You are on page 1of 13

Tuberculosis merupakan salah satu penyakit tertua yang diketahui diderita oleh manusia

dan merupakan ancaman dunia karena terdapat 8 9 juta penyakit baru yang aktif dilaporkan
setiap tahunnya. Pada pasien yang menderita penyakit human immunodeficiency virus (HIV),
tuberkulosis merupakan penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak. Tuberculosis kutiss
(CTB) merupakan penyakit yang jarang ditemui, meliputi 1-1,5% dari seluruh TB
ekstrapulmoner, ditemukan hanya 8,4-13,7% dari seluruh kasus TB yang ditemukan.
Klasifikasi yang lebih akurat dari CTB meliputi tuberculosis inokulasi, tuberculosis yang
bersumber dari endogen, dan tuberkulosis hematogen. Terdapat perbedaan definisi antara CTB
yag disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dan CTB yang disebabkan oleh spesies
mycobacterium atipikal. Lesi yang disebabkan oleh spesies mycobacterium bervariasi mulai dari
papul kecil (seperti pada tuberculosis inokulasi primer) dan lesi verukosa (seperti pada
tuberculosis kutis verukosa) hingga ulkus (seperti ulkus buruli) dan plak (seperti lupus vulgaris).
Pilihan terapi untuk CTB terbatas hanya berupa terapi oral konvensional dan terapi bedah
sesuai indikasi. CTB murni diterapi dengan kombinasi rifampisin, etambutol, pirazinamid,
isoniazid dan streptomisin sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Infeksi
Mycobacterium atipikal sering kali resisten terhadap obat anti tuberculosis dan hanya berespon
terhadap antibiotic tertentu. Seperti pada TB paru, terdapat pengobatan yang berspectrum luas
dan bervariasi walaupun respon dari penderita masih belum adekuat. Perkembangan dari strain
yang multi drug dan extremely drug-resistant juga mempengaruhi hasil pengobatan TB. Sampai
saat ini belum ditemukan terapi topical untuk CTB dan walaupun terapi oral konvensional telah
menunjukkan hasil yang positif, tetap saja masih terdapat kekurangan dari regimen pengobatan
tersebut.
1. Pendahuluan
Tuberculosis merupakan salah satu penyakit tertua. Semakin banyak populasi manusia di
bumi, semakin banyak juga penyebaran dari penyakit ini. Lesi tipikal tuberculosis yang
mengandung basil tahan asam (BTA), telah diidentifikasi dari mumi di mesir. Prevalensi TB
meningkat secara dramatis pada abad ke 17 dan 18, yang kemudian menurun 200 tahun
kemudian. Tetapi pada abad 19, TB kembali mejadi masalah kesehatan utama walaupun
peningkatan hygiene dan imunisasi telah digencarkan.

