You are on page 1of 22

PENDAHULUAN

Angka seksio sesarea yang mendekati 25%, telah stabil dan mulai menunjukkkan
penurunan. Target nasional Amerika Serikat pada tahun 2000, angka ini menjadi 15%, dengan
angka yang dianjurkan 12% untuk seksio primer dan 3% untuk seksio ulangan.1,2
Indikasi-indikasi utama seksio sesarea meliputi : bekas seksio sesarea (8%), dystocia
(7%), letak sungsang (4%), fetal distress (2%-3%) dan lain-lain. Area-area utama penurunan
harus terjadi pada katagori bekas seksio sesarea dan dystocia.1,2
Kontributor terbesar pada tingginya angka seksio sesarea terletak pada kategori seksio
ulangan. Lebih sepertiga dari semua persalinan dengan seksio sesarea terjadi dari hasil persalinan
seksio sebelumnya. Wanita-wanita ini sering ditatalaksana sesuai diktum once a cesarean,
always a cesarean. 1,2
Topik-topik bekas seksio sesarea, trial of labor dan persalinan pervaginam pada bekas
seksio sesarea telah menjadi fokus pembahasan para praktisi, dalam usaha untuk mencoba
menurunkan angka seksio sesarea. 1,2
Penggunaan yang luas trial of labor dan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea
akan menghasilkan penurunan angka ini lebih jauh. Negara-negara di Eropa mencapai >50%
persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea, dibandingkan di Amerika Serikat yang hanya
25%. 1,
Tingkat kepedulian yang tinggi haruslah dimiliki para praktisi dalam memutuskan untuk
melakukan seksio sesarea pertama kali. Pengaruh sisa, berupa parut uterus, berpengaruh pada
12%-14% wanita yang terlihat selama persalinan. Para praktisi harus secara sadar
mempertimbangkan pengaruh dari sekali seksio sesarea, selalu ada parut. 1
Tahun 1978 merupakan tahun yang sangat berarti dalam sejarah persalinan pervaginam
pada bekas seksio sesarea. Merril dan Gibbs melaporkan dari Universitas Texas di San Antonio
persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea terbukti aman pada 83% bekas seksio sesarea.
Laporan ini mewujudkan ketertarikan pada persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea,
pada waktu dimana hanya 2% wanita Amerika yang ingin melahirkan pervaginam setelah
sebelumnya seksio sesarea. 2
United States Public Health Service, melalui Consensus Development Conference on
Cesarea Child Birth, pada tahun 1980 merekomendasikan persalinan pervaginam pada bekas

seksio sesarea dengan insisi uterus transversal pada segmen bawah rahim adalah tindakan yang
aman dan dapat diterima dalam rangka menurunkan angka kejadian seksio sesarea.2
Berdasarkan data dari rangkaian kasus yang memperlihatkan keamanan suatu partus
percobaan setelah seksio sesarea, American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
pada tahun 1988 mengeluarkan suatu committee opinion yang menyatakan bahwa bagi wanita
bekas seksio sesarea yang tidak mempunyai kontra indikasi seperti insisi klasik, maka wanita
tersebut harus diberi konseling dan dimotivasi untuk melahirkan pervaginam. 2
Meskipun diketahui persalinan pervaginam pada bekas seksio telah menunjukkan
penurunan angka seksio sesarea, namun angka kesakitan yang dihubungkan dengan kegagalan
partus percobaan, yang meliputi resiko ruptura uterus dan kemungkinan luaran neonatal dan
maternal yang merugikan, menjadi perhatian yang utama bagi banyak praktisi. Ruptura uteri
merupakan resiko yang sangat berbahaya, meskipun jarang terjadi, tetapi mengakibatkan
komplikasi obstetrik yang serius. 3
Banyak faktor yang dihubungkan dengan peningkatan angka kegagalan partus percobaan,
meliputi induksi persalinan, penggunaan prostaglandin, tipe jahitan dengan lapisan tunggal atau
dobel, berat anak yang lebih dari 4000 gram, jarak antar persalinan yang pendek, indikasi seksio
sebelumnya, usia ibu dan riwayat persalinan pervaginam sebelumnya. 3,15
Menurut Loveno 1999, pada awal tahun 1989, ada beberapa laporan yang dipublikasikan
dari Amerika Serikat dan Canada yang mengatakan bahwa persalinan pervaginam pada bekas
seksio sesarea adalah lebih beresiko daripada yang diperkirakan. Contohnya Scott 1991
melaporkan dari Utah didapatkan 12 wanita bekas seksio sesarea mengalami ruptura uteri pada
waktu partus percobaan (trial of labor), 2 wanita memerlukan histerektomi, ada 3 kematian
perinatal dan 2 bayi mengalami kelainan neurologik jangka panjang yang signifikan. 2
Selanjutnya Porter dan kawan-kawan 1998 melaporkan bahwa ada 26 kejadian ruptura
uteri di Salt lake City antara tahun 19901996 dan 23% bayi meninggal atau menderita kelainan
akibat asfiksia intra partum. 2
Menurut Flamm 1997, laporan-laporan diatas telah menimbulkan keraguan tentang
keamanan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea sehingga menimbulkan kontroversi.
Dengan demikian ACOG pada tahun 1998 dan 1999 mengeluarkan suatu bulletin praktek yang
menyarankan pendekatan yang hati-hati terhadap partus percobaan, di dalam bulletin tertulis
oleh karena ruptura uteri sangat berbahaya, persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea

harus dilakukan di institusi yang lengkap peralatannya untuk mengatasi keadaaan emergensi dan
dengan adanya dokter ahli yang dapat segera datang untuk memberikan pertolongan emergensi.2
Berdasarkan pengamatan ACOG 1999 terbukti bahwa persalinan pervaginam pada bekas
seksio sesarea menimbulkan resiko yang kecil, tetapi signifikan untuk terjadinya ruptura uteri
sehingga mengakibatkan keadaan yang jelek bagi ibu dan janin. Perkembangan ini telah merubah
pendapat dari pendukung persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea sehingga mereka
perlu untuk mereevaluasi rekomendasi terhadap persalinan pervaginam pada bekas seksio
sesarea. 2
Sebuah studi retrospective yang dilakukan oleh Lydon-Rochelle dan kawan-kawan pada
tahun 2001 dengan jumlah populasi yang besar, melibatkan 20.095 wanita bekas seksio sesaria,
menyimpulkan angka kejadian ruptura uteri pada persalinan pervagianam spontan pada bekas
seksio sesarea 5,2/1000, sedangkan yang diinduksi tanpa prostaglandin sebesar 7,7/1000, dan
yang diinduksi dengan prostaglandin 24.5 / 1000. 3
Resiko ruptura uteri pada persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea adalah nyata
dan bahwa resiko ini secara dramatis meningkat bila persalinan diinduksi, khususnya bila
prostaglandin digunakan untuk induksi. Data-data ini sebaiknya dipertimbangkan pada wanitawanita yang akan menjalani persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dengan
menggunakan inform consent untuk partus percobaan. 3
Pemahaman yang baik tentang resiko ruptura uteri pada persalinan pervaginam pada
bekas seksio sesarea sebaiknya menjadi perhatian yang serius bagi para praktisi agar dapat
memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap wanita dengan bekas seksio sesarea yang akan
menjalani persalinan pervaginam sesuai dengan syarat, kriteria dan indikasi yang tepat.

TINJAUAN PUSTAKA
RUPTURA UTERI
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang
umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang pada kehamilan tua. Robekan pada uterus
dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Apabila pada ruptura uteri,
peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal itu dinamakan ruptura uteri kompleta ; jika
tidak ruptura uteri inkompleta. 4,6
Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang, atau membujur, atau
miring dan bias agak ke kiri atau ke kanan. 4,6
Menurut cara terjadinya ruptura uteri dibedakan menjadi :
1. Ruptura uteri spontan, yaitu ruptura uteri yang terjadi secara spontan tanpa intervensi
pada uterus yang utuh. Terjadi terutama pada wanita dengan paritas yang tinggi.
2. Ruptura uteri traumatik, yaitu disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,
kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya.
3. Ruptura uteri pada parut uterus adalah jenis yang sering ditemukan pada bekas seksio
sesarea, terutama jenis klasik. Penting untuk membedakan antara ruptura pada parut
seksio sesarea dan terbukanya (dehisensi) parut bekas seksio sesarea. 5
Ruptura uteri pada jaringan parut pada bekas seksio sesarea adalah terpisahnya jaringan
parut pada bekas insisi, ruptura selaput ketuban, sehingga terdapat hubungan antara kavum uteri
dan kavum abdomen dan sebagian atau seluruh janin telah berada di dalam kavum abdomen
yang ditandai dengan gejala perdarahan yang hebat dan dapat mengakibatkan mortalitas terhadap
janin maupun terhadap ibu. Perdarahan biasanya berasal dari pinggir robekan jaringan parut atau
dari perluasan luka pada jaringan uterus yang sehat. 4
Sebaliknya pada dehisensi parut seksio sesarea, selaput janin tidak pecah dan oleh karena
itu, janin tidak keluar ke dalam kavum peritoneum, luka yang terbuka tidak meliputi seluruh
jaringan parut, dan perdarahan hanya sedikit atau tidak ada, terjadi perlahan-lahan, sedangkan
ruptura uteri sangat simptomatik dan kadang-kadang fatal. Dengan timbulnya persalinan atau
manipulasi intra uterine, suatu dehisensi dapat menjadi ruptura.4

