GEOLOGI DAN FASIES BATUAN METAMORE DAERAH JIWO BARAT, BAYAT, KLATEN,
JAWA TENGAH
I Wayan Warmada’, Ignatius Sudarno’, Dedy Wijanarko’
Vv
ABSTRACT
Bayat area is interesting to be studied because it consists of complex rocks and geological structures. Detailed
‘petrographic and X-Ray Fluorescence (XRF) analysis were performed to map the metamorphic facies distribution of Jiwo
Barat area, Bayat, Central Jawa. in this area, metamorphic rocks are widely crop out and intruded by igneous rocks, ie.
Jilite, schist, gneiss and meta sandstone; whilst glaucophane schist, serpentinite and amphibolite were found locally: The
intrusive rocks are mostly composed of diabasic dike. Based on the mineral assemblages, the metamorphic rocks in Jiwo
Barat can be devided into 3 main facies, ie. greenschist facies, blueschist facies with a transition of glaucophanitic
‘greenschist facies, and amphibolite facies. Protolith of the metamorphic rocks, which interpreted from the mineralogical
‘composition was mélange, which consisted of mafic/uliramafic rocks, pelitie rocks, carbonate rocks, and quartz sandstone-
laminated pelitic rocks.
Keywords: metamorphic facies, Jiwo Barat, greenschist, glaucophane schist, amphibolite.
PENDAHULUAN
Latar belakang penelitian
Penelitian mengenai batuan di daerah Bayat dan
sekitarnya masih terfokus pada _batuan-batuan
sedimen maupun batuan beku. Penelitian mengenai
Batuan metamoif merupakan batuan yang sangat batuan metamorf yang cukup rinci (fasies dan
menarik untuk dilakukan penelitian, selain dari segi
petrologi (fasies dan implikasi geodinamika) juga
geologi ekonomi (kehadiran mineral logam berharga
yang sering dikelompokkan sebagai endapan
mesotermal), Selain itu batuan metamorf di sebagian
geokimia) masih sangat sedikit dilakukan. Melalui
penelitian ini -diharapkan dapat memberikan
Kontribusi ilmiah mengenai batan metamorf di
daerah Jiwo Barat, Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah (Gambar 1).
besar wilayah Indonesia dianggap sebagai basement
dari batuan sedimen yang berumur lebih muda,
Gambar 1: Sketsa peta lokasi daerah penelitian
* Dr-rernat. Ir. Wayan Warmada . adalah Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM
2 Ir, Ignatius Sudamo, M.T. adalah Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM
> Dedy Wijanarko, S.T. adalah Alumnus Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM.
MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 6216-3012 isTinjauan pustaka
Geotogi regional
Secara fisiografi menurut Bemmelen (1949) dan
Toha dkk. (1994) daerah Bayat dapat dibagi menjadi
dua, yaitu bagian selatan yang masuk di dalam Zona
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan
agian utara yang masuk di dalam daerah Depresi
‘Tengah atau Zona Solo, Batuan dasar yang menyusun
Perbukitan Jiwo membentuk singkapan yang cukup
Juas. Batuan ini tersusun oleh batugamping kristalin,
genes, filit, sekis mika dan radiolarit yang kemudian
terintrusi. oleh batuan ultrabasa (Bothe, 1933 dalam
Mudjito et al, 1993), Tidak ada penanggalan yang
ppasti dari batuan metamorf ini, namun secara tidak
langsung ditentukan berdasarkan fosil Orbitolina yang
ditemukan oleh Bothe (1927, dalam Mudjito ef al,
1993) yang mengindikasikan umur Kapur,
Pegunungan Selatan, secara stratigrafi tersusun
oleh batuan yang terbentuk oleh hasil pengendapan
gaya berat sejak Kala Oligosen Akhir sampai_ kala
Akhir Miosen, setebal kurang lebih 4000 meter (Toha
dkk, 1994), yang socara struktur geologi hampir
seluruhnya mempunyai kemiringan ke arah Selatan.
Unutan batuan hasil pengendapan gaya berat ini
‘menumpang secara tidak selaras di alas batuan yang
Iebih tua (batuan metamorf) yang tersingkap di
Perbukitan Jiwo, Bayat. Tidak’ selaras di atasnya
terdapat Formasi Gamping-Wungkal yang terdiri dari
batupasir, napal pasiran, batulempung dan lensa
batugamping berumur Eosen Tengah ~ Eosen Akhir.
