You are on page 1of 6
GEOLOGI DAN FASIES BATUAN METAMORE DAERAH JIWO BARAT, BAYAT, KLATEN, JAWA TENGAH I Wayan Warmada’, Ignatius Sudarno’, Dedy Wijanarko’ Vv ABSTRACT Bayat area is interesting to be studied because it consists of complex rocks and geological structures. Detailed ‘petrographic and X-Ray Fluorescence (XRF) analysis were performed to map the metamorphic facies distribution of Jiwo Barat area, Bayat, Central Jawa. in this area, metamorphic rocks are widely crop out and intruded by igneous rocks, ie. Jilite, schist, gneiss and meta sandstone; whilst glaucophane schist, serpentinite and amphibolite were found locally: The intrusive rocks are mostly composed of diabasic dike. Based on the mineral assemblages, the metamorphic rocks in Jiwo Barat can be devided into 3 main facies, ie. greenschist facies, blueschist facies with a transition of glaucophanitic ‘greenschist facies, and amphibolite facies. Protolith of the metamorphic rocks, which interpreted from the mineralogical ‘composition was mélange, which consisted of mafic/uliramafic rocks, pelitie rocks, carbonate rocks, and quartz sandstone- laminated pelitic rocks. Keywords: metamorphic facies, Jiwo Barat, greenschist, glaucophane schist, amphibolite. PENDAHULUAN Latar belakang penelitian Penelitian mengenai batuan di daerah Bayat dan sekitarnya masih terfokus pada _batuan-batuan sedimen maupun batuan beku. Penelitian mengenai Batuan metamoif merupakan batuan yang sangat batuan metamorf yang cukup rinci (fasies dan menarik untuk dilakukan penelitian, selain dari segi petrologi (fasies dan implikasi geodinamika) juga geologi ekonomi (kehadiran mineral logam berharga yang sering dikelompokkan sebagai endapan mesotermal), Selain itu batuan metamorf di sebagian geokimia) masih sangat sedikit dilakukan. Melalui penelitian ini -diharapkan dapat memberikan Kontribusi ilmiah mengenai batan metamorf di daerah Jiwo Barat, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Gambar 1). besar wilayah Indonesia dianggap sebagai basement dari batuan sedimen yang berumur lebih muda, Gambar 1: Sketsa peta lokasi daerah penelitian * Dr-rernat. Ir. Wayan Warmada . adalah Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM 2 Ir, Ignatius Sudamo, M.T. adalah Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM > Dedy Wijanarko, S.T. adalah Alumnus Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM. MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 6216-3012 is Tinjauan pustaka Geotogi regional Secara fisiografi menurut Bemmelen (1949) dan Toha dkk. (1994) daerah Bayat dapat dibagi menjadi dua, yaitu bagian selatan yang masuk di dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan agian utara yang masuk di dalam daerah Depresi ‘Tengah atau Zona Solo, Batuan dasar yang menyusun Perbukitan Jiwo membentuk singkapan yang cukup Juas. Batuan ini tersusun oleh batugamping kristalin, genes, filit, sekis mika dan radiolarit yang kemudian terintrusi. oleh batuan ultrabasa (Bothe, 1933 dalam Mudjito et al, 1993), Tidak ada penanggalan yang ppasti dari batuan metamorf ini, namun secara tidak langsung ditentukan berdasarkan fosil Orbitolina yang ditemukan oleh Bothe (1927, dalam Mudjito ef al, 1993) yang mengindikasikan umur Kapur, Pegunungan Selatan, secara stratigrafi tersusun oleh batuan yang terbentuk oleh hasil pengendapan gaya berat sejak Kala Oligosen Akhir sampai_ kala Akhir Miosen, setebal kurang lebih 4000 meter (Toha dkk, 1994), yang socara struktur geologi hampir seluruhnya mempunyai kemiringan ke arah Selatan. Unutan