You are on page 1of 27

REFERAT

SINUSITIS

Pembimbing :
Dr. Susilaningrum, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Kara Lisrita Soedarmono

07120090080

Lira Fitrianti

0810211037

Maikhel Y.

112011210

Puji Astuti

1010221024

Kepaniteraan klinik 26 Mei 28 Juni 2013


Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta

REFERAT
SINUSITIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Telinga, Hidung dan Tenggorokan
RSPAD Gatot Soebroto

Disusun Oleh :
Kara Lisrita Soedarmono

07120090080

Lira Fitrianti

0810211037

Maikhel Y.

112011210

Puji Astuti

1010221024

Telah disetujui oleh Pembimbing,

dr. Susilaningrum, Sp.THT


Pembimbing Referat
Mengesahkan,

dr. Susilaningrum, Sp.THT

Ditetapkan di Jakarta
Tertanggal 19 Juni 2013
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul Sinusitis. Referat ini
bertujuan untuk mengetahui tentang kelainan dan mengenali tanda-tanda terjadinya
sinusitis secara lebih luas melalui anatomi sinus paranasal, definisi, klasifikasi,
etiologi, epidemiologi,

patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,

komplikasi, prognosis, dan pencegahan.


Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran
dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam
ruang lingkup ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan
dengan referat ini.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di
Departemen THT RSUD ANDI MAKKASAU PARE-PARE, atas ilmu dan
bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr. Elsye, SpTHT selaku pembimbing
dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembacanya.

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................


1
Lembar Pengesahan ........................................................................................................
2
Kata Pengantar ................................................................................................................
3
Daftar Isi .........................................................................................................................
4
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
6
I.1

Latar Belakang ....................................................................................................

6
I.2

Tujuan Penulisan .................................................................................................

7
I.3

Metode Penulisan ................................................................................................

7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
8
II.1

Anatomi Sinus Paranasal.....................................................................................

9
II.2

Epidemiologi........................................................................................................

10
II.3

Definisi & Klasifikasi .........................................................................................

11

II.4

Etiologi.................................................................................................................

12
II.5

Patofisiologi.........................................................................................................

II.6

Gejala klinis.........................................................................................................

II.7

Diagnosis..............................................................................................................

II.8

Penatalaksanaan...................................................................................................

II.9

Komplikasi...........................................................................................................

II.10

Pencegahan..........................................................................................................

II.11

Prognosa...............................................................................................................

BAB III KESIMPULAN ...............................................................................................

REFERENSI ..................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia ..
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI
dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari
Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah
pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah
sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga

penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang
baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital
maupun intrakranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah penyakit yang
berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates. 3,4 Diperkirakan bahwa 1
dari 5 pasien mengalami komplikasi sinusitis sebelum era antibiotik. Pada era
antibiotik saat ini 17%

dari penderita dengan selulitis orbita meninggal karena

meningitis dan 20% mengalami kebutaaan. Komplikasi intrakranial sinusitis jarang


terjadi pada era antibiotik dimana angka kejadiannya sekitar 4% pada pasien yang
dirawat dengan sinusitis akut atau kronik. Meskipun jarang, komplikasi ini dapat
mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis, epidural empiema serta abses,
trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.5,6
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena
hal diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan
operasi.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai sinusitis dengan komplikasinya meliputi
anatomi dan fisiologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
diagnosis, pentalaksanaan dan komplikasi sinusitis.
1.3 Tujuan Penulisan
I.3.1 Mengetahui etiologi dan patofisiologi sinusitis
I.3.2 Mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan sinusitis
I.3.3 Mengetahui komplikasi dari sinusitis
I.3.4 Mengetahui pencegahan dari sinusitis

1.4 Metode Penulisan


Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke
berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III
atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa anak-anak.
Pembentukannya dimulai sejak di dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua
sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sehingga tidak heran jika pada
foto rontgen anak-anak belum terdapat sinus frontalis karena belum terbentuk. Sinus
frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan
menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia
25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter,
dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau
dua puluhan.
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi.
Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan

menjadi konka inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi


konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal
pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus
uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai berkembang.
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
kavum nasi. Sinussinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan
diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis,
sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan
bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat,
sinus terutama berisi udara.

Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior


orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus
alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.
Sinus maksilaris erbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus
maksilaris arcus I. Bentuknya pyramid; dasar piramid berada pada dinding lateral
hidung, sedangkan apeksnya berada pada pars zygomaticus maxillae. Sinus maksilaris
merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
Sinus maksilaris berhubungan dengan cavum orbita (dibatasi oleh dinding tipis yang
berisi n. infra orbitalis sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata),
gigi (dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Molar) dan ductus
nasolakrimalis (terdapat di dinding cavum nasi).
Sinus ethmoidalis terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, sinus
ethmoidalis berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), sedangkan saat dewasa terdiri
dari 7-15 cellulae yang berdinding tipis. Bentuknya berupa rongga tulang yang
menyerupai sarang tawon, yang terletak antara hidung dan mata Sinus ethmoidalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina
cribrosa, sehingga jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah
kranial), orbita (dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea, sehingga jika
melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke

daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma), nervus optikus dan nervus, arteri dan
vena ethmoidalis anterior dan posterior.
Sinus frontalis dapat terbentuk atau tidak. Sinus frontalis terletak di os
frontalis yang tidak simetri antara kanan dan kiri. Volume pada orang dewasa 7cc.
Sinus frontalis bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).Sinus frontalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh tulang compacta), orbita
(dibatasi oleh tulang compacta) dan dibatasi oleh periosteum, kulit dan tulang diploic.
Sinus sfenoidalis rerbentuk pada fetus usia bulan III Sinus sfenoidalis terletak
pada corpus, alas dan processus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa 7 cc.
Sinus sfenoidalis berhubungan dengan sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
glandula pituitari, chiasma n.opticum, ranctus olfactorius dan arteri basillaris brain
stem (batang otak).

Gambar 1. Anatomi sinus

Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke


daerah yang berbeda dalam kavum nasi. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju resesus
sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid
anterior \menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus
maksila menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi
adalah duktus nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior.

10

Adapun fungsi dari sinus paranasal adalah membentuk pertumbuhan wajah


karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa terdapat perluasan
sehingga pertumbuhan tulang akan terdesak. sebagai pengatur udara (air
conditioning), peringan cranium, resonansi suara dan membantu produksi mukus.
2.2 Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di
tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi
pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis
maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun
2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari
50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah
sakit.
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah
penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial
adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima
milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60
milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi
yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.

2.3 Definisi dan Klasifikasi


Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Sinusitis
bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis,
frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris
dikarenakan merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi
dari dasar, sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasarnya adalah akar
gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris
yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Apabila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
11

Sinusitis dapat dibagi berdasarkan letak anatomi (sinusitis maksilaris,


frontalis, etmoid, dan sfenoidalis), berdasarkan organisme penyebab (virus, bakteri
dan fungi), berdasarkan ada tidaknya komplikasi ke luar sinus (seperti adanya
komplikasi osteomyelitis pada tulang frontal) dan secara klinis sinusitis dapat
dikatagorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari
sampai 4 minggu, sinusitis subakut berlangsung lebih dari 4 minggu tapi kurang dari 3
bulan dan sinusitis kronik bila lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan beratnya penyakit, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm)7:
-

Ringan = VAS 0-3


Sedang = VAS >3-7
Berat= VAS >7-10

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien


Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas :
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya
2.

rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.


Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan

gigi),

yang

sering

menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza,

Steptococcusviridans,

Staphylococcus

aureus,

Branchamella

catarhatis
2.4 Etiologi
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam
terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang
akhirnya menyebabkan sinusitis.
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus
sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu sistem mukosiliar
rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan masuk ke sel tubuh
dan menginfeksi secara cepat. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih sering pada

12

tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal. Virus penyebab sinusitis antara lain
rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus.
Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti
oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut yang sering ditemukan ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella
kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang
menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan
dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan
kimia. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan edema
dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade
dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan
jamur, bakteri, atau virus. Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi
infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang oedem yang
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan
timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus
seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis
terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi
rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi
lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan
aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat
menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.