Proses metamorfosa
Metamorfosa berarti perubahan, Perubahan ini
diakibatkan oleh kondisi fisik dan kimia yang berbeda
dari perubahan pada pelapukan, sementasi dan
diagenesis. Metamorfosa dapat didefinisikan sebagai
suatu proses yang merubah mineralogi, struktur dan
atau Komposisi kimia batuan pada fase padat sebagai
tanggapan atas kondisi fisika dan kimia, yang berbeda
dari kondisi ketika batuan tersebut terbentuk.
Metamorfosa terjadi pada temperatur dan tekanan
antara pembentukan batuan sedimen (fase diagenesis)
dan pada mana batuan mulai meleleh (fase anateksis),
schingga berbeda dengan proses fisika dan atau kimia
yang terjadi pada pelapukan, sementasi dan
diagenesis. Metamorfosa termasuk pelelehan sebagian
selama kondisi batuan dalam keadaan padat (Bucher
& Frey, 2002; Best, 2003; Miyashiro, 1994),
Pada motamorfosa prograde dari suatu batuan
heterogen yang tersusun oleh perlapisan batuan pelitik
dan karbonat, difusi dan percampuran fluida adalah
sangat penting. Berhubung tiep lapisan memiliki
Komposisi kimia dan mineral sendiri-sendiri, fluida
yang dihasilkan dari reaksi prograde barangkali
memiliki rasio CO,/H0 yang berbeda_antar
perlapisannya. Pada sebagian besar reaksi dehidrasi
dan dekarbonasi, volume total padatan mengalami
penurunan. Ini menyebabkan aliran, infiltrasi. dan
percampuran fluida terjadi reletif mudah (Miyashiro,
1994),
Pada batugamping tidak mumi yang tipis yang
menyisip pada batuan pelitik, pada bagian dalam
batugamping barangkali akan terbentuk fluida
penyangga yang kaya akan CO; selama proses
dekarbonasi masih berlangsung. Di sisi lain, pada
bagian tepi_ dari fapisan akan menunjukkan
konsentrasi CO; yang lebih sedikit, karena terjadi
infiltrasi dari fluida atau difusi H,O dari batuan pelitik
yang berada di sekitamya,
PENGAMBILAN DATA
Materi yang akan diteliti meliputi singkapan
batuan metamorf yang dijumpai di dacrah Jiwo Barat
dan sekitamya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah. Analisis laboratorium —meliputi
petrografi dan kimia unsur utama, Sebanyak 10 conto
yang diambil dari beberapa lokasi pengamatan
dipreparasi sebagai sayatan tipis untuk analisis
petrografi, dan 7 conto pada lokasi yang sama
digunakan untuk analisis kimia unsur utama dengan
‘menggunakan metode XRF (X-Ray Fluorescence).
‘BASIL PENELITIAN
Geotogi daerah penelitian
‘Daerah penelitian meliputi daerah perbukitan Jiwo
Barat. Secara fisiografi, peibukitan Jiwo Barat
‘merupaken perbukitan yang mempunyai _arah
‘memanjang wtara-selatan yang membelok ke arah barat
di sckitar Gunung Tugu, mengelilingi bagian selatan,
timur dan timurlaut Rawa Jombor. Pada bagian utara
Rawa Jombor terdapat keberlanjutan dari pebukitan
tersebut yang mempunyai arah memanjang timur-barat,
yaitu perbukitan Gunung Kapak dan sekitamya. Di
sekitar Gunung Tugu dan Gunung Kapak, perbukitan
fersusun oleh batuan karbonat, pada jenis batuan ini
aliran permukaan tidak berkembang secara baik,
sehingga sungai dan alurnya hanya beberapa saja yang
dijumpai, Relief tidak berkembang sehingga perbukitan
yang tersusun oleh batuan ini umumnya
‘memiliki puncak-puncak yang relatif rata dan luas,
Jereng timur di sekitar Perbukitan Tug membentuk
gawir yang relatif curam.
‘Stratigrafi Daerah Penelitian
Seluruh jenis batuan yakni batuan beku, batuan
sedimen dan batuan metamorf terwakili pada
singkapan batuan di daerah Perbukitan Jiwo Barat ini:
14
MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-30121, Komplek batuan metamorf:
Batuan yang termasuk ke dalam kelompok ini
meliputi: filit, sekis, genes dan meta batupasir, yang
merupakan batuan tertua pada dacrah penelitian.