batuan hasil pengendapan gaya berat ini ‘menumpang secara tidak selaras di alas batuan yang Iebih tua (batuan metamorf) yang tersingkap di Perbukitan Jiwo, Bayat. Tidak’ selaras di atasnya terdapat Formasi Gamping-Wungkal yang terdiri dari batupasir, napal pasiran, batulempung dan lensa batugamping berumur Eosen Tengah ~ Eosen Akhir. Proses metamorfosa Metamorfosa berarti perubahan, Perubahan ini diakibatkan oleh kondisi fisik dan kimia yang berbeda dari perubahan pada pelapukan, sementasi dan diagenesis. Metamorfosa dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang merubah mineralogi, struktur dan atau Komposisi kimia batuan pada fase padat sebagai tanggapan atas kondisi fisika dan kimia, yang berbeda dari kondisi ketika batuan tersebut terbentuk. Metamorfosa terjadi pada temperatur dan tekanan antara pembentukan batuan sedimen (fase diagenesis) dan pada mana batuan mulai meleleh (fase anateksis), schingga berbeda dengan proses fisika dan atau kimia yang terjadi pada pelapukan, sementasi dan diagenesis. Metamorfosa termasuk pelelehan sebagian selama kondisi batuan dalam keadaan padat (Bucher & Frey, 2002; Best, 2003; Miyashiro, 1994), Pada motamorfosa prograde dari suatu batuan heterogen yang tersusun oleh perlapisan batuan pelitik dan karbonat, difusi dan percampuran fluida adalah sangat penting. Berhubung tiep lapisan memiliki Komposisi kimia dan mineral sendiri-sendiri, fluida yang dihasilkan dari reaksi prograde barangkali memiliki rasio CO,/H0 yang berbeda_antar perlapisannya. Pada sebagian besar reaksi dehidrasi dan dekarbonasi, volume total padatan mengalami penurunan. Ini menyebabkan aliran, infiltrasi. dan percampuran fluida terjadi reletif mudah (Miyashiro, 1994), Pada batugamping tidak mumi yang tipis yang menyisip pada batuan pelitik, pada bagian dalam batugamping barangkali akan terbentuk fluida penyangga yang kaya akan CO; selama proses dekarbonasi masih berlangsung. Di sisi lain, pada bagian tepi_ dari fapisan akan menunjukkan konsentrasi CO; yang lebih sedikit, karena terjadi infiltrasi dari fluida atau difusi H,O dari batuan pelitik yang berada di sekitamya, PENGAMBILAN DATA Materi yang akan diteliti meliputi singkapan batuan metamorf yang dijumpai di dacrah Jiwo Barat dan sekitamya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Analisis laboratorium —meliputi petrografi dan kimia unsur utama, Sebanyak 10 conto yang diambil dari beberapa lokasi pengamatan dipreparasi sebagai sayatan tipis untuk analisis petrografi, dan 7 conto pada lokasi yang sama digunakan untuk analisis kimia unsur utama dengan ‘menggunakan metode XRF (X-Ray Fluorescence). ‘BASIL PENELITIAN Geotogi daerah penelitian ‘Daerah penelitian meliputi daerah perbukitan Jiwo Barat. Secara fisiografi, peibukitan Jiwo Barat ‘merupaken perbukitan yang mempunyai _arah ‘memanjang wtara-selatan yang membelok ke arah barat di sckitar Gunung Tugu, mengelilingi bagian selatan, timur dan timurlaut Rawa Jombor. Pada bagian utara Rawa Jombor terdapat keberlanjutan dari pebukitan tersebut yang mempunyai arah memanjang timur-barat, yaitu perbukitan Gunung Kapak dan sekitamya. Di sekitar Gunung Tugu dan Gunung Kapak, perbukitan fersusun oleh batuan karbonat, pada jenis batuan ini aliran permukaan tidak berkembang secara baik, sehingga sungai dan alurnya hanya beberapa saja yang dijumpai, Relief tidak berkembang sehingga perbukitan yang tersusun oleh batuan ini umumnya ‘memiliki puncak-puncak yang relatif rata dan luas, Jereng timur di sekitar Perbukitan Tug membentuk gawir yang relatif curam. ‘Stratigrafi