You are on page 1of 8

HIPERSENSITIVITAS TIPE III

MAKALAH IMUNOLOGI
HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Dosen pengampu : Sodikin S.kep Ners
Disusun oleh kelompok 4 :

5.

1.
2.
3.

Nungki septi N

( 108 109 031 )

Nur Hasim

( 108 109 032 )

Nur Utari Gani

( 108 109 033 )

4.

Restiana Nur Intan P

(108 109 034 )

Restu Dwi Iriani

(108 109 035 )

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH CILACAP
TAHUN 2011

PEMBAHASAN
HIPERSENSITIVITAS TIPE III
A. PENGERTIAN
Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan
normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B
dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu
keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :
1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.
Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh
respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang
diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan
menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks
imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granulagranula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
B. ETIOLOGI
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang
diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi,
dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang
mengendap adalah paru.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk
penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan
akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan
ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktorfaktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang
mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan
zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik
(termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein
polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau
histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang
ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina
vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
Aktivasi komplemen
Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik
dan enzim polikationik
Menimbulkan agregasi trombosit
Menimbulkan mikrotrombi
Melepas amin vasoaktif
Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya

Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci
yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan
edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya
peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk

2.

1.

2.

3.

4.

C.

reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan
reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang
disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada
dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang
terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang
bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan
menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks
imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase, dan bahan vasoaktif.
Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi
pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan
serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini
biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah
penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa,
ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan
konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan
reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi
disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
Demam reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan
ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung,
tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen
jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan
Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan
membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
Farmers lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete
termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah
pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete
termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.
MEKANISME HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini
ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigenantibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanyafagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan
sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara
terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks

antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan
sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks
imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen
dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan
kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus
clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit padaparu-paru pekerja lahan gandum (malt) dan
spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan
bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau
permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen.
Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks
imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah)
atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun
cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan
nefritis.

D. PENYAKIT PENYAKITNYA

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme
ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif
yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain
itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali
keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI


REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan
bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau
permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen.
Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks
imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah)
atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun
cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan
nefritis.
Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis
sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan
fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat
mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.
Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun,
yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan
reaksi inflamasi.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan
dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan
ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan
yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan
plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam
darah.
Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit
Lupus
eritematosus
sistemik

Spesifitas
antibodi
DNA,
nukleoprotein

Mekanisme

Inflamasi
diperantarai
komplemen
reseptor Fc
Poliarteritis nodosaAntigen
Inflamasi
permukaan virusdiperantarai
hepatitis B
komplemen
reseptor Fc
Glomreulonefirtis Antigen dindingInflamasi
post-streptokokus sel streptokokus diperantarai
komplemen
reseptor Fc

Manifestasi
klinopatologi
Nefritis,
vaskulitis,
danartritis
Vaskulitis
dan
Nefritis
dan

1.
2.
3.

1.
2.
3.

Glomerulonefritis adalah salah satu penyakit hipersensitivitas tipe III


Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus
(GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering
mengenai anak-anak.7
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri
atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis
merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang
mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain
menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
Penyebab Glomerulonefritis
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A
tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari
setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus
ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.. 3,7
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan
bahwa :
Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya
GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut,
tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira,
Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika dl
Parasit
: malaria dan toksoplasma
Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat
suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur membran plasma
sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam
glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik
leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim
lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap
lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya selsel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah
merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan
hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan
hiperseluler disertai invasi PMN.

Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di
membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran
basalis glomerulus.11
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator utama
pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam
mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus
membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini
tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop
elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik
paa mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula
pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponenkomponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.
Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi. 12,13
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah
berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian
mengendap di ginjal.7
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga
dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit.
Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel
endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama
terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali
dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka
respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus
berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru
yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun
dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks
tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung
menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do
bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus
membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat
lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik.
Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan
dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus. 1,2
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerulus dan
kemudian merusaknya.

2.

Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun
yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang
sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
http://filzahazny.wordpress.com/2008/11/01/hipersensitivitas-2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/07/20/mekanisme-reaksi-hipersensitivitas-menurutgell-dan-coombs/
http://yumizone.wordpress.com/2009/07/28/glomerulonefritis-akut-gna/

You might also like