You are on page 1of 39

MAKALAH KEPERAWATAN PENCERNAAN 2

Asuhan Keperawatan pada klien anak dengan gangguan sistem pencernaan :


Thypoid

Oleh (Kelompok 1) :
Yuni Natilia
131411131019
Mardhatillah Syauqina P
131411131022
Rofita Wahyu Andriani
131411131028
Desy Indah Nur Lestari
131411131058
Elyta Zuliyanti
131411133085
Prasetya Wahyuni
131411133032
Maratul Hasanah
131411133035

Dosen Pembimbing :
Erna Dwi Wahyuni,S.Kep,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

KATA PENGANTAR
Puji Syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan makalah
dengan judul Asuhan keperawatan pada klien anak dengan gangguan sistem
pencernaan : thypoid dengan lancar. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memberikan informasi kepada pembaca mengenai penyakit thypoid pada sistem
pencernaan. Makalah ini disajikan dalam konsep dan bahasa yang sederhana
sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami makalah ini.
Ucapan terimakasih penyusun sampaikan kepada dosen pembimbing mata
kuliah keperawatan Pencernaan 2 yang telah memberikan motivasi dan pengarahan
kepada penyusun untuk memperbaiki makalah ini. Tidak lupa penyusun sampaikan
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan berupa konsep
dan pemikiran dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tak ada gading yang
tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saransaran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna
peningkatan pembuatan makalah pada tugas yag lain pada waktu mendatang.
Surabaya, 26 april 2016

Penyusun

ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ......................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sisem Pencernaan .................................................... 3
2.2 Definisi Demam Tifoid ................................................................................. 12
2.3 Patogenesis Demam Tifoid ........................................................................... 12
2.4 Etiologi Demam Tifoid ................................................................................. 13
2.5 Faktor Resiko Demam Tifoid ....................................................................... 14
2.6 Tanda dan Gejala Thypoid ............................................................................ 14
2.7 Patofisiologi Demam Tifoid ......................................................................... 15
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Demam Tifoid ....................................................... 15
2.9 Penatalaksanaan Medis Demam Tifoid ........................................................ 17
2.10 Cara Pencegahan Demam Tifoid 17
2.11 Komplikasi Demam thypoid.17
2.12 WOC Demam Tifoid . 19
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian ..................................................................................................... 20
3.1.1 Pengkajian Diagnostik ......................................................................... 23
3.1.2 Pengkajian Penatalaksaan Medis ......................................................... 23
3.2 Diagnosis Keperawatan ................................................................................ 24
3.3 Intervensi Keperawatan ................................................................................ 24
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
4.1. Kasus Klien dengan Demam Tifoid ............................................................ 27
4.2. Pengkajian.................................................................................................... 27
4.3. Analisa Data................................................................................................. 29
4.4. Diagnose Keperawatan ................................................................................ 32
4.5. Intervensi Keperawatan ............................................................................... 32
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

iii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna, dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan,
gangguan kesadaran (Sodikin, 2011). Demam tifoid juga dikenali sebagai typhus
abdominalis, typhoid fever dan Enteric fever (Herawati,2007). Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi sistemik dan salah satu dari foodborne disease yang
banyak ditemukan disemua negara (WHO,2002).
Di indonesia, penyakit infeksi ini tergolong penyakit endemik yang didapat
sepanjang tahun (Rohman,2010). Demam tifoid merupakan penyakit yang
terdapat di seluruh dunia namun merupakan masalah utama bagi negara negara
di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia dan Thailand. Tahun 2007, CDC
melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 358 810 per
100.000 penduduk, 64% terjadi pada usia 3 tahun sampai 19 tahun. Di Jakarta,
demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan
menyebabkan angka kematian yang tertinggi (Moehario, 2009).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi A, B atau C (Soedarto, 1996). Bakteri salmonella
ini bisa ditularkan dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi berasal
dari hewan seperti daging, unggas, telur dan susu (WHO,2005).
Istirahat tirah baring, perawatan professional, diet dan terapi penunjang
dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan serta
pemberian anti biotik dengan tujuan untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran bakteri merupakan upaya yang dapat dilakukan dalam proses
penyembuhan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari demam tifoid?
2. Bagaimana patogenesis dari demam tifoid?
3. Bagaimana etiologi dari demam tifoid?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari demam tifoid?
5. Bagaimana patofisiologi dari demam tifoid?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari demam tifoid?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari demam tifoid?
8. Bagaimana pencegahan dari demam tifoid?
9. Bagaimana komplikasi dari demam tifoid?
10. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus dilakukan untuk pasien
dengan demam tifoid ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Setelah pembelajaran mata kuliah keperawatan pencernaan II materi
demam tifoid diharapkan mahasiswa semester 4 dapat memahami,
mengaplikasikan dalam asuhan keperawatan pasien dengan demam tifoid.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi demam tifoid
2. Untuk mengetahui patogenesis demam tifoid
3. Untuk mengetahui etiologi demam tifoid
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis demam tifoid
5. Untuk mengetahui patofisiologi demam tifoid
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik demam tifoid
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan demam tifoid
8. Untuk mengetahui pencegahan demam tifoid
9. Untuk mengetahui komplikasi demam tifoid
10. Untuk mengetahui tindakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan demam tifoid
1.4. Manfaat
1. Menambah pemahaman mengenai demam tifoid
2. Menambah sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan bagi pembaca.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

Saluran pencernaan manusia


1. Mulut
Proses pencernaan dimulai sejak makanan masuk ke dalam mulut.
Di dalam mulut terdapat alat-alat yang membantu dalam proses
pencernaan, yaitu gigi, lidah, dan kelenjar ludah (air liur). Di dalam rongga
mulut, makanan mengalami pencernaan secara mekanik dan kimiawi.
Beberapa organ di dalam mulut, yaitu :
a. Gigi
Gigi berfungsi untuk mengunyah makanan sehingga
makanan menjadi halus. Keadaan ini memungkinkan enzim-enzim
pencernaan mencerna makanan lebih cepat dan efisien. Gigi dapat
dibedakan atas empat macam yaitu gigi seri, gigi taring, gigi
geraham depan, dan gigi geraham belakang. Secara umum, gigi
manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu mahkota gigi (korona), leher
gigi (kolum), dan akar gigi (radiks). Mahkota gigi atau puncak gigi
merupakan bagian gigi yang tampak dari luar. Setiap jenis gigi
memiliki bentuk mahkota gigi yang berbeda-beda. Gigi seri
berbentuk seperti pahat, gigi taring berbentuk seperti pahat
runcing, dan gigi geraham berbentuk agak silindris dengan
permukaan lebar dan datar berlekuk-lekuk. Bentuk mahkota gigi
pada gigi seri berkaitan dengan fungsinya untuk memotong dan
menggigit makanan. Gigi taring yang berbentuk seperti pahat
runcing untuk merobek makanan. Sedangkan gigi geraham dengan
permukaan yang lebar dan datar berlekuk-lekuk berfungsi untuk
mengunyah makanan. Leher gigi merupakan bagian gigi yang

terlindung dalam gusi, sedangkan akar gigi merupakan bagian gigi


yang tertanam di dalam rahang. Bila kita amati gambar penampang
gigi, maka akan tampak bagian-bagian seperti pada gambar berikut
ini.

