You are on page 1of 17

ANGIOFIBROMA NASOFARING

Ricky Ariyanto, Daud Rantetasak


A. Pendahuluan
Massa hidung pertama kali dideskripsikan oleh Hippocrates pada abad 5
SM yang mungkin juga angiofibroma nasofaring termasuk didalamnya. Pada
tahun 1847, Chelius mendeskripsikan adanya massa fibrosa di hidung pada
pasien laki-laki dewasa muda. Pada tahun 1906, Chaveau menyatakan bahwa
tumor ini berasal dari nasofaring sehingga dikenal dengan nasofaring angioma
belia. Friedbergs pada tahun 1940 menganalisis pemeriksaan histologi dari
tumor ini dan menjelaskan bahwa tumor ini terdiri dari jaringan ikat dan terdapat
komponen pembuluh darah sehingga dikenal dengan angiofibroma nasofaring
belia.1.2
Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma
nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak
yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria
berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang
ada di kepala dan leher. 1-3
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun
secara histologis jinak, secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas karena
mempunyai daya ekspansif yang amat merusak dan mendorong jaringan
sekitarnya.3
Secara makroskopik, tumor pembuluh darah mempunyai penampakan yang
hampir sama, yaitu tumor tampak berwarna mulai dari pucat hingga berwarna
merah hingga keunguan dan sangat mudah terjadi perdarahan bila trauma.
Terkadang baik hemangioma maupun angiofibroma dapat dilapisi dengan
jaringan nekrotik putih, sehingga sangat sulit untuk membedakannya dengan
tumor lain seperti papiloma inverted. 2.3
1

B. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
dapat mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. 4
C. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.
Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai
penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur, umumnya terjadi pada anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor
ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma). 1-4
D. Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring jarang ditemukan. Insiden angiofibroma nasofaring
diperkirakan antara 1:5.000-60.000 pada pasien THT, diperkirakan hanya 0,05%
dari seluruh tumor kepala dan leher. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki
dekade kedua antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.1-4
Penelitian Glad dkk melaporkan kejadian Angiofibroma nasofaring di
Denmark 0.4 per 1 juta populasi per tahun. Di Timur Tengah dan India kejadian
Angiofibroma nasofaring lebih tinggi dibandingkan di Eropa. 5
E. Anatomi Nasofaring

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.6
1

Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.

Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus
faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan
seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum
mole.

Koana pada posterior rongga hidung.

Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat


perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.

Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk


sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui
saraf hipoglossus.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus stenoid.

Gambar 1. Anatomi Nasofaring [dikutip dari kepustakaan 7]


F. Patogenesis
Menurut penelitian Tewfik, tumor pertama kali timbul di dekat foramen
sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed)
atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian
yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhan ke anterior terjadi
pada membran mukosa nasofaring, menjalar ke anterior dan inferior menuju ke
ruang postnasal. Selanjutnya, rongga hidung berisi tumor pada satu sisinya, dan
septum berdeviasi ke sisi lainnya. Pertumbuhan ke superior langsung menuju
sinus spenoidalis, yang juga dapat terjadi erosi. Sinus cavernosus juga dapat
terinvasi jika tumor berkembang lebih lanjut. Penyebaran ke lateral langsung
menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus maksilaris. Lalu,
fossa infratemporal juga terinvasi.1
Tumor nasofaring pertama kali tumbuh dibawah mukosa ditepi sebelah
posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan
meluas dibawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior

septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga
hidung posterior. Perluasan kearah anterior akan mengisi rongga hidung,
mendorong septum kesisi kontralateral, tumor melebar kearah foramen
sfenopalatina, masuk ke fissura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor
ltelah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas
pada wajah yang disebut muka kodok. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi
melalui fossa infretemporal dan pterigomaksila masuk kefossa serebri media.
Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri atau dari sinus sphenoid ke sinus
kavernosus dan fossa hipofise.3

G. Gambaran Klinis
Adapun gambaran klinis dari Angiofibroma nasofaring yaitu:1
Tanda:
1. Massa cavum nasal (80%)
2. Massa rongga orbita (15%)
3. Proptosis (10-15%)
4. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan nervus optikus mengalami
tenting, namun hal ini jarang terjadi.
Gejala:
1. Obstruksi nasal (80-90%). Merupakan gejala yang paling sering timbul,
terutama pada permulaan penyakit.

2. Epistaksis (45-60%). Sering bersifat unilateral dan rekuren. Epistaksis


biasanya berat dan memerlukan perhatian medis secepatnya.
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal tertutup.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

Gambar 2. Pembengkakan difus di regio molar pada wajah sebelah kanan


[dikutip dari kepustakaan 8]
5. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: Rhinore unilateral, anosmia,
hiposmia, otitis media rekuren, nyeri mata, tuli, otalgia, pembengkakan
palatum, kelainan bentuk pipi, dan rhinolalia.