Etiologi
Ruptura uteri timbul sebagai akibat adanya perlukaan atau anomali. Ini mungkin
dihubungkan dengan trauma atau komplikasi persalinan pada uterus yang tidak terdapat parut.4,6
Penyebab terbanyak dari ruptura uteri adalah terpisahnya parut bekas seksio sesarea.
Farmer dan kawan-kawan (1991) melaporkan bahwa 2/3 dari lebih 11.000 wanita bekas seksio
sesarea yang menjalani trial of labor, didapatkan insiden ruptura uteri sekitar 0,8%.4
Klasifikasi Penyebab Ruptura uteri :4
1. Perlukaan uterus sebelum kehamilan ini
Pembedahan yang mengenai endometrium :

Seksio sesarea atau histerotomi.

Penjahitan kembali bekas ruptura uteri.

Insisi

miomektomi

yang

dekat

dengan

endometrium

atau

menembus

endometrium.

Reseksi kornu yang dalam untuk mengambil pars interstitialis.

Eksisi septum uterus (metroplasti)

Trauma uterus yang terjadi secara kebetulan :

Abortus menggunakan alat ( sonde, kuret, atau alat lain)

Trauma tajam atau tumpul ( kecelakaan, pisau, peluru)

Ruptura uteri yang tidak memberi tanda (silent rupture) pada kehamilan
sebelumnya.

2. Perlukaan uterus pada kehamilan


Sebelum kelahiran :

Kontraksi spontan yang terus menerus dan kuat.

Pemberian oksitosin dan prostaglandin.

Larutan hipertonik yang disuntikkan intra amniotik

Perforasi oleh kateter pemantauan.

Trauma eksternal, tajam maupun tumpul.

Distensi uterus yang berlebihan ( janin multiple, hidramnion)

Pada waktu kelahiran :

Versi dalam.

Kelahiran forsep yang sukar.

Ekstraksi sungsang.

Anomali janin yang meregangkan segmen bawah rahim

Dorongan pada fundus yang kuat untuk melahirkan bayi.

Pengeluaran plasenta yang sulit.

3. Cacat uterus yang ada hubungannya dengan trauma.


Kongenital ;
Kehamilan pada uterus yang tumbuh tak sempurna atau pada kornu uterus.
Didapat :

Plasenta inkreta atau perkreta.

Mola atau choriokarsinoma invasif.

Adenomiosis.

PENYEMBUHAN PARUT SEKSIO SESAREA


Williams 1921 (dikutip dari Cunningham 2001) menyatakan bahwa penyembuhan pada
luka seksio sesarea adalah suatu regenerasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan
sikatrik.
Dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah
bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya :

Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus
pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan.

Pada uterus yang sudah diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus, tanpa ditemukannya
sikatrik diantarnya.2

Schwarzz dan kawan-kawan (1938) menyatakan proses penyembuhan luka operasi pada
bekas seksio sesarea adalah melalui proliferasi dari fibroblast sepanjang garis sayatan, memasuki
ruangan antara kedua sisi luka.2
Jaringan sikatrik yang terbentuk akan mengerut dan menarik kedua sisi serabut
miometrium sehingga hampir tidak tampak lagi jaringan parutnya, dan serabut miometrium akan
mengadakan aposisi pada penjahitan luka yang baik, pada keadaan ini hubungan serabut otot
polos dan jaringan penghubungnya adalah mirip dengan uterus yang intak.2
Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga
menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah :2

Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.

Kesalahan tehnik operasi, seperti tidak tepatnya pertemuan kedua sisi luka, jahitan
luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang tidak
tepat dan lain-lain.

Perbandingan Antara Parut Seksio Sesarea Klasik dan Segmen Bawah


Sifat suatu jaringan parut klasik pada korpus uteri hamil, berbeda dengan jaringan parut
yang terbatas pada segmen bawah uterus.
Pertama, kemungkinan ruptura suatu jaringan parut klasik beberapa kali lebih besar
dibandingkan dengan parut pada segmen bawah uterus.
Kedua, bila parut klasik mengalami ruptura, pada sepertiga kasus, terjadi sebelum persalinan
dimulai. Ruptura seringkali terjadi beberapa minggu sebelum aterm. Parut segmen bawah uterus
terbatas pada bagian uterus yang tidak kontraktil, jarang mengalami ruptura sebelum persalinan,
dan hanya sedikit sekali yang ruptura pada waktu persalinan.6
Dehisensi parut seksio sesarea segmen bawah uterus jauh lebih sering terjadi
dibandingkan dengan ruptura parut yang sebenarnya, terutama bila bekas insisi uterus melintang.
Dehisensi (parut terbuka) yang hanya tertutup oleh peritoneum tersebut, dalam beberapa hal
tampaknya tidak menimbulkan kesulitan pada persalinan maupun sesudahnya.6