Bagian-bagian gigi
Email gigi merupakan lapisan keras berwarna putih yang
menutupi mahkota gigi. Tulang gigi, tersusun atas zatdentin.
Sumsum gigi (pulpa), merupakan rongga gigi yang di dalamnya
terdapat serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah. Itulah
sebabnya bila gigi kita berlubang akan terasa sakit, karena pada
sumsum gigi terdapat saraf.
b. Lidah
Lidah berfungsi untuk mengaduk makanan di dalam rongga
mulut dan membantu mendorong makanan (proses penelanan).
Selain itu, lidah juga berfungsi sebagai alat pengecap yang dapat
merasakan manis, asin, pahit, dan asam. Tiap rasa pada zat yang
masuk ke dalam rongga mulut akan direspon oleh lidah di tempat
yang berbeda-beda. Letak setiap rasa berbeda-beda, yaitu:
1) Rasa asin
> lidah bagian tepi depan
2) Rasa manis > lidah bagian ujung
3) Rasa asam > lidah bagian samping
4) Rasa pahit > lidah bagian belakang / pangkal
lidah
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat seperti pada gambar
berikut ini.

letak kepekaan lidah terhadap rasa


Lidah mempunyai reseptor khusus yang berkaitan dengan
rangsangan kimia. Lidah merupakan organ yang tersusun dari otot.
Permukaan lidah dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak
mengandung kelenjar lendir, dan reseptor pengecap berupa tunas
pengecap. Tunas pengecap terdiri atas sekelompok sel sensori yang
mempunyai tonjolan seperti rambut yang disebut papila
c. Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah menghasilkan ludah atau air liur (saliva).
Kelenjar ludah dalam rongga mulut ada 3 pasang, yaitu :
1) Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga.
2) Kelenjar submandibularis, terletak di rahang bawah.
3) Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Letak kelenjar ludah di dalam rongga mulut dapat dilihat
pada gambar berikut.

Kelenjar ludah di dalam mulut


Kelenjar parotis menghasilkan ludah yang berbentuk cair.
Kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis menghasilkan
getah yang mengandung air dan lendir. Ludah berfungsi untuk

memudahkan penelanan makanan. Jadi, ludah berfungsi untuk


membasahi dan melumasi makanan sehingga mudah ditelan. Selain
itu, ludah juga melindungi selaput mulut terhadap panas, dingin,
asam, dan basa. Di dalam ludah terdapat enzim ptialin (amilase).
Enzim ptialin berfungsi mengubah makanan dalam mulut yang
mengandung zat karbohidrat (amilum) menjadi gula sederhana
(maltosa). Maltosa mudah dicerna oleh organ pencernaan
selanjutnya. Enzim ptialin bekerja dengan baik pada pH antara 6,8
7 dan suhu 37oC.
d. Kerongkongan
Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran penghubung
antara rongga mulut dengan lambung. Kerongkongan berfungsi
sebagai jalan bagi makanan yang telah dikunyah dari mulut menuju
lambung. Jadi, pada kerongkongan tidak terjadi proses pencernaan.
Otot
kerongkongan
dapat
berkontraksi
secara
bergelombang sehingga mendorong makanan masuk ke dalam
lambung. Gerakan kerongkongan ini disebut gerak peristalsis.
Gerak ini terjadi karena otot yang memanjang dan melingkari
dinding kerongkongan mengkerut secara bergantian. Jadi, gerak
peristalsis merupakan gerakan kembang kempis kerongkongan
untuk mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut.

Gerak peristalsis dalam kerongkongan


Makanan berada di dalam kerongkongan hanya sekitar
enam detik. Bagian pangkal kerongkongan (faring) berotot lurik.
Otot lurik pada kerongkongan bekerja secara sadar menurut
kehendak kita dalam proses menelan. Artinya, kita menelan jika
makanan telah dikunyah sesuai kehendak kita. Akan tetapi,
sesudah proses menelan hingga sebelum mengeluarkan feses, kerja
otot-otot organ pencernaan selanjutnya tidak menurut kehendak
kita (tidak disadari).

e. Lambung
Lambung (ventrikulus) merupakan kantung besar yang
terletak di sebelah kiri rongga perut sebagai tempat terjadinya
sejumlah proses pencernaan. Lambung terdiri dari tiga bagian,
yaitu bagian atas (kardiak), bagian tengah yang membulat (fundus),
dan bagian bawah (pilorus). Kardiak berdekatan dengan hati dan
berhubungan
dengan
kerongkongan. Pilorus berhubungan
langsung
dengan
usus
dua
belas
jari.
Dibagian
ujung kardiak danpilorus terdapat klep atau sfingter yang mengatur
masuk dan keluarnya makanan ke dan dari lambung. Struktur
lambung dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Struktur lambung
Dinding lambung terdiri dari otot yang tersusun melingkar,
memanjang, dan menyerong. Otot-otot tersebut menyebabkan
lambung berkontraksi, sehingga makanan teraduk dengan baik dan
bercampur merata dengan getah lambung. Hal ini menyebabkan
makanan di dalam lambung berbentuk seperti bubur. Dinding
lambung mengandung sel-sel kelenjar yang berfungsi sebagai
kelenjar pencernaan yang menghasilkan getah lambung. Getah
lambung mengandung air lendir (musin), asam lambung,
enzim renin, dan enzim pepsinogen. Getah lambung bersifat asam
karena banyak mengandung asam lambung. Asam lambung
berfungsi membunuh kuman penyakit atau bakteri yang masuk
bersama makanan dan juga berfungsi untuk mengaktifkan
pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin berfungsi memecah protein
menjadi pepton dan proteos.
Enzim renin berfungsi
menggumpalkan protein susu (kasein) yang terdapat dalam susu.

Adanya enzim renin dan enzim pepsin menunjukkan bahwa di


dalam lambung terjadi proses pencernaan kimiawi.
Selain menghasilkan enzim pencernaan, dinding lambung
juga menghasilkan hormon gastrin yang berfungsi untuk
pengeluaran (sekresi) getah lambung. Di dalam lambung terjadi
gerakan
mengaduk.
Gerakan
mengaduk
dimulai
dari kardiak sampai di daerah pilorus. Gerak mengaduk terjadi
terus menerus baik pada saat lambung berisi makanan maupun
pada saat lambung kosong. Jika lambung berisi makanan, gerak
mengaduk lebih giat dibanding saat lambung dalam keadaan
kosong. Mungkin kita pernah merasakan perut terasa sakit dan
berbunyi karena perut kita sedang kosong. Hal itu disebabkan
gerak mengaduk saat lambung kosong. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat gambar berikut.

Gerak mengaduk pada lambung.


