You are on page 1of 67

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia
semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan
pemerintah otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitik beratkan
pada Pemerintah Daerah. Selain itu, maraknya globalisasi yang menuntut
daya saing di setiap negara juga menuntut daya saing di setiap Pemerintah
daerahnya. Daya saing Pemerintah Daerah ini diharapkan akan tercapai
melalui peningkatan kemandirian Pemerintah Daerah yang dapat diraih
melalui adanya otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan gamabaran
bahwa pemerintah daerah diberikan kepercayaan dan hak untuk pola
pengelolaan lembaga publik dalam bidang pengelolaan keuangan maupun
kinerja yang bercorak desentralisiasi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengelolaan daerah sepenuhnya berada ditangan pemerintah daerah.
Konsekuensi logis adanya otonomi daerah adalah tata kelola yang baik atau
yang sering kita sebut dengan good governance. Good Governance adalah
suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang pola sikap dan pola
tinda pelakunya dilandasi prinsip-prinsip dan karakteristik tertentu. Suatu
penyelenggaraan negara yang mengimplementasikan good governance berarti
penyelenggaraan negara tersebut mendasarkan diri pada prinsip-prinsip good
governance itu sendiri diantaranya partisipasi, pemerintahan berdasarkan
hukum, transparansi, responsivitas, orientasi konsensus, keadilan, efektivitas
dan efisiensi, akuntabilitas, visi strategis dan saling keterkaitan (Mardiasmo,
2004). Semakin otonom suatu organisasi/lembaga maka tuntutan untuk
memiliki tata kelola yang baik semakin tinggi.
Banyaknya pemerintahan daerah di Indonesia dengan otonomi yang
semakin besar, membuat pengawasan yang baik sangat dibutuhkan agar tidak

terjadi kecurangan (fraud). Kecurangan dalam organisasi baik di sektor


pemerintahan maupun di sektor swasta biasanya disebabkan oleh lemahnya
pengendalian intern. Berdasarkan KPMG Fraud Survey 2006 ditemukan
bahwa lemahnya pengendalian intern menjadi faktor utama penyebab
terjadinya kecurangan yaitu sebesar 33% dari total kasus kecurangan yang
terjadi. Faktor kedua adalah diabaikannya sistem pengendalian intern yang
telah ada sebesar 24%. Dari dua faktor tersebut terlihat bahwa keberadaan
dan pelaksanaan pengendalian intern sangat penting. Dalam penelitian Coe
dan Curtis (1991) menemukan dari total 127 kasus kelemahan pengendalian
intern di Carolina Utara AS sebagian besar (42%) terjadi di lembaga
pemerintah. Salah satu kecurangan dalam pemerintah adalah kasus korupsi
yang mencuat kepermukaan dan melibatkan pejabat tinggi di kementerian
tertentu menjadi sorotan banyak pihak. Anggota Komisi XI DPR Memed
Sosiawan mengatakan bahwa korupsi di lembaga negara terjadi akibat
lemahnya kontrol internal pemerintah atau mungkin terjadi pembiaran mulai
dari awal perencanaan kegiatan masing-masing kementerian/lembaga
(Sumber : Okezone.news, 5 Oktober 2011). Kasus kecurangan tersebut
mengindikasikan belum maksimalnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut penyelenggaraan pemerintahan
daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih terwujud,
maka

pengawasan

sebagai

instrumen

dalam

manajemen

organisasi

pemerintahan harus berjalan dan terlaksana secara optimal. Optimalisasi


pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selain mewujudkan
cita-cita otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga
mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Guna
mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam
penyelenggaraan pemerintahan, maka di setiap institusi pemerintah dibentuk
lembaga pengawasan internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan
fungsi pengawasan. Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah
lembaga yang dibentuk dan secara inheren merupakan bagian dari sistem

pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan fungsi dibidang pengawasan.


Dari keadaan yang dijelaskan diatas maka hal tersebut menuntut pemerintah
untuk mengelola daerah secara lebih efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini membuat masing-masing
instansi pemerintah tidak dapat lagi secara langsung mengawasi aktivitas
perusahaan sehingga harus mendelegasikan sebagian tugas, wewenang, dan
tanggung jawab yang dipikulnya kepada pihak lain, yaitu auditor internal.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh
Inspektorat. Pengawasan sebagai suatu proses merupakan rangkaian tidak
terputus, salah satu unsur manajemen pemerintah yang penting untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, efektif, efisien, terarah dan
terkoordinasi.
Keberhasilan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik juga
sangat ditentukan oleh keterlibatan dan sinergi tiga aktor utama yaitu aparatur
pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan, aparatur pemerintah merupakan salah satu aktor penting yang
memegang kendali proses berlangsungnya governance. Keterlibatan aparatur
pemerintah dalam mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
sangat ditentukan antara lain oleh pemahaman terhadap konsep tata
pemerintahan yang baik serta pengamalannya yang sangat terkait dengan
birokrasi dan manajemen birokrasi pemerintah. Idirwan dalam Halim dan
Damayanti, 2007:81, menyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah
pendayagunaan aparatur merupakan suatu tuntutan yang mampu mendukung
kelancaraan dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintah negara dan pembangunan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip
good governance.
Pola hubungan aparatur/birokrasi dengan kecenderungan sikap mereka
terhadap clients atau masyarakat dan kelompok dapat dibedakan dalam dua
kategori 2 yaitu: service orientation dan social control orientation.
Birokrasi dengan service orientation memberikan pelayanan dengan orang

orang yang berhubungan dengannya, dengan sikap pelayanan yang


profesional yang bertujuan menjamin kepuasan pihak yang dilayani.
Sedangkan birokrasi dengan social control orientation lebih menekankan
pada pengendalian atau pengawasan karena ia menjalankan suatu peraturan
guna memelihara ketertiban masyarakat. Aparatur merupakan suatu
komunitas individu-individu yang memiliki tugas dan fungsi yang
terlembagakan untuk melayani rakyat diartikan secara singkat sebagai
pemikir, perencana, pelaksana sekaligus pengawas jalannya kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat atas nama kepala
daerah (Sarundajang, 2002:164). Dalam konteks pemerintahan yang baik,
salah satu

kunci sukses terpenting dari adanya perubahan dalam proses

governance terletak pada individu-individu yang ada di dalam proses


governance itu sendiri. Individu-individu adalah mereka yang menciptakan
dan memelihara perubahan. Wilson dan Rosenfeld mengemukakan 4 (empat)
alasan resistensi individu terhadap perubahan yaitu: kepentingan pribadi,
rendahnya tingkat kepercayaan, perbedaan pandangan/penilaian, rendahnya
toleransi terhadap perubahan. (Sumarto, 2004:11) Aparatur yang baik adalah
yang mampu memberi kepada masyarakat apa yang mereka butuhkan, bahkan
sebelum masyarakat itu sendiri memintanya. Dalam keadaan seperti ini, hati
nurani aparatur pemerintahan adalah hati nurani dari masyarakat itu sendiri.
(Sarundajang, 2002: 164).
Dewasa

ini,

kepercayaan

masyarakat/publik

terhadap

kinerja

pemerintah atau birokrasi mengalami degradasi yang kian semakin parah oleh
akibat

dari

lemahnya

kinerja

aparat-aparat

pemerintahan/birokrasi.

Kepercayaan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika


pemerintah/birokrasi yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan
prima kepada publik menjadi didominasi dan ditentukan oleh rezim yang
berkuasa sehingga menyebabkan kebalikan daripada pelayanan publik
menjadi publiklah yang menjadi pelayan bagi birokrasi. Hal ini membuktikan
bahwa pelayanan publik yang selama ini dirasakan masyarakat belum bisa

memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain


itu banyak pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat tidak secara
efektif dan efisien, dimana pelayanan yang diberikan cenderung kurang
memuaskan dan berbelit-belit.
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dimana telah mengalami perubahan sebanyak dua
kali, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan Undang-Undang No.12
Tahun 2008, telah membawa perubahan besar terhadap bentuk sistem
pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi (terpusat)
menjadi desentralisasi otonomi daerah). Perubahan sistem ini memberikan
dampak besar dalam pelaksanaan administrasi dan manajemen sumber daya
manusia sektor publik. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas
bagi pelaksanaan tugas aparatur di daerah. Perubahan yang sangat mendasar
adalah kewenangan yang diberikan pemerintah kepada kepala daerah
(gubernur, bupati atau walikota) yang sangat besar berkenaan dengan
pengelolaan kepegawaian di daerah, mulai dari pengangkatan, promosi dalam
jabatan,

kenaikan

pangkat,

hingga

kepada

pemberhentian

pegawai.

Kewenangan yang besar tersebut diharapkan akan membantu kelancaran


keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, karena sumber daya manusia
aparatur di daerah merupakan ujung tombak dalam implementasi kebijakan
otonomi daerah.
Sesuai dengan pendapat Thoha dalam Torang (2013:50) yang
menyatakan bahwa manusia (man) adalah salah satu dimensi dalam
organisasi yang amat penting, merupakan salah satu faktor dan pendukung
organisasi. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa setelah lebih
dari satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak terjadi
penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah, diantaranya pengangkatan
tenaga honorer yang terkesan asal-asalan (tidak memiliki standar dan
kompetensi), pengangkatan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan promosi
jabatan yang banyak terimplikasi ada praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(KKN) dan pengangkatan jabatan yang tidak memiliki kualifikasi dan


kompetensi. Padahal seharusnya penempatan pegawai disesuaikan dengan
keahliannya sesuai prinsip the right man on the right job yang merupakan
kaidah dan prinsip yang berlaku secara universal. Apabila hal ini terus terjadi,
maka akan mengganggu kinerja sumber daya manusia aparatur secara umum,
mengganggu sistem karir dan akan menghambat aktivitas pelayanan publik
sehingga berimplikasi terhadap penurunan kepercayaan publik kepada
pemerintah daerah dan pada gilirannya akan berimbas kepada sulitnya atau
gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dalam mewujudkan good governance.
Padahal seharusnya good governance digunakan sebagai sebuah kerangka
institusional untuk memperkuat otonomi daerah karena secara subtantif
desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya masalah pembagian
kewenangan antara level pemerintahan, melainkan upaya membawa negara
lebih dekat terhadap masyarakat dan good governance

adalah basis

penyelenggaraan otonomi lokal.


Dalam rangka meningkatkan kinerja, maka banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan, di antaranya adalah kompetensi dan motivasi pegawai.
Enceng, Liestyodono dan Purwaning dyah (2008) menyatakan bahwa
kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia
dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan
sebaik-baiknya. Soto dalam Enceng, Liestyodono dan Purwaningdyah (2008)
menyatakan bahwa kompetensi tidak hanya mengandung keterampilan,
pengetahuan, dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari
keterampilan, pengetahuan, dan sikap mereka sesuai standar kinerja yang
ditetapkan. Kompetensi dapat memperdalam dan memperluas kemampuan
kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin
terampil dan semakin cepat pula dia menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman

kerjanya semakin kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan kinerjanya


(Simanjuntak, 2005:113).
Kompetensi seseorang menunjukkan jenis-jenis pekerjaan yang
pernah dilakukan seseorang dan memberikan peluang yang besar bagi
seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik.Semakin luas
pengalaman kerja seseorang, semakin trampil melakukan pekerjaan dan
semakin sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Abriyani, 2004).
Keberhasilan

penyelenggaraan

pemerintahan

utamanya

untuk

mewujudkan tata kepemerintahan yang baik dan terwujud jika sistem


pengawasannya dapat berfungsi dengan baik, efektif,dan efisien. Dengan
demikian sistem pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal
mempunyai peran yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu Dalam rangka mewujudkan good governance, maka diperlukan
manajemen penyelenggaraan pemerintah atau kinerja aparatur pemerintah
yang baik dan handal yakni manajemen yang kondusif, responsif dan adaptif.
Berkaitan dengan hal tersebut maka karakteristik good governance,
diharapkan dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas
manusia sebagai pelaku good governance. Salah satu cara untuk membentuk
sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan membangun sistem
manajemen kinerja guna meningkatkan produktivitas menuju kepemerintahan
yang baik (Sedarmayanti, 2012:251).
Jadi, dapat dijelaskan bahwa kinerja aparatur pemerintah daerah dan
peran auditor internal jika saling bersinergi dengan kompetensi dan
melaksanakan

peranannya

masing-masing

maka

akan

terciptanya

pemerintahan yang baik (good governance). Sebagaimana dari hasil


penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dien (2014) dengan judul The
Impact of Internal Audit Function Effectiveness on Quality of Financial
Reporting and its Implications on Good Government Governance Research

on Local Government Indonesia yang menguji Pengaruh peran auditor


internal terhadap tata kelola pemerintah yang baik. Hasilnya menunjukkan
bahwa adanya pengaruh signifikan peran auditor internal terhadap tata kelola
pemerintah yang baik Selain itu dalam penelitian yang telah dilakukan oleh
Leny & Novie (2014) menunjukkan hasil bahwa kompetensi aparatur
pemerintah daerah dan profesionalisme pengendalian internal pemerintah
daerah berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan tata kelola pemerintah
yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian melalui judul Pengaruh Peran Auditor Internal dan Kinerja
Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Pencapaian Good Government
Governance dengan Kompetensi sebagai Variabel Intervening
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan penelitian (research
question) yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data
(Sugiyono, 2014). Briggs and Coleman (2007) dalam Sugiyono (2014, h.88)
menyatakan bahwa:
Research questions are the vital first step in any research. They
guide you to toward the kind of information you need and the ways
you should collect the information. The also help you to analyze the
information you have collect.
Bentuk rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rumusan masalah asosiatif dengan bentuk hubungan kausal. Di
mana rumusan masalah asosiatif adalah suatu rumusan masalah penelitian
yang bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan kausal adalah hubungan yang
bersifat sebab akibat (Sugiyono, 2014). Berdasarkan latar belakang diatas,
dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana Peran Auditor Internal dan Kinerja Aparatur Pemerintah