TB saat ini terus menjadi masalah kesehatan yang serius. WHO memperkirakan sekitar
20-40% populasi di dunia telah terinfeksi TB dengan 8-9 juta kasus baru TB aktif dilaporkan
setiap tahunnya. TB merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien yang terinfeksi
human immunodeficiency virus (HIV).
Walaupun TB merupakan penyakit terbanyak, terutama di Negara berkembang, yang
bermanifestasi ke ekstrapulmoner hanya sekitar 8,4-13,7%. Angka yang kecil ini menunjukkan
bahwa penyakit TB ekstrapulmoner merupakan penyakit yang masih jarang dan sulit
didefinisikan. Peningkatan kejadian TB terjadi pada pasien HIV. Tuberkulosis kutis (CTB) masih
jarang ditemukan, yaitu hanya sekitar 1-1,5% dari seluruh TB ekstrapulmoner. Theophile
Laennec, penemu stetoskop, menggambarkan contoh pertama CTB pada tahun 1826. CTB sering
ditemukan pada wanita, seringkali pada dewasa muda. Tempat paling sering adalah pada daerah
wajah, walaupun pernah juga dilaporkan terjadi di leher dan badan.
CTB mempunyai beragam manifestasi sehingga menyulitkan diagnosis. Peningkatan TB
MDR juga menyebabkan peningkatan kejadian CTB. Manifestasi kulit yang disebabkan oleh
infeksi mycobacterium tuberculosis dikenal sebagai CTB murni, tetapi beberapa spesies lain
mycobacterium juga menyebabkan manifestasi kulit seperti yang dirangkum pada table 1.
Mycobacteria dapat digolongkan menjadi dua yaitu mycobacteria yang tumbuh cepat dan
lambat. Organisme yang tumbuh lambat memerlukan masa inkubasi lebih dari 7 hari, sementara
organisme yang tumbuh cepat hanya memerlukan kurang dari 7 hari untuk pertumbuhannya.
Sampai saat ini tidak ada terapi topical yang dapat digunakan untuk infeksi TB kulit.
Walaupun regimen pengobatan oral yang ada telah menunjukkan respon yang positif, semua itu
belum terlalu efektif, terlebih lagi dengan munculnya strain TB MDR dan EDR. Penelitian
tentang penggunaan terapi topical untuk pengobatan TB perlu digencarkan untuk meningkatkan
efektifitas regimen pengobatan yang telah ada.
2. Klasifikasi tuberculosis kutis
Sebelumnya, kekurangan dari klasifikasi yang akurat untuk CTB telah menimbulkan
kebingungan terkait dengan diagnosis penyakit ini. Beberapa tahun belakangan telah
dikembangkan system klasifikasi menggunakan tiga kriteria yaitu pathogenesis, manifestasi
klinis, dan evaluasi histologic. Dengan ketiga kriteria tersebut CTB diklasifikasikan menjadi :

Inokulasi tuberculosis dari sumber eksogen


Tuberculosis yang bersumber dari endogen
Hematogenous tuberculosis

Kriteria ini dan gejala klinisnya akan dijelaskan sebagai berikut.


2.1 inokulasi bakteri TB dari sumber eksogen
inokulasi TB primer (gambar 1). Juga diketahui sebagai tuberculosis chancre, yang
berasal dari masuknya mycobacteria kedalam kulit atau mukosa melalui kerusakan kulit pada
orang yang belum pernah terinfeksi TB atau orang yang belum mempunyai imunitas terhadap
mycobacterium tuberculosis. Akses mycobacteria ke kulit dapat disebabkan oleh penggunaan
jarum yang tidak steril, tato, sirkumsisi, tindikan, tindakan bedah, luka, dan resusitasi melalui
mouth to mouth. Lesi sering dilaporkan memiliki tampilan sporotrikoid. Inokulasi dapat terjadi
melalui berbagai cara dan orang yang bekerja di bidang kesehatan memiliki risiko paling tinggi.
Hal ini seperti kasus CTB pertama yang ditemukan oleh laenec pada tahun 1826. Keterlibatan
mukosa dan kulit pada CTB meliputi sepertiga kasus yang dilaporkan, termasuk infeksi melalui
cavum oral (setelah ekstraksi gigi) atau infeksi pada konjungtiva.
Inokulasi eksogen dapat menyebabkan lesi verukosa pada jemari, atau bagian ekstremitas
lainnya yang disebut dengan tuberculosis verucosa cutis (TVC), pada pasien yang sebelumnya
pernah terinfeksi TB dan yang memiliki imunitas moderat sampai tinggi terhadap TB. TVC
(yang juga dikenal dengan prosectors wart, lupus verricosus, dan kutil tuberculosis) awalnya
berupa papul kecil yang nyeri dikelilingi oleh inflammatory corona yang progresif menjadi lesi
berutil yang asimtomatik seperti ditunjukkan pada gambar 2. TVC dapat terjadi pada pasien yang
lebih muda (4,4-16% kasus).
2.2 Tuberculosis yang bersumber dari endogen
CTB dapat juga berasal dari hancurnya kulit yang menyelubungi focus TB pada subkutis,
seringnya pada kelenjar limfoid (limfadenitis TB) atau TB pada tulang dan sendi, yang
sebelumnya disebut skrofuloderma (gambar 3 dan 4). Awalnya lesi berbentuk nodul subkutan
yang mobile dan segera setelah itu menjadi terfiksir ke kulit dibawahnya. Kemudian keluar
cairan discharge dan membentuk abses kutaneus. Abses ini dapat sembuh sendiri, walaupun utuh
bertahun-tahun untuk proses penyembuhannya. Skrofuloderma merupakan bentuk CTB yang

