You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus yang terpeluntir
yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis
dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu keadaan yang termasuk gawat darurat
dan butuh segera dilakukan tindakan bedah. Kondisi ini, jika tidak segera ditangani
dengan cepat dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri maka dapat menyebabkan
infark dari testis yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis (Sjamsuhidajat,
2004).
Torsio testis juga merupakan kegawat daruratan urologi yang paling sering
terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 400 orang
dibawah usia 25 tahun dan paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas (1220 tahun). Janin yang masih berada di dalam uterus atau bayi baru lahir tidak jarang
menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan
testis baik unilateral ataupun bilateral. Torsio testis harus selalu dipertimbangkan
pada pasien-pasien dengan nyeri akut pada skrotum dan kondisi tersebut juga harus
dibedakan dari keluhan-keluhan nyeri pada testis lainnya agar tidak terjadi kesalahan
diagnosis yang dapat berujung pada kesalahan terapi (Cuckow, 2000).
Penyebab dari akut skrotum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta pemeriksaan diagnostik yang
tepat. Sekitar 2/3 pasien yang dicurigai menderita torsio testis dengan dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Keterlambatan dan kegagalan dalam dignosis dan terapi akan menyebabkan proses
torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian testis
dan jaringan disekitarnya (Cuckow, 2000).
Penatalaksanaan torsio testis menjadi tindakan darurat yang harus segera
dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan
menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio. Adapun

penyebab tersering hilangnya testis setelah mengalami torsio adalah keterlambatan


dalam mencari pengobatan (58%), kesalahan dalam diagnosis awal (29%), dan
keterlambatan terapi (13%) (Cuckow, 2000).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dg berat 10-14 gr
dg panjang 4 cm ukuran dari anterior ke posterior 3 cm dan lebar 2,5cm dan
memiliki bagian2 yakni extremitas superior, extremitas inferior, facies lateralis,
facies medialis, margo anterior (convex), margo posterior (datar).
Testis berada didalam skrotum bersama epididimis yaitu kantung
ekstraabdomen tepat dibawah penis. Testis kiri terletak lebih rendah drpd yang
kanan. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut
tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intraabdomen yang
bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama perkembangan genetalia interna
pria, setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus
vaginalis) akan menutup.
Setelah pubertas, selain sebagai organ reproduksi (menghasilkan
spermatozoa) jg sebagai kelenjar endokrin yg menghasilkan hormon androgen
yang berguna untuk mempertahankan tanda2 kelamin sekunder.

Lapisan Pembungkus Testis (Orchis)


Testis terletak di dalam cavum scrota yg ditutupi oleh scrotum. Dimana lapisan
nya dari luar ke dalam yakni :
a. Cutis
b. Tunica dartos
c. Fascia Spermatica Externa (Aponeurosis MOAE)
d. M. Cremasterica
e. Fascia Cremasterica (Aponeurosis MOAI)
f. Fascia Spermatica Interna (Aponeurosis MTA)
g. Tunica Vaginalis Propia (Lamina Parietalis dan Lamina Visceralis)
h. Tunica Albuginea
Vaskularisasi Testis (Orchis)
-- A. testicularis dextra ei sinistra cabang dr aorta abdominalis
- V. testicularis dextra yg akan bermuara ke V. Cava Inferior
- V. testicularis sinistra yg akan bermuara ke v. renalis sinistra lalu bermuara ke
Vena Cava Inferior
Innervasi Testis (Orchis)
Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari plexus nervacus tertucularis. Plexus ini
dibentuk oleh nervus thoracalis VI-XII.
Testis terdiri dari 3 sel yaitu :
a. Sel Leydig yang berfungsi untuk menghasilkan hormon testoseron untuk
menumbuhkan ciri2 kelamin sejuder laki2. Sel ini juga sebagai Endocrin
b.
Sel Sertoli yang berfungsi untuk memberi makan sperma yang
dirangsang oleh FSH yang dihasilkan oleh Adenehypophysis. Sel ini Sebagai
sebagai Eksocrin
c. Sel Spermatozoid yang berfungsi untuk menghasilkan sperma yang berada
pada dinding Tubulus Seminiferus Contortus. Sel ini sebagai Eksocrin

3 sel ini dibagi 2 bagian yaitu Sel Leydig Sebagai Endocrin sedangkan Sel
Sertoli dan Sel Spermatozoid sebagai Eksocrin. Testis menghasilkan hormon
testosterone yg berfungsi utk memacu perkembangan system reproduksi steroid
pria dan ciri seksual sekunder pria

B.