Daerah Berpengaruh Signifikan Terhadap Pencapaian Good Government
Governace Melalui Kompetensi sebagai Variabel Intervening?
b. Apakah Peran Auditor Internal Berpengaruh Signifikan Terhadap
Pencapaian Good Government Governance Melalui Kompetensi Sebagai
Variabel Intervening?
c. Apakah Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Berpengaruh Signifikan
Terhadap

Pencapaian

Good

Government

Governance

Melalui

Kompetensi Sebagai Variabel Intervening?


d. Apakah Peran Auditor Internal Berpengaruh Signifikan Terhadap
Pencapaian Good Government Governance?
e. Apakah Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Berpengaruh Signifikan
Terhadap Pencapaian Good Government Governance?
f. Apakah Kompetensi Berpengaruh Signifikan Terhadap Pencapaian Good
Government Governance Pada Pengelola Keuangan Di SKPD Provinsi
Sulawesi Tengah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka
tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Secara deskriptif Peran Auditor
Internal dan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Berpengaruh Signifikan
Terhadap Pencapaian Good Government Governance Melalui Kompetensi
Sebagai Variabel Intervening.
b. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Peran Auditor Internal Berpengaruh
Signifikan Terhadap Pencapaian Good Government Governance Melalui
Kompetensi Sebagai Variabel Intervening.
c. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah
Berpengaruh

Signifikan

Terhadap

Pencapaian

Good

Government

Governance Melalui Kompetensi Sebagai Variabel Intervening.


d. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Peran Auditor Internal Berpengaruh
Signifikan Terhadap Pencapaian Good Government Governance.

e. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah


Berpengaruh

Signifikan

Terhadap

Pencapaian

Good

Government

Governance.
f. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Kompetensi Berpengaruh Signifikan
Terhadap Pencapaian Good Government Governance.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan utama sebagai
berikut:
a. Aspek Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikirian
pada disiplin ilmu akuntansi pemerintahan, khususnya dalam pemahaman
terhadap good government governance yang menjadi tujuan sektor
pemerintahan dilihat dari variabel Peran Auditor Internal, Kinerja
Aparatur Pemerintah Daerah dan Kompetensi.
b. Aspek Praktisi
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi auditor
internal dan aparatur pemerintah daerah sebagai bahan pertimbangan dan
acuan untuk menciptakan pemerintah yang mempunyai tata kelola yang
baik.

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Penelitian Terdahulu
Saat melakukan suatu penelitian salah satu faktor penting yang harus
dilakukan oleh peneliti adalah kajian atas penelitian-penelitian terdahulu,
dimana hasil penelitian tersebut relevan untuk dijadikan referensi dan
perbandingan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehingga peneliti
merujuk pada tiga penelitian terdahulu dalam melakukan penelitian ini.

10

Dien Noviany Rahmatika (2014), melakukan penelitian mengenai The


Impact of Internal Audit Function Effectiveness on Quality of Financial
Reporting and its Implications on Good Government Governance Research
on Local Government Indonesia, dari hasil analisis data dan pemabahasan,
dapat disimpulan bahwa (1) tidak ada perbedaan yang signifikan antara peran
auditor internal, kualitas laporan keuangan dan tata kelola pemerintah yang
baik, (2) Peran auditor internal berpengaruh signifikan terhadap kualitas
laporan keuanagan, (3) Peran auditor internal berpengaruh signifikan terhadap
tata kelola pemerintah yang baik.
Susanti dkk (2014), melakukan penelitian dengan judul Pengaruh
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah, Pengelolaan Keuangan Daerah, Dan
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Terhadap Penerapan Good
Governance, berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan bahwa dapat
ditarik kesimpulan bahwa (1) Kinerja aparatur pemerintah daerah tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerapan good governance, (2) pengelolaan
keuangan daerah dan sistem pengendalian intern pemerintah berpengaruh
signifikan terhadap penerapan good governance.
Leny Nofianti & Novie Susanti Suseno (2014), melakukan penelitian
dengan judul Factors affecting implementation of good government
governance

(GGG)

and

their

implications

towards

performance

accountability. Berdasarkan hasil penelitian dan rumusan hipotesis yang telah


dijelaskan pada penelitian ini maka dihasilkan bahwa kompetensi aparatur
pemerintah daerah dan profesionalisme pengendalian internal pemerintah
daerah berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan tata kelola pemerintah
yang baik dan penerapan tata kelola pemerintah yang baik secara signifikan
berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja pemerintah daerah.
Kadek dkk (2014) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh
Kompetensi Auditor Internal Dan Kualitas Jasa Audit Internal Terhadap
Efektivitas Pengendalian Intern Dan Perwujudan Good Corporate Governance
(GCG). Berdasarkan Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa (1)
kompetensi auditor internal mempunyai pengaruh positif terhadap efektivitas

11

pengendalian intern, (2) kualitas jasa auditor internal mempunyai pengaruh


positif terhadap efektivitas pengendalian intern, (3) kompetensi auditor internal
dan kualitas jasa auditor internal secara simultan berpengaruh terhadap
efektivitas pengendalian intern, (4) kompetensi auditor internal mempunyai
pengaruh positif terhadap perwujudan good corporate governance, (5) kualitas
jasa auditor internal mempunyai pengaruh positif terhadap perwujudan good
corporate governance, (6) kompetensi auditor internal dan kualitas jasa auditor
internal secara simultan berpengaruh terhadap perwujudan good corporate
governance.
Taufeni (2010) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Auditor
Internal, Auditor Eksternal, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam
Penegakkan Tata Kelola Pemerintah Daerah Yang Baik. Adapan hasil penelitian
ini mengemukakan bahwa Terdapat pengaruh auditor internal, auditor eksternal
dan DPRD secara serempak/bersama-sama terhadap tata kelola pemerintah
daerah yang baik pada kabupaten/kota di Provinsi Riau dan secara parsial ketiga
variabel penelitian ini yaitu auditor internal, auditor eksternal, dan DPRD
berpengaruh lemah terhadap tata kelola pemerintah daerah yang baik pada
kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Nunuy Nur Afiah & Dien Noviany Rahmatika (2014), melakukan
penelitian dengan judul Factors Influencing The Quality Of Financial Reporting
And Its Implications On Good Government Governance. Penelitian ini
menunjukkan hasil bahwa (1) Tidak ada pengaruh yang signifikan antara
kompetensi aparatur dan pengendalian internal, kualitas laporan keuangan
dan tata kelola pemerintah yang baik, (2) Kompetensi aparatur dan
pengendalian internal berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan
keuangan secara parsial dan simultan. Selain itu ditemukan bahwa kualitas
laporan keuangan memiliki implikasi terhadap tata kelola pemerintah yang
baik
Adapun perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian terdahulu
ialah beberapa hal, berikut ini dapat dilihat persamaan dan perbedaan yang

12

terdapat pada keenam penelitian terdahulu diatas, dengan penelitian dapat


dilihat dalam tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1
Matriks Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu
No.

Penelitian

Persamaan

The Impact of Internal Peran


Audit

Perbedaan
Internal a. Kinerja

Function Auditor

(X1)

Effectiveness on Quality sebagai

variabel

(X2)

sebagai

variabel

and its Implications on

independen.

Good

Government

b. Kompetensi

Governance Research on

sebagai

Local

Intervening

Government
Noviany

Pengaruh

yang

Baik

Aparatur

Pemerintah

Daerah,

Pengelolaan

Aparatur

Auditor

(X2)

Pemerintah

sebagai

variabel

Keuangan Daerah, Dan

Daerah

Sistem

Pengendalian

sebagai

Intern

Pemerintah

variabel

Terhadap

Penerapan

independen
b. Good

Good Governance
Susanti Widyawati, Baiq
Anggun Hilendri Lestari,

sebagai

variabel dependen
a. Peran
Internal

Kinerja a. Kinerja

Nurabiah (2014)

Kelola

Pemerintah

Rahmatika, 2014)

Factors

variabel

c. Tata

(Dien

Pemerintah Daerah

of Financial Reporting independen

Indonesia

Aparatur

(X1)

independen
b. Kompetensi
sebagai

variabel

Intervening

Governance
sebagai
variabel

dependen
affecting Tata
Kelola a. Kompetensi

implementation of good Pemerintah

yang

sebagai

variabel

13

No.

Penelitian

Persamaan

government
(GGG)

governance Baik
and

Perbedaan
sebagai

implications

their variabel dependen


towards

performance

Susanti Suseno, (2014)


Pengaruh
Kompetensi Tata

Auditor

Internal

Kualitas

Jasa

Kelola

Dan Pemerintah
Audit Baik

yang
sebagai

Intervening
b. Peran
Internal
dan

sebagai

independen

Sujana,
Surya

a. Kinerja Aparatur

Auditor

Internal

Dewan

sebagai

Daerah

(X2)

Perwakilan Rakyat Daerah

variabel

sebagai

variabel

Eksternal,

dan

dalam Penegakkan Tata


5

variabel

variabel

Darmawan, (2014)
Pengaruh
Auditor a. Auditor
Internal,

sebagai

Daerah

Kadek Indra Dwi Utama


Ari

a. Kompetensi

Pemerintah

Governance (GCG)

Nyoman

variabel

Kinerja Aparatur

Corporate

Edy

Aparatur

Auditor

Pengendalian

Intern Dan Perwujudan

Putra,

Kinerja

independen

Terhadap variabel dependen

Good

dan

sebagai

Leny Nofianti & Novie

Efektivitas

Auditor

Pemerintah Daerah

accountability

Internal

Intervening
b. Peran
Internal

Kelola Pemerintah Daerah


Yang Baik
Taufeni Taufik (2010)

(X1)

Pemerintah

independen
b. Tata
Kelola

independen
b. Kompetensi

Pemerintah

sebagai

yang

Intervening

Baik

variabel

sebagai
variabel
6

dependen
Factors Influencing The Variabel

a. Peran

Internal
14

No.

Penelitian
Quality

Persamaan
Of

Financial Kecenderungan ke

Reporting

And

Implications

On

Its curangan akuntansi


Good , Peran

Government Governance

Auditor

Internalal, ketaatan

Nunuy Nur Afiah & Dien aturan


Noviany

Perbedaan

akuntansi

Rahmatika dan kompensasi

(2014)

Auditor

dan

Kinerja Aparatur
Pemerintah
Daerah

sebagai

variabel
independen
b. Kompetensi
sebagai

variabel

Intervening
c. Tata
Kelola
Pemerintah yang
Baik

sebagai

variabel dependen
Sumber : Diolah oleh peneliti tahun 2016

2.2 Teori Agency


Teori Keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang
mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut
berakar dari sinergi

teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi dan teori

organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan bahwa organisasi sebagai suatu
hubungan kerja sama antara pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agent)
berdasarkan kontrak yang telah disepakati.
Teori keagenan juga bermaksud untuk memecahkan problem atau
konflik yang terjadi antara hubungan prinsipal dan agen. Konflik kepentingan
tersebut disebabkan oleh kedua pihak yang memiliki keinginan dan motivasi
yang bertentangan dan adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi yang
memicu munculnya kondisi yang disebut asismetri informasi.
Pimpinan tidak menanggung resiko atas kesalahan

dalam

pengambilan keputusan, dan resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh

15

pemegang

saham (prinsipal). Oleh karena itu, para manajer cenderung

melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk


kepentingan pribadinya, seperti melakukan tindakan kecurangan (fraud).
Terdapat tiga kondisi yang akan menyebabkan terjadinya kecurangan yaitu
korupsi, pelaporan keuangan (fraudulent financial statement) dan penyalah
gunaan aset (missapproproation assets), sebagaimana yang dijelaskan dalam
PSA 70 (SA 316).
Teori Keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi
tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yakni asumsi tentang sifat
manusia,

asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi

sifat

manusia menekankan pada manusia yang memiliki sifat mementingkan diri


sendiri

(self

interest),

memiliki

keterbatasan

rasionalitas

(bounded

rasionality) dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian


adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktifitas
dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi
adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.
2.3 Diamond Theory
Menurut Priantara (2013:43), penyebab terjadi sebuah fraud dalam
sebuah instansi dapat dijelaskan melalui konsep diamond theory. Konsep ini
menguraikan kondisi yang dimiliki pelaku fraud dalam melakukan tindakan
penyimpangannya, antara lain ialah :
1. Inisiatif / dorongan
2. Peluang / kesempatan
3. Rasionalitas / pembenaran
4. Kemampuan
Inisiatif/dorongan merupakan sebuah kondisi yang dimiliki pelaku
berhubungan dengan tekanan yang dialami seperti tekanan financial atau
tekanan dari atasan pada bawahan untuk melakukan penyimpangan yang
dapat merugikan pihak lain. Kondisi seperti ini juga dapat berupa dorongan
akibat keserakahan yang dimiliki pelaku untuk memiliki hak orang lain.