paling sering ditemukan pada anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun dengan prevalensinya
sekitar 36-48%. Skrofuloderma menunjukkan bahwa penderitanya juga memiliki infeksi TB
sistemik, seringnya TB paru, pada 35% kasus. Lesi ini sering ditemukan pada leher, aksila,
selangkangan dan dada.
Tb orifacial merupakan benuk CTB yang jarang ditemukan dan terjadi akibat autoinokulasi TB dari membrane mukosa yang terjadi ketika mikroorganisme viable dibatukkan atau
disebar oleh individu imunocompromised. Jaringan yang normalnya resisten terhadap infeksi,
diinvasi oleh bakteri di daerah hidung, kavitas oral, area perineal atau perirectal. Lesi tersebut
biasanya terasa nyeri, membentuk ulkus dan tidak dapat sembuh sendiri. Pasien dengan infeksi
seperti ini sering menderita TB pulmoner, genital, urinaria, atau TB intestinal yang progresif.
Pada beberapa kasus di Cina, nekrosis perkijuan tampak pada TB orifacial dan scrofuloderma.
2.3 Tuberkulosis Hematogen
Penyebaran kuman melalui hematogen atau limfatik, terjadi pada sebagian besar kasus
tuberculosis kutis. Tuberculosis hematogen terjadi ketika BTA menyebar dari fokus primer
infeksi ke seluruh tubuh yang juga melibatkan tuberculosis kutis kronik pada pasien yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan TB. Bentuk yang paling umum dari infeksi ini adalah
lupus vulgaris, yang memiliki potensi tinggi menyebabkan kecacatan permanen.
Tuberculosis gamma merupakan bentuk yang jarang dari tuberculosis hematogen, dengan
insiden hanya 1-2%. Tampilan lesi berupa nodul berbatas tegas, yang kemudian pecah
membentuk abses dan akhirnya menjadi ulkus. Tuberkel dan nekrosis perkejuan luas sering
teridentifikasi. ulkus sering menunjukkan hasil BTA negative.
Lupus Vulgaris (LV) berkembang setelah vaksinasi Bacille Calmatte Guerin (BCG) atau
dari fokus primer TB atau sebagai hasil inokulasi. LV sering terjadi pada kalangan anak-anak
muda, dengan prevalensi 41-68% pada anak-anak dan remaja. LV dapat timbul dalam lima
bentuk umum, dimana bentuk plak adalah yang paling umum ditemukan 32% dari semua kasus.
Bentuk LV dimulai dari tampilan datar, papul merah kecoklatan yang perlahan-lahan
berkembang menjadi plak yang berwarna terang. Yang menunjukkan area jaringan parut yang
tidak teratur dan pinggir plak sering menebal dan hyperkeratosis.