Batuan ini merupakan dasar (basement) dari
sedimentasi yang terjadi pada zaman Tersier. Di dalam
batman metamorf ini sering dijumpai basil
metamorfosa dari lensa batu gamping yang berupa
‘marmer (seperti di Gunung Jabalkat dan Jokotuo). Di
beberapa tempat dijumpai juga urat kuarsa baik yang
sejajar maupun memotong bidang foliasi.
2. Batuan beku:
Batuan bekn pada daerah penelitian hanya
dijumpai dalam bentuk bogkali-bongkah serta tubuh
intrusi dalam sekala kecil. Batuan ini umumnya
mempunyai Komposisi diabasik dengan tekstur ofitik
maupun sub-ofitik yang terlihat dengan jelas di
lapangan, Batuan ini sebagian besar tersingkap dalam
keadaan lapuk, sedangkan .singkapan yang segar
hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Soeria-
‘Atmadja ef al, (1991), batuan beku pada daerah
penelitian dengan komposisi basaltik berupa tubuh
intrusi (dike) dijumapai menerobos batuan metamorf
(sekis) dan batuan sedimen Eosenberupa
batugamping Formasi Wungkal.
3. Kelompok batuan sedimen:
Kelompok batuan sedimen terdiri atas batuan
sedimen Eosen berupa batugamping nummulites dan
batuan sedimen Reson yang terdiri atas safuan
endapan Koluvial dan aluvial. Satuan batugamping
nummulites hanya dijumpai dengan persentase Iuasan
yang kecil, hadir dalam bentuk, bongkah bongkah
‘dengan posisi stratigrafi langsung berada pada bagian
atas dari satuan batuan metamorf. Pada daerah
penelitian satuan ini hanya dijumpai disekitar lereng
dan puncak Gunung Jabalkat berupa batugamping
yang kaya akan foraminifera besar, seperti
Discosyclina dispansa, Discocyclina javana, dan
‘Nummulites bagelensis (Sumatso & Ismoyowati, 1975
dalam Rahardjo dkk, 1995).
Struktur Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan pengamatan pola-pola kelurusan
‘yang ada pada dacrah penelitian dapat diketahui pola
elurusan yang berarah timurlaut-baratdaya maupun
baratlaut-tenggara. Pola-pola tersebut di lapangan
diwakili oleh kehadican zona-zona hancuran yang
indikasi lapangannya sulit dijumpai disebabkan
bidang sesar telah banyak terkubur oleh endapan
sedimen lepas yang terbentuk terakhir. Sesar dapat,
Giinterpretasikan dari keterdapatan milonit di sckitar
4
tubub sesar, yang dari pengamatan pola mica fish
dalam milonit diketahui bahwa pada pola kelurusan
dengan’ arah timurlaut-baratdaya kebanyakan sesar
dengan jenis pergerakan sinistral, sedangkan pada
kelurusan berarah baratlaut-tenggara kebanyakan
menunjukkan pola dekstral. Menurut Martodjojo
(1984), pola pola sesar geser berarah sinistral pada
daerah penelitian merupakan pola struktur tua yang
mengalami aktivasi kembali, Pola ini terbentuk serta
aktif pada Kenozoik akibat pola tunjaman Pulau Jawa
yang pada saat itu bersifat oblique (pola Meratus).
Kenampakan ini identik dengan pola sesar di Jawa
agin barat, ditunjukkan oleh kehadiran sesar
Cimandiri.
Fasies metamorfik
Dari _hasil pengamatan petrografi_ dan
pengelompokan kumpulan mineral, batuan metamorf
di daerah Jiwo Barat dapat dibagi menjadi 3 fasies,
yaitu fasies sekis hijau, fasies sekis biru, dan fasies
amfibolit (Gambar 2), Paragenesis mineral dari
masing-masing fasies ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Rawa Tawang Jombor
‘ation semen
tnt lobar
Fader omfoot!