16

Kemudian, peluang atau kesempatan adalah salah satu factor pendukung yang
kedua terjadinya fraud. Kondisi ini terjadi dikarenakan kurangnya
pengontrolan serta tata kelola yang buruk pada entitas tersebut. Selain itu,
rasionalitas atau pembenaran merupakan elemen pendukung penyebab fraud.
Para pelaku meyakini bahwa tindakannya bukanlah sebuah fraud melainkan
hak yang dimilikinya dan terkadang pelaku merasa pada saat rekan kerjanya
melakukan hal yang sama, tidak ada sanksi atas perbuatan tersebut maka
pelaku tergoda untuk melakukan hal yang sama. Elemen terakhir penyebab
fraud yang dijelaskan dalam konsep ini adalah kemampuan. Kemampuan
merupakan sikap atau perilaku yang dimiliki seseorang untuk dapat
melakukan fraud.
Diamond Theory menggambarkan keempat elemen tersebut saling
terkait dan kemampuan (capability) memberikan kontribusi utama penyebab
terjadinya fraud. Pada teori ini, kemampuan yang dimiliki individu seperti
ilmu pengetahuan dan keterampilan dijadikan sebagai kondisi yang sangat
mempengaruhi terjadinya fraud dikarenakan apabila fraud dilakukan oleh
orang yang tepat maka tindakan tersebut akan sulit untuk dideteksi pihak lain.
2.4 Gone Theory
Menurut Priantara (2013:48) terdpat teori lain tentang penyebab fraud
dikenal dengan teori Gone yang di kembangkan oleh Bologna. Teori ini
menggambarkan empat faktor pendorong seseorang melakukan fraud , yaitu :
1. Greed (keserakahan)
2. Opportunity (kesempatan)
3. Need (Kebutuhan)
4. Exposure (pengungkapan)
Faktor greed dan need merupakan faktor yang berhubungan dengan
individu pelaku fraud. Keserakahan dan kebutuhan merupakan hal yang
bersifat sangat personal sehingga sulit sekali dapat dihilangkan. Sedangkan

17

faktor opportunity dan exposure merupakan faktor penghubung dengan


organisasi sebagai korban perbuatan fraud .
Priantara (2013:49) menambahkan bahwa aspek lain adalah motivasi
yang berhubungan dengan kebutuhan (need) yang mendorong pikiran dan
keperluan pegawai/pejabat yang memiliki akses dan otoritas terhadap aset
yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat seseorang bekerja. Dalam
hal orang tersebut merasa tekanan oleh kebutuhan maka seseorang itu dapat
terdorong untuk melakukan fraud. Selain itu tekanan (pressure) yang
dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan orang jujur mempunyai motif
untuk melakukan fraud. Apabila pelaku sesuai dengan sifat manusia dan
hukum ekonomi bahwa needs (kebutuhan) adalah tidak terbatas, apalagi
faktor genetik sangat lemah maka awalnya beralasan akan kebutuhan (needs)
namun akan menjadi keserakahan (greedy).
2.5 Peran Auditor Internal
2.5.1 Pengertian Audit Internal
Laporan Committee of Sponsoring Organizations (COSO) dalam
Boynton (2003:373) mendefinisikan pengendalian internal sebagai suatu
proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen dan personel
lainnya dalam suatu entitas yang dirancang untuk menyediakan keyakinan
yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam kategori:
keandalan laporan keuangan, kepatuhan terhadap hokum dan peraturan yang
berlaku dan efektifitas pengendalian operasi. Laporan COSO dalam Boynton
(2003:373) juga menekankan bahwa konsep fundamental dinyatakan dalam
definisi berikut:
1. Pengendalian internal merupakan suatu proses. Ini berarti alat untuk
mencapai suatu akhir, bukan akhir itu sendiri. Pengendalian internal
terdiri dari serangkaian tindakan yang meresap dan terintegrasi dengan,
tidak ditambahkan ke dalam infrastruktur suatu entitas.
2. Pengendalian internal dilakukan oleh orang. Pengendalian intern bukan
hanya suatu manual kebijakan dan formulirformulir, tetapi orang pada

18

berbagai tingkatan organisasi, termasuk dewan direksi, manajemen dan


personel lainnya.
3. Pengendalian internal dapat diharapkan untuk menyediakan hanya
keyakinan yang memadai, bukan keyakinan yang mutlak, kepada
manajemen dan dewan direksi suatu entitas karena keterbatasan yang
melekat dalam semua system pengendalian intern dan perlunya
mempertimbangkan biaya dan manfaat relatif dari pengendalian.
4. Pengendalian internal diarahkan pada pencapaian tujuan dalam keategori
yang saling tumpang tindih dari pelaporan keuangan, kepatuhan dan
operasi. Lebih lanjut lagi dalam pengertian audit internal menurut IIA
yang dikutip oleh Sawyer (2005 : 9) menyatakan bahwa audit internal
adalah sebagai berikut:
Audit internal adalah sebuah aktivitas konsultasi dan keyakinan
objektif yang dikelola secara independen di dalam organisasi dan
diarahkan oleh filosofi penambahan nilai untuk meningkatkan
operasional instansi pemerintah. Audit tersebut membantu organisasi
dalam mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan yang
sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan
efektifitas proses pengelolaan resiko, kecukupan kontrol dan
pengelolaan organisasi
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa audit internal adalah:
1. Suatu aktivitas pemeriksaan yang independent dan objektif.
2. Aktivitas pemberian jaminan kelayakan dan konsultasi.
3. Dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah serta meingkatkan
kegiatan operasional instansi pemerintah.
4. Membantu organisasi dalam mencapai usahanya.
Memberika suatu pendekatan disiplin dan sistematis untuk mengevaluasi
dan meningkatkan keefektifitan risiko manajemen, pengendalian dan
pengelolaan organisasi.
2.5.2 Auditor Internal Sektor Publik
Tidak jauh berbeda antara auditor internal sektor publik dengan sektor
swasta,

hanya

peraturan-peraturan

yang

mengikat

dan

lingkungan-

19

lingkungannya saja yang berbeda. Perbedaan yang menonjol adalah adanya


pengaruh politik yang dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan terkait
dengan pelaksanaan audit internal pemerintah. Yang terkadang pengaruh
politik tersebut dapat juga mempengaruhi hasil dari audit internal tersebut.
Tuntutan dilakukannya audit internal di sektor publik adalah dalam
rangka mewujudkan good governance yang merupakan elemen penting dalam
peningkatan kualitas pelayanan publik dan transparasi kepada masyarakat.
Meskipun dalam praktiknya terkadang masih jauh dari harapan.
2.5.3 Fungsi Dan Tujuan Audit Internal
Audit internal merupakan mata dan telinga bagi manajemen di suatu
organisasi untuk memastikan bahwa program-program kerja dalam rangka
pencapaian

tujuan

organisasi

tidak

dilakukan

secara

menyimpang

(Tampubolon, 2005). Terkait dengan fungsi tersebut audit internal diharapkan


mampu memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam rangka
peningkatan kinerja organisasi.
Audit internal bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada
organisasi, dalam rangka membantu semua anggota organisasi tersebut.
Bantuan yang diberikan sebagai tujuan akhir adalah agar semua anggota
organisasi dapat melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya
secara efektif atau lebih jauh lagi mencapai efektivitas optimal. Untuk hal
tersebut, auditor internal akan memberikan berbagai analisis, penilaian,
rekomendasi, petunjuk dan informasi sehubungan dengan kegiatan yang
diperiksa.
2.5.4 Ruang Lingkup Audit Internal
Ruang lingkup audit internal yaitu menilai keefektifan sistem
pengendalian

internal,

pengevaluasian

terhadap

kelengkapan

dan

keefektifan sistem pengendalian internal yang dimiliki organisasi, serta


kualitas pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan yang berguna untuk

20

pencapaian tujuan suatu organisasi.


2.5.5 Tahapan Audit Internal
Pelaksanaan kegiatan audit internal merupakan tahapan-tahapan
penting yang dilakukan oleh auditor internal dalam proses audit untuk
menentukan prioritas, arah dan pendekatan dalam proses audit internal.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan kegiatan audit internal, menurut
Tugiman (2006, h.53) adalah sebagai berikut:
1. Tahap perencanaan audit
Tahap perencanaan audit merupakan langkah yang paling awal dalam
pelaksanaan kegiatan audit internal, perencaan dibuat bertujuan untuk
menentukan objek yang akan diaudit/prioritas audit, arah dan
pendekatan audit, perencanaan alokasi sumber daya dan waktu, dan
merencanakan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan proses audit.
2. Tahap pengujian dan evaluasi informasi
Pada tahap ini audit internal diwajibkan untuk mengumpulkan,
menganalisa, menginterpretasikan dan membuktikan kebenaran dan
keandalan informasi untuk mendukung hasil audit.
3. Tahap penyampaian hasil audit
Laporan audit internal ditujukan untuk kepentingan manajemen yang
dirancang untuk memperkuat pengendalian audit internal, menentukan
ditaati atau tidaknya prosedur/kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan
oleh manajemen. Pada proses audit internal diwajibkan untuk
melaporkan

kepada

manajemen

apabila

terdapat

penyelewengan/penyimpangan yang terjadi di dalam suatu fungsi


organisasi dan memberikan saran/rekomendasi

untuk perbaikan

kedepannya.
4. Tahap tindak lanjut (follow up) hasil audit.
Tahap tindak lanjut (follow up) bertujuan untuk memastikan bahwa rekomendasirekomendasi atas temuan-temuan audit sudah dilakukan dengan baik, dan
memastikan apakah rekomendasi-rekomendasi tersebut memberikan hasil sesuai
yang diharapkan. Tahapan audit internal yang dilakukan oleh Inspektorat Provinsi
Jawa Tengah tidaklah jauh berbeda dengan tahapan-tahapan yang dikemukakan

21

oleh Tugiman (2006). Tahapan audit internal sesuai dengan SOP adalah sebagai
berikut:
1

perencanaan;

pelaksanaan;

pelaporan

2.6 Kinerja Aparatur Pemerintah


2.6.1 Pengertian Kinerja Aparatur
Keberhasilan/kegagalan suatu organisasi dapat diketahui dengan mencatat
dan mengukur seluruh aktivitas organisasi. Pengukuran ini tidak hanya dilakukan
pada input (masukan) program. Tetapi juga ada keluaran/manfaat dari program
tesebut (Bastian, 2001:329). Kriteria keberhasilan kinerja berupa tujuan-tujuan
atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target,
kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada
tolak ukurnya. Pengukuran ini tidak hanya dilakukan pada input (masukan)
program, tetapi juga ada keluaran (manfaat) dari program tersebut (Ruspina,
2013).
Kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai
dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Sementara itu
kinerja sebagai kata benda mengandung arti Thing done (suatu hasil yang telah
dikerjakan). Menurut Simamora (2002:423) kinerja merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris, performance atau job performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya
sering disingkat menjadi performance saja. Kinerja dalam Bahasa Indonesia
disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan
sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap,
keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Prestasi kerja
(performance) diartikan sebagai suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu
yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik
kuantitas maupun mutunya.

22

Pengertian di atas menyoroti kinerja berdasarkan hasil yang dicapai


seseorang setelah melakukan pekerjaan. Sejalan dengan Sedarmayanti dalam
bukunya yang berjudul Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja
mendefinisikan Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti
prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja atau penampilan
kerja. (Sedarmayanti, 2001:50). Sedangkan berdasarkan Pendapat Prawirosentono
Kinerja adalah :
Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masingmasing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
(Prawirosentono, 2008:2).
Sesuai dengan Pendapat diatas bahwa pengertian kinerja yaitu suatu hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai
tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tida melanggar hukum, dan sesuai
dengan moral dan etika. Aparatur adalah orang-orang yang menjalankan roda
pemerintahan. Aparatur memiliki peranan strategis dalam menyelenggarakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Peranan aparatur tersebut
sesuai dengan tuntutan zaman terutama untuk menjawab tantangan masa depan.
Aparatur yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi tantangan
masa depan.
Pengertian mengenai aparatur pemerintahan disebutkan oleh Dharma
Setyawan Salam dalam buku yang berjudul Manajemen Pemerintahan Indonesia
yang menjelaskan bahwa Aparat Pemerintah adalah pekerja yang digaji
pemerintah melaksanakan tugas-tugas teknis pemerintahan melakukan pelayanan
kepada masyarakat berdasarkan ketentuan yang berlaku (Setyawan, 2004:169).
Berdasarkan pengertian di atas, maka aparatur pemerintahan merupakan seseorang
yang digaji oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah secara

23

teknis dengan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat
Soerwono Handayaningrat yang mengatakan bahwa:
Aparatur

ialah

aspek-aspek

administrasi

yang

diperlukan

dalam

penyelenggaraan pemerintahan atau negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan


organisasi. Aspek-aspek administrasi itu terutama ialah kelembagaan atau
organisasi dan kepegawaian (Handayaningrat,1982:154).
Aparatur menurut definisi diatas dikatakan bahwa aparatur merupakan
organisasi kepegawaian dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan atau
negara dalam melayani masyarakat. Aspek-aspek administrasi merupakan
kelembagaan atau organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pendapat
tersebut mengemukakan bahwa aparatur merupakan aspek-aspek administrasi
yang diperlukaan oleh pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan atau
Negara. Sedangkan Sarwono mengemukakan lebih jauh tentang aparatur
pemerintahan bahwa yang dimaksud tentang aparatur pemerintahan ialah orangorang

yang

menduduki

jabatan

dalam

kelembagaan

pemerintahan

(Handayaningrat, 1982:154). A.W. Widjaja dalam bukunya Administraasi


Kepegawaian berpendapat bahwa:
Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun
rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu
menjadi salah satu modal pokok dalam usaha kerja sama untuk mencapai
tujuan tertentu (organisasi) (Widjaja, 2006:113)
Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa pegawai merupakan
modal pokok dalam suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintah maupun
organisasi swasta. Berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya
tergantung pada pegawai yang memimpin dalam melaksanakan tugas-tugas yang
ada dalam organisasi tersebut.
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas
dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi tersebut (Bastian,2001:329). Pegawai adalah orang yang melakukan
pekerjaan dengan mendapatkan imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari
24

pemerintah. Unsur manusia sebagai pegawai maka tujuan badan (wadah yang
telah ditentukan) kemungkinan besar akan tercapai sebagaimana yang diharapkan.
Pegawai inilah yang mengerjakan segala pekerjaan atau kegiatan-kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan.
Hasibuan (1999:126) menjelaskan kinerja mempunyai hubungan yang erat
dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan
bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu
organisasi. Sedangkan Handoko (1992:785) mendefinisikan penilaian kinerja atau
prestasi

kerja

(performance

appraisal)

adalah

proses

suatu

organisasi

mengevaluasi atau menilai prestasi aparatur. Kegiatan ini dapat mempengaruhi


keputusan- keputusan pimpinan dan memberikan umpan balik kepada para
aparatur tentang pelaksanaan kerja mereka. Pengertian lain menurut Maluyu S.P.
Hasibuan bahwa:
Kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu
(Hasibuan, 2001:34).
Pengertian kinerja menurut Hasibuan di atas bahwa untuk mencapai sebuah
kinerja, seorang aparatur harus memiliki kecakapan, pengalaman, kesungguhan
dan waktu agar dapat barjalan seperti yang diharapkan. Menurut Anwar Prabu
Mangkunagara : kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara,2006:67). Hasil kerja
yang dicapai oleh seorang aparatur, yang menjalankan tugas penuh tanggung
jawab, dapat mempermudah arah penataan organisasi pemerintahan. Akibatnya
akan tercapai peningkatan kinerja yang efektif dan efisien. Kinerja dalam sebuah
organisasi merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam
menjalankan tugas organisasi, baik itu dalam lembaga pemerintahan maupun
swasta. Kinerja berasal dari bahasa job performance atau actual perpormance