Makanan umumnya bertahan tiga sampat empat jam di
dalam lambung. Makanan berserat bahkan dapat bertahan lebih
lama. Dari lambung, makanan sedikit demi sedikit keluar menuju
usus dua belas jari melalui sfingter pilorus.
f. Usus Halus
Usus halus (intestinum) merupakan tempat penyerapan sari
makanan dan tempat terjadinya proses pencernaan yang paling
panjang. Usus halus terdiri dari :
1) Usus dua belas jari (duodenum)
2) Usus kosong (jejenum)
3) Usus penyerap (ileum)
Pada usus dua belas jari bermuara saluran getah pankreas
dan saluran empedu. Pankreas menghasilkan getah pankreas yang
mengandung enzim-enzim sebagai berikut :
1) Amilopsin (amilase pankreas) Yaitu enzim yang
mengubah zat tepung (amilum) menjadi gula lebih
sederhana (maltosa).
2) Steapsin (lipase pankreas) Yaitu enzim yang
mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.

3) Tripsinogen Jika belum aktif, maka akan diaktifkan


menjadi tripsin, yaitu enzim yang mengubah protein
danpepton menjadi dipeptida dan asam amino yang
siap diserap oleh usus halus.
Empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung di dalam
kantung empedu. Selanjutnya, empedu dialirkan melalui saluran
empedu ke usus dua belas jari. Empedu mengandung garam-garam
empedu dan zat warna empedu (bilirubin). Garam empedu
berfungsi mengemulsikan lemak. Zat warna empedu berwarna
kecoklatan, dan dihasilkan dengan cara merombak sel darah merah
yang telah tua di hati. Zat warna empedu memberikan ciri warna
cokelat pada feses. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar
berikut.

Pada bagian usus dua belas jari bermuara saluran getah


pankreas dan saluran empedu.
Selain enzim dari pankreas, dinding usus halus juga
menghasilkan getah usus halus yang mengandung enzim-enzim
sebagai berikut :
1) Maltase, berfungsi mengubah maltosa menjadi
glukosa.
2) Laktase, berfungsi mengubah laktosa menjadi
glukosa dan galaktosa.
3) Sukrase, berfungsi mengubah sukrosa menjadi
glukosa dan fruktosa.
4) Tripsin, berfungsi mengubah pepton menjadi asam
amino.
5) Enterokinase, berfungsi mengaktifkan tripsinogen
menjadi tripsin.
Di dalam usus halus terjadi proses pencernaan kimiawi
dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan. Karbohidrat

dicerna menjadi glukosa. Lemak dicerna menjadi asam lemak dan


gliserol, serta protein dicerna menjadi asam amino. Jadi, pada usus
dua belas jari, seluruh proses pencernaan karbohidrat, lemak, dan
protein diselesaikan. Selanjutnya, proses penyerapan (absorbsi)
akan berlangsung di usus kosong dan sebagian besar di usus
penyerap. Karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa, lemak
diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol, dan protein diserap
dalam bentuk asam amino. Vitamin dan mineral tidak mengalami
pencernaan dan dapat langsung diserap oleh usus halus. Struktur
usus halus dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Penampang Usus Halus Manusia


Pada dinding usus penyerap terdapat jonjot-jonjot usus
yang disebut vili (Lihat gambar diatas). Vili berfungsi memperluas
daerah penyerapan usus halus sehingga sari-sari makanan dapat
terserap lebih banyak dan cepat. Dinding vili banyak mengandung
kapiler darah dan kapiler limfe (pembuluh getah bening usus).
Agar dapat mencapai darah, sari-sari makanan harus menembus sel
dinding usus halus yang selanjutnya masuk pembuluh darah atau
pembuluh limfe. Glukosa, asam amino, vitamin, dan mineral
setelah diserap oleh usus halus, melalui kapiler darah akan dibawa
oleh darah melalui pembuluh vena porta hepar ke hati.
Selanjutnya, dari hati ke jantung kemudian diedarkan ke seluruh
tubuh. Asam lemak dan gliserol bersama empedu membentuk
suatu larutan yang disebut misel. Pada saat bersentuhan dengan
sel vili usus halus, gliserol dan asam lemak akan terserap.
Selanjutnya asam lemak dan gliserol dibawa oleh pembuluh getah
bening usus (pembuluh kil), dan akhirnya masuk ke dalam
peredaran darah. Sedangkan garam empedu yang telah masuk ke
darah menuju ke hati untuk dibuat empedu kembali. Vitamin yang

10

larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K) diserap oleh usus halus


dan diangkat melalui pembuluh getah bening. Selanjutnya,
vitamin-vitamin tersebut masuk ke sistem peredaran darah.
Umumnya sari makanan diserap saat mencapai akhir usus halus.
Sisa makanan yang tidak diserap, secara perlahan-lahan bergerak
menuju usus besar.
g. Usus Besar
Makanan yang tidak dicerna di usus halus,
misalnya selulosa, bersama dengan lendir akan menuju ke usus
besar menjadi feses. Di dalam usus besar terdapat
bakteri Escherichia coli. Bakteri ini membantu dalam proses
pembusukan sisa makanan menjadi feses. Selain membusukkan
sisa makanan, bakteri E. coli juga menghasilkan vitamin K.
Vitamin K berperan penting dalam proses pembekuan darah. Sisa
makanan dalam usus besar masuk banyak mengandung air. Karena
tubuh memerlukan air, maka sebagian besar air diserap kembali ke
usus besar. Penyerapan kembali air merupakan fungsi penting dari
usus besar. Usus besar terdiri dari bagian yang naik, yaitu mulai
dari usus buntu (apendiks), bagian mendatar, bagian menurun, dan
berakhir pada anus. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada
gambar berikut ini.

Struktur usus besar


Perjalanan makanan sampai di usus besar dapat mencapai
antara empat sampai lima jam. Namun, di usus besar makanan
dapat disimpan sampai 24 jam. Di dalam usus besar, feses di
dorong secara teratur dan lambat oleh gerakan peristalsis menuju
ke rektum (poros usus). Gerakan peristalsis ini dikendalikan oleh
otot polos (otot tak sadar).

11

h. Anus
Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh.
Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu pada
bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka
otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus.
Otot spinkter yang menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan
otot lurik. Jadi, proses defekasi (buang air besar) dilakukan dengan
sadar, yaitu dengan adanya kontraksi otot dinding perut yang
diikuti dengan mengendurnya otot sfingter anus dan kontraksi
kolon serta rektum. Akibatnya feses dapat terdorong ke luar anus.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Struktur anus
2.2. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna, dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan,
gangguan kesadaran (Sodikin, 2011). Demam tifoid atau sering disebut dengan
tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang
berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Menurut Tambayong (2000), mengatakan tifus abdominalis adalah penyakit
infeksi hebat yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara
progresif menyerbu jaringan di seluruh tubuh.
2.3. Patogenesis Demam Tifoid
Salmonella typhi merupakan hasil gram (-) dan bergerak dengan rambut
getar. Transmisi Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia dapat melalui
(Hornick, 1978) hal-hal berikut.
1. Transmisi oral, melalui makanan yang terkontaminasi kuman Salmonella
typhi.