Daerah Penelitian Seluruh jenis batuan yakni batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf terwakili pada singkapan batuan di daerah Perbukitan Jiwo Barat ini: 14 MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012 1, Komplek batuan metamorf: Batuan yang termasuk ke dalam kelompok ini meliputi: filit, sekis, genes dan meta batupasir, yang merupakan batuan tertua pada dacrah penelitian. Batuan ini merupakan dasar (basement) dari sedimentasi yang terjadi pada zaman Tersier. Di dalam batman metamorf ini sering dijumpai basil metamorfosa dari lensa batu gamping yang berupa ‘marmer (seperti di Gunung Jabalkat dan Jokotuo). Di beberapa tempat dijumpai juga urat kuarsa baik yang sejajar maupun memotong bidang foliasi. 2. Batuan beku: Batuan bekn pada daerah penelitian hanya dijumpai dalam bentuk bogkali-bongkah serta tubuh intrusi dalam sekala kecil. Batuan ini umumnya mempunyai Komposisi diabasik dengan tekstur ofitik maupun sub-ofitik yang terlihat dengan jelas di lapangan, Batuan ini sebagian besar tersingkap dalam keadaan lapuk, sedangkan .singkapan yang segar hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Soeria- ‘Atmadja ef al, (1991), batuan beku pada daerah penelitian dengan komposisi basaltik berupa tubuh intrusi (dike) dijumapai menerobos batuan metamorf (sekis) dan batuan sedimen Eosenberupa batugamping Formasi Wungkal. 3. Kelompok batuan sedimen: Kelompok batuan sedimen terdiri atas batuan sedimen Eosen berupa batugamping nummulites dan batuan sedimen Reson yang terdiri atas safuan endapan Koluvial dan aluvial. Satuan batugamping nummulites hanya dijumpai dengan persentase Iuasan yang kecil, hadir dalam bentuk, bongkah bongkah ‘dengan posisi stratigrafi langsung berada pada bagian atas dari satuan batuan metamorf. Pada daerah penelitian satuan ini hanya dijumpai disekitar lereng dan puncak Gunung Jabalkat berupa batugamping yang kaya akan foraminifera besar, seperti Discosyclina dispansa, Discocyclina javana, dan ‘Nummulites bagelensis (Sumatso & Ismoyowati, 1975 dalam Rahardjo dkk, 1995). Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan pengamatan pola-pola kelurusan ‘yang ada pada dacrah penelitian dapat diketahui pola elurusan yang berarah timurlaut-baratdaya maupun baratlaut-tenggara. Pola-pola tersebut di lapangan diwakili oleh kehadican zona-zona hancuran yang indikasi lapangannya sulit dijumpai disebabkan bidang sesar telah banyak terkubur oleh endapan sedimen lepas yang terbentuk terakhir. Sesar dapat, Giinterpretasikan dari keterdapatan milonit di sckitar 4 tubub sesar, yang dari pengamatan pola mica fish dalam milonit diketahui bahwa pada pola kelurusan dengan’ arah timurlaut-baratdaya kebanyakan sesar dengan jenis pergerakan sinistral, sedangkan pada kelurusan berarah baratlaut-tenggara kebanyakan menunjukkan pola dekstral. Menurut Martodjojo (1984), pola pola sesar geser berarah sinistral pada daerah penelitian merupakan pola struktur tua yang mengalami aktivasi kembali, Pola ini terbentuk serta aktif pada Kenozoik akibat pola tunjaman Pulau Jawa yang pada saat itu bersifat oblique (pola Meratus). Kenampakan ini identik dengan pola sesar di Jawa agin barat, ditunjukkan oleh kehadiran sesar Cimandiri. Fasies metamorfik Dari _hasil pengamatan petrografi_ dan pengelompokan kumpulan mineral, batuan metamorf di daerah Jiwo Barat dapat dibagi menjadi 3 fasies, yaitu fasies sekis hijau, fasies sekis biru, dan fasies amfibolit (Gambar 2), Paragenesis mineral dari masing-masing fasies ini dapat dilihat pada Tabel 1. Rawa Tawang