Bentuk ulserasi dan multilasi dari LV merupakan bentuk yang yang paling destruktif dan
deformasi dari semua lesi LV. Jaringan dibawahnya diinvasi dan menjadi ulkus dan nekrosis,
menyebabkan atropi dan bekas luka seperti krusta. Bentuk vegatatif dari LV juga ditandai dengan
ulkus dan nekrosis tapi dengan jaringan parut minimal. namum Bentuk vegetatif dan ulserasi ini
dapat bersifat destruksi terutama mengenai hidung atau kartilago aurikula.
TB miliar atau diseminata juga dikenal sebagai tuberkuloasis kutis miliaris diseminata,
yang merupakan bentuk TB yang mengancam jiwa, yang disebabkan dari penyebaran tuberkel,
biasanya bersumber dari paru. Penyakit ini terutama terjadi pada anak-anak dan bayi, setelah
terinfeksi campak atau demam scarlet yang dapat menurunkan respon system imun. Jenis ini
merupakan bentuk yang sangat jarang, tapi kembali muncul pada pasien yang terinfeksi HIV dan
jumlah CD4 < 100 sel/mL. lesi awalnya berupa papula ( kebiruan sampai coklat kemerahan),
yang dapat berkembang menjadi vesicle kecil yang pecah yang nanti berkembang menjadi ulkus
kering. sering ditemukan BTA pada lesi ini.
3. Tuberkulid
Tuberkulid merupakan lesi TB kutis yang tidak sebenarnya, melainkan merupakan lesi
yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap kuman TB atau merupakan akibat dari
pasien dengan imunitas tinggi. Semua tuberkulid berespon bagus pada terapi anti Tuberkulosis.
Meskipun didapatkan hasil negative BTA nya. Tuberkulid juga dapat terjadi sebagai akibat dari
vaksinasi BCG, dan akibatnya vaksinasi ini hanya disarankan untuk kelompok resiko tinggi.
Tuberkulid sejati di klasifikasikan sebagai berikut :
-

Micropapular : lichen scrofulosorum


Papula : papulonekrotik tuberkulid
Nodul : eritem indurasi Bazin dan tuberkulid nodular.

Lichen Scrofulosorum (LS) kejadiannya jarang, erupsi kulit asimtomatis yang terutama
pada anak-anak dan remaja dengan kekebalan tinggi. Lesi berkelompok, papul lichenoid yang
seperti kulit yang terang/putih bisa juga bewarna kekuningan atau coklat kemerahan. Lesi
umumnya ditemukan di dada, perut, dan punggung dan sering dilaporkan kejadinnya setelah
vaksinasi BCG. Lesi umumnya pada anak-anak, dengan prevalensi 23-33% kasus. Sebelumnya
sering terjadi misdiagnosis dengan psoriasis karena tampilan inflamasi dan bersisik.

Tuberkulid papulonekrotik dengan menifestasi erupsi merah kehitaman, papul nekrosis,


dengan krusta terutama pada ekstremitas pasien dewasa muda, meskipun juga didapatkan pada
bayi dan anak-anak (prevalensi 4%). Lesi kecil dan simetris dan biasanya muncul dalam
berkelompok. Lesi nekrotik meninggalkan bekas luka atropi dengan hiperpigmentasi yang
biasanya ditemukan pada siku, lutut, kaki, dan tangan.
Tuberkulid nodular tampak lesi merah kehitaman, non-tender di ekstremitas bawah.
Nodul berubah menjadi massa ungu-merah yang memiliki kecendrungan menjadi ulkus
asimetris, ulkus superfisial yang meninggalkan bekas luka berupa atropi. Eritem induratum of
bazin (EIB) merupakan tuberkulid nodul sejati dimana proses patologi utama terletak di lemak
subkutan. Pola patologi lainnya yaitu di hubungan antara lemak subkutan dan dermis, oleh
karena itu disebut tuberkulid nodular.
4. infeksi mikrobacterium Atipikal pada kulit
Lebih dari 135 spesien microbacterium atypical (atau belakangan ini lebih dikenal
sebagai mikrobacterium non-tuberkulosis (NTM)) sudah dideskripsikan, tapi hanya sedikit yang
menyebabkan manifestasi pada kulit, rangkumannya tercakup pada tabel 1.

Beberapa spesies yang didiskusikan pada artikel ini yaitu :


-

Mycobacterium marinum
Mycobacterium ulcerans atau ulkus buruli
Mycobacterium haemofilum
Mycobacterium fortuitum
Mycobacterium chelonae
Mycobacterium abscessus
Mycobacterium leprae atau hansens disease