13

Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan
juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga
dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis
dengan mengganggu pengeluaran mukus.
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk
infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan
berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan
adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering
menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai
penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan
jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan
sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang
menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor,
Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.
2.5 Patofisiologi
2.6 Manifestasi klinis
2.7 Diagnosis
A. Sinusitis akut
Anamnesis
Gejala mayor

Gejala minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sakit kepala

Sekret nasal purulen

Batuk

Demam

Rasa lelah

Kongesti nasal

Rasa lelah

Obstruksi nasal

Halitosis

14

Hiposmia atau anosmia

Nyeri gigi

Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.2,13,14
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1,5,6
Pemeriksaan fisik
Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada
muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi
dapat sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.1
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari
mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga
dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila
dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian
dinyatakan tidak spesifik.1

15

Gambar 2. Pus pada meatus medius

Gambar 3. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibandingkan dengan sisi yang normal.2,13,14
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit. 2,13,14

16

Gambar 4. Gambaran suatu sinus yang opak

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri
yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus,
Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan
juga virus atau jamur.1

B. Sinusitis Kronis
Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri
kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan
penciuman dan pengecapan.51315
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1
Pemeriksaan penunjang

17

Transluminasi1
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus
frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh
pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila
terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transluminasi.
Radiologi15
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya
dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.
CT scan15

Gambar 5. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.
Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini
sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis
kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging
didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi
atas:7
-

stage I

: satu fokus penyakit

18

stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid

stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan

stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi).1,2
Penatalakanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang merupakan
first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan
amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari.1,2
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2

Terapi

tambahan:

Terapi

tambahan

meliputi

pemberian

antihistamin,

dekongestan, dan steroid.

19

Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis, kecuali


jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat mengentalkan sekret
sehingga menimbulkan penumpukan sekret di sinus,dan memperberat sinusitis.1,2
Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimetazolin, penileprin akan
menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis. Aktifitasnya akan
mengurangi

edem

atau

inflamasi

yang

mengakibatkan

obstruksi

ostium,

meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi sinus. Pemberian


dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah ketergantungan dan rebound
nasal decongestan. Pemberian dekongestan sistemik, seperti penilpropanolamin,
pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi
pembersih mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari. 1,2
Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan
mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus.
Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek
samping yang mungkin timbul. 1,2
Untuk membedakan pengobatan medikamentosa sinusitis yang spesifik pada
pengobatan : 1,2
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii.Pasien dengan gagal pengobatan
-

Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama
10 hari, atau

Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per
oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau

Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.

20

Diatermi: Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu


penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus. 1,2
Pembedahan: Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa
yang maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila ditemukan
perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai
pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan
keluarnya

sekret

terus

konservatif.24Beberapa

menerus

tindakan

yang

tidak

pembedahan

membaik

pada

sinusitis

dengan
antara

terapi
lain

adenoidektomi, irigasi dan drainase, septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan
functional endoscopic sinus surgery (FESS).Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat
dilakukan pada sinusitis maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa
antrostomi maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini,
antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar
sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior
antrostomy jarang dilakukan. 1,2
2.9 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.2
a.

Peradangan atau reaksi edema yang ringan

b.

Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk

c.

Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding


tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis

d.

Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita

21

e.

Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat


penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana
selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 6. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

Komplikasi Intrakranial2
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.

22

Gambar 7. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

Kelainan Paru2
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.
2.10

Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau kronis.

Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:


-

Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.

Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.

23

Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau aroma
bahan kimia yang keras.3

2.11 Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari
penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra
sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.

24

BAB III
KESIMPULAN

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan
sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi.
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat
sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa
bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung
selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahuntahun).
Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau
tekanan pada wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post
nasal drip).
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan penunjang.
Prinsip penatalaksanaan sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik.
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari
penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan komplikasi orbita atau intrakranial.

25

REFERENSI

1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA,
penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p.
253-5.
2. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI,2010:
h. 152
3. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1990.p49 270
4. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
5. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL,
Boies LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed.
Philadelphia 1989, 195 205.
6. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger.
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,1990:
p.49 270
7. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic
Sinus Surgery, Laryngoscope(Supplement):p 1-40
8. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media
Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106.
9. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract.
In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors.Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed.New York,NY:
McGraw Hill; 2005. p. 185-93

26

10. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
11. Kennedy E. Sinusitis. Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
12. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi
Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9
13. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
14. Sobol

E.

Sinusitis,

Acute,

Medical

Treatment.

Available

from:

Treatment.

Available

from:

http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm
15. Razek

A.

Sinusitis,

Chronic,

Medical

http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm
16. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal

dalam Penyakit Telinga, Hidung dan

Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta


Indonesia 1994

27

You might also like