fFoset ok bu
Fes sks Mou
Gambar 2. Peta fasies batan metamorf di dacrah
penelitian
MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012
115Tabel 1. Kumpulan mineral pada fasies batuan
metamorf di daerah penelitian
Fasie ‘Kumpulan mineral
‘Sekis hijaa [Klorit + epidot + aktinolit + kearsa + garnet
+ mike (tmulai terubeh menjadi serisit)
mineral asesoris: gamet, zeoit, sen
Sekis bia [Lawsonit + glaukofan + albit + kuarsa
mineral asesoris: silimanit
JAmfibolit | Staurolit+ gamet + diopsid + kumingtonit
((Mg-Fe amfitol) + silimanit
mineral asesoris: epidot
Fasies sekis hijau
Fasies ini merupakan fasies yang sebarannya paling
las di dacrah penelitian, dicirikan oleh Kehadiran
prey
kumpulan mineral Klorit + epidot + aktinolit
(feroaktinolit, dengan XRD) + kuarsa + gamet + mika
dan mineral asesoris berupa sfen, grafit dan zeolit, di
‘mana mika mulai terubah menjadi mineral serisit akibat
proses pelapukan (Gambar 3a). Batuan ini terbentuke
sebagai hasil metamorfosa regional —dinamotermal
berdorajat rendah ~maupun proses metamorfosa
vetrograde dati batuan metamorffoatuan beku yang
terbentuk pada suhu tinggi (420 - 580 °C; Miyashiro,
1994). Pada kasus proses metamorfosa retrograde
batuan Kebanyakan terbentuke sebagai akibat dari proses
reaksi hidrasi yang meliputi proses konversi mineral
yang terbentuk pada temperatur tinggi kearah mineral
yang terbentuk pada temperatur rendah, Protolit dari
fasies ini didominasi oleh batuan sedimen pelitik dengan
sisipan batugamping, maupun batupasir kuarsa.
Gambar 3. Beberapa mineral-mineral penting (penciri) pada batuan metamorf: (a) tremolit-aktinolit
(Tre-Act) pada batuan metamorf fasies sekis hijaw; (b) kumingtonit (Cum) dan (c)
glaukofan (Gle) pada batuan batuan metamorf fasies sekis biru; (@) sfen (Sph)
‘merupakan mineral asesoris pada batuan fasies amfibolit; (e) dan (f) silimanit berbentuk
jarum (prismatik) dengan relief tinggi, yang merupakan pen
utama dari fasies
amfibolit. Semua gambar dibuat dalam nikol bersilang (XPL), kecuali glaukofan (c).
116
MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012Fasies sekis biru (sekis lawsonit-glaukofan)
Fasies ini dicirikan oleh kehadiran kumpulan
mineral berupa lawsonit + glaukofan (Gambar 3c) +
albit + kuarsa, dengan mineral asesoris berupa
silimanit, Pada daerah penelitian kehadiran fasies
sekis biru hanya terbaias pada lokasi tertentu,
umumnya pada kondisi kedalaman yang besar
sehingga hanya sedikit bagian yang’ tersingkap
dipermukean. Menurut pengamatan terjadi perubahan
transisional dari kondisi fasies sekis hijau kearah
pembentukan sekis biru seiring dengan bertambahnya
temperatur serta pengurangan tekanan pada proses
metamorfosa. Pada .Kondisi transisi ditempati ol
Kehadiran sekis hijau glaukofanitik (glaukophanit
greenschist)
Fasies amfibolit
Fasies ini sebenarnya masih diragukan untuk
menyebutnya sebagai fasies amfibolit, selain karena
mineral penciri fasies ini tidak secara dominan
ditemukan juga sebarannya berada di sckitar tubuh
intrusi. Namun, melibat kehadiran mineral-mineral
‘minor dari penciri fasies ini, maka dapat dinyatakan
bahwa fasies amfibolit merupakan salah satu fasies
yang hadir di daerah penelitian. Beberapa mineral
yang hadir sebagai penciri fasies amfibolit (almandin)
‘meliputi; staurolit + gamet (grosularit-andradit) +
diopsid + kelompok Mg-Fe amfibol (kumingionit,
antofilit, Al-bearing gedrit). Kyanit juga hadir pada
fasios ini, Pada kondisi temperatur tinggi ditandai oleh
kehadiran silimanit (Gambar 3e-f). Mineral minor/
asesoris yang kemungkinan masih dapat hadir
bersama dengan kuarsa di antaranya adalah: ortoklas,
Kiorit, talk, firofilit, epidot dan zoisit.