NTM dapat ditemukan di tanah, air, tumbuhan, dan beberapa binatang, dan dapat
ditemukan di seluruh dunia. Jalur

transmisi sepenuhnya belum diketahui, tetapi tranmisi

manusia-ke manusia tampaknya tidak terjadi. Infeksi predominat terjadi pada pasien
imunocompromise atau setelah terjadi trauma kulit pada pasien imunocompotent. Salah satu
kasus infeksi mycobacterium kulit dilaporkan terjadi pada pasien setelah pemasangan tato, terapi
insulin subcutan, perawatan kaki pada salon kecantikan dan juga setelah acupuntur.
Infeksi Mycobacterium marinum lokasi primernya pada tempat inokulasi, umumnya pada
ekstremitas atas. Infeksi ini juga dikenal sebagai swimming pool granulomas, Mycobacterium
marinum penyebaran melalui air tawar dan air laut. Tahun 2008, wabah infeksi M. marinum
terjadi di tempat budidaya ikan di China, dimana pekerjanya mengalami luka lecet atau trauma
pada kulit yang telah terinfeksi. Karakterisistik dari infeksi ini adalah tampilan lesi berupa
papul dan selulitis dan juga nodul kutil atau plak yang kadang-kadang tampilannya seperti pola
sporotricoid. Nodul dapat berisi cairan purulent dengan BTA positif dan lesi ini dapat mengalami
ulkus dan menjadi nekrosis.
Infeksi Mycobacterium

ulcerans yang dikenal juga sebagai ulkus buruli, dengan

prevalensi di iklim hangat daerah perairan, seperti danau dan rawa. Jalur transmisisi yang jelas
tidak diketahui. Anak-anak di bawah umur 15 tahun lebih rentan terhadap infeksi ini. Karena
ulkus ini tidak nyeri dan pasien sering tinggal di daerah terpencil, kebanyakan pasien terlambat
mendapatkan terapi ketika lesi sudah meluas. Lesi dimulai dari nodul subcutan, kecil yang
biasanya disertai gatal. Kemudian nodul akan pecah, dan membentuk ulkus nekrosis dangkal
yang dapat berkembang di area yang lebih luas pada ekstremitas dan badan.
Infeksi mycobacterium haemophilum umumnya didapatkan pada pasien immunecompromised, meskipun habitat dari organisme ini dan penularannya belum diketahui pasti.
Kejadian infeksi diamati pada semua pasien yang melakukan transplantasi organ, pasien
mendapatkan terapi imunosupresif jangka panjang dan anak imuno-compentent dengan
limfedenitis. M. haemophillum menyebabkan lesi kulit nodular, lunak, yang dapat berkembang
menjadi ulkus atau abses, yang mengandung eksudat purulent. Lesi ini juga bisa dengan tampilan
plak lingkaran atau panniculitis. Predileksi
persendian.

pada ekstremitas dan sering berlokasi pada

Infeksi Mycobacterium fortuitum juga menimbulkan lesi nodular pada pasien


imunocompromise, seperti halnya pada mycobacterium haemofilum. Organisme ini dapat hidup
pada suhu 45 0C. tampilan lesi seperti ulkus, abses, nodul selulitis dan sinuses, Lesi dengan
discharge purulent dan cepat terbentuk nekrosis subcutan dan pus.
Infeksi Mycobacteriu chelonae dan mycobacterium abscessus tampak sebagai penyakit
kulit diseminata pada pasien imuno-compromised. Tampilan infeksi multiple, lesi nodular yang
tidak berpola. Sering terjadi pada Pasien usia diatas 45 tahun. Infeksi M. chelonae dihubungkan
dengan terapi Kostikosteroid dan sering terjadi setelah inoculasi langsung. Organisme ini
menyebabkan penyakit berbasis masyarakat, contohnya setelah infeksi kulit atau soft tissue dan
sporadic, infeksi nasokomial (setelah operasi , injeksi, transplant, dan pemasangan kateter). M.
abscessus bukan penyebab tersering terjadinya abses pada lokasi injeksi. Organisme ini
merupakan jenis yang paling pathogen dan merupakan mycobacteria yang cepat resisten dengan
obat.
Mycobacterium lepra menyebabkan kusta yang sebagian besar terjadi pada kulit,
testis, saluran pernapasan bagian atas, segment superfisial saraf perifer dan segmen anterior
mata. Kusta juga dikenal sebagai Hansens disease, telah banyak di bahas dalam literature.
Lesi bermula dari beberapa lesi yang berkembang dan menyerang saraf perifer pada pasien
yang rentan. Transmisi dari M. leprae bisa terjadi respiratorial, atau melalui kontak kulit
langsung pada organisme. Manifestasi awal tampai sebagai lesi kulit atau area mati rasa pada
kulit. Lesi awal yang paling umum adalah lepra indeterminate, yang terdiri dari satu atau
lebih lesi hipopigmentasi, atau macula eritematosa, dengan batas yang tidak jelas. Kusta
diabagi menjadi kusta tuberkuloid, kusta lepramatosa dan kusta borderline, seperti yang
dirangkum pada tabel 2

