You are on page 1of 37

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGUE SHOCK SYNDROM

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Medikal


di Ruang Seruni Rumah Sakit Karsa Husada Batu

Disusun Oleh :
Lia Amalia Rizka
125070200111012
Kelompok VI

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
1.

DEFINISI

Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara
hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan
berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung
sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. (1,2)
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea , hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi non esensial di kulit yang menyebabkan sianosis, penurunan suhu
permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu
kulit dan suhu tubuh yang >2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh.
Pada tahap sindrom syok dengue kompensasi, curah jantung dan tekanan darah normal
kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok dengue,
berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat,
sudah terjadi dekompensasi.
Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan
nadi 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan sadar
sekalipun sudah mendekati stadium akhir. (2)
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah
jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan terjadi iskemia jaringan dan
kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi kerusakan sel dan organ
dan pasien akan meninggal dalam 12-24jam. (11)
2.

ETIOLOGI (2,4,5)
Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue disebabkan
oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap serotipe
lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3-4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe

ditemukan dan versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan


serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menimbulkan manifestasi klinis yang
berat.

Virus
Virusdengue
dengue

VEKTOR (4,16)
Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah. Nyamuk ini
merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis.
Nyamuk dewasa biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit
pada siang hari. Mereka beradaptasi dan berkembang biak di sekitar
tempat tinggal manusia, dalam kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu
masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari sebelum timbul
demam. (2)
TRANSMISI (4,5,15)
Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina
yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia yang terinfeksi
virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi dapat menularkan virus
selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menularkan
virus kepada anak-anak mereka dengan transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi
peran penularan virus ke manusia belum didefinisikan.

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus,
karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar dalam
darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu yang sama
mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus saat periode ini.

3.

EPIDEMIOLOGI (3,4,5,13)
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik, dimana
suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi Aedes aegypti
besar dan permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue dari semua semua
tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1
tahun hampir semua penderita dengan sindrom syok dengue mempunyai kenaikan
sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukkan infeksi sebelumnya
dengan virus yang terkait erat.
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu infeksi
virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini menimbulkan manifestasi
klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat,
baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun
2005, DBD sudah ditemukan di seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100.00 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk
pada akhir tahun 2005.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran kasus DBD

sangat kompleks, yaitu :

Pertumbuhan penduduk yang tinggi


Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit
virus dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu panas (28-32oC)
dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis
kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada
anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah dengue tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.
4.

PATOGENESIS (2,3,5)
Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian epidemiologi
memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2,3, dan 4
sekunder. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh

memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang
masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini merupakan dasar teori yang
disebut the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis.
Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi,
sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi dengan konsentrasi tinggi.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antbodi
dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan
syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada tiap
pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang kaan mengaktifkan sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi pleura,ascites). Syok
yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia.

Selain
aktifkan
komplemen, reaksi
ini

pun

menyebabkan
agregasi
Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD
trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan oada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga trombosit melekat satu sama lain.
Hal ini membuat trombosit dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi
koagulopati konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehingga ada penurunan faktor pembekuan.

Agregasi
trombosit

Gambar 4. Patogenesis Perdarahan


pada DBD

mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih


cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi
perdarahan pada DBD akibat trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat
KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan
memperberat syok yang terjadi.
Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah memposisikan
tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi hipermetabolik tubuh menuntut
mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP. Dampak sampingnya ialah peningkatan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS). ROS bersama sitokin proinflamatori
menyebabkan penurunan elastisitas otot polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada
sistem konduksi jantung terutama pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa
syok pada infeksi DBD dapat terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan,
kelumpuhan otot polos vaskuler, kelumpuhan miokard.9
a. Volume plasma10
Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan
menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa
plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan bahwa syok
terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak. Bukti
yang mendukung ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium.
b. Trombositopenia
Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada
masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai
normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan
mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu
virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada demam
berdarah dengue 10
Tabel mengenai hubungan jumlah trombosit dengan risiko perdarahan11
Trombositopenia dan Risiko Perdarahan

Jumlah Trombosit (sel/l)


>100.000
50.000-100.000
20.000-50.000
<20.000
<10.000

Risiko
Tidak ada risiko tinggi
Risiko trauma mayor
Risiko trauma minor
Risiko perdarahan spontan
Risiko perdarahan yang

mengancam

nyawa
10

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis


Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah
dengue. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor
II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products. Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya
penurunan aktivitas Antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada demam berdarah dengue
dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen.
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah dengue
stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi Intravaskular
Diseminata juga secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah dengue tanpa syok.
Pada masa dini demam berdarah dengue, peran Koagulasi Intravaskular Diseminata tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat Koagulasi Intravaskular
Diseminata. Syok dan Koagulasi Intravaskular Diseminata akan saling mempengaruhi
sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya
organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahanbahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem protombotik
(koagulasi primer dan koagulasi sekunder) hingga terjadilah trombosis yang luas di organorgan tubuh hingga menimbulkan Multipel Organ Dysfunction (MOD) dan faktor-faktor
koagulasi ( trombosit dan plasma faktor) akan terpakai hingga terjadi juga defisiensi faktorfaktor tersebut dan dapat menimbulkan perdarahan.
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun melalui
kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem hemostasis.
Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di atas dengan memacu :
1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga terjadi
juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini (AT.III, prot C dan
S) dan lain-lain
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi hingga
menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin (faktor
VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perdarahan disertai juga