25

(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang atau suatu
institusi).
Kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi.
Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat,
tercapainya tujuan organisasi. Kinerja pegawai tidak dapat dilepaskan dari sumber
daya yang dimiliki oleh organisasi, sumber daya yang digerakan atau dijalankan
pegawai yang berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan
organisasi tersebut. Kinerja merupakan terjemahan dari kata performance (Job
Performance), secara etimologis performance berasal dari kata to perform yang
berarti menampilkan atau melaksanakan. Wibowo mengatakan bahwa:
Pengertian

performance

sering

diartikan

sebagai

kinerja,

hasil

kerja/prestasi kerja. Kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya


menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja
berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan tersebut. Kinerja
adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi
ekonomi ( Wibowo, 2007:7).
Berdasarkan pengertian di atas bahwa hasil yang dicapai oleh seorang
aparatur menurut ukuran profesionalisme dalam pekerjaannya diaplikasikan dalam
prilaku, kecerdasan dan kemampuan sesuai dengan peranan, kegiatan dan tugas
yang telah ditentukan.
2.6.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Aparatur
Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi pemerintahan
tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. kinerja tidak lepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja sebagaimana yang dikemukakan Menurut Baban Sobandi dan kawankawan Kinerja merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh organisasi dalam
kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome, benefit,
26

maupun impact. (Sobandi dkk, 2006:176). Hasil kerja yang dicapai oleh aparatur
suatu instansi dalam menjalankan tugasnya dalam kurun waktu tertentu, baik yang
terkait dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact dengan tanggung
jawab dapat mempermudah arah penataan organisasi pemerintahan. Adanya hasil
kerja yang dicapai oleh aparatur dengan penuh tanggung jawab akan tercapai
peningkatan kinerja yang efektif dan efisien. Organisasi pemerintahan
menggunakan alat untuk mengukur suatu kinerja birokrasi publik, indikator yang
digunakan menurut Baban Sobandi dan para ahli lainnya dalam bukunya yang
berjudul Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.

Keluaran (Output)
Hasil
Kaitan Usaha dengan Pencapaian
Informasi Penjelas (Sobandi dkk, 2006 : 179-181)
Menurut pendapat diatas bahwa kinerja adalah sesuatu terkait dengan

keluaran, hasil, keterkaitan pencapaian tujuan serta informasi penjelas dari setiap
program pemerintahan, setiap kinerja aparatur diperlukan juga hasil dari kerja
suatu tugas yang dibebankan oleh aparatur. Kinerja juga dipengaruhi oleh disiplin
dan

inisiatif

para

pesertanya,

disiplin,inisiatif,wewenang,tanggung

prilaku
jawab

yang

akan

berkaitan

mencerminkan

dengan
apakah

organisasi berjalan secara efisein dan efektif atau tidak. Efektivitas dan efisiensi
tersebut pada akhirnya akan menentukan performance (kinerja) organisasitersebut,
dengan perkata lain, secara umum efektivitas dan efisiensi merupakan instrumen
untuk mengukur kinerja.
2.7 Kompetensi
2.7.1 Pengertian Kompetensi
Kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam Palan (2007) adalah sebagai
karakteristik dasar yang dimiliki oleh seorang individu yang berhubungan secara
kausal dalam memenuhi kriteria yang diperlukan dalam menduduki suatu jabatan.

27

Kompetensi terdiri dari 5 tipe karakteristik, yaitu motif (kemauan konsisten


sekaligus menjadi sebab dari tindakan), faktor bawaan (karakter dan respon yang
konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan (informasi dalam bidang
tertentu) dan keterampilan (kemampuan untuk melaksanakan tugas).
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and Ulrich dalam Suparno
(2005:24) bahwa competency refers to an individuals knowledge, skill, ability or
personality characteristics that directly influence job performance. Artinya,
kompetensi mengandung aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan (keahlian) dan
kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang mempengaruhi kinerja.
Berbeda dengan Fogg (2004:90) yang membagi Kompetensi kompetensi
menjadi 2 (dua) kategori yaitu kompetensi dasar dan yang membedakan
kompetensi dasar (Threshold) dan kompetensi pembeda (differentiating) menurut
kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan. Kompetensi
dasar (Threshold competencies) adalah karakteristik utama, yang biasanya berupa
pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca, sedangkan
kompetensi differentiating adalah kompetensi yang membuat seseorang berbeda
dari yang lain.
Kompetensi berasal dari kata competency merupakan kata benda yang
menurut Powell (1997:142) diartikan sebagai 1) kecakapan, kemampuan,
kompetensi 2) wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent yang
berarti cakap, mampu, dan tangkas.Pengertian kompetensi ini pada prinsipnya
sama dengan pengertian kompetensi menurut Stephen Robbin (2007:38) bahwa
kompetensi adalah kemampuan (ability) atau kapasitas seseorang untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, dimana kemampuan ini
ditentukan oleh 2 (dua) faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Pengertian

kompetensi

sebagai

kecakapan

atau

kemampuan

juga

dikemukakan oleh Robert A. Roe (2001:73) sebagai berikut;:Competence is


defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence
integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on
knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by
doing Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan

28

satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan,


ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan
untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada
pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.
Secara lebih rinci, Spencer dan Spencer dalam Palan (2007:84)
mengemukakan bahwa kompetensi menunjukkan karakteristik yang mendasari
perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri,
nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja
unggul (superior performer) di tempat kerja. Ada 5 (lima) karakteristik yang
membentuk kompetensi yakni 1). Faktor pengetahuan meliputi masalah teknis,
administratif, proses kemanusiaan, dan sistem. 2). Keterampilan; merujuk pada
kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. 3). Konsep diri dan nilainilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, seperti kepercayaan
seseorang bahwa dia bisa berhasil dalam suatu situasi. 4). Karakteristik pribadi;
merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau
informasi, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah
tekanan. 5). Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau dorongandorongan lain yang memicu tindakan.
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa kompetensi adalah
karakteristik seseorang yang berkaitan dengan kinerja efektif dan atau unggul
dalam situasi pekerjaan tertentu. Kompetensi dikatakan sebagai karakteristik dasar
(underlying characteristic) karena karakteristik individu merupakan bagian yang
mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang yang dapat dipergunakan
untuk memprediksi berbagai situasi pekerjaan tertentu. Kemudian dikatakan
berkaitan antara perilaku dan kinerja karena kompetensi menyebabkan atau dapat
memprediksi perilaku dan kinerja.

2.7.2 Karakteristik Kompetensi


Menurut Spencer and Spencer dalam Prihadi (2004:38-39) terdapat 5 (lima)
karakteristik kompetensi, yaitu :

29

1.

Motif (motive) adalah hal-hal yang seseorang pikir atau inginkan secara konsisten

2.

yang menimbulkan tindakan.


Sifat (traits) adalah karakteristik fisik dan respons-respons konsisten terhadap

3.
4.

situasi atau informasi.


Konsep diri (Self Concept) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Pengetahuan (Knowledge), adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang

5.

tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang kompleks.


Ketrampilan (Skill). adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu
baik secara fisik maupun mental.
Kompetensi dapat dihubungkan dengan kinerja dalam sebuah model alir
sebab akibat yang menunjukkan bahwa tujuan, perangai, konsep diri, dan
kompetensi pengetahuan yang kemudian memprakirakan kinerja kompetensi
mencakup niat, tindakan dan hasil akhir. Misalnya, motivasi untuk berprestasi,
keinginan kuat untuk berbuat lebih baik dari pada ukuran baku yang berlaku dan
untuk mencapai hasil yang maksimal, menunjukkan kemungkinan adanya
perilaku kewiraswastaan, penentuan tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir
dan pengambilan resiko yang diperhitungkan.
Intent

Action

Outcome

Personal Characteristics

Behavior

Job Performance

(Karakteristik personal)

Skill

- Profitability

- Motive Trait (sifat)

(Ketrampilan)

- Productivity

- Self-Concept

- Quality

- Knowledge
Sumber : Spencer &Spencer dalam Palan, 2007
Gambar 1. Alur Hubungan Kompetensi dan Kinerja
Lebih lanjut menurut Spencer and Spencer dalam Surya Dharma
(2003:41),

karakteristik

pribadi

yang

mencakup

perangai,

konsep

dan

pengetahuan memprediksi tindakan-tindakan perilaku keterampilan, yang pada


gilirannya akan memprediksi prestasi kerja. Selanjutnya jika kita lihat arah pada
gambar tersebut bahwa bagi organisasi yang tidak memilih, mengembangkan dan

30

menciptakan motivasi kompetensi untuk karyawannya, jangan harap terjadi


perbaikan dan produktivitas, profitabilitas dan kualitas terhadap suatu produk dan
jasa.
Dari gambar hubungan kompetensi di atas terlihat bahwa pengetahuan
merupakan input utama karakteristik personal (kompetensi) yang perlu
dikembangkan untuk meningkatkan kinerja. Hal ini sesuai dengan pengertian
pengetahuan itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Carrillo, P., Robinson,
(2004:46) bahwa:
1. Tacit Knowledge.
Pada dasarnya tacit knowledge bersifat personal, dikembangkan melalui
pengalaman

yang

sulit

untuk

diformulasikan

dan

dikomunikasikan

Berdasarkan pengertiannya, maka tacit knowledge dikategorikan sebagai


personal knowledge atau dengan kata lain pengetahuan yang diperoleh dari
individu (perorangan).
2. Explicit knowledge
Explicit knowledge bersifat formal dan sistematis yang mudah untuk
dikomunikasikan dan dibagi. Penerapan explicit knowledge ini lebih mudah
karena pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk tulisan atau pernyataan yang
didokumentasikan, sehingga setiap karyawan dapat mempelajarinya secara
independent.
Explicit knowledge adalah prosedur kerja (job procedure) dan teknologi.
Job procedure adalah tanggung jawab atau tugas yang bersifat formal atau
perintah resmi atau cara melakukan hal-hal tertentu, dimana salah satu bentuk
konkrit dari explicit knowledge adalah Standard Operation Procedure. Standard
Operation

Procedure

atau

prosedur

pelaksanaan

dasar

dibuat

untuk

mempertahankan kualitas dan hasil kerja, dimana tugas-tugas akan semakin


mudah dikerjakan dan tamu akan terbiasa dengan sistem pelayanan yang ada yang
terdapat

pada

knowledge

management,

dikenal

sebagai

media

yang

mempermudah penyebaran explicit knowledge. Salah satu teknologi paling


mutakhir yang saat ini digunakan oleh banyak perusahaan untuk proses

31

penyebaran knowledge adalah intranet, dimana hal ini didasarkan pada kebutuhan
untuk mengakses knowledge dan melakukan kolaborasi, komunikasi serta sharing
knowledge secara on line.
Pada dasarnya kinerja dari seseorang merupakan hal yang bersifat individu
karena masing-masing dari karyawan memiliki tingkat kemampuan yang berbeda.
Kinerja seseorang tergantung pada kombinasi dari kemampuan, usaha, dan
kesempatan yang diperoleh Carrillo, P., Robinson, (2004:47).
2.7.3 Jenis Kompetensi
Charles E. Jhonson dalam Wina Sanjaya (2005:34) membagi kompetensi
kedalam 3 bagian yakni:
1. Kompetensi

pribadi,

yakni

kompetensi

yang

berhubungan

pengembangan kepribadian (personal competency)


2. Kompetensi professional, yakni kompetensi atau

kemampuan

dengan
yang

berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas tertentu.


3. Kompetensi sosial, yakni kompetensi yang berhubungan dengan kepentingan
sosial.
Sedangkan pada Kunandar (2007:41), kompetensi dapat dibagi 5 (lima)
bagian yakni:
1. Kompetensi intelektual, yaitu berbagai perangkat pengetahuan yang ada pada
diri individu yang diperlukan untuk menunjang kinerja.
2. Kompetensi fisik, yakni perangkat kemampuan fisik yang diperlukan untuk
pelaksanaan tugas.
3. Kompetensi pribadi, yakni perangkat perilaku yang berkaitan dengan
kemampuan individu dalam mewujudkan diri, transformasi diri, identitas diri
dan pemahaman diri.
4. Kompetensi sosial, yakni perangkat perilaku tertentu yang merupakan dasar
dari pemahaman diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan
sosial.
5. Kompetensi spiritual, yakni pemahaman, penghayatan serta pengamalan
kaidah-kaidah keagamaan.