5. Regimen Terapi Terkini untuk Tuberkulosis Kutis


Kebanyakan bentuk tuberkulosis kutis sensitif terhadap terapi antituberkulosis yang
diberikan secara oral. Mycobacterium tuberculosis mempunyai kemampuan untuk menimbulkan
resistensi obat dan untuk menghindari ini, beberapa obat antituberkulosis digunakan secara
simultan. Pengobatan rutin diperlukan (setiap hari atau setiap tiga hari, sesuai kebutuhan
individu) dengan kombinasi obat dan dalam waktu yang cukup panjang untuk memastikan
bahwa lesi benar-benar bebas dari infeksi. Terapi antituberkulosis biasanya digunakan selama
beberapa bulan, yang membuat pasien sulit untuk menyesuaikan. Pada tahun 1993, WHO
memperkenalkan apa yang disebut directly observed treatment strategy, disingkat (DOTS), untuk
meningkatkan kenyamanan pasien. Sejak tahun 1995 sampai tahun 2008, 83,7% dari kasus yang

diobati di bawah strategi DOT mengalami kesembuhan dan penurunan tingkat kefatalan kasus
dari 8% menjadi 4%.
Program DOTS, bagaimanapun tidak menunjukkan dampak yang adekuat untuk
mengeliminasi TB berdasarkan target tahun 2050. Kekurangan utama dalam mencapai target ini
adalah kurangnya sumberdaya untuk menerapkan Global Plan to Stop TB Project, yang
diluncurkan tahun 2006. TB resisten merupakan tantangan besar kesehatan masyarakat dunia,
sedangkan proses pengobatan TB mengalami kemunduran, akibat semakin sedikitnya pasien
yang dapat disembuhkan sepenuhnya oleh terapi farmakologis. Ini secara keseluruhan dapat
dikembangkan untuk meningkatkan penelitian pengembangan vaksin TB, dan hasilnya
menjanjikan vaksin sebagai solusinya.
5.1

Tuberkulosis Kutis Sejati dan Tuberkulids

WHO merekomendasikan regimen obat untuk terapi tuberkulosis dan juga untuk
tuberkulosis kutis sejati. Regimen terdiri dari 2 fase, pertama fase intensif selama 8 minggu dan
kedua fase pemeliharaan selama 16 minggu. Pada pasien dengan HIV positif, fase kedua
dilaksanakan selama 28 minggu. Obat pilihan pertama yang paling umum digunakan untuk terapi
tuberkulosis kutis mencakup isoniazid (INH), rifampisin (RIF), etambutol (EMB), pirazinamid
(PZA), dan streptomisin (STR). Fase pertama pengobatan terdiri dari INH, RIF, EM, dan PZA
selama 2 bulan, diikuti terapi 4 bulan dengan INH dan RIF pada fase kedua. Jika curiga resisten
INH, EMB dapat juga diberikan pada fase kedua.
Pada kasus dimana tuberkulosis kutis berlokasi di sekitar rongga tubuh, terapi tambahan
diberikan dengan asam laktat 2% dan dengan anestesia lokal. Bedah eksisi lesi dan koreksi
deformitas dapat juga dilakukan. Tuberkulid merupakan reaksi alergi terhadap M.tuberculosis
yang muncul pada pasien, dan terapi anti tuberkulosis direkomendasikan untuk lesi seperti ini.
5.2