12

2. Transmisi dari tangan ke mulut, di mana tangan yang tidak higienis yang
mempunyai Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan makanan yang
dimakan.
3. Transmisi kotoran, di mana kotoran individu yang mempunyai basil
Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan
sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak.
2.4. Etiologi Demam Tifoid
Penyakit tifus disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil
gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak
menghasilkan spora berkapsul tumbuh baik di suhu 37oC. Bakteri tersebut
memasuki tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan manusia merupakan
sumber utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit
saat sedang sakit atau dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup dengan baik
sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun
mati pada suhu 70C maupun oleh antiseptik. (Soedarto, 1996).
Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan
kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh
mereka yang menurun. Adapun sifat dari Salmonella thypi adalah sabagai berikut
: bentuk batang, gram negatif, fakultatif aerob, bergerak dengan flagel pertrich,
mudah tumbuhpada perbenihan biasa dan tumbuh baik pada perbenihan yang
mengandung empedu. Sebagian besar salmonella typhi bersifat patogen pada
binatang dan merupakan sumber infeksi pada manusia, binatang-binatang itu
antara lain tikus, unggas, anjing, dan kucing. Dialam bebas salmonella typhi dapat
tahan hidup lama dalam air , tanah atau pada bahanmakanan. di dalam feses diluar
tubuh manusia tahan hidup 1-2 bulan.
Struktur Antigen Salmonella thypi:
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatic yang terletak dilapisan luar tubuh
kuman. Struktur kimianyaterdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemenasan 1000 selama 2-5 jam,alcohol dan asam yang
encer.
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di plagella, pibriae atau fili
Salmonella typhi danberstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif
pada pemanasan di atas suhu 600 C dan pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi
Antigen Vi terletak dilapisan terluar Salmonella typhi (kapsul) yang
melindungi kuman daripagositas dengan struktur kimia glikolitid.
Akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 600 C dengan
pemberian asam dan fenol. Antigen inidigunakan untuk mengetahui
adanya karier.

13

d. Outer Membrane Protein (OMP)


Antigen OMP Salmonella Typhi merupakan bagian dinding sel yang
terletak diluar membraneplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel terhadap ingkungan sekitarnya. OMP initerdiri dari 2
bagian yaitu proteinnonporin
2.5. Faktor Resiko Demam Tifoid
1. Kepadatan penduduk yang lumayan tinggi
2. Sumber air dan sanitasi lingkungan yang buruk
3. Kurangnya higiene pengolahan makanan serta minuman
4. Kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dan
jamban keluarga
5. Memiliki kontak dekat dengan seseorang yang terinfeksi atau baru saja
terinfeksi demam tifoid
2.6. Tanda dan Gejala Demam Tifoid
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari.
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue),
ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah. Manifestasi klinik tergantung pada umur yang di bedakan yaitu
usia sekolah sampai adolesen, bayi sampai umur 5 tahun, dan pada
neonates (Widagdo, 2011).

14

2.7. Patofisiologi Demam Tifoid


Kuman Salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan ditelan
oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada di
dalam laminan propia. Sebagian dari Salmonella typhi adda yang dapat masuk ke
usus halus mengadakan invaginasi ke jaringan limfoid usus halus (plak peyer) dan
jaringan limfoid Salmonella typhi masuk melalui folikel limpa ke saluran limpatik
dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama
menyerang system retikulo endothelia (RES) yaitu : hati, limpa dan tulang,
kemudian selanjutnya mengenai saluran organ di dalam tubuh antara lain system
saraf pusat , ginjal , dan jaringan limpa (Curtis, 2006).
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain
usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, plakat peyer
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tanpak seperti infiltrate atau
hyperplasia di mukosa usus( Sjamsuhidayat, 2005).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini
lebih besar di ileum daripada di kolon sesuai dengan ukuran plak peyer.
Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
pendarahan. Perforasi terjaadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah
penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut
dan fibrosis (Brusch, 2009).
Masuknya kuman ke dalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan
tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam
hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini
disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik-turun, dan turunnya dapat
mencapai normal). Di samping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi
obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas usus, namun hal ini tidak selalu
terjadi dan dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu
tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri perut
kanan atas, splenomegali,, dan hepatomegali (Chatterjee, 2009).
Pada minggu selanjutnya di mana infeksi fokal intestinal terjadi dengan
tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dan fase
bakterimia dan berlangsung terus-menerus (demam kontinu), lidah kotor, tepi
lidah hiperemis, penurunan peristaltic, gangguan digesti dan absorpsi sehingga
akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat
terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen
berat, peristaltic menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan kesadaran
( Parry, 2002).
2.8. Pemeriksaan Diagnostik Demam Tifoid
Pengkajian diagnostik yang diperlukan adalah pemeriksaan labolatorium dan
radiografi, meliputi hal-hal berikut ini:

15

1. Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan
jumlah leukosit antara 3000-4000/mm3 ditemukan pada feses demam. Hal
ini diakibatkan oleh penghancuran leukosit oleh endotoksin. Aneosinofilia
yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada
stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosi umumnya jumlah
limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah
meningkat (Dutta,2001)
2. Pemeriksaan urin
Protein bervariasi dari mulai negatif hingga positif (akibat demam)
juga didapatkan peningkatan leukosit dalam urin.
3. Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahya perdarahan
usus perforasi.
4. Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman salmonella pada biakan darah tinja,
urine, cairan empedu, atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan serologis
Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibosi
(aglutinin). Respons antibosi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman
salmonella adalah antibodi O dan H. Apabila titer antibosi O adalah 1:20
atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi
yang progresif (lebih dari 40 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2
minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi salmonella
typhi (Papagrigorakis,2007)
6. Tes Widal
Tes widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri
salmonella yang mengakibatkan tifoid. Uji ini akan memperlihatkan reaksi
antibody salmonella terhadap antigen O-somatik dan H-flagellar di dalam
darah.
Tes widal didasarkan pada :
1. Antigen 0 (somatic/badan)
2. Antigen h (flagel / semacam ekor sebagai alat gerak)
Jika masuk kedalam tubuh kita, maka timbul reaksi antigen-antibodi.
Antibody terhadap :
1. Antigen O : setelah 6 sampai 8 hari dari awal penyakit
2. Antigen H : 10 12 hari dari awal penyakit
7. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi isi untuk mengetahui apakah ada kelainan atau
komplikasi demam tifoid.