Mekanisme Terjadinya Ruptura


Mekanisme dilatasi (pembukaan) serviks pada persalinan pertama kali digambarkan oleh
Bandl. Selama proses persalinan, uterus terbagi dua bagian yaitu : segmen atas rahim yang
berkontraksi dan retraksi dan segmen bwah rahim yang berdilatasi.6
Pada setiap kontraksi uterus, maka segmen bawah rahim akan terangkat sedikit dan hal
ini akan berlangsung terus selama uterus berkontraksi, sedangkan serviks dipertahankan dengan
kuat pada tempatnya oleh ligamentum-ligamentum seperti ligamentum sakrouterina dan
ligamentum kardinale.6
Setelah pembukaan lengkap, bila isi uterus tidak dapat bergerak maju ke dalam jalan
lahir, maka SBR akan sangat menipis, regangan yang kuat terjadi pada jaringan otot yang
terletak di bawah serosa, dan bila SBR ini tidak sanggup menahan regangan, maka terjadilah
ruptura uteri.6
Gambaran Klinik
Sebelum menegakkan diagnosa ruptura uteri, penting mengetahui ada tidaknya keadaan
berikut :4,5,6

Adanya parut bekas seksio sesarea.


Sungguhpun dikatakan kemungkinan robekan kecil pada parut SCTPP, namun tetap
dipikirkan kemungkinan terjadinya ruptura uteri, apalagi bila parut tersebut merupakan
parut bekas SC Klasik.

Persalinan yang macet.


Bahaya terjadinya ruptura uteri meningkat apabila terjadi kemacetan persalinan.

Kekuatan kontraksi uterus.


Kemungkinan untuk terjadinya ruptura uteri harus dicurigai pada keadaan dimana
kontraksi uterus makin kuat dan progresif, sedangkan bagian terendah dari janin tetap
belum masuk pintu atas panggul.

Lingkaran Bandl.
Pada keadaan normal, lingkaran retraksi letaknya sedikit di atas simfisis dan ini dapat
diraba pada persalinan normal. Lingkaran ini naik perlahan-lahan dari atas simfisis kea
rah pusat, mendekati atau lebih tinggi dari pusat sehingga SBR menjadi sangat tipis
sekali.

Hematuria.
Hematuria merupakan tanda yang berharga, tetapi tidak ditemukan darah dalam urine
belum tentu dapat menyingkirkan adanya ruptura uteri. Adanya darah disebabkan oleh
karena regangan yang berlebihan dan adanya luka memar pada dinding kandung kencing
akibat adanya peregangan segmen bawah uterus yang menempel pada kandung kencing.
Hematuria tidak selalu ditemukan pada ruptura uteri parut seksio sesarea.

Nyeri bagian bawah perut.


Adanya keluhan nyeri yang terus menerus pada bagian bawah perut disertai dengan
terabanya ligamentum rotundum yang sangat tegang perlu diwaspadai kemungkinan akan
terjadinya ruptura.

Riwayat persalinan pervaginam yang sulit.


Riwayat persalinan pervaginam yang sulit perlu dicurigai kemungkinan adanya hambatan
pada jalan lahir.

Multiparitas
Diperlukan penilaian yang seksama akan bahaya terjadinya ruptura uteri dengan
meningkatnya paritas. Walaupun ukuran panggul wanita tidak berubah tetapi ukuran janin
seringkali bervariasi dan bertambah besar dengan meningkatnya paritas, sehingga
multiparitas tidak menjamin persalinan menjadi lancar.
Sebelum terjadinya ruptura uteri umumnya penderita menunjukkan gejala ruptura uteri

membakat : gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta diraskan nyeri yang terus menerus
pada perut bagian bawah/ segmen bawah rahim dan ligamentum rotundum tegang dan nyeri pada
perabaan, tampak lingkaran Bandl yang tinggi sampai mendekati pusat.4,5,6

Pada saat terjadinya ruptura uteri terdapat gejala klinis yang

klasik meliputi yaitu

perasaan nyeri dan nyeri tekanan di daerah perut, kontraksi uterus berhenti, syok, perdarahan
pervaginam dan nadi menjadi cepat 4,5,6

Nyeri perut
Adanya rasa sakit yang hebat dan tiba-tiba seperti merasa ada robekan dalam perutnya,
merupakan tanda yang khas sesaat akan terjadi ruptura uteri. Biasanya nyeri ini disertai
dengan keluhan rasa cemas, gelisah, lemah, pusing, nyeri suprapubik, sesak napas.

Adanya syok dengan nadi yang cepat secara tiba-tiba merupakan tanda yang
sangat klasik pada ruptura uteri, tetapi bukan merupakan kriteria untuk menegakkan
diagnosa.

Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang penting, namun tidak adanya


perdarahan belum dapat menyingkirkan tidak adanya ruptura uteri.
Ada tidaknya perdarahan pervaginam sangat tergantung dari luasnya luka, posisi janin,
lokasi dan jenis ruptura. Bila janin berada di luar rongga uterus, maka uterus biasanya
berkontraksi dan perdarahan yang timbul biasanya sedikit, akan tetapi bila janin masih
berada dalam rongga uterus dan sebagian janin berada di luar rongga uterus maka
kemungkinan perdarahan pervaginam banyak.

Bagian anak mudah diraba, hilangnya gerakan janin, jika janin sebagian atau
seluruhnya sudah berada di luar uterus. Pada palpasi didapat bagian terendah janin sudah
keluar dari PAP dan mudah digerakkan, kontur uterus sebagai massa yang bulat sebesar
kehamilan 16 minggu.
Adanya tanda-tanda perdarahan tertutup (perdarahan dalam) atau adanya tanda cairan

bebas dalam rongga perut merupakan gejala yang penting pada ruptura uteri, terutama bila
meraba massa yang nyeri pada perut.4,6,7
Pada pemeriksaan dalam kadang-kadang ditemui diskontinuitas jaringan sehingga jarijari pemeriksa dapat meraba organ rongga perut atau tampak usus keluar melalui vagina,
selanjutnya bila masih teraba bagian bawah anak, bagian ini mudah didorong ke atas dan tampak
darah mengalir dari vagina.4,6,7

Gejala ruptura uteri parut bekas seksio sesarea pada umumnya sama dengan gejala
ruptura lainnya, akan tetapi harus diingat kemungkinan ruptura parut seksio sesaria tanpa gejala.
Bila perdarahan pervaginam pada permulaan persalinan parut bekas seksio sesarea
dengan anak yang hidup, kemungkinan adanya ruptura uteri yang tidak mempunyai gejala (silent
rupture). Demikian juga perdarahan hebat setelah persalinan pervaginam dari penderita dengan
parut bekas seksio sesarea dengan bayi hidup ini menunjukkan ruptura parut.
PERSALINAN PERVAGINAM PADA BEKAS SEKSIO SESAREA
Bertahun-tahun lamanya diktum yang diperkenalkan oleh Cragin pada tahun 1916 yaitu
sekali sesar, selalu sesar tetap dianut oleh obstetrisian karena dipercayai bekas jaringan parut
uterus dipercaya sebagai kontraindikasi persalinan pervaginam akibat ketakutan terhadap
terjadinya ruptura uteri. Hal tersebut cukup beralasan, karena saat Cragin membuat pernyataan
tersebut, obstetrisian secara rutin melakukan inisisi klasik pada saat bedah sesar.2,17
Di Amerika Serikat, angka bedah sesar secara keseluruhan meningkat setiap tahunnya,
mulai tahun 1965 s/d 1998 yaitu dari 4,5% menjadi 25% dari seluruh persalinan. Untuk itu
dicanangkan penurunan angka bedah sesar sampai dengan 15%, dan persalinan pervaginam
setelah seksio sesarea sebelumnya telah diterima sebagai suatu cara untuk menurunkan angka
persalinan dengan seksio sesarea.2,17
Laporan-laporan penelitian menunjukkan angka keberhasilan yang cukup tinggi pada
persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea berkisar 60-80%. Di Indonesia, dari penelitian
di rumah sakit pendidikan menunjukkan angka yang kurang lebih sama, di RS. Dr. Kariadi
Semarang 60%, di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung 48,6%. 17
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa resiko persalinan pervaginam pada bekas
seksio sesarea lebih rendah dibandingkan dengan dilakukan seksio sesarea kembali. Pada
kenyataannya berbagai penelitian memperlihatkan bahwa tidak terdapat peningkatan angka
kesakitan atau kematian ibu dan bayi dengan melakukan persalinan pervaginam pada pasien
bekas seksio sesarea.8,11,12
Tetapi beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa komplikasi yang cukup berat
pada ibu dan bayi yang dikaitkan dengan gagalnya partus percobaan pada persalinan pervaginam
pada bekas seksio sesarea, yaitu ruptura uteri telah menjadi perhatian serius bagi para praktisi.

Untuk itu persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea harus dilakukan dengan
pertimbangan yang cermat dan teliti.8,11,12
Prasyarat yang harus dipenuhi
Panduan dari American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun 1999
tentang persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea atau yang dikenal dengan trial
of labor memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anestesi dan staf
yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi. 2
Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di crossmatch
disiapkan dan alat monitor jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia.2
Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang melakukan
persalinan pada bekas seksio sesarea harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio
sesarea emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal distress
atau ruptura uteri.2

Faktor yang berpengaruh


Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persalinan pada bekas seksio sesarea
telah diteliti selama bertahun-tahun. Ada

banyak factor yang dihubungkan dengan tingkat

keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea .2,10,11,13,15,16,18,19