Geokimia Batuan Metamorf
Hasil analisis kimia beberapa conto batuan metamorf
di dacrah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada
kebanyakan batuan beku, sebagian besar AkOs
bersama-sama Na,0, Kz0 dan CaO membentuk
feldspar, di mana rasio’Al,02 / (Na;O + KO + CaO)
adalah 1.0. Batuan metapelit (sekis dan gneis) juga
memiliki AlsOs yang hampir mendekati batuan beku,
namun kandungan CaO dan Na,O jauh lebih sedikit,
sehingga pada batuan metapelit memperlibatkan rasio
ALO: / (Na,0 + K,0 + CaO) lebih besar dari 1.0, di
‘mana batuan ini memiliki kandungan mineral-mineral
aluminous yang tinggi. Dari hasil pengamatan
petrografi, batuan-batuan ini mengandung Klorit,
muskovit, biotit.
Pada amfibolit, rasio ini menjadi jauh lebih Keci
daripada batuan-batuan yang Iain. Hal ini disebabkan
oleh kandungan amfibolit scbagian besar piroksen Ca
(diopsid) dan amfibol Fe-Mg (kumingtonit, antofilit)
yang miskin akan alumina. Pada serpentinit, rasio
‘Als / (NazO + K,0 + CaO) sangat tinggi (22,85),
sebaliknya rasio FeO / (FeO + MgO) yang sangat
kecil (0,38). Hal ini disebabkan oleh mineral serpentin
yang menjadi mineral dominan pada pada serpentinit,
dimana mineral ini mempunyai MgO tinggi, namun
miskin akan unsur kelompok alkali
‘Tabel 2. Hasil analisis kimia beberapa conto batuan metamorf
(Conto BYEo | BYEI4 | BYT27 | BYEai1 | BYraS | BYE | BYTA7
Batuan Sekis Gacis | Amfibolit | Gneis Filit Sekis___| Serpeatinit
Lokasi Dandangan | GMorak | GCakaran | GMerak | Krokiten | GBulu | Krikilan
SiO, 6285 38,27 5449 59,73 613 91,74 58,31
TIO: O77 0,89 034 0.98 0,80 0,10 0,59
[ALO 13,86 18,14 4,82 13,38 13,91 2,33 10,97
Feo 572 10,69 1501 782 579 2.87 8,70
MnO 0.10 0,06 0,30 017 0,10 0,03 0,10
MgO Sat 2,63 14,13 3,79 5,16 0.61 1442
cad, 3,52 0,48 5.88 3,84 3.55) 0.80 oa
fNa,O 428 0,58 2,09 440 427 OIL 0,02
KO 1,28 2,27 0,10 120 130 0,29 0,05)
P:0s 0,13 O14 120) 0.15 0.13 0,03 0,08
HD." 2,25 3,70 1,53 2,45 1,74 1,05 5,74
Total 99,87 99,85 99,89 99,91 99,88 99,96 99,35
AINKC 153 548 0,60 142 1,53; 1,94 22,85
EM. 0,53 0.80 052 057 053 0,82 038
THD. Hilang Dibakar ~
MEDIA TEKNIK No.2 Tatiun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012 17PEMBAHASAN
Pola metamorfosa daerah penelitian identik.
dengan proses yang berlangsung pada metamorfosa
tipe Alps-tipe Barrovian, dimana proses metamorfosa
diciriken oleh Kondisi tekanan yang tinggi. Pada
daerah penelitian dijumpai batuan metamorf dengan
berbagai derajat/tingkat pembentukan batuan «mulai
dari fasies sekis hijau, sekis hijan glaukofanitik, sekis
biru, hingga pada fasies amfibolit, yang semuanya
dijumpai pada daerah penelitian yang hanya meliputi
wilayah sempit.
Pada daerah penelitian berlangsung proses
metamofosa regional dinamotermal terutama pada
batuan asal pelitik, calcareous, mafik serta batuan beku
ultrabasa. Proses orogenesa dijumpai pada daerah
penelitian pada tahap akhir proses metamorfosa, yang
diyakini sebagai agen pembentuk batuan homfels
hingga amfibolit yang banyak dijumpai di sckitar tabuh
intrusi batuan beku diabas, sehingga dalam hal ini
batuan metamorf yang berumur lebih tua mengalami
proses modifikasi sebagai akibat dari proses,
motamorfosa berikutnya (metamorfosa kontak) yang
lebih muda (polimetamorfosa). Batuan metamorf yang
terbentuk pada temperatur terendah dijumpai dengan
kehadiran mineral penciri berupa muskovit, Klort,
biotit, epidot, abit, graft.