32

Proses perolehan kompetensi (competency acquisition process) menurut


Surya Dharma (2002:38) telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat
kompetensi yang meliputi :
1. Pengakuan (Recognition). suatu simulasi atau studi kasus yang memberikan
kesempatan peserta untuk mengenali satu atau lebih kompetensi yang dapat
memprediksi individu berkinerja tinggi di dalam pekerjaannya sehingga
seseorang dapat berjalan dari pengalaman simulasi tersebut.
2. Pemahaman (Understanding). instruksi kasus termasuk modeling perilaku
tentang apa itu kompetensi dan bagaimana penerapan kompetensi tersebut.
3. Pengkajian (Assessment). umpan balik kepada peserta tentang berapa banyak
kompetensi yang dimiliki peserta (membandingkan skor peserta). Cara ini
dapat memotivasi peserta mempelajari kompetensi sehingga mereka sadar
adanya hubungan antara kinerja yang aktual dan kinerja yang ideal.
4. Umpan balik (Feedback). suatu latihan dimana peserta dapat mempraktekkan
kompetensi dan memperoleh umpan balik bagaimana peserta dapat
melaksanakan pekerjaan tertentu dibanding dengan seseorang yang berkinerja
tinggi.
5. Permohonan kerja (Job Application) agar dapat menggunakan kompetensi
didalam kehidupan nyata.
2.7.4 Manfaat Kompetensi
Kompetensi pegawai sangat diperlukan setiap organisasi terutama
untuk meningkatkan kinerja. Menurut Prihadi (2004:57) manfaat kompetensi
adalah:
1. Prediktor kesuksesan kerja. Model kompetensi yang akurat akan dapat
menentukan dengan tepat pengetahuan serta ketrampilan apa saja yang
dibutuhkan untuk berhasil dalam suatu pekerjaan. Apabila seseorang
pemegang posisi mampu memiliki kompetensi yang dipersyaratkan pada
posisinya maka ia dapat diprediksikan akan sukses.
2. Merekrut karyawan yang andal. Apabila telah berhasil ditentukan kompetensikopentensi apa saja yang diperlukan suatu posisi tertentu, maka dengan
mudah dapat dijadikan kriteria dasar dalam rekrutmen karyawan baru.

33

3. Dasar penilaian dan pengembangan karyawan.Indentifikasi kompetensi


pekerjaan yang akurat juga dapat dipakai sebagai tolak ukur kemampuan
seseorang. Dengan demikian, berdasarkan sistem kompetensi ini dapat
diketahui apakah seseorang telah bagaimana mengembangkannya, dengan
pelatihan dan pembinaan atau perlu dimutasikan kebagian lain.
Dengan merujuk pada konsep-konsep dasar tentang kompetensi seperti
yang telah diungkapkan Spencer and Spencer (2003:87) atau mengacu pada The
Competency Handbook, volume 1 & 2 (Boston: Linkage, 2001:134), ada beberapa
pedoman dasar untuk mengembangkan sistem kompetensi:
1. Identifikasi pekerjaan atau posisi-posisi kunci yang akan dibuat kompetensi
modelnya.
2. Lakukan analisis lebih jauh mengenai proses kerja penting (misal cara kerja,
waktu kerja, hubungan kerja, tanggung jawab) pada posisi-posisi kunci
tersebut.
3. Lakukan survei mengenai kompetensi apa saja yang dibutuhkan (required
competencies) dengan bercermin pada masukan.
4. Dari semua masukan yang ada, buatlah daftar tentang jenis-jenis kompetensi
apa saja yang diperlukan pada posisi tertentu.
5. Uraian makna dari setiap jenis kompetensi yang telah dituliskan (hal ini untuk
menyamakan persepsi mengenai suatu jenis kompetensi). Misalnya jika
dilakukan kompetensi analisis data, sampai sejauh mana analisis data yang
dimaksud.
6. Tentukan skala tingkat penguasaan kompetensi yang ingin dibuat misalkan
skala 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (baik), 5 (sangat baik) atau
memakai skala B (Basic), I (Intermediate), A (Advance) atau E (Expert).
7. Buatlah penjelasan dari suatu jenis kompetensi dalam skala yang telah dibuat.
Misalnya: Kompetensi komunikasi tertulis. Untuk kompetensi dasarnya:
maupun menulis memo dan surat; tingkat dasar (intermediate): mampu menulis
laporan dengan analisis minimal; tingkat lanjutan (advance), menulis laporan
disertai analisis mendalam dalam bentuk grafik dan gambar; tingkat ahli
(expert): menuliskan laporan yang berisi pendapat, analisis dengan dukungan
dan fakta dengan konsep dan variabel yang rumit.

34

Pentingnya kompetensi dalam mendorong suatu organisasi mencapai


posisi kompetitif juga ditekankan oleh Glick (2004:62) bahwa suatu organisasi
perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk
pengembangan dan kerjasama. Menurutnya kompetensi seseorang dapat
ditunjukkan dalam bentuk kemampuan individu untuk menerapkan pengetahuan
ke dalam bentuk tindakan
Dalam penerapan kompetensi ini, tentunya tiap organisasi memiliki
perspektif berbeda berdasarkan nilai strategisnya bagi organisasi bersangkutan.
Olson dan Bolton (2002:49) mengilustrasikan cakupan konsep kompetensi dalam
literatur organisasi bahwa kompetensi merujuk pada individu maupun organisasi.
Karakteristik

individu

mencakup

pengetahuan

teknis

dan

keterampilan

(knowledge technical and skills) kinerja, serta kompetensi penyumbang individu.


Menurut Mathis and Jackson (2002:99), kompetensi ketrampilan dan
pengetahuan cenderung lebih nyata (visible) dan relatif berada di permukaan
(ujung) sebagai karakteristik yang dimiliki manusia. Kompetensi pengetahuan
dan

keahlian relatif mudah untuk dikembangkan, misalnya dengan program

pelatihan untuk meningkatkan tingkat kemampuan sumber daya manusia.


Notoadmojo

(2003:14)

mengutarakan

bahwa

semakin

tinggi

keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, semakin efisien badan, tenaga, dan
pemikirannya dalam
penelitiannya

melaksanakan

pekerjaan.

Sirait

(2006:27)

dalam

juga menyatakan bahwa pendidikan dan latihan memberikan

pegawai keterampilan yang mereka butuhkan dan dengan adanya keterampilan


dapat meningkatkan rasa percaya diri staf dalam melaksanakan pekerjaannya.

35

2.8 GoodGovernanceGovernment
2.8.1

PengertianGoodGovernanceGovernment
Ada banyak pendapat mengenai governance, diantaranya menurut
WorldBank(Mardiasmo,2009)adalah:
Thewaystatepowerisusedinmanagingeconomicandsocialresource

fordevelopmentofsociety.
SementaraituUnitedNationsDevelopmentProgram(UNDP)
mendefinisikan governancesebagai:
Theexerciseofpoliticaleconomic,andadministrativeauthorityto
managenationsaffairatalllevelsofsociety.
Artinya:
Pelaksanaankewenanganpolitik,ekonomidanadministrasidalam
mengelolamasalahbangsa.
KarenaitumenurutUNDP,adatigamodeltatakepemerintahanyang
baikyaitu:
1)

Kepemerintahan Politik (Political Governance) yang mengacu pada


prosesproses pembuatan berbagai keputusan untuk merumuskan kebijakan
(policy/strategyformulation).

2)

KepemerintahanEkonomi (EconomicGovernance) yangmengacupada


proses pembuatan keputusan (decision making process) yang memfasilitasi
kegiatanekonomididalamnegeridaninteraksidiantarapenyelenggaraekonomi.
Kepemerintahanekonomiinimemilikiimplikasiterhadapmasalahpemerataan,
penurunankemiskinan,danpeningkatankualitashidup.

36

3)

Kepemerintahan Administratif (Administrative Governance) yang


mengacupadasistemimplementasikebijakan.
MenurutGanieRochman(2000:142)menyatakanbahwa:
GoodGovernanceadalahmekanismepengelolaansumberdaya
ekonomidansosialyangmelibatkanpengaruhsektorNegaradan
sektornonNegaradalamsuatuusahakolektif.
MenurutJanKooiman(2003):
Governance atau kepemerintahan merupakan serangkaian proses
interaksisosialpolitikantarapemerintahdenganmasyarakatdalam
berbagaibidangyangberkaitandengankepentinganmasyarakatdan
intervensipemerintahanataskepentingankepentingantersebut.
Jika mengacu pada program World Bank dan UNDP, orientasi
pembangunan sektor publik adalah menciptakan good governance
government. World Bank mendefinisikan good governance government
sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggungjawabyangsejalandenganprinsipdemokrasidanpasarefisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaanlegaldankerangkapolitik(politicalframework)bagitumbuhnya
aktivitasusaha.
SebagaimanaditegaskanolehLembagaAdministrasiNegara(LAN)
(2003:1) bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan
Negaradalammelaksanakanpenyediaanlayananpublikyangbaik (public
good and service). Praktek yang terbaiknya disebut good governance
(kepemerintahanyang baik).
2.8.2

TujuanGoodGovernanceGovernment

37

Tujuandaripenerapangoodgovernancegovernmentadalahuntuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembentukan Negara
(pemerintah)yangkuat,pasaryangkompetitif,danmasyarakatsipil (civil
society)yangmandiri.Untukmewujudkanitu,makadalamimplementasitata
kepemerintahan yang baik diharapkan para pelaku atau pilarpilarnya
membangun kolaborasi, networking, dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraanNegara.Implementasi goodgovernancegovernmentdalam
penyelenggaraan Negara bukan perkara mudah. Kendalakendala siap
menghadapipelaksanaantatakepemerintahanyangbaik,kendalakendalaitu
bersumberpadapelakupelakunyasendiridansistemyangmenelikungnya.Di
sektorpemerintahan,sistempolitik,etikapolitikdanpemerintahankurang
mendukung.Disektorswasta,etikabisniskurangditegaskandanpersaingan
tidak terusmenerus mengalami ketidakberdayaan sehingga tidak dapat
menjalankanfungsikontrolnya(Mardiasmo:2009).
2.8.3

PrinsipprinsipGoodGovernanceGovernment
Kunci utama memahami good governance government adalah
pemahamanatasprinsipprinsipdidalamnya.Bertolakdariprinsipprinsipini
akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baikburuknya
pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan semua unsur
prinsipprinsipgoodgovernancegovernment.
MenurutLembagaAdministrasiNegara(2003:7)terdapatprinsip
prinsipgoodgovernancegovernment,sebagaiberikut:

1)

Participation
Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan yang baik secara
langsungmaupuntidaklangsungmelaluilembagaperwakilanyangdapat

38

menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar


kebebasanberasosiasidanberbicarasertaberpartisipasisecarakonstruktif.
2)

Ruleoflaw
Kerangkahukumyangadildandilaksanakantanpapandangbulu

3)

Transparency
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi.
informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapatdiperolehbagimerekayangmembutuhkan.

4)

Responsiveness
Lembagalembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani
stakeholders.

5)

ConsensusOrientation
Berorientasipadakepentinganmasyarakatyanglebihluas

6)

Equity
Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraandankeadilan.

7)

Efficiencyandeffectiveness
Pengelolaansumberdayapublikdilakukansecaraberdayaguna(efektif).

8)

Accountability
Pertanggungjawabankepadapublikatassetiapaktifitasyangdilakukan.

9)

StrategicVision
Penyelenggaraanpemerintahdanmasyarakatharusmemilikivisijauh.

39

Pendapatyanglain,GanieRochman(2000:145)menyatakanbahwa
good governance terdapat 4 prinsip utama yang dapat diperankan oleh
akuntansisektor publik yaitu penciptaan (1)transparansi,(2)akuntabilitas
publik, (3) value for money dan (4) efektifitas manajemen sumber daya
manusia.
2.9 Kerangka Pemikiran
Good governance yang diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang
baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil
society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin
kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim
pemerintahan yang baik di negeri ini. Di pemerintahan (public governance),
tema ini begitu menyentuh. Banyak pihak yang menunjuk hidung bahwa
masalah

mendasar

bangsa

ini

akan

terselesaikan

kalau

birokrasi

pemerintahannya sudah kembali ke jalan yang baik. Karenanya bagi aparatur


pemerintah, good governance adalah kewajiban yang harus diwujudkan.
Peran auditor internal yang independen sangat penting dalam
penerapan good governance utamanya pada sektor pemerintahan. Menurut
Standar Profesi Audit Internal (2004), fungsi audit internal harus menilai dan
memberikan

rekomendasi

yang

sesuai

untuk

meningkatkan

proses

governance dalam mencapai tujuan mengembangkan etika dan nilai-nilai


yang memadai di dalam organisasi, memastikan pengelolaan kinerja
organisasi yang efektif dan akuntabilitas, secara efektif mengkomunikasikan
risiko dan pengendalian kepada unit-unit yang tepat di dalam organisasi, dan
secara efektif mengkoordinasikan kegiatan dan informasi diantara pimpinan,
dewan pengawas, auditor internal dan eksternal serta manajemen.
Selain itu dalam rangka mewujudkan good governance, maka
diperlukan manajemen penyelenggaraan pemerintah atau kinerja aparatur