Jombor ‘ation semen tnt lobar Fader omfoot! fFoset ok bu Fes sks Mou Gambar 2. Peta fasies batan metamorf di dacrah penelitian MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012 115 Tabel 1. Kumpulan mineral pada fasies batuan metamorf di daerah penelitian Fasie ‘Kumpulan mineral ‘Sekis hijaa [Klorit + epidot + aktinolit + kearsa + garnet + mike (tmulai terubeh menjadi serisit) mineral asesoris: gamet, zeoit, sen Sekis bia [Lawsonit + glaukofan + albit + kuarsa mineral asesoris: silimanit JAmfibolit | Staurolit+ gamet + diopsid + kumingtonit ((Mg-Fe amfitol) + silimanit mineral asesoris: epidot Fasies sekis hijau Fasies ini merupakan fasies yang sebarannya paling las di dacrah penelitian, dicirikan oleh Kehadiran prey kumpulan mineral Klorit + epidot + aktinolit (feroaktinolit, dengan XRD) + kuarsa + gamet + mika dan mineral asesoris berupa sfen, grafit dan zeolit, di ‘mana mika mulai terubah menjadi mineral serisit akibat proses pelapukan (Gambar 3a). Batuan ini terbentuke sebagai hasil metamorfosa regional —dinamotermal berdorajat rendah ~maupun proses metamorfosa vetrograde dati batuan metamorffoatuan beku yang terbentuk pada suhu tinggi (420 - 580 °C; Miyashiro, 1994). Pada kasus proses metamorfosa retrograde batuan Kebanyakan terbentuke sebagai akibat dari proses reaksi hidrasi yang meliputi proses konversi mineral yang terbentuk pada temperatur tinggi kearah mineral yang terbentuk pada temperatur rendah, Protolit dari fasies ini didominasi oleh batuan sedimen pelitik dengan sisipan batugamping, maupun batupasir kuarsa. Gambar 3. Beberapa mineral-mineral penting (penciri) pada batuan metamorf: (a) tremolit-aktinolit (Tre-Act) pada batuan metamorf fasies sekis hijaw; (b) kumingtonit (Cum) dan (c) glaukofan (Gle) pada batuan batuan metamorf fasies sekis biru; (@) sfen (Sph) ‘merupakan mineral asesoris pada batuan fasies amfibolit; (e) dan (f) silimanit berbentuk jarum (prismatik) dengan relief tinggi, yang merupakan pen utama dari fasies amfibolit. Semua gambar dibuat dalam nikol bersilang (XPL), kecuali glaukofan (c). 116 MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012 Fasies sekis biru (sekis lawsonit-glaukofan) Fasies ini dicirikan oleh kehadiran kumpulan mineral berupa lawsonit + glaukofan (Gambar 3c) + albit + kuarsa, dengan mineral asesoris berupa silimanit, Pada daerah penelitian kehadiran fasies sekis biru hanya terbaias pada lokasi tertentu, umumnya pada kondisi kedalaman yang besar sehingga hanya sedikit bagian yang’ tersingkap dipermukean. Menurut pengamatan terjadi perubahan transisional dari kondisi fasies sekis hijau kearah pembentukan sekis biru seiring dengan bertambahnya temperatur serta pengurangan tekanan pada proses metamorfosa. Pada .Kondisi transisi ditempati ol Kehadiran sekis hijau glaukofanitik (glaukophanit greenschist) Fasies amfibolit Fasies ini sebenarnya masih diragukan untuk menyebutnya sebagai fasies amfibolit, selain karena mineral penciri fasies ini tidak secara dominan ditemukan juga sebarannya berada di sckitar tubuh intrusi. Namun, melibat kehadiran mineral-mineral ‘minor dari penciri fasies ini, maka dapat dinyatakan bahwa fasies amfibolit merupakan salah satu fasies yang hadir di daerah penelitian. Beberapa mineral yang hadir sebagai penciri fasies amfibolit (almandin) ‘meliputi; staurolit + gamet (grosularit-andradit) + diopsid + kelompok Mg-Fe amfibol (kumingionit, antofilit, Al-bearing gedrit). Kyanit juga hadir pada fasios ini, Pada kondisi temperatur tinggi ditandai oleh kehadiran silimanit (Gambar 3e-f). Mineral