16

2.9. Penatalaksanaan medis Demam Tifoid


Istirahat tirah baring dan perawatan professional dengan tujuan mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Dalam perawatan perlu 24 dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian serta perlengkapan yang dipakai serta kebersihan
perorangan.
1. Diet dan terapi penunjang (sistimatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan penderita secara optimal.
Dimasa lalu penderita diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi, yang perubahannya
disesuaikan denga kesembuhan penderita. Bubur saring ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Diet, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan
tinggi protein. Bahan makanan tidak booleh mengandung banyak
serat, tidak merangsang, dan tidak menimbulkan banyak gas.
2. Pemberian antibiotik dengan tujuan untuk menghentikan dan
mencegah penyebaran bakteri. Obat antibiotik yang sering digunakan
untuk pengobatan demam Tifoid adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol,
Kotrimoksazol, Amphisilin dan Amoksilin
2.10. Cara Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan demam tifoid harus dimulai dari hygiene perorangan dan
lingkungan, misalnya : mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, sesudah
buang air, tidak buang air besar mauun air kecil sembarangan, membuang sampah
pada tempatnya, menutup hidangan makanan sehingga terhindar dari lalat,
mencuci lalapan atau buah segar secara bersih (Suharjo, 2010).
Pencegahan yang dapat dilakukan pada kelompok untuk dapat menghindari
Demam Tifoid adalah :
1. Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga
kebersihan.
2. Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan tidak terjangkaau
oleh lalat.
3. Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi.
4. Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah
sembuh, carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan.
2.11. Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu
1. Komplikasi Intestinal:
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita Universitas

17

Sumatera Utara mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut


darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai
syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal:
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia

18

2.12. WOC THYPUS ABDOMINALIS


Bakteri Salmonella Thypii & Salmonella
Paratypi
Masuk mll makanan dan
minuman

Dimusnahkan
asam lambung

Berkembang biak di usus

Imunitas Humoral (ig A)


kurang baik

Mati

Menembus sel epitel

Berkembang biak di lamina propia


Pendarahan sel
cerna

Perforasi

Lap.
Serosa
usus

Lapisan
otot

Ditelan (makrofag) sel fagosit

PK: Pendarahan
Hyperplasi
a & nekrosi
jaringan

Erosi pemb
darah
plaques
payeri

Makrofag
hiperaktif

Plaques payeri

Kelenjar getah bening masenterika


Sirkulasi darah

Nyeri Akut
Bakterimia II Symtomatik

Bakterimia Asymtomatik

Organ retikuloendotelial
hati & limpa

Nyeri otot
Nyeri kepala

Metabolisme meningkat

Berkembang biak diluar sel


MK : Intoleransi
Aktivitas

Anoreksia,
mual, muntah

MK : Kekurangan
Volume Cairan

Kantung Empedu
Lumen usus

Feses

Usus

Splenomegali
Hepatomegali

MK : Nyeri akut

Salmonella dlm
makrofag teraktivitas
Hiperaktif melepaskan sitokin

Hipertermi

Reaksi Inflamasi

Resiko Infeksi

19

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1. Pengkajian
Pengkajian demam tifoid akan didapatkan sesuai dengan perjalanan patologis
penyakit. Secara umum keluhan utama pasien adalah demam dengan atau tidak
disertai menggigil. Apabila pasien datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
dimana perjalanan penyakit pada minggu pertama akan didapatkan keluhan
inflamasi yang belum jelas, sedangkan setelah minggu kedua, maka keluhan pasien
menjadi lebih berat. Keluhan lain yang menyertai demam yang lazim didapatkan
berupa keluhan nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan nyeri
otot.
Pada pengkajian riwayat kesehatan mungkin didapatkan kebiasaan
mengonsumsi makan yang tidak diolah dengan baik, sumber air minum yang tidak
sehat dan kondisi lingkungan rumah tempat tinggal yang tidak sehat, serta
kebersihan perseorangan yang kurang baik. Pada pengkajian riwayat penyakit
dahulu perlu divalidasi tentang adanya riwayat penyakit tifus abdominalis
sebelumnya.
Pengkajian psikososial sering didapatkan adanya kecemasan dengan kondisi
sakit dan keperluan pemenuhan informasi tentang pola hidup higienis. Pada
pemeriksaan fisik akan didapatkan berbagai manifestasi klinik yang berhubungan
dengan perjalanan dari penyakit demam tifoid.
Pemeriksaan
Survei umum dan tingkat kesadaran

TTV

B1 (breathing)

Manifestasi klinik
Pada fase awal penyakit biasanya
tidak didapatkan adanya perubahan.
Pada fase lanjut, secara umum pasien
terlihat sakit berat dan sering
didapatkan
penurunan
tingkat
kesadaran (apatis, delirium)
Pada fase 7 14 hari didapatkan suhu
tubuh meningkat 39 41o C pada
malam hari dan biasanya turun pada
pagi hari. Pada pemeriksaan nadi
didapatkan penurunan frekuensi nadi
(bradikardi relative)
System pernapasan biasanya tidak
didapatkan adanya kelainan, tetapi
akan mengalami perubahan apabila
terjadi respons akut dengan gejala
batuk kering. Pada beberapa kasus
berat bisa didapatkan adanya

20

B2 (blood)
System kardiovaskular dan
hematologi

B3 (brain)
Neuro sensori dan fungsi system
saraf pusat

B4 (bladder)
System genitourinarius
B5 (bowel)
System gastrointestinal

komplikasi
tanda
dan
gejala
pneumonia.
Penurunan tekanan darah, keringat
dingin, dan diaphoresis sering
didapatkan pada minggu pertama.
Kulit pucat dan akral dingin
berhubungan dengan penurunan kadar
hemoglobin.
Pada minggu ketiga, respons toksin
sistemik bisa mencapai otot jantung
dan terjadi miokarditis dengan
manifestasi penurunan curah jantung
dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri
dada, dan kelemahan fisik (Brusch,
2009)
Pada pasien dengan dehidrasi berat
akan menyebabkan penurunan perfusi
serebral dengan manifestasi sakit
kepala, perasaan lesu, gangguan
mental seperti halusinasi dan delirium.
Pada beberapa pasien bisa didapatkan
kejang umum yang merupakan
respons terlibatnya system saraf pusat
oleh infeksi tifus abdominalis.
Didapatkannya icterus pada sklera
terjadi pada kondisi berat.
Pada kondisi berat akan didapatkan
penurunan urine output respons dari
penurunan curah jantung.
Inspeksi
1. Lidah kotor berselaput putih
dan tepi hiperemis disertai
stomatitis. Tanda ini jelas
mulai Nampak pada minggu
kedua berhubungan dengan
infeksi
sistemik
dan
endotoksin kuman
2. Sering muntah
3. Perut kembung
4. Distensi abdomen dan nyeri,
merupakan
tanda
yang

21

B6 (bone)
System musculoskeletal dan
integument

diwaspadai
terjadinya
perforasi dan peritonitis.
Auskultasi
1. Didapatkan penurunan bising
usus kurang dari 5kali/ menit
pada minggu pertama dan
terjadi
konstipasi,
serta
selanjutnya meningkat akibat
terjadi diare.
Perkusi
1. Didapatkan suara timpani
abdomen akibat kembung
Palpasi
1. Hepatomegaly
dan
splenomegaly.
Pembesaran
hati
dan
limpa
mengindikasikan infeksi RES
yang mulai terjadi pada
minggu ke 2
2. Nyeri tekan abdomen
Respons sistemik akan menyebabkan
malaise, kelemahan fisik umum dan
didapatkan kram otot ekstremitas.
Pemeriksaan
integument
sering
didapatkan kulit kering, turgor kulit
menurun, muka tampak pucat, rambut
agak suram, dan yang terpenting
sering didapatkannya tanda Roseola
(bintik merah pada leher, punggung,
dan paha). Roseola merupakan suatu
nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 4 mm, berwarna merah,
pucat, serta hilang pada penekanan,
lebih sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua.
Roseola ini merupakan emboli kuman
dimana didalamnya mengandung
kuman Salmonella dan terutama
didapatkan didaerah perut, dada dan
terkadang di bokong mupun bagian
fleksor dari lengan atas (Crumm,
2003)

22

3.1.1.