Infeksi Mycobacterium Atipikal

Sejak Non Mycobacterium Tuberculosis resisten terhadap banyak OAT, terapi terhadap
organisme ini lebih lama dan lebih sulit.
Penelitian menunjukkan bahwa rifampisin dan rifabutin adalah obat yang paling aktif
terhadap Mycobacterium marinum. Pada pasien immunokompeten, terapi terdiri dari terapi
tunggal atau terapi ganda, seperti klaritromisin, minosiklin, doksisiklin, atau trimetoprim-

sulfametoksazol, atau kombinasi terapi dengan EMB dan RIF. Terapi harus dilanjutkan
setidaknya 3-6 bulan. Infeksi yang lebih serius harus secara primer diterapi dengan klaritromisin
dan RIF untuk setidaknya 7 bulan.
Infeksi Mycobacterium ulcerans tidak respon terhadap terapi farmakologi dan terapi bedah
secara ekstensif adalah kunci terapi pada semua kasus. Skin grafting juga merupakan pilihan
pada beberapa kasus. Terapi dengan RIF dan STR lain, atau amikasin menunjukkan
penyembuhan sempurna pada 50% pasien setelah 8 minggu dan kemudian digunakan oleh WHO.
Jika penyakit ini didiagnosis dan diterapi pada tahap awal, mungkin akan memberikan respon
dengan regimen terapi menggunakan klaritromisin, RIF dan EMB, meskipun durasi terapi yang
optimal belum diketahui.
Mycobacterium haemophilum secara khusus resisten terhadap INH, EMB, dan STR. Terapi
multi-drug regimens mencakup rifabutin, RIF, klaritromisin, ciprofloksasin, amikasin,
trimetoprim-sulfametoksazol, levofloksasin, sefoksitin, doksisiklin, dan kotrimoksazol dapat
berhasil. Pasien imunokompeten harus melanjutkan dengan terapi selama 6-9 bulan, sedangkan
pasien imunokompromais harus melanjutkan dengan waktu yang tidak terbatas. Eksisi bedah
juga dilaporkan memberikan manfaat.
Terapi khusus untuk Mycobacterium fortuitum terdiri dari klaritromisin dan doksisiklin,
trimetoprim-sulfametoksazol, atau ciprofloksasin selama 2 bulan. Baru-baru ini ditemukan
bahwa organisme ini rentan terhadap makrolid baru (roksitromisin, klaritromisin, dan
azitromisin), doksisiklin, minosiklin, sulfonamid, sefoksitin, amikasin, siprofloksasin, dan
imipenem. Infeksi yang lebih serius melibatkan area yang lebih luas, jaringan yang lebih dalam,
dan penyebaran ke struktur tulang, dapat diterapi dengan amikasin, sefoksitin, atau imipenem
intravena, dan terapi direkomendasikan selama 4-6 bulan. Debridement bedah bermanfaat dan
pilihan obat klaritromisin untuk regimen terapi dianjurkan.
Kombinasi terapi dengan minimal dua agen harus diberikan untuk menurunkan resistensi
terhadap Mycobacterium chelonae, meskipun terapi dengan klaritromisin tunggal menunjukkan
hasil yang efektif. Ciprofloksasin untuk alasan ini dikombinasikan dengan klaritromisin,
sementara doksisiklin juga menunjukkan efektifitas terhadap organisme ini. Infeksi yang lebih
serius yang melibatkan jaringan yang lebih dalam dapat diterapi dengan kombinasi imipenem,
amikasin, tobramisin linezolid, dan makrolid selama minimal 6-12 bulan. M. chelonae biasanya
menunjukkan resistensi terhadap cefoksitin.