40

pemerintah yang baik dan handal yakni manajemen yang kondusif, responsif
dan adaptif. Berkaitan dengan hal tersebut maka karakteristik good
governance,

diharapkan

dapat

diwujudkan

dengan

cara

melakukan

pembangunan kualitas manusia sebagai pelaku good governance. Salah satu


cara untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan
membangun sistem manajemen kinerja guna meningkatkan produktivitas
menuju kepemerintahan yang baik (Sedarmayanti, 2012:251).
Kinerja

merupakan

gambaran

mengenai

tingkat

pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan


sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan
skema strategi (Bastian, 2001:329). Kinerja aparatur pemerintah daerah
merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran/tujuan sebagai
penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah daerah yang
mengindikasikan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi aparatur pemerintah (Gusmal dalam
Ruspina, 2013).
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mewujudkan tata
kelola pemerintah yang baik seorang auditor internal dan aparatur pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki kompetensi dimasing-masing
bidangnya. Kompetensi berpengaruh terhadap kinerja. Seorang pegawai yang
memiliki kompetensi yang tinggi seperti pengetahuan, ketrampilan,
kemampuan, dan sikap yang sesuai dengan jabatan yang diembannya selalu
terdorong untuk bekerja secara efektif, efesien dan produktif. Hal ini terjadi
karena dengan kompetensi yang dimiliki pegawai bersangkutan semakin
mampu untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Gambar 2.1
Paradigma Konseptual Untuk Hubungan Tidak Langsung

41

Gambar 2.2
Paradigma Konseptual Hubungan Secara Langsung

Keterangan :
SPIP : Indikator SPIP
KO : Faktor Personak

42

: Indikator Fraud

KK : Indikator Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah


SAP : Indikator Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintahan
H1 : Hipotesis 1
H2 : Hipotesis 2
H3 : Hipotesis 3
H4 : Hipotesis 4
H5 : Hipotesis 5
H6 : Hipotesis 6
H7 : Hipotesis 7

2.10 Hipotesis Penelitian


2.10.1 Hubungan Peran Auditor Internal

dan

Pencapaian

Good

Government Governance melalui Kompetensi


Menurut pedoman standar sistem Pengendalian intern dalam PP 60
Tahun 2008, sistem pengendalian intern yang efektif merupakan komponen
yang sangat

penting dalam manajemen dan menjadi dasar bagi kegiatan

operasional yang sehat dan aman. Sistem Pengendalian Intern yang efektif
dapat membantu pengurus menjaga aset, menjamin tersedianya pelaporan
keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan
terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek
kehati-hatian. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wilopo (2006), sistem
pengendalian internal bagi sebuah organisasi sangatlah penting, yaitu untuk
memberikan perlindungan bagi entitas terhadap kelemahan manusia serta

43

untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dan tindakan yang tidak sesuai


dengan peraturan.
Teori atribusi menyatakan bahwa tindakan seorang pemimpin maupun
orang yang diberikan wewenang dipengaruhi oleh atribut penyebab antara
lain terdiri dari kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu
faktor- faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau
usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang
berasal dari

luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan

(Ikhsan dan Ishak :2005). Oleh sebab itu, diperlukan sistem pengendalian
untuk mengurangi penyebab terjadinya tindakan

yang tidak etis dan

kecurangan akuntansi. Pengendalian internal diharapkan mampu mengurangi


adanya tindakan menyimpang
Manajemen

cenderung

yang

melakukan

dilakukan
tindakan

oleh

manajemen.

menyimpang

untuk

memaksimalkan keuntungan pribadi. Salah satu contoh tindakan menyimpang


yaitu kecenderungan melakukan kecurangan akuntansi. Pengendalian internal
yang

baik

dapat

mengurangi

atau

bahkan

menutup peluang untuk

melakukan kecenderungan kecurangan akuntansi.


Berdasarkan pendapat dari Manurung,dkk (2015) bahwa pengendalian
internal memiliki hubungan dengan

dengan Kompetensional dan Fraud.

Apabila suatu sistem pengendalian intern telah ditegakan sesuai dengan prosedur
yang ada maka loyalitas seorang pegawai akan semakin tinggi , sedangkan
tindak kecurangan akan mudah diminimalisir.
Kompetensi merupakan bagian dari kultur organisasi. Pramudita
(2013) menyatakan bahwa Kompetensi merupakan kondisi dimana pegawai
sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya. Jadi
dapat dikatakan bahwa pegawai yang mempunyai Kompetensi tinggi, maka ia
akan berperan serta secara aktif dan melakukan segala upaya demi tercapainya
tujuan organisasi. Pegawai yang memiliki Kompetensi yang tinggi tidak akan
melakukan sesuatu hal yang dapat merugikan perusahaan. Jadi, semakin tinggi
Kompetensi, maka semakin rendah tingkat terjadinya Fraud. Berdasarkan
uraian mengenai Kompetensi dan pengaruhnya terhadap terjadinya Fraud di
sektor pemerintahan

44

Wilopo (2006:22) menyatakan bahwa Kompetensi berpengaruh


terhadap kecenderungan kecurangan (Fraud). Hal ini dapat dilihat dari upaya
menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan
akuntansi dapaat dilakukan dengan memperbaiki moral dan sistem dari
pengelolaan perusahaan yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap
komitmen terhadap perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak
langsung Kompetensi dapat mempengaruhi hubungan antara pengendalian
intern terhadap fraud . Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi Kompetensi akan semakin rendah kecenderungan kecurangan
(Fraud) yang mungkin terjadi. Dengan adanya suatu sistem pengendalian
intern dan komitmen yang baik maka akan menurunkan tingkat kecurangan
yang akan dilakukan, sebaliknya jika kualitas sistem pengendalian intern
dan komitmen yang buruk, maka hal

itu akan menjadi kesempatan bagi

pegawai untuk melakukan fraud pada organisasi tersebut.


H1 : Peran Auditor Internal Berpengaruh Secara Signifikan
Terhadap Kecenderungan Fraud Melalui Kompetensi
2.10.2 Hubungan

Kinerja

Aparatur

Pemerintah

Daerah

Pada

Kecenderungan Fraud Melalui Kompetensi


Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau
barang langsung atau tidak langsung yang diterima pegawai sebagai imbalan
atas jasa yang diberikan kepada perusahaan (Hasibuan, 2007). Keadilan dalam
bentuk kompensasi berarti suatu kesesuaiaan atas pendapatan yang diterima
oleh pegawai atas jasa yang diberikanya kepada suatu entitas. Ketika dikaitkan
antara Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah dan Kompetensi sejalan dengan
pendapat (Hasmarini & Yuniawan, 2008) yang menyatakan bahwa pegawai
yang merasa pengalokasian imbalan pada perusahaan diberikan secara
adil, maka pegawai akan cenderung setia pada perusahaan karena telah
memiliki keterikatan emosional dengan perusahaan dan merasa bahwa
perusahaan tersebut sesuai dengan nilai dan tujuan perusahaan.
Pendapat diatas menggambarkan bahwa Kinerja Aparatur Pemerintah
Daerah memiliki hubungan dengan Kompetensi. Ketika kompensasi atas jasa
dan pelayanan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu organisasi maka
45

kecenderungan seorang pegawai setia dan loyal terhadap suatu perusahaan


akan baik. Hal ini sesuai dengan pengertian Kompetensi menurut Kuntjoro
(2002:25) yang mendefinisikan Kompetensi sebagai rasa identifikasi,
keterlibatan dan loyalitas yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap
organisasinya.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Wilopo (2006) menjelaskan dalam
teori keagenan bahwa pemberian kompensasi yang memadai membuat agen
(manajemen) bertindak sesuai dengan keinginan dari prinsipal (pemegang
saham), yaitu dengan memberikan informasi sebenarnya tentang keadaan
perusahaan. Pemberian kompensasi yang sesuai diharapkan akan mengurangi
kecenderungan kecurangan akuntansi.
Ambrose & Schminke (2009) dan Cropanzano et al, (2007) yang
menyatakan bahwa keadilan dalam organisasi memiliki potensi untuk
menciptakan manfaat yang kuat bagi organisasi maupun pegawai, seperti
membangun kepercayaan dan komitmen yang

lebih besar, meningkatkan

prestasi kerja, membangun kepuasan dan loyalitas dan mengurangi konflik


seperti Fraud akibat dari ketidakadilan yang diterima. Sejalan dengan
penelitian Ambrose & Schminke (2009) dan Cropanzano et al, (2007)
menemukan bahwa keadilan dalam organisasi memiliki pengaruh negatif
terhadap tingkat Fraud pegawai, keadilan dalam organisasi menekankan
bagaimana

kompensasi

dan

promosi

dialokasikan

secara

adil

dan

proporsional.
H2 : Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Berpengaruh Secara
Signifikan

Terhadap

Kecenderungan

Fraud

melalui

Kompetensi
2.10.3 Hubungan Pemahaman standar Akuntansi Pemerintahan Pada
Kecenderungan Fraud Melalui Kompetensi
Suatu instansi atau lembaga akan berperilaku tidak etis dan
melakukan tindakan kecurangan karena mereka tidak berpedoman

pada

aturan akuntansi yang berlaku. Menurut Adelin (2013) dalam teori keagenan
yang menyatakan bahwa taat terhadap aturan akuntansi dapat memperkecil
perilaku curang, sedangkan Wolk and Tearney (1997:93-95) dalam Wilopo
menjelaskan bahwa kegagalan dalam menyusunan laporan keuangan
46

disebabkan oleh ketidaktaatan manajemen pada aturan akuntansi, di mana hal


tersebut akan menimbulkan kecurangan perusahaan yang tidak dapat
dideteksi oleh para auditor. Hal tersebut sependapat dengan Albrecht and
Albrecht (2003) dalam Thoyibatun (2009) yang menyatakan bahwa perilaku
menyimpang dari aturan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan dan tindakan
yang menguntungkan diri sendiri atau mengarah pada Kecenderungan
Kecurangan Akuntansi.
Teori perkembangan

moral

mengungkapkan

bahwa

moralitas

manajemen yang tinggi juga didukung pada ketaatan aturan yang berlaku.
Dalam teori tersebut pada tahap pasca konvensional, manajemen berorientasi
pada peraturan yang berlaku, sehingga ketaatan aturan akuntansi dapat
membentuk moralitas manajemen yang tinggi dan dapat menurunkan
kecenderungan kecurangan akuntansi

yang dilakukan oleh

(Kusumastuti, 2012).

yang

Faktor-faktor

mendorong

manajemen
entitas untuk

menyediakan informasi laporan keuangan adalah kekuatan pasar serta


kekuatan

regulasi.

Regulasi

ini

mensyaratkan

perusahaan

untuk

menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai aturan atau standar


akuntansi kepada para pihak yang membutuhkan.
Kegagalan penyusunan laporan keuangan yang disebabkan karena
ketidaktaatan

pada

aturan

akuntansi

akan

menimbulkan

kecurangan

perusahaan yang tidak dapat dideteksi oleh para auditor. Hal ini

dapat

ditunjukkan dari beberapa yaitu penelitian dari Wilopo (2006) memberikan


hasil bahwa ketaatan aturan akuntansi berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi. Penelitian dari Thoyibatun (2009) juga
menunjukkan bahwa ketaatan terhadap aturan akuntansi yang termasuk
salah satunya ialah standar akuntansi pemerintahan berpengaruh negatif
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Hipotesis ketaatan

terhadap

standar akuntansi Pemerintahan berpengaruh

terhadap

negatif

kecenderungan kecurangan akuntansi juga telah dibuktikan oleh Kusumastuti


(2012). Steers dalam Pramudita (2013) menyatakan bahwa Kompetensi
merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai,
dan sasaran organisasinya. Apabila dalam bekerja seorang pegawai mematuhi
47

standar akuntansi yang ada maka akan meminimalisir terjadinya kecurangan


dalam organisasi. Jadi dapat dikatakan bahwa pegawai yang mempunyai
Kompetensi tinggi, maka ia akan berperan serta secara aktif dan melakukan
segala upaya demi tercapainya tujuan organisasi termasuk menaati dan
memahami standar dan sistem yang ada. Pegawai yang taat pada standar yang
telah ditetapkan tidak akan melakukan sesuatu hal yang dapat merugikan
perusahaan.
H3 : Pemahaman Standar Akuntansi Berpengaruh Secara
Signifikan Terhadap Indikasi Fraud Melalui Kompetensi
2.10.4 Hubungan Peran Auditor Internal Pada Kecenderungan Fraud
Menurut Suryanajaya (2012:106) yang menyatakan bahwa secara
konsep pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah diharapkan dapat
menghilangkan praktik-peraktik korupsi dan tindak kecurangan lainnya karena
proses pemerintahan akan dilakukan secara transparan sehingga dapat diawasi
oleh masyarakat dan di pertanggung jawabkan secara berkala. Kemudian
(Najahningrum,2013:10) menyatakan bahwa sistem pengendalian internal
diharapkan mampu mengurangi adanya tindakan menyimpang yang dilakukan
oleh manajemen. Manajemen cenderung melakukan tindakan menyimpang
untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Salah satu contoh tindakan
menyimpang yaitu kecenderungan melakukan kecurangan. Berdasarkan hasil
kutipan diatas, maka dapat

dikatakan bahwa dengan adanya sistem

pengendalian intern pemerintah diharapkan berbagai tindak kecurangan dapat


di minimalisir.
Thoyibatun (2009) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh lingkungan
(sebagai salah satu komponen pengendalian internal) yang ditata terhadap
suatu usaha untuk meminimalisasikan perilaku tidak etis di dalam suatu
manajemen. Selanjutnya Thoyibatun (2009) berpendapat

bahwa

kualitas

pengendalian internal yang efektif akan berpengaruh pada tes transaksi


dan tes detail terhadap neraca, aktivitas deteksi fraud, dan kejadian fraud dan
semakin efektif pengendalian internal dalam suatu instansi maka semakin
rendah pula kejadian fraud. Hal tersebut sependapat dengan Fauwzi (2011)
yang menyatakan Perilaku Tidak Etis dan perilaku menyimpang lainnya dapat
48

dikurangi dengan adanya

pengendalian

yang

efektif

manajemen. Manajemen cenderung akan melakukan tindakan

dalam

suatu

menyimpang

untuk memaksimalkan keuntungan pribadi, salah satu contoh tindakan


menyimpang dalam instansi adalah kecenderungan kecurangan akuntansi.
Dengan demikian adanya pengendalian internal yang efektif diharapkan
dapat meminimalisasikan perilaku tidak etis yang merujuk pada tindakan
kecurangan akuntansi dalam instansi atau lembaga yang dapat merugikan
instansi atau lembaga itu sendiri.
H4 : Peran Auditor Internal Berpengaruh Secara Signifikan
Terhadap Indikasi Fraud Melalui Kompetensi
2.10.5 Hubungan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah

Pada

Kecenderungan Fraud
Jensen dan Meckling (1976) dalam Wilopo (2006) menjelaskan dalam
teori keagenan bahwa pemberian kompensasi yang memadai membuat agen
(manajemen) bertindak sesuai dengan keinginan dari prinsipal (pemegang
saham), yaitu dengan memberikan informasi sebenarnya tentang keadaan
perusahaan. Pemberian kompensasi yang sesuai diharapkan akan mengurangi
kecenderungan kecurangan akuntansi.
Menurut Luthans (1998) dalam Tella et al, (2007) menjelaskan bahwa
kompensasi yang sesuai menjadi bagian yang sangat penting bagi kinerja
karyawan serta keberhasilan organisasi. Dengan kompensasi yang sesuai,
perilaku tidak etis dan kecenderungan fraud diharapkan dapat berkurang.
Individu diharapkan telah mendapatkan kepuasan dari kompensasi dan tidak
melakukan perilaku yang tidak etis serta kecenderungan berlaku fraud demi
keuntungan pribadi. Oleh sebab itu di perlukan suatu sistem Kinerja Aparatur
Pemerintah Daerah yang baik untuk meminimalisir tindak kecurangan.
H5 : Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Berpengaruh Secara
Signifikan Terhadap Indikasi Fraud
2.10.6 Hubungan Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintah

Pada

Kecenderungan Fraud
Pada teori keagenan, selain konflik kepentingan dapat diminimalkan
dengan melakukan pengendalian internal yang kuat, konflik tersebut juga
dapat diminimalkan dengan melakukan ketaatan aturan akuntansi bagi para

49

akuntan, pembuat laporan dan seluruh pihak yang melakukan kegiatan dalam
entitas yang bersangkutan guna menurunkan kecenderungan kecurangan yang
dimiliki agen. Adapun standar yang menjadi rujukan utama dalam sector
pemerintahan ialah Standar Akuntansi Pemerintahan yang tertuang dalam PP
No 71 Tahun 2010. Sependapat dengan teori tersebut, hasil penelitian Syamsi
(2015) menjelaskan bahwa dengan mengarahkan pegawai untuk melaksanakan
ketaatan aturan akuntansi yang sehat, mengikuti prosedur pengelolaan aset dan
prosedur pencatatan secara konsisten maka akan menghindari entitas dari
tindakan kecurangan yang akan merugikan instansi. Sejalan dengan hal
tersebut, hasil penelitian Wilopo (2006) menjelaskan bahwa semakin
manajemen taat pada aturan akuntansi, semakin rendah kecenderungan
kecurangan pada perusahaan tersebut.
H6 : Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintah Berpengaruh
Secara Signifikan Terhadap Indikasi Fraud
2.10.7 Hubungan Kompetensi Pada Kecenderungan Fraud
Wilopo (2006:22) berpendapat bahwa Kompetensi berpengaruh
terhadap kecenderungan kecurangan (fraud). Hal ini dapat dilihat dari upaya
menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan
akuntansi dapaat dilakukan dengan memperbaiki moral dari pengelolaan
perusahaan yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen
terhadap perusahaan. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap instansi berarti
pegawai juga memiliki dedikasi yang tinggi terhadap instansi. Dengan
demikian, pegawai akan cenderung bekerja dengan baik untuk kemanjuan
instansi tersebut. Sebaliknya, jika komitmen terhadap organisasi rendah, maka
pegawai cenderung akan bekerja kurang baik, dan akan merasionalisasikan hal
tersebut sebagai hal yang wajar dikarenakan kurangnya komitmen terhadap
organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
Kompetensi akan semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud) yang
mungkin terjadi.
H7 : Kompetensi Berpengaruh Secara Signifikan Terhadap
Indikasi Fraud

50

51

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey.
Menurut Suliyanto (2006), dalam riset survey, Peneliti mengumpulkan data
dengan meminta tanggapan responden, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pengambilan data dengan menggunakan metode survey sangat
bergantung pada kemauan, kejujuran dan kondisi responden.
3.2 Objek dan Lokasi Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Peran Auditor Internal, Kinerja
Aparatur Pemerintah Daerah, Kompetensi dan Good Government Governance
pada SKPD Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi atau tempat penelitian yaitu
pada 45 SKPD yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data kualitatif
dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang bukan dalam bentuk skala
rasio, tetapi dalam bentuk skala yang lebih rendah yaitu skala nominal,
ordinal maupun interval. Sedangkan data kuantitatif adalah data berupa angka
yang dapat dihitung untuk menghasilkan penaksiran kuantitatif yang kokoh.
Sumber data terdiri dari :
1. Data Primer, yaitu data yang secara langsung diperoleh dari responden
secara tulisan yang berhubungan langsung dengan objek penelitian dengan
menggunakan alat pengumpul berupa data kuisioner yang akan diberikan
atau disebarkan kepada responden yang bersangkutan untuk memberikan
informasi akurat.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari para pengelola keuangan
SKPD yang mendukung penelitian ini serta data dari kepustakaan yang
berguna dalam penyusunan landasan teori yang berhubungan dengan
permasalahan yaitu tingkat indikasi fraud di Provinsi Sulawesi Tengah.
3.4 Teknik Pengumpulan Data

52

Salah satu cara untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data dalam bentuk
pengajuan

pertanyaan/pernyataan

tertulis

melalui

sebuah

daftar

pertanyaan/ pernyataan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, dan harus


diisi oleh responden. Kuesioner yang dibuat akan disebarkan dan diisi oleh
seluruh pengelola keuangan di seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Tengah
selaku responden, yang mana peneliti sangat mengharapkan kejujuran dari
setiap individu dalam pengisian kuesioner tersebut.
2. Observasi (pengamatan), adalah alat pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang
diselidiki. Dalam melakukan observasi ini, peneliti secara langsung
mendatangi instansi, utamanya ke beberapa sumber data untuk mengambil
data secara langsung.
3.5 Populasi Dan Sampel
3.5.1

Populasi
Sugiyono (2006: 90) mendefinisikan populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Berdasarkan pendapat diatas, maka
populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengelolaan keungan yang
tersebar di 45 SKPD Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut PP No 58 Tahun
2005 Penegelola keuangan adalah seseorang yang melakukan perencanaan,
pelaksanaan,

penatausahaan,

pelaporan,

pertanggungjawaban,

dan

pengawasan keuangan daerah


Adapun populasi dalam penelitian ini mengacu pada PP No 58 Tahun
2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan PP No 58
Tahun 2005 dinyatakan bahwa pemegang kekuasaan penegelolaan keuangan
daerah mempunyai wewenang untuk mendelegasikan mandat pengelolaan
keungan daerah kepada Kuasa Pengguna Anggaran/ Kepala SKPD, Pejabat
Penatausahaan Keuaangan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan ,Bendahara

53

Penerimaan Atau Pengeluaran. Maka, popolasi dalam penelitian ini ialah


seluruh Kuasa Pengguna Anggaran/Kepala SKPD, Pejabat Pelaksana Teknis
Kegiatan dan Kepala Bagian SKPD yang tersebar di 45 SKPD Provinsi
Sulawesi Tengah.
3.5.2 Sampel
Sanusi (2011) menjelaskan bahwa teknik pengambilan sampel
(sampling) adalah cara peneliti mengambil sampel atau contoh yang
representatif dari populasi yang tersedia. Cara pengambilan sampel dari
populasi dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur peluang atau tidak.
Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian
subjektif peneliti berdasarkan pada karakteristik populasi yang sudah
diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu (Iskandar, 2013).
Adapun kriteria tunggal

atas sampel penelitian adalah jabatan yang

pengelolanya minimal 2 orang dalam SKPD. Syarat ini otomatis akan


menggugurkan pejabat pelaksana teknis kegiatan dikarenakan jabatan ini
didasari oleh jumlah bidang dan kegiatan yang ada di SKPD. Jumlah pejabat
pelaksana teknis kegiatan tergantung bidang dan program kegiatan yang ada
di SKPD sehingga jumlahnya banyak dan memakan waktu yang lama dalam
proses pendistribusian kuisoner. Sedangkan kuasa pengguna anggaran,
pejabat penatausahaan keuangan dan bendahara penerimaan/pengeluaran
memenuhi kriteria yang ditentukan karena jumlahnya tidak melebihi 2
disetiap SKPD. Setiap SKPD terdiri dari 4 responden yaitu 1 kuasa pengguna
anggaran, 1 Pejabat penatausahaan keuangan dan 2 Bendahara (Penerimaan
dan pengeluaran), maka total sampel dari 45 SKPD berjumlah 180 dengan
rincian sebagai berikut :
Tabel 3.1
Pengelola Keuangan Yang Dijadikan Sampel
No

Nama SKPD

Dinas Pendapatan Daerah

Jumla
h
4

54

No

Nama SKPD

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Dinas Kesehatan Daerah


Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Daerah
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Daerah
Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah
Dinas Kehutanan
Dinas Perhubungan Daerah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
RSUD Madani
Dinas Cipta Karya , Tata ruang dan Perumahan Daerah
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah
Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan

12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Daerah
Dinas Perkebunan
Dinas Komunikasi dan Informasi Daerah
RSUD Undata
Dinas Sumber Daya Air Daerah
Dinas Bina Marga Daerah
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Daerah
Dinas Pemuda dan Olahraga Daerah
Dinas Sosial Daerah
Dinas Pertanian
Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Daerah
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah
Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah
Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa
Badan Kordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan
Badan Lingkungan Hidup Daerah
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
Daerah
Badan Kepegawaian Daerah
Badan Ketahanan Pangan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Inspektorat Daerah
Sekretariat Daerah
Kantor pelayanan Perizinan Terpadu Daerah

Jumla
h
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

55

No

Nama SKPD

39
Sekretariat KPID
40
Sekretariat DPRD
41
Sekretariat Dewan Pengurus Korpri
42
Kantor Perwakilan Pemerintah Daerah
43
Satuan Polisi Pamong Praja Daerah
44
KDH Dan WKDH
45
Sekertariat Daerah
Total
Sumber: Diolah oleh peneliti tahun 2016

Jumla
h
4
4
4
4
4
4
4
180

3.6 Operasional Variabel


Operasionalisasi variabel dimaksudkan untuk membedakan variabel
terikat (dependen variabel), variabel bebas (independen variabel) dan
variabel penghubung atau antara (intervening variabel) dari sub variabel serta
indikator dari masing-masing variabel penelitian. Variabel yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah Peran Auditor Internal, Kinerja Aparatur
Pemerintah Daerah, pemahaman standar akuntansi pemerintahan sebagai
variabel independen yang di simbolkan dengan variabel X. Kecenderungan
fraud sebagai variabel dependen yang disimbolkan dengan variabel Y serta
Kompetensi sebagai variabel antara/penghubung yang disimbolkan dengan
variabel Z. Adapun penjabaran dari setiap variabel ialah sebagai berikut .
1. Variabel Keefektifan Pengandalian Intern (X1)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), sistem pengendalian intern adalah
proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya suatu tujuan organisasi. Alat ukur
yang digunakan untuk indikator sistem pengendalian intern pemerintah
adalah lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian,
informasi dan komunikasi, dan pemantauan pengendalian intern.
2. Variabel Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah (X2)
Menurut Veitzal (2011:744) kompensasi adalah sesuatu yang diterima
pegawai sebagai pengganti kontribusi jasa yang telah mereka lakukan.

56

Kompensasi merupakan biaya utama atas keahlian atau pekerjaan dan


kesetiaan dalam bisnis . Kompensasi menjadi alasan utama mengapa
kebanyakan

orang mencari pekerjaan. Kompensasi yang diberikan

organisasi ada yang berbentuk uang, namun ada yang tidak berbentuk
uang. Kompensasi yang berwujud upah pada umumnya berbentuk uang,
sehingga kemungkinan nilai riilnya naik turun. Kompensasi yang
diterimakan kepada pegawai cenderung untuk menentuan standar hidup
serta kedudukan sosial dimasyarakat.

Kemudian berdasarkan pendapat

diatas maka alat ukur yang digunakan sebagai indikator Kinerja Aparatur
Pemerintah Daerah ialah dalam bentuk jenis kompensasi itu sendiri yang
terdiri dari Kompensasi Langsung dan Kompensasi Tidak Langsung
3. Variabel Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintahan (X3)
Ketaatan Aturan Akuntansi adalah suatu kewajiban dalam organisasi untuk
mematuhi

segala

ketentuan

atau

aturan

akuntansi

dalam

melaksanakan pengelolaan keuangan dan pembuatan laporan keuangan


agar tercipta transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan
laporan

keuangan

yang

dihasilkan

efektif,

handal

serta

akurat

informasinya. Selanjutnya standar dalam pemerintahan merupakan tingkat


kesesuaian prosedur pengelolaan aset organisasi, pelaksanaan prosedur
akuntansi, dan penyajian laporan keuangan beserta bukti pendukungnya
dengan aturan yang ditentukan BPK dan SAP. Instrumen yang digunakan
untuk

mengukur

pemahaman SAP ialah komponen yang terdiri dari.

PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan, PSAP 02 Laporan Realisasi


Anggaran, PSAP 03 Laporan Arus Kas, PSAP 04 Catatan Atas Laporan
keuangan, PSAP 05 Akuntansi Persediaan, PSAP 06 Akuntansi Investasi,
PSAP 07 Akuntansi Aset Tetap, PSAP 08 Akuntansi Konstruksi Dalam
Pengerjaan, PSAP 09 Akuntansi Kewajiban, PSAP 10 Koreksi Kesalahan,
Perubahan Kebijakan

Akuntansi, perubahan

estimasi akuntansi, dan

operasi yang tidak dilanjutkan, PSAP 11 Laporan Keuangan Konsolidasian


dan PSAP 11 Laporan Operasional
4. Variabel Komitmen Organisasi (Z)

57

Prayitno (2004:23) memberikan pengertian bahwa pegawai yang


mempunyai komitmen

terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya

pengenalan dan keterlibatan pegawai dalam satuan kerja yang dinyatakan


sebagai berikut: organizational commitement was defined as the strength
of on individuals identification with and involvement in a particular
organization. Pegawai yang memiliki komitmen terhadap satuan kerja
kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi dari pada pegawai yang
tidak mempunyai komitmen, mereka cenderung menunjukkan keterlibatan
yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Pegawai yang
menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan
pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja
dan berkurangnya kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja. Sopiah
(2008:164) menyimpulkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi
Kompetensi adalah :
1. Faktor personal : harapan pekerjaan, karakteristik personal, job choice
factor.
2. Faktor Organsiasional : lingkup kerja, supervisi, konsistensi tujuan
organisasi.
3. Faktor bukan dari dalam organisasi : ketersediaan pekerjaan alternatif.
5. Variabel kecenderungan fraud (Y)
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi
Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional
bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di
Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan,
mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan
dikenal dengan istilah The Fraud Tree yaitu sistem klasifikasi mengenai
hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan (Uniform Occupational Fraud
Classification System). ACFE dalam Tuanakotta (2010: 195-204) membagi
fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan
perbuatan, yaitu:
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
58

2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)


3. Korupsi (Corruption)

Tabel 3.2
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel

Dimensi

Sistem

a. Lingkungan

Pengendalian

pengendalian

Indikator

Skala

1. Integritas dan nilai etika


2. Komitmen

Intern Pemerintah

Ordinal

terhadap

kompetensi
3. Kepemimpinan

(X1)

yang

kondusif

(PP No 60 tahun

4. Struktur organisasi yang

2008 )

sesuai
b. Penilaian resiko

5. Wewenang yang tepat


6. Hubungan kerja yang baik

c. Kegiatan pengendalian
1. Identifikasi risiko
2. Analisis risiko
1. Reviu atas kinerja
2. Pembinaan SDM
d. Informasi dan

3. Pengendalian

komunikasi

informasi

e. Pemantauan
pengendalian intern

sistem

4. Pencatatan yang akurat dan


tepat waktu
5. Pelaksanaan

pengawasan

intern
1. Unsur informasi
2. Komunikasi yang efektif
59

Variabel

Dimensi

Indikator

Skala

1. Pemantauaan berkelanjutan
2. Evaluasi
Aparatur a. Kompensasi
Langsung
Pemerintah Daerah
Kinerja

(X2)
Veitzal (2011)
Pemahaman
Standar Akuntansi
Pemerintahan
(X3)
PP 71 Tahun 2010

b. Kompensasi

1. Gaji
2. Upah
3. Insentif

Ordinal

1. Tunjangan
Tidak 2. Asuransi
3. Uang pension

Langsung
a. PSAP 01 Penyajian 1. Basis Akrual
2. Komponen
Laporan Keuangan
Keuangan

Ordinal
Laporan

Penyajian Laporan Realisasi


b. PSAP 02 Laporan

Anggaran

Realisasi Anggaran
Penyajian Laporan Arus Kas
Aktivitas Operasi
c. PSAP 03 Laporan Penyajian Penyajian Calk
Susunan Dalam Calk
Arus Kas
Penilaian Persediaan
Pengakuan Persediaan
d. PSAP 04 Catatan
Atas

Laporan

keuangan
e. PSAP 05 Akuntansi
Persediaan

Pengakuan Investasi
Pelepasan Dan Pemindahan
Investasi
Pengakuan Aset Tetap
Pengklasifikasian Aset

f. PSAP 06 Akuntansi Perlakuan


Investasi

Akuntansi

Konstruksi

60

Variabel

Dimensi

Indikator

Skala

g. PSAP 07 Akuntansi
Aset Tetap
h. PSAP 08 Akuntansi
Konstruksi

Dalam
Pengakuan Kewajiban
Pengukuran Kewajiban

Pengerjaan

i. PSAP 09 Akuntansi Perlakuan

Akuntansi

Kesalahan

Kewajiban
j. PSAP 10 Koreksi
Kesalahan,
Perubahan
Kebijakan
Akuntansi,
perubahan estimasi
akuntansi,

dan

operasi yang tidak

Konsep Penyajian Laporan


keuangan Konsolidasi

dilanjutkan
k. PSAP 11 Laporan Penyajian
Keuangan

Laporan

Oprasional

Konsolidasian
l. PSAP 11 Laporan
Operasional

61

Variabel

Dimensi

Indikator

a. Faktor Personal

Skala

1. Harapan pekerjaan
2. Karakteristik personal
3. Job choice factor.

b. Faktor

Komitmen

Organisasioanal

Organisasi

1. Lingkup kerja
2. Supervisi

(Z)

c. Faktor

(Sopiah 2008)

Non

Organisasional

Ordinal

3. Konsistensi

tujuan

organisasi.
1. Ketersediaan

pekerjaan

alternatif.
a. Kecurangan
Laporan Keuangan
Kecenderungan

b. Penyimpangan Atas

Pemalsuan

terhadap

catatan akuntansi
Penyalahgunaan Aset

Aset

Fraud (Y)
(Tuanakotta 2010)

c. Korupsi

Ordinal
Penyalah gunaan jabatan
dan

wewenang

untuk

keuntungan pribadi
Sumber : Diolah oleh peneliti tahun 2016

Variabel (X), Variabel (Z) dan Variabel (Y) merupakan dasar


pembuatan kuesioner. Adapun sub variabel yang diukur dijabarkan menjadi
indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
untuk menyusun item item instrument yang berupa pernyataan, dan
kemudian jawaban atas pernyataan tersebut diukur menurut skala Likert.

62

Jawaban atas pernyataan dalam kuesioner menurut skala Likert diberi skor
sebagaimana dalam tabel 3.3 berikut :

Tabel 3.3
Skor Atas Jawaban Pernyataan
Menurut Skala Likert
No Pilihan (option)
1
Sangat Setuju
2
Setuju
3
Ragu-Ragu
4
Tidak Setuju
5
Sangat Tidak Setuju
Sumber : Sugiyono (2002:107)

Bobot (skor)
5
4
3
2
1

3.7 Metode Analisis


3.7.1 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi
suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian,
maksimum, minimum, sum, range, kurtosis dan skewness (Ghozali,
2011). Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah mean,
standar deviasi, maksimum, dan minimum.
Dalam penelitian ini, analisis statistik deskriptif digunakan untuk
mengetahui gambaran variabel Peran Auditor Internal, Kinerja Aparatur
Pemerintah Daerah, pemahaman standar akuntansi pemerintahan,
Kompetensi dan kecenderungan fraud.
3.7.2

Partial Least Square


Penelitian

ini

dilakukan

dengan

pendekatan

Structural

Equation Model (SEM) dengan menggunakan software Partial Least


Square (PLS) yaitu software Smart PLS versi 2.0. Adapun alasan peneliti
menggunakan metode ini, karena penelitian ini terdiri dari 3 variabel
independen, sebuah variabel dependen dan variabel intervening.
Penelitian ini juga bersifat laten karena memerlukan indikator atau
63

pernyataan-pernyataan untuk menjelaskan serta sampelnya yang besar


sehingga alat analisis yang cocok adalah dengan menggunakan PLS.
PLS dapat digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan
antar variabel, PLS dapat sekaligus menganalisis konstruk yang dibentuk
dengan indikator refleksif dan formatif dan ukuran sampel tidak terlalu
besar. Menurut Ghozali (2011) tujuan PLS adalah membantu peneliti
untuk tujuan prediksi. Estimasi parameter yang didapat dengan PLS
dapat dikatagorikan menjadi tiga. Pertama, adalah weight estimate
yang

digunakan

untuk menciptakan skor variabel laten. Kedua,

mencerminkan estimasi jalur yang menghubungakan variabel laten dan


antar variabel laten dan blok indikatornya (loading). Ketiga adalah
berkaitan dengan mean dan lokasi parameter (nilai konstan regresi) untuk
indikator dan variabel laten.
Menurut Ghozali (2011) PLS merupakan pendekatan alternatif
yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis covariance menjadi
berbasis variance. SEM yang berbasis kovarian umumnya menguji
kausalitas atau teori sedangkan PLS lebih bersifat predictive model. PLS
merupakan metode analisis yang powerfull (Ghozali 2011), karena tidak
didasarkan pada banyak asumsi. Misalnya, data harus terdistribusi secara
normal dan sampel yang digunakan tidak harus besar. Selain dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk
menjelaskan ada tidaknya hubungan antara variabel laten.
Menurut Ghozali (2011) tujuan PLS adalah membantu peneliti
untuk mendapatkan nilai variabel laten untuk tujuan prediksi. Model
formatnya mendefinisikan variabel laten adalah linear agregat dari
indikator-indikatornya. Weight estimate untuk menciptakan komponen
skor variabel laten didapat berdasarkan bagaimana inner model (model
struktural yang menghubungkan antara variabel laten) dan outer model
(model pengukuran yaitu hubungan antara indikator dengan konstruknya)
dispesifikasi. Hasilnya adalah residual variance dari variabel dependen.

64

Estimasi parameter yang didapat dengan PLS dapat dikategorikan


menjadi tiga. Kategori pertama adalah weight estimate yang digunakan
untuk menciptakan skor variabel laten. Kedua, mencerminkan estimasi
jalur (path estimate) yang menghubungkan variabel laten dan antar
variabel laten dengan indikatornya (loading). Ketiga, berkaitan dengan
means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan
variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan
proses iterasi 3 tahap dan setiap tahap menghasilkan estimasi. Tahap
pertama, menghasilkan weight estimate, tahap kedua menghasilkan
estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap ketiga
menghasilkan estimasi means dan lokasi (Ghozali, 2011).

3.7.2.1

Model Pengukuran (Outer Model)


Pada model pengukuran (outer model) ini akan menjelaskan tiga
komponen penting dalam menjelaskan hubungan antara indikator dengan
variabel latennya. Tiga komponen tersbut adalah
1)

Convergent Validity
Convergent Validity dari model pengukuran dengan model
reflektif

indikator

dinilai

berdasarkan

korelasi

antara

item

score/component score dengan construct score yang dihitung dengan


PLS. Ukuran reflektif dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70
dengan variabel laten yang ingin diukur. Namun demikian untuk
penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading
0,50 sampai 0,60 dianggap cukup (Chin, 1998 dalam Ghozali 2011).
2)

Discriminant Validity
Discriminant validity dari model pengukuran dengan indikator
refleksif dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan variabel
laten. Jika korelasi variabel laten dengan item pengukuran lebih besar
daripada ukuran variabel laten lainnya, maka akan menunjukkan bahwa

65

indikator laten memprediksi ukuran pada blok yang lebih baik daripada
ukuran blok lainnya. Direkomendasikan nilai AVE lebih dari 0,5.
3)

Composite Reliability
Composite reliability mengukur suatu variabel laten yang
nilainya harus diatas 0,70. Nilai composite reliability di atas 0,70
menunjukan bahwa semua variabel laten memenuhi kriteria reliabel yang
tinggi.

3.7.2.2

Model Struktural (InnerModel)


Inner model (inner relation, structural model dan substantive
theory) menggambarkan hubungan antara variabel laten berdasarkan
pada teori substantif. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan
R-square untuk variabel laten dependen. Dalam menilai model dengan
PLS dimulai dengan melihat R-square untuk setiap variabel laten
dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi.
Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh
variabel laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen
apakah mempunyai pengaruh yang substantif (Ghozali, 2011).
3.7.2.3 Model Pengujian Hipotesis Dengan Partial Least Square
Model kerangka pemikiran teoritis yang sudah dibangun
selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk diagram alur (path
diagram) untuk menggambarkan hubungan kausalitas konstruk dari
model tersebut. Path diagram merupakan representasi grafis mengenai
beberapa variabel pada suatu model berhubungan satu sama lain, yang
memberikan suatu pandangan menyeluruh mengenai struktur model.
Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada pengujian inner
model yaitu:

1) T statistik

66

Apabila koefisien t statistik menunjukkan koefisien yang lebih


besar dari t tabel,

hasil

ini menggambarkan

variabel tersebut

signifikan, maka dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang


bermakna variabel laten terhadap variabel laten lainnya. Variabel
eksogen dinyatakan signifikan pada variabel endogen apabila hasil t
statistik lebih besar dari t tabel.
2) Path Coefficients
Nilai path coefficients menunjukkan koefisien hubungan antara
variabel laten dengan variabel laten lainnya.
3) Pengujian Variabel Intervening
Pengujian

variabel

intervening

ini

dapat

dilihat

dari

perbandingan pengaruh langsung dengan total effect, apabila pengaruh


langsung lebih kecil daripada total effect maka terbukti bahwa variabel
kecenderungan kecurangan akuntansi sebagai variabel intervening.
3.7.2.4

Kriteria Penerimaan dan Penolakan Hipotesis


Hipotesis diterima jika nilai weight dari hubungan antar variabel
laten menunjukan arah yang sesuai dengan yang dihipotesiskan dengan
nilai statistic diatas 1,96 pada tingkat signifikansi alfa 5%

67

You might also like