Pengkajian diagnostic
Pengkajian diagnostic yang diperlukan pada pasien dengan demam
tifoid adalah pemeriksaan laboratorium dan radiografi, meliputi hal hal
berikut :
1. Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorpsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan
jumlah leukosit antara 3000 4000 / mm3 ditemukan pada fase demam. Hal
ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia
yaitu hilangnya eosinophil ari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada
stadium pana yaitu pada minggu pertama. Lomfositosis umumnya jumlah
limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah
meningkat (Dutta, 2001).
2. Pemeriksaan urine
Protein bervariasi dari mulai negatif hingga positif (akibat demam)
juga didapatkan peningkatan leukosit dalam urin.
3. Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lender dan darah, dicurigai akan bahaya
perdarahan usus dan perforasi
4. Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella pada biakan darah tinja,
urine, cairan empedu, atau sumsum tulang belakang
5. Pemeriksaan serologis
Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody
(agglutinin). Respons antibody yang dihasilkan tubuh akibat infeksi
kuman Salmonella adalah antibody O dan H. apabila titer antibody O
adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer
antibody yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1
atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosis positif dari infeksi
Salmonella typhi (Papagrigorakis, 2007).
6. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau
komplikasi akibat deman tifoid.

3.1.2.
Pengkajian penatalaksanaan medis
1. Diet, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi
protein, dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung
banyak serat, tidak merngsang, dan tidak menimbulkan banyak gas.
2. Obat pilihan utama ialah kloranfenikol atau tiamfenikol

23

3.2. Diagnosis keperawatan


1. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan
dan peningkatan suhu tubuh
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
3. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran organ)
3.3. Intervensi keperawatan
Diagnoasa 1 : Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan dan peningkatan suhu tubuh
NOC
NIC
1. Fluid Balance
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian IV
2. Hydration
2. Kolaborasi dengan dokter jika
3. Nutritional Status : Food
tanda cairan berlebih muncul
and Fluid intake
Setelah
dilakukan
tindakan Monitoring :
keperawatan selama 2x24 jam defisit
1. Pertahankan catatan intake dan
volume cairan teratasi dengan
output akurat
kriteria hasil :
2. Monitor status hidrasi (
a. Mempertahankan
urine
kelembapan
mukosa,
nadi
output sesuai dengan usia dan
adekuat,
tekanan
darah
BB, BJ urine normal
ortostatik)
b. Tekanan darah, nadi, suhu
3. Monitor hasil lab sesuai dengan
tubuh dalam batas normal
retensi cairan ( BUN, Hmt,
c. Tidak ada tanda dehidrasi,
osmolalitas urin, albumin, total
elastisitas turgor kulit baik,
protein)
membran mukosa lembab,
4. Monitor status nutrisi
tidak
ada
rasa
haus
5. Monitor intake dan urine output
berlebihan
setiap 8 jam
d. Orientasi terhadap waktu dan Mandiri :
tempat baik
1. Berikan cairan oral
e. Jumlah irama pernapasan
2. Berikan
pengganttian
dalam batas normal
nasogastrik sesuai output (50f. Elektrolit Hb Hmt dalam
100cc/jam)
batas normal
3. Atur kemungkinan transfusi
g. pH urine dalam batas normal
4. Persiapan transfusi
h. intake oral dan intravena
5. Pasang kateter jika perlu
adekuat
Edukasi :
1. Dorong
kellurga
untuk
membantu pasien makan.
Diagnoasa 2 : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
NOC
NIC
24

1. Thermogulasi
2. Infection control
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
pasien menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal
dengan kriteria hasil :
1. Suhu 36-37c
2. Nadi dan RR dalam rentang
normal
3. Tidak ada perubahan warna
kulit dan tidak ada pusing,
merasa nyaman.
4. WBC dalam batas normal

Kolaborasi :
1. Kolaborasikan
pemberian
antipiretik
2. Kolaborasikan
pemberian
antibiotik
Monitoring :
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Manitor warna dan susu kulit
3. Monitor tanda tanda vital
4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
5. Monnitor intake dan output
6. monitor hidrasi seperti turgor
kulit,
kelembaban
membran
mukosa
Mandiri :
1. menganjurkan istirahat
2. selimuti pasien
3. kompres pasien ppada lipat paha
dan aksila
4. catat adanya fluktuasi tekanan
darah
Edukasi :
1. berikan informasi tanda dan gejala
infeksi pada keluarga

Diagnoasa 3 : Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran


organ)
NOC
NIC
1. Pain Level,
Kolaborasi :
1. Kolaborasikan
pemberian
2. pain control,
analgetik
3. comfort level
Monitoring :
Setelah
dilakukan
tindakan
1. Observasi reaksi nonverbal dari
keperawatan selama 2x 24 jam.
ketidaknyamanan
Pasien tidak mengalami nyeri, dengan
2. Monitor vital sign sebelum dan
kriteria hasil:
sesudah pemberian
25

analgesik pertama kali


1. Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri, mamp Mandiri :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
menggunakan
tehnik
komprehensif termasuk lokasi,
nonfarmakologi
untuk
karakteristik, durasi, frekuensi,
mengurangi nyeri, mencari
kualitas dan faktor
bantuan)
2. Bantu pasien dan keluarga untuk
2. Melaporkan bahwa nyeri
mencari
dan
menemukan
berkurang
dengan
dukungan
menggunakan
manajemen
3. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri
mempengaruhi nyeri seperti
3. Mampu mengenali nyeri
suhu ruangan, pencahayaan dan
(skala, intensitas, frekuensi
kebisingan
dan tanda nyeri)
4. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
4. Menyatakan rasa nyaman
menentukan intervensi
setelah nyeri berkurang
5. Tingkatkan istirahat
5. Tanda vital dalam rentang
6. Ajarkan tentang teknik non
normal
farmakologi:
napas
dalam,
6. Tidak mengalami gangguan
relaksasi, distraksi, kompres
tidur
hangat/ dingin
7. Kurangi
faktor
presipitasi
nyeripresipitasiselimuti pasien
kompres pasien ppada lipat paha
dan aksila
8. Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
Edukasi :
1. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur

26

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
4.1. Kasus Klien dengan Kasus Demam Tifoid
An. L (4 tahun 6 bulan) BB : 30 kg, di bawa ke UGD RS Dr. Soetomo karena
demam tidak turun sudah 9 hari, pagi turun sore malam naik lagi, mual muntah
sudah 7 hari, setelah dilakukan pemeriksaan oleh perawat didapatkan data mukosa
bibir kering, turgor kulit jelek, anak tampak lemah, T : 40oC, N : 90 x/menit, RR :
23 x/menit. Anak tampak berkeringat, keluaran urin sedikit. .Lidah kotor.Anak
didiagnosa demam thypoid. Kesadaran apatis (GCS 4,5,3 )
4.2. Pengkajian
1. Identitas klien
a. Nama
b. Tempat Tanggal Lahir
c. Umur
d. Jenis Kelamin
e. Agama
f. Pendidikan
g. Alamat
h. Tanggal MRS
i. Tanggal Pengkajian
j. No. RM
k. Diagnosa medik
2. Keluhan utama ( IGD )
3.

4.
5.

6.

: An. L
: Surabaya
: 4 Tahun
: laki-laki
: Islam
:: Mulyorejo
:23 April 2016
: 23 April 2016
: 130676
: typoid

Deman disertai nyeri perut, mual muntah sudah lebih dari 7 hari.
Riwayat penyakit sekarang
Pada hari jumat malam tgl 16/4-16 klien demam,batuk,dan beringus
pada malam itu ibu klien memberikan obat parasetamol, suhunya turun
namun kembali naik lagi. Keesokan harinya tgl 23/4-16 klien di bawah ke
RS Dr. soetomo oleh keluarga melalui ugd dari pemeriksaan dokter di IGD
klien menganjurkan untuk rawat inap dan mendapatakan perwatan.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat penyakit keluarga
Orang tua anak mengatakan kakak perempuan pasien pernah
menderita penyakit seperti pasien
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Mengkaji kesadaran dan keadaan umum anak. Kesadaran anak perlu
di kaji dari sadar tidak sadar (composmentis coma) untuk
mengetahui berat ringannya prognosis penyakit ,hasilnya pada fase
awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubahan. Pada fase
27

lanjut, secara umum pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan
penurunan tingkat kesadaran (apatis, delirium).
Suhu : 40oC
Nadi : 90 x/menit
RR : 23 x/menit
b. Tanda-tanda vital dan pemeriksaan persistem
Suhu : 40oC , Nadi : 90 x/menit, RR : 23 x/menit
1) B1 (breath)
Bentuk dada : simetris
Pola nafas : teratur
Suara nafas : tidak ada bunyi nafas tambahan
Sesak nafas : tidak ada sesak nafas
Retraksi otot bantu nafas : tidak ada
Alat bantu pernafasan : tidak ada alat bantu pernafasan
2) B2 (Blood)
Irama jantung : teratur
Nyeri dada : tidak ada
Bunyi jantung : tidak ada bunyi jantung tambahan
Akral : Tangan bentuk simetris, tidak ada peradangan sendi dan
oedem, dapat bergerak dengan bebas, akral hangat, tangan
kanan terpasang infus.Kaki bentuk simetris, tidak ada
pembatasan gerak dan oedem, akral hangat.
3) B3 (Brain)
Kesadaran : apatis (GCS 4,5,3 )
sakit kepala, perasaan lesu, gangguan mental seperti halusinasi
dan delirium.
Penglihatan (mata) : Gerakan bola mata dan kelopak mata
simetris, konjungtiva tampak anemis, sklera putih, pupil
bereaksi terhadap cahaya, produksi air mata (+), tidak
menggunakan alat bantu penglihatan.
Pendengaran (telinga) : Bentuk D/S simetris, mukosa lubang
hidung merah muda, tidak ada cairan dan serumen, tidak
menggunakan alat bantu, dapat merespon setiap pertanyaan
yang diajukan dengan tepat.
Penciuman (hidung) : Penciuman dapat membedakan baubauan, mukosa hidung merah muda, sekret tidak ada, tidak ada
terlihat pembesaran mukosa atau polip.
4) B4 (Bladder)
Kebersiahan
: bersih
Bentuk alat kelamin
: normal
Uretra
: normal
Produksi urin
: tidak normal (sedikit), buang air kecil

28

tidak menentu, rata-rata 4-6x sehari, tidak pernah ada keluhan


batu atau nyeri. Pada anak normalnya 0,5-1 cc/kgbb/jam
5) B5 (Bowel)
Nafsu makan
: anoreksia
Porsi makan
: porsi tidak habis atau berkurang
Mulut
: Mukosa bibir kering, lidah tampak kotor
(keputihan), gigi lengkap, tidak ada
pembengkakan
gusi,
tidak
teerlihat
pembesaran tonsil
Mukosa
: pucat
Abdomen
: Distensi abdomen dan nyeri tekan.
Penurunan bising usus kurang dari 5kali/
menit pada minggu pertama. Konstipasi,
serta selanjutnya meningkat akibat terjadi
diare.Didapatkan
suara
hipertimpani
abdomen akibat kembung. Pembesaran hati
dan limfe
6) B6 (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi : normal
Kondisi tubuh
: kelelahan, malaise, lemah
4.3. Analisa Data
Data
Etiologi
MK
Diagnosa
Data Subjektif
Demam (panas naik turun)
selama 7 hari.
Data Objektif
1. Mukosa bibir kering
2. Turgor kulit jelek
3. Anak tampak lemah
4. Lidah tampak kotor
5. T : 40oc
6. N : 90 x/m
7. Berkeringat
8. Badan diraba panas
9. Akral dingin
10. CRT lebih dari 2
detik.
11. apatis (GCS 4,5,3 )

Kuman Salmonella
typhii
masuk ke saluran
cerna
Sebagian masuk
Ke usus halus

Hipertermi Hipertermi
berhubungan
dengan proses
infeksi

Ileum terminalis

Sebagian
menembus
lamina propia

29

masuk aliran limfe

Menembus dan
masuk aliran darah

Hipothalamus

Demam

Peningkatan
Suhu tubuh

Data Subjektif
1. Demam (panas naik
turun)
2. Mual
3. Muntah
4. Diare
bahkan
konstipasi.
Data Objektif
1. Mukosa bibir kering
2. Turgor kulit jelek
3. Anak tampak lemah
4. Lidah tampak kotor
5. Keluaran
urin
sedikit
6. T : 40oc
7. N : 90 x/m
8. RR : 23x/m
9. Berkeringat
10. Penurunan bising
usus kurang dari

MK : Hipertermi
Kuman Salmonella
typhii
masuk ke saluran
cerna

Sebagian
dimusnahkan
Asam lambung

Kekuranga Kurangnya
n volume volume cairan
cairan
berhubungan
dengan
kurangnya
intake cairan
dan
peningkatan
suhu tubuh