Teknik operasi sebelumnya :
Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal merupakan salah
satu syarat dalam melakukan persalinan pervaginam, dimana pasien dengan tipe insisi ini
mempunayi resiko ruptura yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya.
Bekas seksio sesarea klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada seksio
sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan kontra indikasi melakukan
persalinan pervaginam.
Perkiraan resiko ruptura uteri berdasarkan tipe insisi :

Klasik 4 9 %
Insisi T 4 9 %
Vertikal pada SBR 1 7 %
Transversal pada SBR 0,2 1,5 %
Jumlah seksio sesaria sebelumnya
Resiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya.
Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya ruptura uteri.
Ruptura uteri pada bekas seksio sesarea 3 kali adalah sebesar 1,8 3,7%.
Caughey dan kawan-kawan mendapatkan bahwa pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali
mempunyai resiko ruptura uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali.
Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya
Insisi uterus pada segmen bawah rahim yang disebut Low Transverse Cesarean Section.
Insisi ini dijahit yang akan sembuh dalam 2-6 hari. Insisi uterus juga dapat dibuat dengan
potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot
uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat
terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya.
Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan Ultrasonografi (USG) trans
abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat diketahui ketebalan segmen bawah rahim.
Ketebalan SBR > 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah pertanda parut yang
sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR 3,5 mm.
Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining
dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.
Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu.
Weinstein, D et al pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan persalinan pervaginam bias
dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea yang lalu, tertinggi 89,7% prematuritas dan
88,6% malpresentasi
Riwayat persalinan pervaginam

Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea mempengaruhi
prognosis keberhasilan persalinan pada bekas seksio sesarea. Pasien dengan bekas seksio
sesarea yang pernah mengalami persalinan pervaginam, memiliki angka keberhasilan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam.
Keadaan serviks pada saat inpartu
Gulleria dan Dhall 1997 menyatkan bahwa laju dilatasi serviks mempengaruhi keberhasilan
persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Dari 100 pasien bekas seksio sesarea
segmen bawah rahium didapat 84% berhasil persalinan pervaginam.

Penanganan Umum
Usahakan mencari penyebab terjadinya parut uterus, mungkin karena seksio sesarea,
ruptura uteri, miomektomi atau reseksi kornu anterior. Parut uterus karena bekas seksio sesarea
korporal, dua kali seksio sesaria segmen bawah rahim atau ruptura uteri, dilakukan seksio
sesarea ulangan. Jika tidak ada kontra indikasi, lakukan persalinan pervaginam dan monitor
kemajuan persalinan dengan partograf. 9,11
Kehamilan dengan riwayat seksio sesarea korporal atau vertikal dapat terjadi ruptura
seebelum persalinan atau pada fase laten. Pada parut uterus transversal, ruptura terjadi pada fase
aktif atau pada fase ekspulsi. Kelahiran pervaginam setelah seksio sesarea sering terbukti aman,
tetapi hanya dipertimbangkan pada bekas seksio sesarea transversal profunda dengan indikasi
yang tidak menetap. Pasien harus diberi informasi risiko ruptura uteri yang relatif rendah 0,5 1
%.9,11
Penilaian Klinik 9,11
Pada kehamilan :
Pemeriksaan antenatal harus lebih sering.

Indikasi seksio sesarea yang lalu harus diketahui dengan pasti untuk menentukan apakah
ada indikasi yang tetap atau tidak untuk dapat mempertimbangkan kemungkinan bias lahir
pervaginam.
Selama kehamilan harus benar-benar dicegah terjadinya komplikasi kehamilan terutama
anemia.
Untuk menentukan sikap apakah akan dilakukan seksio sesare ulangan perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut : apa indikasi seksio sesarea terdahulu, apakah telah
pernah mengalami persalinan pervaginam sebelum dan sesudah seksio sesarea, taksiran
berat badan janin sekarang, bagaimana kondisi serviks (pendataran, kaku dan lain-lain),
apakah fasilitas rumah sakit cukup baik, bagaimana tipe seksio sesarea sebelumnya, apakah
terjadi komplikasi sesudah seksio sesarea sebelumnya dan bagaimana presentasi dan posisi
janin sekarang.
Pada persalinan :
Pastikan apakah pasien sudah in partu atau belum. Persalinan hanya boleh dilakukan di
rumah sakit yang lengkap kamar operasinya.
Jika pasien dalam fase persalinan harus diawasi ketat : tanda vital, rasa sakit
dan tanda-tanda perdarahan / ruptura uteri spontan.
Tentukan letak/ presentasi janin dan turunnya. Jika janin presentasi kepala dapat dilakukan
partus percobaan.
Pastikan indikasi seksio sesarea yang lalu bukan indikasi tetap.
Kriteria untuk partus pervaginam adalah :9,11

Seksio sesarea baru sekali.