minor/ asesoris yang kemungkinan masih dapat hadir bersama dengan kuarsa di antaranya adalah: ortoklas, Kiorit, talk, firofilit, epidot dan zoisit. Geokimia Batuan Metamorf Hasil analisis kimia beberapa conto batuan metamorf di dacrah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada kebanyakan batuan beku, sebagian besar AkOs bersama-sama Na,0, Kz0 dan CaO membentuk feldspar, di mana rasio’Al,02 / (Na;O + KO + CaO) adalah 1.0. Batuan metapelit (sekis dan gneis) juga memiliki AlsOs yang hampir mendekati batuan beku, namun kandungan CaO dan Na,O jauh lebih sedikit, sehingga pada batuan metapelit memperlibatkan rasio ALO: / (Na,0 + K,0 + CaO) lebih besar dari 1.0, di ‘mana batuan ini memiliki kandungan mineral-mineral aluminous yang tinggi. Dari hasil pengamatan petrografi, batuan-batuan ini mengandung Klorit, muskovit, biotit. Pada amfibolit, rasio ini menjadi jauh lebih Keci daripada batuan-batuan yang Iain. Hal ini disebabkan oleh kandungan amfibolit scbagian besar piroksen Ca (diopsid) dan amfibol Fe-Mg (kumingtonit, antofilit) yang miskin akan alumina. Pada serpentinit, rasio ‘Als / (NazO + K,0 + CaO) sangat tinggi (22,85), sebaliknya rasio FeO / (FeO + MgO) yang sangat kecil (0,38). Hal ini disebabkan oleh mineral serpentin yang menjadi mineral dominan pada pada serpentinit, dimana mineral ini mempunyai MgO tinggi, namun miskin akan unsur kelompok alkali ‘Tabel 2. Hasil analisis kimia beberapa conto batuan metamorf (Conto BYEo | BYEI4 | BYT27 | BYEai1 | BYraS | BYE | BYTA7 Batuan Sekis Gacis | Amfibolit | Gneis Filit Sekis___| Serpeatinit Lokasi Dandangan | GMorak | GCakaran | GMerak | Krokiten | GBulu | Krikilan SiO, 6285 38,27 5449 59,73 613 91,74 58,31 TIO: O77 0,89 034 0.98 0,80 0,10 0,59 [ALO 13,86 18,14 4,82 13,38 13,91 2,33 10,97 Feo 572 10,69 1501 782 579 2.87 8,70 MnO 0.10 0,06 0,30 017 0,10 0,03 0,10 MgO Sat 2,63 14,13 3,79 5,16 0.61 1442 cad, 3,52 0,48 5.88 3,84 3.55) 0.80 oa fNa,O 428 0,58 2,09 440 427 OIL 0,02 KO 1,28 2,27 0,10 120 130 0,29 0,05) P:0s 0,13 O14 120) 0.15 0.13 0,03 0,08 HD." 2,25 3,70 1,53 2,45 1,74 1,05 5,74 Total 99,87 99,85 99,89 99,91 99,88 99,96 99,35 AINKC 153 548 0,60 142 1,53; 1,94 22,85 EM. 0,53 0.80 052 057 053 0,82 038 THD. Hilang Dibakar ~ MEDIA TEKNIK No.2 Tatiun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012 17 PEMBAHASAN Pola metamorfosa daerah penelitian identik. dengan proses yang berlangsung pada metamorfosa tipe Alps-tipe Barrovian, dimana proses metamorfosa diciriken oleh Kondisi tekanan yang tinggi. Pada daerah penelitian dijumpai batuan metamorf dengan berbagai derajat/tingkat pembentukan batuan «mulai dari fasies sekis hijau, sekis hijan glaukofanitik, sekis biru, hingga pada fasies amfibolit, yang semuanya dijumpai pada daerah penelitian yang hanya meliputi wilayah sempit. Pada daerah penelitian berlangsung proses metamofosa regional dinamotermal terutama pada batuan asal pelitik, calcareous, mafik serta batuan beku ultrabasa. Proses orogenesa dijumpai pada daerah penelitian pada tahap akhir proses metamorfosa, yang diyakini sebagai agen pembentuk batuan homfels hingga amfibolit yang banyak dijumpai di sckitar tabuh intrusi batuan beku diabas, sehingga dalam hal ini batuan metamorf yang berumur lebih tua mengalami proses modifikasi sebagai akibat dari proses, motamorfosa berikutnya (metamorfosa kontak) yang lebih muda (polimetamorfosa). Batuan metamorf yang terbentuk pada temperatur terendah dijumpai dengan kehadiran mineral penciri berupa muskovit, Klort, biotit, epidot, abit, graft. Pada daerah penelitian