Pada daerah penelitian menunjulkkan kenampakan
batas lempengan (Konvergen) dimana_berlangsung
proses subduksi. Pada proses ini menghasilkan gradien
geothermal rendah (£10 °C/Km) atau terbentuk batuan
metamorf dengan kondisi tekanan tinggi dan
temperatur rendah seperti tampak pada kehadiran fasies
sekis iru, Pada proses terjadinya_Kenaikan/
pengangkatan batuan dengan cepat selama proses
subduksi yang berlangsung setelahnya, menyebabkan
overprint oleh Kondisi fasies metamorf sekis hijau
hhimgga fasies amfibolit pada Kondisi_gradien
geothermal normal (430 °C/Km) hingga seri fasies
metamorfosa Kontak (#50 “C/Km). Kondisi
pembentukan fasies amfibolit berlangsung pada
tekanan tinggi-rendah serta temperatur tinggi, yang
berlangsung pada continental margin volcanic arc,
hingga pada sekitar tubuh pluton batuan beku,
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan dit muka
dat disimpaltan sebagai bert
‘tas dasar_komposisi mineral dan kandungan
mineral indeks-nya, maka batuan metamorf daerah
penelitian dapat dibagi menjadi beberapa fasies,
meliputi: fasies sckis hijau, fasies sekis biru
dengan transisi sekis hijau glaukofanitik, dan fasies
amfibolit.
2. Material asal (protolith) dari batuan metamorf
yang diinterpretasi dari komposisinya adalah
118)
mélange, yang terdiri dari batuan ultramafik,
batuan mafik, pelit, maupun batuan karbonat serta
material sedimen yang tersusun olch lapisan batu
pasir kuarsa~batuan pelitik berlapis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
‘Anggaran Dana Masyarakat Fakultas Teknik yang telah
memberikan kesempatan dan pendanaan kepada
penulis untuk melakukan penelitian dengen tema ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Iz, Maro Datun sebagai reviewer (mitra bestari) yang
telah mengoreksi kesalaban-kesalahan pada naskah ini,
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, C. D., Brew, D. A. & Douglass, S. L., 1996.
Metamorphic facies map of South Eastern
Alaska: Distribution, facies and ages of
regionally metamorphosed rocks. US Geological
Survey Professional Paper 1497-D, United States
Government Printing Ofice, Washington, 42p.
Bemmelen, R. W. van, 1949. The Geology of
Indonesia. Vol. 1A. The Hague, Martinus
Nijhoff, Netherland.
Best, M. G, 2003, Jgneous and Metamorphic
Petrology. 2" ed., Blackwell Science Ltd.,
Oxford, 729 p.
Bucher, K. & Frey, M, 2002, Petrogenesis of
‘Metamorphic Rocks. 7 ed., Springer-Verlag,
Berlin, 341 p.
Ferry, J. M., 2000. Patterns of mineral occurrence in
‘metamorphic rocks. American Mineralogist 85:
1573-1588.
Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa
Barat. Disertasi, Institut Teknologi Bandung,
‘Bandung (tidak diterbitkan).
Miyashiro, A., 1994. Metamorphic Petrology. Taylor
& Francis, London, 404 p.
Mudjito, Husen, M., Rahardjo, W. & Muslikhi, S.,
1993. Fieldirip Guide Book, Indonesian
Petroleum Association, 15-17 October 1993, 42p.
Rehardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H. M. D.,
1995. Geologi Lembar Yogyakarta, P3G
Bandung, indonesia.
Soeria-Atmadja, R, Maury, R. C., Bellon, H.,
Pringgoprawiro, H., Polwe, M. & Priadi, B., 1991
The Tertiary magmatic belts in Java, Symposium
‘on the Dynamics of Subduction and lis Products.
The Silver Jubilee-Indonesian Institute of
Sciences (LIP), Bandung, Indonesia, p. 99-119.
Toba, B., Dom, P. R., Sriyono, Soctoto, Rahardjo, W.
& Pramumijoyo, S,, 1994. Geologi daera
Pegunungan Selatan: Suatu_kontribusi.
Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau
Jawa. Jurusan Teknik Geologi FT-UGM, 19-28.
MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012