You are on page 1of 34

1

BAB 1
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.2

BAB 2
STATUS PASIEN

1. ANAMNESIS
A. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama
: An. S
Umur
: 5 tahun
Alamat
: Cikulak, waled
Pendidikan
: TK
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Tanggal pemeriksaan : tanggal 12 April 2016 jam 08.00 WIB
2) Identitas orang tua pasien
Nama ayah
: Tn. R
Umur
: 37 tahun
Alamat
: cikulak, waled
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: wiraswasta
Hubungan
: ayah kandung
Nama Ibu
: Ny. T
Umur
: 34 tahun
Alamat
: cikulak, waled
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: IRT
Hubungan
: Ibu kandung
B. Keluhan Utama
Demam
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar kedua2orang tuanya dengan keluhan demam
sejak 10 hari yang lalu. Pada minggu pertama, demam timbul perlahan,
demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi
tetapi sekarang demam terus menerus tinggi. Demam tidak disertai
menggigil. Keluhan ini disertai dengan nyeri perut, mual, muntah 1x berisi
makanan, batuk berdahak 5 hari lalu , lemas, pusing, keringat dingin dan
nafsu makan menurun. Keluhan ini tidak disertai dengan pilek, mimisan,
gusi berdarah. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pasien sempat dibawa ke dokter dan mendapat obat sirup penurun


panas yang di minum 3 kali sehari dengan dosis 1 cth dan obat sirup
batuk yang diminum 3 kali seharu dengan dosis cth . Demam dikatakan
turun dengan penggunaan obat penurun panas tersebut tetapi naik setelah
beberapa jam. Karena keluhan demam yang tidak juga turun serta batuk
berdahak dan nafsu makan berkurang, maka orang tua pasien membawa
pasien ke RSUD Waled.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pasien juga menyangkal pernah masuk rumah sakit sebelum ini. Riwayat
batuk lama dengan pengobatan selama 6 bulan disangkal. Riwayat alergi
makanan dan obat di sangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga dan lingkungan sekitar yang sakit dengan
keluhan yang sama di sangkal.
F. Riwayat tumbuh kembang
0 3 bulan
: bereaksi dan mengoceh spontan
3 6 bulan
: mulai memegang benda disekitarnya
6 9 bulan
: mulai dapat membalikan tubuh
9 12 bulan : mencoba bisa duduk
12 - 18 bulan : mecoba berdiri dan berjalan dengan bantuan
18 24 bulan : sudah mulai bisa berjalan sendiri
24 36 bulan : mulai berjalan lebih lama
G. Riwayat Imunisasi
Imunisasi
Hep. B
BCG
DPT-HB
Polio
Campak

Awal
Usia 1 hari
Usia 1 bulan
Usia 2 bulan
Usia 1 bulan
Usia 9 bulan

Ulangan
Usia 3 dan 4 bulan
Usia 2,3 dan 4 bulan

H. Riwayat kehamilan dan persalinan


Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilanya ke bidan sebanyak 4 kali dan
mendapat imunisasi TT 2 x dan tidak mengalami penyulit
I. Riwayat perinatal dan post natal
Pasien lahir normal di tolong bidan lahir cukup bulan (38 minggu), lahir
tanpa penyulit, langsung menangis dan BBL 3.300 gr.
2. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum
Kesadaran
Tanda - tanda vital

: tampak sakit sedang


: CM
: Tekanan darah
Nadi
Frekuensi Napas
Suhu

: 90/70 mmHg
: 96 x/menit, regular, isi kuat
: 24 x/menit
: 39,3 0C

Status antopometri
BB : 19 kg
TB : 108 cm
Status gizi
:
BB/U
: SD < 1 (Gizi baik)
TB/U
: SD < 0 (normal)
BB/TB : SD < 0 (normal)
BMI/U : SD < 2 (normal)
Kepala
: bentuk kepala normocephal, masa (-), edema (-),
deformitas (-)
: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), reflek

Mata

pupil direk (+/+) isokor


Telinga

: simetris, CAE tenang/tenang, MT intake, serumen -/-

Hidung

: deviasi -, PCH-, CN tenang/tenang, secret -/-

Mulut
Tenggorok

: bibir sianosis (-), perdarahan (-), tifoid tongue (+)


: orofaring, uvula tenang, T1-T1 tdk hiperemis

Leher

: pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thoraks
:
Anterior :
Inspeksi
Palpasi