Insisi seksio sesarea yang lalu adalah segmen bawah rahim.

Indikasi seksio sesarea yang lalu bukan indikasi tetap.

Post operatif seksio sesarea yang lalu tidak ada komplikasi.

Tidak ada komplikasi pada kehamilan sekarang.

Kehamilan sekarang adalah kehamilan tunggal.

Anak tidak besar ( < 4000 gram )

Kontra indikasi persalinan pervaginam :9,11

Insisi korporal pada seksio sesarea yang lalu.

Sudah 2 kali seksio sesarea.

Makrosomia / disproporsi sefalopelvik.

Penatalaksanaan
Pada kehamilan
Pemeriksaan antenatal harus lebih sering untuk mencegah terjadinya komplikasi pada
kehamilan. Jika terjadi anemia harus segera diatasi. Pasien harus dirujuk segera mungkin/
trimester ketiga ke rumah sakit. Awasi kemungkinan terjadinya ruptura uteri spontan sebelum ibu
in partu.9,11
Pada pasien dengan riwayat operasi segmen bawah rahim seharusnya dirawat pada usia
kehamilan 38 minggu untuk mengevaluasi kasus dan rencana penatalaksanaan berikutnya, serta
mencegah kegelisahan pasien terutama jika nyeri persalinan muncul lebih awal dari yang
diperkirakan.7,9,11
Pada pasien dengan insisi klasik atau histerotomi, seharusnya dirawat pada usia
kehamilan 36 minggu. Kemungkinan untuk terjadi ruptura uteri pada tipe ini lebih sering terjadi
pada minggu-minggu terakhir kehamilan.7,
Semua kasus dengan parut yang lemah pada segmen bawah rahim juga harus dirawat
pada usia kehamilan 36 minggu. Contohnya plasenta previa dapat menyebabkan kelemahan pada
parut bekas seksio sesarea karena :7
1. Imperfect apposition karena operasi yang cepat.
2. Trombosis dari sinus plasenta yang menyebabkan sepsis karena letaknya yang dekat
dengan vagina.
Pada persalinan
Jika pasien dalam fase persalinan, pasien harus diawasi ketat : tanda-tanda vital, rasa
sakit pada perut / uterus bagian bawah, perdarahan dan tanda-tanda ruptura uteri spontan.9
Tentukan letak/presentasi janin dan turunnya presentasi. Jika janin presentasi kepala,
lakukan partus percobaan, jika criteria untuk persalinan pervaginam dipenuhi dan tidak ada
kontra indikasi. Lakukan penilaian partus percobaan setiap 2 jam, kalau tidak ada kemajuan
lakukan seksio ulangan.9

Kala II harus dipersingkat, pasien dibolehkan mengejan 15 menit, jika bagian terendah
anak turun dengan pesat, maka diperbolehkan mengejan 15 menit lagi. Bila setelah 15 menit
kepala tidak turun dengan cepat dapat dilakukan ekstraksi vakum atau ekstraksi forsep (cunam).9
Pengawasan partus percobaan
Penggunaan oksitosin atau prostaglandin pada induksi partus atau augmentasi partus
tidak meningkatkan bahaya pada bekas seksio sesarea. Penggunaan anastesi regional pada bekas
seksio sesarea masih diperdebatkan karena ditakutkan menutupi gejala-gejala ruptura uteri,
ternyat tidak meningkatkan bahaya. Eksplorasi uterus setelah persalinan pervaginam pada bekas
seksio sesarea tidak perlu dilakukan, kecuali ada perdarahan atau tanda-tanda ruptura uteri yang
lain. 8,9,14,15
BAGAN PENATALAKSANAAN PERSALINAN
BEKAS SEKSIO SESAREA
PERSALINAN BEKAS
SEKSIO SESAREA
Tipe Seksio
Sesarea

Segmen Bawah
rahim

Korporal

Letak dan
Presentasi

Verteks

Kriteria (+)

Partus
Percobaan

Non Verteks

Kontra
indikasi (+)

Maju

Gagal

Ekstraksi Vakum/
Ekstraksi Forceps

PARTUS
PERVAGINAM

SEKSIO SESAREA

Sumber : Saifuddin AB. Kehamilan dan Persalinan dengan Parut Uterus. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta : 2001 ; 322.