menunjulkkan kenampakan batas lempengan (Konvergen) dimana_berlangsung proses subduksi. Pada proses ini menghasilkan gradien geothermal rendah (£10 °C/Km) atau terbentuk batuan metamorf dengan kondisi tekanan tinggi dan temperatur rendah seperti tampak pada kehadiran fasies sekis iru, Pada proses terjadinya_Kenaikan/ pengangkatan batuan dengan cepat selama proses subduksi yang berlangsung setelahnya, menyebabkan overprint oleh Kondisi fasies metamorf sekis hijau hhimgga fasies amfibolit pada Kondisi_gradien geothermal normal (430 °C/Km) hingga seri fasies metamorfosa Kontak (#50 “C/Km). Kondisi pembentukan fasies amfibolit berlangsung pada tekanan tinggi-rendah serta temperatur tinggi, yang berlangsung pada continental margin volcanic arc, hingga pada sekitar tubuh pluton batuan beku, KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan dit muka dat disimpaltan sebagai bert ‘tas dasar_komposisi mineral dan kandungan mineral indeks-nya, maka batuan metamorf daerah penelitian dapat dibagi menjadi beberapa fasies, meliputi: fasies sckis hijau, fasies sekis biru dengan transisi sekis hijau glaukofanitik, dan fasies amfibolit. 2. Material asal (protolith) dari batuan metamorf yang diinterpretasi dari komposisinya adalah 118) mélange, yang terdiri dari batuan ultramafik, batuan mafik, pelit, maupun batuan karbonat serta material sedimen yang tersusun olch lapisan batu pasir kuarsa~batuan pelitik berlapis. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada ‘Anggaran Dana Masyarakat Fakultas Teknik yang telah memberikan kesempatan dan pendanaan kepada penulis untuk melakukan penelitian dengen tema ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iz, Maro Datun sebagai reviewer (mitra bestari) yang telah mengoreksi kesalaban-kesalahan pada naskah ini, DAFTAR PUSTAKA Bacon, C. D., Brew, D. A. & Douglass, S. L., 1996. Metamorphic facies map of South Eastern Alaska: Distribution, facies and ages of regionally metamorphosed rocks. US Geological Survey Professional Paper 1497-D, United States Government Printing Ofice, Washington, 42p. Bemmelen, R. W. van, 1949. The Geology of Indonesia. Vol. 1A. The Hague, Martinus Nijhoff, Netherland. Best, M. G, 2003, Jgneous and Metamorphic Petrology. 2" ed., Blackwell Science Ltd., Oxford, 729 p. Bucher, K. & Frey, M, 2002, Petrogenesis of ‘Metamorphic Rocks. 7 ed., Springer-Verlag, Berlin, 341 p. Ferry, J. M., 2000. Patterns of mineral occurrence in ‘metamorphic rocks. American Mineralogist 85: 1573-1588. Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Disertasi, Institut Teknologi Bandung, ‘Bandung (tidak diterbitkan). Miyashiro, A., 1994. Metamorphic Petrology. Taylor & Francis, London, 404 p. Mudjito, Husen, M., Rahardjo, W. & Muslikhi, S., 1993. Fieldirip Guide Book, Indonesian Petroleum Association, 15-17 October 1993, 42p. Rehardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H. M. D., 1995. Geologi Lembar Yogyakarta, P3G Bandung, indonesia. Soeria-Atmadja, R, Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polwe, M. & Priadi, B., 1991 The Tertiary magmatic belts in Java, Symposium ‘on the Dynamics of Subduction and lis Products. The Silver Jubilee-Indonesian Institute of Sciences (LIP), Bandung, Indonesia, p. 99-119. Toba, B., Dom, P. R., Sriyono, Soctoto, Rahardjo, W. & Pramumijoyo, S,, 1994. Geologi daera Pegunungan Selatan: Suatu_kontribusi. Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa. Jurusan Teknik Geologi FT-UGM, 19-28. MEDIA TEKNIK No.2 Tahun XXX Edisi Mei 2008 ISSN 0216-3012

You might also like