: normotorak, simetris, retraksi (-), lesi (-)


: NT -, ekspansi pernapasan simetris

Perkusi

: sonor di semua lapang paru

Auskultasi

: Cor BJ1 dan BJ2 reguler, M (-), G (-)


Pulmo Vesikular Breath Sound disemua lapang
paru, ronkhi (-/-), whezing (-/-)

Abdomen

:
inspeksi

: datar, supel, lesi (-)

auskultasi

: BU(+) normal

perkusi

: timpani di semua regio

palpasi

: NT di regio epigastrium dan hipokondrium


sinistra , hepatosplenomegali (-), ginjal tidak teraba

Ekstremitas

Kulit

Superior

: akral hangat, CRT < 3 detik, Edema (-/-)

Inferior

: akral hangat, CRT < 3 detik, Edema (-/-)

: petekie (-), lesi (-)

3. RESUME
Pasien laki-laki usia 5 tahun diantar kedua orang tuanya dengan
keluhan demam sejak 10 hari yang lalu. Pada minggu pertama, demam
timbul perlahan, demam meningkat pada sore hingga malam hari dan
menurun saat pagi tetapi sekarang demam terus menerus tinggi. Keluhan
disertai dengan nyeri perut, mual, muntah 1x berisi makanan, batuk berdahak
1 minggu lalu , lemas, pusing, keringat dingin dan nafsu makan menurun.
Pasien sudah berobat ke dokter dan mendapat obat penurun panas dan obat
batuk yang di minum 3 kali sehari dan setelah diobati keluhan tidak membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu febris, konjungtiva anemis,
tifoid tongue, serta palpasi abdomen terdapat
epigastrium dan hipokondrium sinistra.
4. DIAGNOSIS BANDING
a. Demam Tifoid + anemia susp. Defisiensi besi
b. DHF + anemia susp. Defisiensi besi
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
1) Darah rutin
Hemoglobin 6,2 gr %
Hematokrit 19 %
Trombosit 119.000 mm3
Leukosit 2.400 mm3
MCV 76 mikro m3
MCH 25 pg
MCHC 32 g/dl
Eritrosit 2.400 mm
Eosinophil 0 %
Basophil 0%
Neutrofil batang 1 %

nyeri tekan

di regio

Neutrofil segmen 30 %
Limfosit 53 %
Monosit 16%
TIBC 36 umol/L
Kimia Klinik
Iron 5,3 umol/L
2) Widal Test

S. Typhi O : Positif 1/320


S. Typhi H : Positif 1/320
S. Paratyphi A-O : Negatif
S. Paratyphi A-H : Negatif
S. Paratyphi B-O : Negatif
S. Paratyphi B-H : Negatif
S. Paratyphi C-O : Negatif
S. Paratyphi C-H : Negatif

3) Imunoserologi

Anti Dengue IgM : Negatif


Anti Dengue IgG : Negatif

4) Morfologi Darah Tepi

Eritrosit
Normosit
Normokrom sebagian hipokrom anisopoikilositosis (elliptocyte, mikrosit)
Normoblast (+)
Lekosit
Jumlah kurang
Granular toxic (+)
Hipersegmentasi (+)
Limfosit atipik (+)
Trombosit
Jumlah kurang
Giant thrombocyte (+)
Kesan
Anemia sedang
Tanda adanya anemia defisiensi besi (+)

Tanda adanya infeksi intraseluler (+)


Leukopenia, trombositopenia
6. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid + anemia susp.defisiensi Besi
7. TERAPI
a. Non medikamentosa
- Bed rest
- Diet makanan lunak yang mudah dicerna
b. Medikamentosa
- IVFD RL 58 cc/jam = 1392 cc/hari
10 kg pertama 4 cc x 10 kg = 40 cc
10 kg kedua 2 cc x 9 kg = 18 cc
Total
58 cc
- Santagesik 3x200 mg IV bila suhu lebih dari 38 0c
- Ranitidin 2x20 mg IV
- Ondancentron 2x2 mg IV
- Ambroxol syr 3x 1/2 cth
Dosis 1,2-1,6 mg/kg bb/hari
1,2 mg x 19 kg = 22,8 mg/ hari
1 cth = 15 ml
Ambroxol syrup = 1 cth
- Cefotaxim 4x700 mg IV
Dosis 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis
19 kg X 150 mg = 2850 mg/ hari dibagi 4 = 700 mg
- Transfusi PRC 190 cc
- Inj. Furosemid 19 mg di akhir transfusi PRC
- Fe 1x1 tab
- Cek darah rutin ulang post transfusi
8. PROGNOSIS
- Quo ad vitam
: ad bonam
- Quo ad sanationam
: dubia
- Quo ad functionam
: ad bonam

