Professional Documents
Culture Documents
B. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
dapat mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. 4
C. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.
Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai
penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur, umumnya terjadi pada anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor
ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma). 1-4
D. Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring jarang ditemukan. Insiden angiofibroma nasofaring
diperkirakan antara 1:5.000-60.000 pada pasien THT, diperkirakan hanya 0,05%
dari seluruh tumor kepala dan leher. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki
dekade kedua antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.1-4
Penelitian Glad dkk melaporkan kejadian Angiofibroma nasofaring di
Denmark 0.4 per 1 juta populasi per tahun. Di Timur Tengah dan India kejadian
Angiofibroma nasofaring lebih tinggi dibandingkan di Eropa. 5
E. Anatomi Nasofaring
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.6
1
Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus
faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan
seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum
mole.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga
hidung posterior. Perluasan kearah anterior akan mengisi rongga hidung,
mendorong septum kesisi kontralateral, tumor melebar kearah foramen
sfenopalatina, masuk ke fissura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor
ltelah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas
pada wajah yang disebut muka kodok. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi
melalui fossa infretemporal dan pterigomaksila masuk kefossa serebri media.
Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri atau dari sinus sphenoid ke sinus
kavernosus dan fossa hipofise.3
G. Gambaran Klinis
Adapun gambaran klinis dari Angiofibroma nasofaring yaitu:1
Tanda:
1. Massa cavum nasal (80%)
2. Massa rongga orbita (15%)
3. Proptosis (10-15%)
4. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan nervus optikus mengalami
tenting, namun hal ini jarang terjadi.
Gejala:
1. Obstruksi nasal (80-90%). Merupakan gejala yang paling sering timbul,
terutama pada permulaan penyakit.
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium IIIA
Stadium IIIB
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini. 3
2. Endoskopi Nasal
Mengingat gejala klinis dari Angiofibroma Nasofaring, pasien harus
diperiksa menggunakan endoskopi nasal yang biasanya menunjukkan adanya
massa besar berlobus di belakang konka media mengisi choana dengan
permukaan halus dan jelas terdapat tanda-tanda hipervaskularisasi.
Gambar 7. CT scan potongan koronal dari lesi yang mengisi rongga hidung
kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong
septum nasi berdeviasi ke kanan [dikutip dari kepustakaan 1]
Gambar 8. CT scan potongan axial yang menutup rongga hidung kanan dan
sinus paranasal [dikutip dari kepustakaan 1]
6.
Histopatologik
Angiofibroma nasofaring merupakan sebuah lesi pseudocapsul yang
ditandai dengan komponen pembuluh darah tidak teratur, terdiri dari banyak
pembuluh darah dengan berbagai ukuran, tertanam dalam stroma fibrous,
mengandung banyak kolagen dan fibroblast. Pembuluh darah membuat celah
atau melebar, berkelompok, tanpa serat-serat elastis di dinding tumor, dan
lapisan otot tidak dikelilingi pembuluh darah besar, tetapi pembuluh darah
yang lebih kecil. Proses mitosis lambat.
10
Angiografi
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari
arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan
kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada
penanganan sebelumnya gagal.
J. Diagnosa Banding
Diagnosa banding massa dalam nasofaring pada kelompok usia yang
diakibatkan oleh Angiofibroma nasofaring meliputi proses jinak dan proses
ganas. Kondisi jinak yang terkait dengan penyumbatan cavum nasal termasuk
adenoid dan konka hipertrofi, polyposis nasal, polip antral choanal, dan kista
nasofaring. Neoplasma jinak nasofaring lainnya meliputi chordoma, polip
11
K. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan pertama selain terapi hormonal dan
radioterapi. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena risiko perdarahan yang hebat.4
Pengangkatan tumor tetap merupakan penatalaksanaan utama, dimana
pendekatan dari insisi yang akan digunakan sangat ditentukan oleh stadium
tumor berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi. Pendekatan yang digunakan
harus dapat memvisualisasi tumor secara keseluruhan untuk mempermudah
proses operasi.2
1. Insisi Midfacial Degloving
Tumor yang berada pada kavum nasi dan meluas ke anterior dan
inferior ke sinus maksila dapat dilakukan insisi midfasial degloving. Insisi
transoral ini diperkenalkan oleh Conley 1979 dimana letak insisi adalah pada
sulkus ginggivobukal dari tuberositas maksila ke tuberositas maksila
kontralateral dan diperluas hingga mencapai apertura piriformis dan dinding
anterior maksila ditembus sehingga massa dapat terekspos maksimal.2
12
13
Tumor yang meluas dan melibatkan seluruh kavum nasi dan sinus
maksila dengan erosi dari dinding posterior sinus, dapat dilakukan insisi
Weber-Ferguson, dimana massa dapat terekspos secara maksimal dengan
diangkatnya prosesus maksila, dinding nasoantral dibawah konka inferior,
tulang lakrimal, lamina papirasea dan sel etmoid anterior sampai posterior
sampai pada lempeng kribriform, sedang bagian yang dipertahankan ialah
sakus lakrimal dan dustusnya serta periosteum dari dinding medial orbita.
Pada pendekatan transpalatal, palatum molle diinsisi dan diretraksi.
Kemudian palatum durum direseksi agar lapangan operasi dapat terlihat
lebih jelas. Tulang palatum juga direseksi sehingga aspek inferior dari
pterigoid dapat terlihat. 2
14
15
L.T.
2016.
Juvenile
Nasopharyngeal
Angiofibroma.
In:
Kapilare.
Dalam:
https://www.kankertht-kepalaleher.info/wp-
16
april
2014].
available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3228400/
6. Adams L.G. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams L.G.
Boies R.L. Higher H.P. BOIES-Buku Ajar Penyakit THT. 2014. Jakarta: EGC.
Hal: 320-325.
7. Seeley. Stephens. Tate. 2004. Anatomy and Physiology. United States of
America: The McGraw-Hill.
8. Mishra S. Praveena NM. Panigrahi RG. Gupta MY. Imaging in the Diagnosis of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. India: Journal of Imaging Science.
9. Odrey G.F. Wright K.S. 2002. Neoplasms of the Nasopharynx. In: Snow B.J.
Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker.
pp: 492-495.
10. Park K.C. Kim D.G. Paek H.S. Chung T.H. 2006. Recurrent Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma Treated with Gamma Knife Surgery. In:
http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-773.html. Korean Academy of Medical
Sciences [cited on July 14th 2016].
17