Etiologi Torsio Testis


Adanya kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat
mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang
menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu
yang mendadak (seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan,
batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum
(Purnomo, 2003).
Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis
(sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak
horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord
intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006).
Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio
timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi
otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis
kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk
edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis (Wilson & Hillegas,
2006).

C. Manifestasi Klinis Torsio Testis


Nyeri akut pada daerah testis disebabkan oleh torsio testis,
epididimitis/orchitis akut atau trauma pada testis. Nyeri ini seringkali dirasakan
hingga ke daerah abdomen sehingga dikacaukan dengan nyeri karena kelainan
organ intraabdominal. Sedangkan nyeri tumpul disekitar testis dapat disebabkan
karena varikokel (Purnomo, 2003).

Pada torsio testis, pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum,


yang sifatnya mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu
disebut akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut
sebelah bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Gejala lain yang juga dapat muncul adalah mual dan muntah,
kadang-kadang disertai demam
ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada
ETIOLOGI
torsio testis ialah rasa panas dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang
membedakan dengan orchio-epididymitis (Wilson & Hillegas, 2006).
Trauma
testis

Immobilisasi
testis

Tumor
testis

Spasme otot kremaster

Adescendens
testicularis

Testis berotasi bebas

Perubahan keadaan
extreme

Bell-clapper

Aliran darah terhenti

Iskemia testis

D. Patofisiologi Torsio Testis

Nyeri menjalar
ke abdomen

Nekrosis

Impuls dari
saraf

Stimulasi mualmuntah dari


otak

Demam

Terasa terbakar
saat berkemih

E. Penegakkan diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik

dapat

membantu

membedakan

torsio

testis

dengan penyebab akut scrotum lainnya. Testis yang mengalami torsio pada
scrotum akan tampak bengkak dan hiperemis. Eritema dan edema dapat
meluas hingga scrotumsisi kontralateral. Testis yang mengalami torsio juga
akan terasa nyeri pada palpasi. Jika pasien datang pada keadaan dini, dapat
dilihat adanya testis yangterletak transversal atau horisontal. Seluruh testis
akan bengkak dan nyeri sertatampak lebih besar bila dibandingkan dengan
testis kontralateral, oleh karenaadanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih
tinggi di dalam scotum disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord.
Hal tersebut merupakan pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan
dianosis. Biasanya nyeri juga tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis
(Prehn sign) (Ringdahl & Teague, 2006).

Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya
refleks cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan
inimemiliki sensitivitas 99% pada torsio testis(Ringdahl & Teague, 2006).

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis
dengan keadaan akut scrotum yang lain adalah dengan menggunakan
stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dansintigrafi testis, yang
kesemuanya bertujuan untuk menilai aliran darah ke testis. Stetoskop Doppler
dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu bermanfaat dalam menilai aliran
darah ke testis. Penilaian aliran darah testis secara nuklir dapat membantu,
tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus bisa terlambat
ditangani.

Ultrasonografi

Doppler

berwarna

merupakan

pemeriksaan

noninvasif yang keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan


nuclear scanning. Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran
darah, dan dapat membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah
dinding scrotum. Alat ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi
patologis lain pada scrotum (Purnomo, 2003).

Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam


urin, dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali
pada torsio yang sudah lama dan mengalami keradangan steril (Purnomo,
2003).
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis
torsio testismasih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis
yang nyata (Minevich, 2007; Ringdahl & Teague, 2006).
Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat
membedakanproses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum (Rupp, 2006).
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa infeksi
traktus urinarius pada pasien dengan nyeri akut pada skrotum. Pyuria
dengan atau tanpa bakteri mengindikasikan adanya suatu proses infeksi
dan

mungkin

mengarah

kepada

epididimitis.

Selain

itu

perlu

jugadilakukan pemeriksaan darah dan sediment urin (Purnomo, 2003).


b. Pemeriksaan Radiologis
Color Doppler Ultrasonography (Saladdin, 2009).
1) Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat aliran darah pada arteri
testikularis.
2) Merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis dengan
sensitivitas 82-90% dan spesifitas 100%.
3) Pemeriksaan ini menyediakan informasi mengenai jaringan di sekitar
testis

yang

echotexture\Ultrasonografi

dapat

menemukan

abnormalitas yang terjadi pada skrotum seperti hematom, torsio


appendiks dan hidrokel.
4) Pada torsio testis, akan timbul keadaan echotexture selama 24-48 jam
dan adanya perubahan yang semakin heterogen menandakan proses
nekrosis sudah mulai terjadi.
Nuclear Scintigraphy (Saladdin, 2009):
1) Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan dilakukan
untuk melihat aliran darah testis.

2) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan


aliran darah yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
3) Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam menentukan
daerah iskemia akibat infeksi.
4) Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis negatif
palsu
5) Adanya daerah yang mengandung sedikit proton pada salah satu
skrotum merupakan tanda patognomonik terjadinya torsio.

3. Dianosis Banding

Torsio testis harus selalu dibedakan dengan kondisi-kondisi lain


sebagai penyebab dari akut scrotum, antara lain (Minevich, 2007; Ringdahl &
Teague, 2006) :
a. Epididimitis akut
Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri
scrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah
dari uretra, adanya riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan
senggama dengan selain isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi
uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio testis, dapat
dibedakan dengan Prehns sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan,
pada epididmis akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehns sign
positif), sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehns sign
negative). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun
dan pada pemeriksaan sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan
bakteriuria
b. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara
lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal,
cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena:
belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran
cairan peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans) atau
belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan
reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan
sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada
testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau

reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin


suatu tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak
nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong
skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan
menunjukkan adanya transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau
kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang sulit melakukan
pemeriksaan

ini,

sehingga

harus

dibantu

dengan

pemeriksaan

ultrasonografi.

c.

Hernia incarserata
Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang dapat keluar masuk ke
dalam scrotum yang muncul bersamaan dengan keaadaan peningkatan
tekanan intraabdominal seperti batuk atau mengejan. Benjolan dapat
hilang bila berbaring. Ukuran benjolan dapat bervariasi dari kecil sampai
besar, Bila hernia sudah mengalami inkarserta maka gejala yang timbul
dapat berupa mual, nyeri kolik abdomen, konstipasi, keerahan pada
skrotum, dan bila di auskultasi dapat didengat bunyi bising usus di daerah
skrotum.

d. Tumor testis
Pembesaran testis yang tidak nyeri, biasanya terjadi pada usia 20-50
tahun dan sering disertai dengan limfadenopati abdomen

e.

Torsio appendix testis/epididymis


Apendiks testis adalah sisa embriologi di atas testis yang juga bisa
mengalami torsio. Hal ini dapat di deteksi sebagai titik hitam pada
transluminasi

F. Terapi
1. Non operatif
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus
spermatikus dapat mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2003).
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu
dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah
torsio biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral
terlebih dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke arah
medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah
berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu
menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari
prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan
(Purnomo, 2003).
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit
gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan
ini sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya
terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang
dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis mengalami torsio
adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan detorsi manual
akan memperburuk derajat torsio (Govindarajan, 2011).

2. Operatif
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya
untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari
lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu
terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur
diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan (Purnomo,
2003).
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis
pada arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah
testis yang mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami
nekrosis (Purnomo, 2003).
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya
untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari
lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu
terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur
diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan
(Govindarajan, 2011).
Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Govindarajan, 2011):
a.