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi
sistemik terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid
intestinal, dan kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram
negatif Salmonella typhi maupun Salmonella paratyphi.
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (Widoyo, 2008).
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam
tifoid adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang

terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh


patogen dan multifikasinya dalam sel-sel fagosit mononuklear pada hati, limpa,
kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum (Sudoyo, dkk. 2006).
B. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang
terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural

reservoir).

Manusia

10

yang

terinfeksi

Salmonella

typhi

dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage,
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian

dan mudah

besar

melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute
oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi

10

oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya
kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
C. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Bakteri
Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm
flagella,bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan
bagian terluar dinding sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A.
Ketiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membran Protein :
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar
b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan
cairan ke dlm membran sitoplasma
c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid
D. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus

mesenterica,

dan

organ-

organ

extra

intestinal

sistem

11

retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi


enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang
masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa
saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti
aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik)

dan menyebar ke seluruh organ

Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala
infeksi sistemik.

12

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan
organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis

13

seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,4

Bagan 2.1 Patogenesis Demam Tifoid


E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

14

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa


inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit


infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa,
perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai
berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41 o C) serta
dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter
2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,
dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas.

15

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu


pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Maas tunas rata-rata 10-20 hari.
Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang
terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan

16

keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal, bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan
rata-rata antara 1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,
hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status
nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan
demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada
minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat
sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih
jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1 oC tidak
diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan
sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga

17

leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam


peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang

18

berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika


pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran

tertinggi

yang

masih

menimbulkan

aglutinasi

menunjukkan titer antibodi dalam serum.


Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi

19

aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).


Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan

dini

dengan

antibiotik,

pemberian

kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika >
nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon
antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga

20

menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan


bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan

partikel

yang

berwarna

untuk

meningkatkan

sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen


O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat

dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. 9
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.6

Ada 4 interpretasi hasil :


Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

21

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid


Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode

22

Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga


menghilangkan

pengikatan

kompetitif

dan

memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.


Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa TyphidotM ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.
Beberapa

keuntungan

metode

ini

adalah

memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan


untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang
belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.6

23

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel
feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh
Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen
Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas

24

sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian


lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah

25

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang


direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,6
Kegagalan

dalam

isolasi/biakan

dapat

disebabkan

oleh

keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,


jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen

26

yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak


tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi
dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR
(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan
garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen
klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6
G. Panatalaksanaan
1. Medikamentosa
a) Simptomatik

27

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi


antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi


tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anakanak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri.

Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.


Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika


trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari

dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang


diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan
ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

28

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya
dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral
dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,

koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3


mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam
sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadangkadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.
2. Non medikamentosa
a. Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.
Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita

29

namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa


(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan
kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d. Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di
hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.7
H. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang
dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya adalah 5,7%.

30

I. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan
dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila
terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

31

d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur
7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga.
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi
segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam

tifoid

mengeluarkan

bakteri

Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah


sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit
demam

tifoid.

Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan

glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal


maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius

yang

abnormal,

seperti

schistosomiasis,

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

mungkin

32

BAB 4
SIMPULAN
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan
masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa
demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang
terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi
hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada
cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi
yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma
Otak Organik, biasanya anak sering mengigau waktu tidur. Dalam keadaan yang
berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang
dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,
atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat
dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,
dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.

33

DAFTAR PUSTAKA
35

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki,
Sri.
Demam
tifoid.
2008.
Diunduh

dari

http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_P
erlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe

Kota

Gorontalo.

2012.

Diunduh

dari

http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSV
ol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012.
8. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.
9. Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.
10. Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
11. Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
12. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

13. Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang.
Jakarta: Airlangga University Press.
14. Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
15. Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta:
FKUI.

34

16. Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR/ RSU dr.Soetomo Surabaya
17. Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi
bakteri.Blok TROPMED
18. Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji
tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov
2005: 31-37

You might also like