Terapi

untuk

infeksi

sedang

dari

Mycobacterium

abscessus

dapat

mencakup

klaritromisin/azitromisin, clofazimin, dan linezolid selama 3-6 bulan. Untuk infeksi yang lebih
serius, klaritromisin/azitromisin (oral) dan cefoksitin, imipenem, atau amikasin (intra vena) dapat
diberikan minimal 6 bulan. Regimen terapi yang sama seperti M.fortuitum dapat diikuti,
meskipun prognosis lebih buruk dibandingkan infeksi M.fortuitum.
Regimen yang direkomendasikan untuk M. leprae diklasifikasikan ke dalam 3 kategori:
1

Untuk beberapa atau lesi tunggal banyak dokter meresepkan RIF, ofloksasin dan
minosiklin sebagai kombinasi atau terapi tunggal, tergantung kebutuhan pasien.
Meskipun data follow up tidak lengkap, bagimanapun WHO merekomendasikan bahwa

pasien ini dapat juga diterapi dengan regimen pauci-bacillary.


Regimen pauci-bacillary terdiri dari rifampisin sekali sebulan dan dapsone setiap hari

selama 6 bulan.
Regimen multi-bacillary digunakan pada infeksi yang lebih serius dan mencakup RIF dan
klofazimin (300 mg) sekali sebulan, dan dapsone dan clofazimine (50 mg) setiap hari
selama minimal 12 bulan. Klofazimin dapat diganti oleh prothionamid, etionamid, atau
minosiklin pada kasus dimana klofazimine tidak disetujui di komunitas atau masyarakat
karena efek sampingnya yang menggelapkan tubuh, terutama lesi.

Rangkuman
TB merupakan tantangan kesehatan yang besar di dunia. TB kutis merupakan bentuk TB
yang tidak umum, dengan prevalensi hanya 1-1,5% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal yang
dilaporkan. TB kutis sulit untuk didiagnosis, karena jarang terjadi dan faktanya bahwa ini dapat
muncul pada bentuk klinis yang bervariasi. Gambaran klinik dapat bervariasi dari papul kecil,
kutil, ulkus, atau papul, sampai plak dengan deformitas tinggi yang menebal dan hiperkeratosis.
Dalam hal ini penting untuk diagnosis dan terapi TB sesegera mungkin untuk mencegah
komplikasi, meskipun sering salah diagnosis sebagai tinea korporis dan karsinoma.
Tuberkulosis kutis sejati disebabkan oleh M.tuberculosis dan vaksin BCG. Penularannya
dapat melalui inokulasi dari sumber eksogen (seperti Tuberculosis chancre), dari sumber
endogen (seperti skrofuloderma), atau melalui penyebaran secara hematogen (seperti lupus

vulgaris). Tuberkulosis kutis atypical dapat disebabkan oleh spesies Mycobacterium lain, seperti
M.abscessus, M. chelonae, dan M. ulcerans.
Tuberkulosis kutis sejati dapat diterapi dengan regimen anti tuberkulosis biasa, mencakup
INH, RIF, EMB, dan PZA. Eksisi bedah dan rekonstruksi biasanya diperlukan pada kasus yang
sangat serius. Infeksi Mycobacterium yang atipikal dapat diterapi dengan bermacam-macam
antibiotik, meskipun pengobatannya sulit, karena organisme tersebut biasnya resisten dengan
pengobatan tuberkulosis biasa.
Tuberkuosis kutis dan infeksi Mycobacterial kutis lainnya umumnya tidak enak dipandang
dan lalu biasanya memberikan dampak yang signifikan terhadap mental dan sosial pasien.
Sekarang ini, tidak ada terapi topikal yang teridentifikasi untuk infeksi ini, meskipun kebanyakan
regimen menunjukkan hasil yang positif, mereka tidak sepenuhnya efektif. Terdapat
kemungkinan yang tinggi terjadinya resistensi obat, akibat rendahnya penyesuaian pasien dan
perkembangan organisme.
Selain kebutuhan untuk memperbaiki regimen terapi tipikal yang sudah digunakan, seperti
mengurangi durasi dan efek samping dari terapi TB, potensi dari terapi topikal untuk membantu
pengobatan dari infeksi ini perlu untuk dikembangkan. Tidak ada terapi topikal terkini untuk
tuberkulosis kutis yang ditemukan di literatur. Meskipun terapi topikal tidak dapat menggantikan
terapi konvensional, namun terapi ini mungkin saja dapat digunakan bersamaan dan
kemungkinan membantu dalam meningkatkan hasil pengobatan.

You might also like