KESIMPULAN

Berbagai penelitian menunjukkan angka keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas


seksio sesarea yang cukup tinggi (+ 60 80 %), karena itu dipertimbangkan sebagai cara untuk
menurunkan angka seksio sesarea.
Namun demikian perlu dicermati akan resiko yang mungkin terjadi berupa ruptura uteri
yang sangat berbahaya, walaupun jarang terjadi tapi mengakibatkan komplikasi obstetrik yang
cukup serius, yang berakibat pada ibu dan janin.
Untuk itu pemahaman tentang masalah ini perlu menjadi perhatian yang mendalam bagi
para praktisi untuk mengambil keputusan dalam mempertimbangkan persalinan pervaginam pada
wanita-wanita yang pernah menjalani seksio sesarea sebelumnya, dengan memperhatikan syaratsyarat, kriteria dan indikasi yang tepat guna menghindari sekecil mungkin kegagalan dan
komplikasi yang akan terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Paul RH, Miller DA : Cesarean Birth : How To Reduce The Rate. In American Journal of
Obstetrics and Gynecology, June 1995, Volume 172, Number 6 : 1-14
2. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ : Cesarean Section and Postpartum Hysterectomy. In
Williams Obstetrics, 21 st Ed. The Mc Graw-Hill Companies, New York 2001 : 537-563.
3. LydonRochelle M, Holt VL, Easterling TR, et al : Risk of Uterine Rupture during Labor
among Women with a Prior Cesarean Delivery. In The New England Journal of Medicine,
July 2001, Volume 345, Number 1 : 1-9
4. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ : Rupture of The Uterus. In Obstetrical Hemorrhage.
In Williams Obstetrica, 21 st Ed. The Mc Graw- Hill Companies, New York 2001 : 646
649.
5. Marsianto, Martohoesodo S : Ruptura Uteri pada Parut Uterus. Dalam Perlukaan dan
Peristiwa Lain dalam Persalinan. Dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta 1991 : 670-672.
6. Cunningham FG : Injuries to Birth Canal . In Williams Obstetrics, 19 th Ed, Precentice Hall
International Inc, 1993 : 543-553.
7. Dutta DC : Pregnancy with History of Previous Caesarean Section. In Textbook of
Obstetrics, 4 th Ed. New Central Book Agency (P) Ltd, Calcutta 1998 : 348-352.
8. Lin C, Raynor BD : Risk of Uterine Rupture in Labor Induction of Patients with Prior
Cesarean Section : An Inner City Hospital Experience. In American Journal of Obstetrics and
Gynecology, Volume 190, May 2004, Volume 190, Number 5 : 1-4.
9. Saifuddin

AB : Kehamilan dan Persalinan dengan Parut Uterus. Dalam Buku Acuan

Nasional Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo dan JNPKKRPOGI, Jakarta 2001 : 317-322.
10. Bujold E, Hammoud AO, Hendler I, et al : Trial of labor in Patients with a Previous Cesarean
Section : Does Maternal Age Influence the Outcome ?. In American Journal of Obstetrics and
Gynecology, April 2004 , Volume 190, Number 4 : 1-8.
11. Scott JR : Avoiding Labor Problems During Vaginal Birth After Cesarean Delivery. In
Clinical Obstetrics and Gynecology. LippincotRaven Publisher, Philadelphia 1997, Volume
4 , Number 3 : 532-541.

12. Miller AWF, Hanretty KP : Labor in Women Previously Delivered by Caesarean Section. In
Abnormal Labor. In Obstetric Illustrated. 5 th Ed. Churchill Livingstone, 1997 : 280.
13. Shimonovitz S, Botosneano A, Hochner-Celnikier D : Successful First Vaginal Birth After
Cesarean Cection : A Predictor of Reduced Risk for Uterine Rupture in Subsequent
Deliveries. In Isr Med Assoc J, 2000, Jul (7) : 526-528.
14. Zellop CM, Shipp TD, Repke JT, et al : Uterine Rupture During Induced or

Augmented

Labor in Gravid Women with One Prior Cesarean Delivery. In Am J Obstet Gynecol, Oct
1999 ; 181(4) : 882-886.
15. Hashima JN, Eden KB, Osterweil P, et al : Predicting Vaginal Birth After

Cesarean

Delivery : A Review Of Prognostic Factors and Screening Tools. American Journal of


Obstetrics and Gynecology, February 2004, Vol 190,

Number 2 : 1-14.

16. Weinstein D, Benshushan A, Tanos V, et al : Predictive Score for Vaginal Birth After
Cesarean Section. In American Journal of Obstetrics and Gyne-Cology, 1996 : 174 : 192198.
17. Edy F, Hatta AR, Dino R : Perslainan Bekas Seksio Sesar di Rumah Sakit Otorita batam
Riau Periode 1 Januari 199730 Juni 2000. Dalam Kumpulan Makalah Ilmiah KOGI XII
Yogyakarta, 2003 : 65-70
18. Rozenberg P, Goffinet F, Phillipe H, et al : Which Women Who Have Had A Previous
Cesarean Section ? In Paper Ultrasonographic Measurement of Uterine Segmen to Asses of
Defects of Scared Uterus. In Lancet, 1996 ; 347 : 281-284.
19. Guleria K, Dhall K : Pattern of Cervical Dilatation in Previous Segment Cesarean Section
Patients. IN Indian Journal Medicine Assosiation, 1197 ; 95 : 131-134

You might also like