Gambar 3. Pembengkakan pada palatum [dikutip dari kepustakaan 8]


H. Klasifikasi
Dalam menentukan derajat atau stadium tumor, umumnya saat ini
menggunakan klasifikasi Session dan Fisch. 4
1. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:
Stadium IA
Stadium IB

Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring


Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan

Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium IIIA
Stadium IIIB

perluasan ke satu sinus paranasal.


Tumor meluas sedikit ke fossa pterygomaksila.
Tumor memenuhi fossa pterygomaksila tanpa mengerosi
tulang orbita
Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial.
Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke dalam sinus kavernosus.

2. Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:


Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IV

Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa


mendestruksi tulang.
Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan/atau regio
parasellar.
Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini. 3
2. Endoskopi Nasal
Mengingat gejala klinis dari Angiofibroma Nasofaring, pasien harus
diperiksa menggunakan endoskopi nasal yang biasanya menunjukkan adanya
massa besar berlobus di belakang konka media mengisi choana dengan
permukaan halus dan jelas terdapat tanda-tanda hipervaskularisasi.

Gambar 4. Gambaran endoskopi nasal [dikutip dari kepustakaan 5].


3. X-Ray Kepala
Pemeriksaan X-Ray kepala pada kasus Angiofibroma Nasofaring dapat
menunjukkan hasil adanya gambaran radioopak.

Gambar 5. Gambar X-Ray kepala posisi postero-anterior menunjukkan


gambar opak yang difus di regio maxilla dextra [dikutip dari kepustakaan 8].
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama
pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial. 1

Gambar 6. MRI scan menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus


[dikutip dari kepustakaan 1]
5. CT- Scan
Gambaran CT-Scan memperlihatkan perluasan dari tumor. Perluasan ke
sinus sphenoidalis, erosi yang besar pada pinggir sinus sphenoidalis, atau
menginvasi pada daerah pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya
terlihat.

Gambar 7. CT scan potongan koronal dari lesi yang mengisi rongga hidung
kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong
septum nasi berdeviasi ke kanan [dikutip dari kepustakaan 1]

Gambar 8. CT scan potongan axial yang menutup rongga hidung kanan dan
sinus paranasal [dikutip dari kepustakaan 1]
6.

Histopatologik
Angiofibroma nasofaring merupakan sebuah lesi pseudocapsul yang
ditandai dengan komponen pembuluh darah tidak teratur, terdiri dari banyak
pembuluh darah dengan berbagai ukuran, tertanam dalam stroma fibrous,
mengandung banyak kolagen dan fibroblast. Pembuluh darah membuat celah
atau melebar, berkelompok, tanpa serat-serat elastis di dinding tumor, dan
lapisan otot tidak dikelilingi pembuluh darah besar, tetapi pembuluh darah
yang lebih kecil. Proses mitosis lambat.

10

Gambar 9. Gambaran mikroskopik angiofibroma nasofaring dengan


pewarnaan Hematoksilin-Eosin [dikutip dari kepustakaan 5].
7.

Angiografi
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari
arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan
kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada
penanganan sebelumnya gagal.

Gambar 10. Angiogram menunjukkan angiofibroma sebelum dilakukan


embolisasi [dikutip dari kepustakaan 8].

J. Diagnosa Banding
Diagnosa banding massa dalam nasofaring pada kelompok usia yang
diakibatkan oleh Angiofibroma nasofaring meliputi proses jinak dan proses
ganas. Kondisi jinak yang terkait dengan penyumbatan cavum nasal termasuk
adenoid dan konka hipertrofi, polyposis nasal, polip antral choanal, dan kista
nasofaring. Neoplasma jinak nasofaring lainnya meliputi chordoma, polip

11

angiomatous, teratoma (misalnya, dermoid), fibroma, hemangioma, glioma,


displasia fibrous, chondroma, dan rhabdomyoma. Diagnosa banding pada
keganasan jaringan lunak termasuk rhabdomyosarkoma, karsinoma nasofaring,
dan limfoma.9

K. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan pertama selain terapi hormonal dan
radioterapi. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena risiko perdarahan yang hebat.4
Pengangkatan tumor tetap merupakan penatalaksanaan utama, dimana
pendekatan dari insisi yang akan digunakan sangat ditentukan oleh stadium
tumor berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi. Pendekatan yang digunakan
harus dapat memvisualisasi tumor secara keseluruhan untuk mempermudah
proses operasi.2
1. Insisi Midfacial Degloving
Tumor yang berada pada kavum nasi dan meluas ke anterior dan
inferior ke sinus maksila dapat dilakukan insisi midfasial degloving. Insisi
transoral ini diperkenalkan oleh Conley 1979 dimana letak insisi adalah pada
sulkus ginggivobukal dari tuberositas maksila ke tuberositas maksila
kontralateral dan diperluas hingga mencapai apertura piriformis dan dinding
anterior maksila ditembus sehingga massa dapat terekspos maksimal.2

12

Gambar 11. Insisi Midfacial Degloving [dikutip dari kepustakaan 2].