Untuk memastikan diagnosis torsio testis

b.

Melakukan detorsi testis yang torsio

c.

Memeriksa apakah testis masih viable

d.

Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis


masih viable

e.

Memfiksasi testis kontralateral


Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain
disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio
sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih
mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi

dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk


membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih
mungkin),

dan

untuk

melakukan

orkidopeksi

pada

testis

kontralateral. Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif


pada testis kontralateral. Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral
memiliki kemungkinan torsio di lain waktu (Govindarajan, 2011).
Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi (fiksasi testis) pada
tunika dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.
Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak
diserap pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir
kembali, sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis
dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul
orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami
nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan
fertilitas dikemudian hari (Purnomo, 2003).

G.

Prognosis
Bila dilakukan penangan sebelum 6 jam hasilnya baik, 8 jam memungkinkan
pulih kembali, 12 jam meragukan, 24 jam dilakukan orkidektomi. Viabilitas testis
sangat berkurang bila dioperasi setelah 6 jam.

H.

Komplikasi
Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat
daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas
terlihat setelah 2 jam dari torsi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara onset
gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual akan menurunkan
angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%. Putusnya suplai darah ke testis
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Atrofi testikular
dapat terjadi dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia. Insiden terjadinya atrofi
testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi klinis dari
TT adalah kesuburan yang menurun dan hilangnya testikular apabila torsi
tersebut tidak diperbaiki dengan cukup cepat. Tingkat yang lebih ekstrim dari
torsi testis mempengaruhi tingkat iskemia testikular dan kemungkinan
penyelamatan (Greenberg, 2005).
Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian
ini bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Analisis air mani abnormal dan
apoptosis testikular kontralateral juga merupakan sekuele yang diketahui
mengikuti ketegangan testis. Oleh karena itu, resiko subfertilitas harus
dibicarakan dengan pasien. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap
dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi
antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari.
Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya
testis, infeksi, infertilitas sekunder, deformitas kosmetik (Graham, 2009).

BAB III
KESIMPULAN
1. Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat
terjadinya gangguan aliran darah pada testis.
2. Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum serta
mengalami pembengkakan pada testis. Sedangkan dari pemeriksaan fisis,
testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis
sisi kontralateral serta dari pemeriksaan Ultrasonografi Doppler berwarna
merupakan pemeriksaan noninvasif yang keakuratannya kurang lebih
sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.

3. Terapi pada torsio testis dengan detorsi manual, yaitu mengembalikan posisi
reposisi ke asalnya.

Jika detosi manual

berhasil harus dilakukan

operasi(orkidopeksi/fiksasi testis)pada tunika dartos.


4. Keberhasilan dalam penanganan torsio dengan mencegah testis mengalami
atrofi, dimana hal tesebut berhubungan secara langsung dengan durasi dan
derajat dari torsio testis. Keterlambatan intervensi pembedahan akan
memperburuk prognosis serta meningkatkan angka kejadian atrofi testis.

DAFTAR PUSTAKA
Cuckow, PM. 2001. Torsion of Testis. BJU International (2000). The Hospital for Sick
Children ; Bristol, United Kingdom
Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas
& Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249
Greenberg, Michael. 2005. Testicular Torsion page 329. Greenbergs Text Atlas of
Emergency Medicine. Lippicott Williams Willkins : Philadelphia
Leape.L.L . 1990. Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology,;
Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric


urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm
Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2003. 8,145-148.
Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2006. Testicular Torsion. American Family
Physician. University of MissouriColumbia School of Medicine: Columbia,
Missouri 15;74(10):1739-1743.
Rupp.T.J. 2006. Testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas
Jefferson University, akses di http://www.emedicine.com/med/topic2560.htm
Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated. London and New York : Churchill
Livingstone. 1975. 324-325.
Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2004. 799.
Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi LakiLaki dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

You might also like