor meliputi demam, nyeri sendi (arthralgia), dan hasil
pemeriksaan laboratorium yang meliputi:
Peningkatan ESR
Para ahli menyatakan bahwa beberapa pasien dapat didiagnosis dengan ARF tanpa
memenuhi kriteria tersebut di atas. Perkecualian dari kriteria Jones adalah pada
pasien dengan:
Selain itu, rekurensi ARF harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat
demam rematik atau penyakit katup jantung rematik dan riwayat infeksi streptokokus
dengan i kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Diagnosis
Sydenhams
chorea
umumnya
ditegakkan
berdasarkan
tangan
pemeriksa.
Penderita
Sydenhams
chorea
akan
terdapat
kecurigaan
akan
Sydenhams
chorea,
diperlukan
Pengobatan
Terapi antibiotik yang adekuat untuk anak-anak dengan infeksi streptokokus dapat
membantu mencegah onset serangan acute rheumatic fever (ARF). Terapi preventif
(misalnya profilaksis primer) yang dilakukan sekitar 1 minggu setelah onset nyeri
tenggorok karena streptokokus (faringitis) dapat mencegah onset ARF.
Manajemen ARF pada anak-anak meliputi membatasi aktivitas normal dan
memberi penisilin secara oral atau injeksi intramuskular atau terapi antibiotik yang
lain. Para ahli menyatakan bahwa terapi antibiotik harus diberikan pada semua
pasien ARF sejak diagnosis ditegakkan, karena infeksi streptokokus sulit
dikonfirmasi karena adanya periode laten, terutama pada pasien Sydenhams
chorea. Terapi tertentu dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan/atau inflamasi,
tergantung dari tingkat keparahan inflamasi sendi (artritis) dan inflamasi jantung
(karditis). Pada pasien artritis, terapi yang diberikan meliputi kodein atau salisilat,
seperti aspirin atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). (seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pemberian terapi salisilat sebelum diagnosis
ditegakkan mungkin mencegah timbulnya poliartritis migratosi klasik, sehingga dapat
membingungkan diagnosis. Oleh karena itu, para ahli menyarankan agar terapi agen
anti inflamasi awal diberikan setelah gejala klinis tampak jelas atau diagnosis dapat
ditegakkan. Pasien dapat diberi kodein atau agen yang lain untuk mengobati artritis
(misalnya, chorea paralitica). Jika kedua pilihan ini gagal, langkah selanjutnya
adalah pemberian terapi immunomodulasi, steroid, IgG IV atau plasmapheresis.
Para ahli menyatakan bahwa pasien dengan ARF atau Sydenhams chorea
harus diberi terapi untuk mencegah rekurensi demam rematik. Terapi preventif
(profilaksis sekunder) yang dapat diberikan meliputi injeksi penisilin intramuskular
(benzathine penicillin G) setiap 21 hari, penisilin oral harian, atau terapi obat
antibakteri oral harian dengan sulfadiazine atau erythromycin (jika obat yang lain
tidak dapat diberikan). Beberapa peneliti menyatakan bahwa terapi profilaksis harus
diberikan seumur hidup untuk pasien ARF atau chorea. Peneliti yang lain
menyarankan agar terapi diberikan setelah serangan akut selama 5 hari atau hingga
usia 18 tahun. Terapi ini harus lebih lama pada pasien dengan penyakit katup
jantung rematik atau pasien yang memiliki resiko reinfeksi yang tinggi (misalnya
pada pasien yang tinggal di tempat yang ramai, pemberi layanan kesehatan, guru,
dan lain-lain). Peneliti yang lain menyatakan bahwa profilaksis sekunder harus
diberikan seumur hidup pada pasien yang memiliki resiko infeksi bakteri yang tinggi
pada katup jantung dan pelapis rongga jantung (endokarditis).