Peningkatan asam
lambung

Mual, Muntah

30

5kali/ menit pada


minggu pertama
11. Konstipasi,
serta
selanjutnya
meningkat akibat
terjadi diare.
Data Subjectif
1. Pasien
mengeluh
nyeri perut
2. Pasien
mengeluh
perutnya
terasa
begah, kembung.
Data Objective
1. Nyeri
tekan
abdomen
2. Penurunan
bising
usus kurang dari
5kali/ menit pada
minggu pertama
3. Konstipasi,
serta
selanjutnya
meningkat
akibat
terjadi diare.
4. Perkusi
abdomen
Hipertimpani
5. Palpasi
abdomen
hepatomegali
dan
splenimegali

MK : Kekurangan
Volume Cairan

Bakteri masuk
melalui makanan

Berkembang biak
di usus

Nyeri
Akut

Nyeri
akut
berhubungan
dengan
kerusakan
jaringan
(pembesaran
organ)

Kelenjar getah
bening bermasalah

Sirkulasi darah

Bakterimia
asymtomatik

Organ
retikuloendotelia
hati dan limfa

Berkembang biak
diluar sel

Hepatomegali dan
splenomegali

Nyeri Akut

31

4.4. Diagnosa Keperawatan


1. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan
dan peningkatan suhu tubuh
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
3. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran organ)
4.5. Intervensi Keperawatan
Diagnoasa 1 : Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan dan peningkatan suhu tubuh
NOC
NIC
1. Fluid Balance
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian IV
2. Hydration
2. Kolaborasi dengan dokter jika
3. Nutritional Status : Food
tanda cairan berlebih muncul
and Fluid intake
Setelah
dilakukan
tindakan Monitoring :
keperawatan selama 2x24 jam defisit
1. Pertahankan catatan intake dan
volume cairan teratasi dengan
output akurat
kriteria hasil :
2. Monitor status hidrasi (
a. Mempertahankan
urine
kelembapan
mukosa,
nadi
output sesuai dengan usia dan
adekuat,
tekanan
darah
BB, BJ urine normal
ortostatik)
b. Tekanan darah, nadi, suhu
3. Monitor hasil lab sesuai dengan
tubuh dalam batas normal
retensi cairan ( BUN, Hmt,
c. Tidak ada tanda dehidrasi,
osmolalitas urin, albumin, total
elastisitas turgor kulit baik,
protein)
membran mukosa lembab,
4. Monitor status nutrisi
tidak
ada
rasa
haus
5. Monitor intake dan urine output
berlebihan
setiap 8 jam
d. Orientasi terhadap waktu dan Mandiri :
tempat baik
1. Berikan cairan oral
e. Jumlah irama pernapasan
2. Berikan
pengganttian
dalam batas normal
nasogastrik sesuai output (50f. Elektrolit Hb Hmt dalam
100cc/jam)
batas normal
3. Atur kemungkinan transfusi
g. pH urine dalam batas normal
4. Persiapan transfusi
h. intake oral dan intravena
5. Pasang kateter jika perlu
adekuat
Edukasi :
1. Dorong
kellurga
untuk
membantu pasien makan.
Diagnoasa 2 : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
NOC
NIC
32

1. Thermogulasi
2. Infection control
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
pasien menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal
dengan kriteria hasil :
1. Suhu 36-37c
2. Nadi dan RR dalam rentang
normal
3. Tidak ada perubahan warna
kulit dan tidak ada pusing,
merasa nyaman.
4. WBC dalam batas normal

Kolaborasi :
1. Kolaborasikan
pemberian
antipiretik
2. Kolaborasikan
pemberian
antibiotik
Monitoring :
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Manitor warna dan susu kulit
3. Monitor tanda tanda vital
4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
5. Monnitor intake dan output
6. monitor hidrasi seperti turgor
kulit,
kelembaban
membran
mukosa
Mandiri :
1. menganjurkan istirahat
2. selimuti pasien
3. kompres pasien ppada lipat paha
dan aksila
4. catat adanya fluktuasi tekanan
darah
Edukasi :
1. berikan informasi tanda dan gejala
infeksi pada keluarga

Diagnoasa 3 : Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran


organ)
NOC
NIC
1. Pain Level,
Kolaborasi :
1. Kolaborasikan
pemberian
2. pain control,
analgetik
3. comfort level
Monitoring :
Setelah
dilakukan
tindakan
1. Observasi reaksi nonverbal dari
keperawatan selama 2x 24 jam.
ketidaknyamanan
Pasien tidak mengalami nyeri, dengan
2. Monitor vital sign sebelum dan
kriteria hasil:
sesudah pemberian
33

analgesik pertama kali


1. Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri, mamp Mandiri :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
menggunakan
tehnik
komprehensif termasuk lokasi,
nonfarmakologi
untuk
karakteristik, durasi, frekuensi,
mengurangi nyeri, mencari
kualitas dan faktor
bantuan)
2. Bantu pasien dan keluarga untuk
2. Melaporkan bahwa nyeri
mencari
dan
menemukan
berkurang
dengan
dukungan
menggunakan
manajemen
3. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri
mempengaruhi nyeri seperti
3. Mampu mengenali nyeri
suhu ruangan, pencahayaan dan
(skala, intensitas, frekuensi
kebisingan
dan tanda nyeri)
4. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
4. Menyatakan rasa nyaman
menentukan intervensi
setelah nyeri berkurang
5. Tingkatkan istirahat
5. Tanda vital dalam rentang
6. Ajarkan tentang teknik non
normal
farmakologi:
napas
dalam,
6. Tidak mengalami gangguan
relaksasi, distraksi, kompres
tidur
hangat/ dingin
7. Kurangi
faktor
presipitasi
nyeripresipitasiselimuti pasien
kompres pasien ppada lipat paha
dan aksila
8. Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
Edukasi :
1. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur

34

BAB 5
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna, dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan,
gangguan kesadaran (Sodikin, 2011).
Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa,
basil gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak
menghasilkan spora berkapsul tumbuh baik di suhu 37oC. Bakteri tersebut
memasuki tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan manusia merupakan
sumber utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit saat
sedang sakit atau dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup dengan baik sekali pada
tubuh manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun mati pada suhu
70C maupun oleh antiseptik. (Soedarto, 1996).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing
dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
Demam, Ganguan pada saluran pencernaan, Gangguan kesadaran.

35

Daftar Pustaka
Eprint.undip.ac.id/42528/1/BAB_1-IV.pdf diakses tanggal 16 April 2016 pukul
21.18
Gloria M. Bulechek, et. al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). USA:
Mosby Elsevier
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definition and
Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Muttaqin Arif, Kumala Sari.2013.Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika
Sue Moorhead, et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement
of Health Outcomes 5th Edition. USA: Elsevier
Widagdo. 2011. Masalah dan tatalaksana penyakit infeksi pada anak. Jakarta:
Sagung Seto.

36

You might also like