2. Rinotomi Lateral
Tumor yang meluas dan melibatkan sinus ethmoid dan nasofaring
dapat dilakukan pendekatan rinotomi lateral. Pendekatan yang dilakukan
harus memperhitungkan kedudukan tulang pada piramid hidung sebagai sisi
estetis jangka panjang.2

Gambar 12. Rinotomi Lateral [dikutip dari kepustakaan 2].


3. Insisi Weber-Ferguson

13

Tumor yang meluas dan melibatkan seluruh kavum nasi dan sinus
maksila dengan erosi dari dinding posterior sinus, dapat dilakukan insisi
Weber-Ferguson, dimana massa dapat terekspos secara maksimal dengan
diangkatnya prosesus maksila, dinding nasoantral dibawah konka inferior,
tulang lakrimal, lamina papirasea dan sel etmoid anterior sampai posterior
sampai pada lempeng kribriform, sedang bagian yang dipertahankan ialah
sakus lakrimal dan dustusnya serta periosteum dari dinding medial orbita.
Pada pendekatan transpalatal, palatum molle diinsisi dan diretraksi.
Kemudian palatum durum direseksi agar lapangan operasi dapat terlihat
lebih jelas. Tulang palatum juga direseksi sehingga aspek inferior dari
pterigoid dapat terlihat. 2

Gambar 13. Insisi Weber-Ferguson [dikutip dari kepustakaan 2].


4. Radioterapi
Pemberian radiasi eksternal pada Angiofibroma Nasofaring dan
hemangioma kapilare umumnya diberikan pada tumor yang besar yang
diperkirakan tidak dapat direseksi, misalnya tumor yang telah mencapai
intrakranial dan melibatkan sinus kavernosus dan kiasma optikus.
Komplikasi jangka panjang dari pemberian radioterapi eksternal adalah

14

adanya retardasi pertumbuhan, panhipopitutari, nekrosis lobus temporal, dan


katarak. 2
5. Embolisasi
Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan
dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung
aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis
eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih
bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi
mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60
80%.9

Gambar 14. Angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum dan


sesudah dilakukan embolisasi, suplai darah tumor dari arteri maxillaris
interna [dikutip dari kepustakaan 2].
6. Terapi Hormonal
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II
dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid).
L. Komplikasi

15

Kebutaan sementara sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi.


Anestesia di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi WeberFerguson. Komplikasi dari radioterapi yaitu osteoradionekrosis dan atau
kebutaan karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan
(malignant transformation).1
Berbagai referensi melaporkan perdarahan merupakan komplikasi paling
serius yang mengancam jiwa selama tindakan pembedahan. Komplikasi lainnya
termasuk kerusakan neurovascular optikus, kerusakan nervus kranialis,
meningitis, deficit motorik, juga telah dilaporkan.10
M. Prognosis
Angiofibroma nasofaring diketahui memiliki angka kekambuhan rata-rata
25% dan perluasan penyakit ini ke bagian ekstranasofaring berhubungan dengan
meningkatnya rata-rata kekambuhan.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Tewfik

L.T.

2016.

Juvenile

Nasopharyngeal

Angiofibroma.

In:

http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#showall [cited on July


14th 2016].
2. Zahara P.N. 2016. Angiofibroma Nasofaring Belia dengan Diagnosis Awal
Hemangioma

Kapilare.

Dalam:

https://www.kankertht-kepalaleher.info/wp-

content/uploads/2016/05/Angiofibroma-Nasofaring-Belia-dengan-DiagnosisAwal-Hemangioma-Kapilare.pdf. [Diakses tanggal 16 Juli 2016]. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Hajar S.T. Hafni H. 2005. Angiofibroma Nasofaring Belia. Medan: Departemen
Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran USU.

16

4. Roezin A. Dharmabakti U.S. Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. 2010. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal:188-190.
5. Nicolai P. Schreiber A. Villaret A.B. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pediatrics. published online Nov 17, 2011;
[cited

april

2014].

available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3228400/
6. Adams L.G. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams L.G.
Boies R.L. Higher H.P. BOIES-Buku Ajar Penyakit THT. 2014. Jakarta: EGC.
Hal: 320-325.
7. Seeley. Stephens. Tate. 2004. Anatomy and Physiology. United States of
America: The McGraw-Hill.
8. Mishra S. Praveena NM. Panigrahi RG. Gupta MY. Imaging in the Diagnosis of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. India: Journal of Imaging Science.
9. Odrey G.F. Wright K.S. 2002. Neoplasms of the Nasopharynx. In: Snow B.J.
Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker.
pp: 492-495.
10. Park K.C. Kim D.G. Paek H.S. Chung T.H. 2006. Recurrent Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma Treated with Gamma Knife Surgery. In:
http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-773.html. Korean Academy of Medical
Sciences [cited on July 14th 2016].

17

You might also like