dengan defisiensi AT III, prot C danS dan plasminogen yang dapat menyebabkan
trombosis. Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.
d. Sistem komplemen10
Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue memperlihatkan
penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk
melepas histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita demam
berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam 24 jam, adanya
kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks
imun dengan derajat berat penyakit.
Secondary heterologus infection
Komplek virus - antibody

XII

XIIa

Fibrinolisis

Kinin

Komplemen

koagulasi
Peningkatan
Permeabilitas

plasmin

Fibrin

FDP

Perdarahan

5.

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis

infeksi

virus

Syok

dengue

tergantung

dari

faktor

yang

mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi


virus sehingga dapat bsifat asimptomatik, atau berupa demam yang tidak khas
(undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) atau
sindrom syok dengue (SSD).(1,2,3)
Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul
gejala prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa
lemas.(1) Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase yaitu fase demam, kritis dan
resolusi/pemulihan.

10

Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise, mual,
muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat ekstremitas
dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah, iritabel, nyeri mid
epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai. Pernafasan cepat dan
sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung halus. Hati mungkin membesar
dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10% penderita
menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya pasca masa
syok yang tidak terkoreksi.
1.

Fase demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak
berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40 oC dan dapat
terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam
non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket

2.

meningkatkan kemungkinan demam dengue.


Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat, hati-hati
karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7 adalah fase
kritis.

Dimana

kebocoran
plasma
terjadi

bisa
kurang

dari 24-48 jam.

Gambar 6. Fase pada DBD

Progresif leukopenia diikuti

penurunan jumlah trombosit mendahului terjadinya kebocoran plasma. Pada


fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma akan membaik
keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena

11

kehilangan volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung
3.

dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.


Fase resolusi
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan umum
dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.
Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak
berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan dapat
terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam
non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda
perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari pertama
tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti epistaksis,
perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat juga hematuria.
Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.
Nyeri sendi
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang
disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14 Pada kirakira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan umum
pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun,
yaitu diantara hari sakit ke 3-7.
Syok
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai menurun
hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal syok,
mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal sistolik
juga menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi
pada kulit menyababkan akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.
Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menandakan
gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat
bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba

12

dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut,
pasien menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral

Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat


dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)


HipotensiTekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg /
kurang

Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
darah
pusin
hidung sedangkan kuku menjadi biru.Suplai
Hal ini
disebabkan
oleh sirkulasi yang
otak

menurun aktivitas simpatikus secara


insufisien Penurunan
yang menyebabkan
peninggian
volume

refleks.

Oliguria-anuria karena
renalis

Respon Jangka
Panjang
Syok
dapat

Osmolalitas
plasma
darah
menurunnya meningkat
perfusi

& tekanan darah

haus

darah yang meliputi arteri

Respon Jangka

Pendekpasien dapat meninggal dalam waktu


terjadi dalam waktu yang singkat,

12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai. Pasien
Saraf

Hormonal:
seringkali
mengeluh nyeriHormonal:
di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri abdomen
ADH

ADH

II

II

Angiotensin
Angiotensin
seringkali
menonjol pada anak
besar yang menderita sindrom syok dengue. Gejala ini patut
SSP

Stimulasi

Aldosteron
diwaspadai
oleh karena kemungkinan besar terjadi
perdarahan gastrointestinal. Syok yang
baroresepto
EPO

r&

terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai


prognosis buruk.
kemoresept
or

1. Patofisiologi
Syok Hipovolemik
Urin
(Respon
tubuh terhadap kehilangan darahPerangsang
sampai dengan 20%)
pekat,
oliguria

an sistem
kardiovaskul
er

Kenaikan
volume
darah

Aktivasi
saraf
simpatis

2.

3.
4.
5.
6.

RR meningkat
Denyut
jantung
meningkat
Nadi lemah
Bibir kering

Hormonal:
Adrenalin &
noradrenalin

Vasokonstri
ksi perifer,
peningkatan
aliran balik
vena

Peningkatan curah jantung

Peningkatan
volume & tekanan

Pucat
Ekstremitas
terasa dingin
Pengisian kapiler
memanjang

13

7.

(Respon tubuh terhadap kehilangan darah lebih dari 30%)


Kompensasi
hipovolemik
gagal
Penurunan sangat
besar pada volume
darah

Peningka
tan
permeabi
litas
kapiler

Curah
jantung
menurun
Penurunan
aliran balik
vena

Jantu
ng

Kerusaka
n
miokardi
um

Aliran darah
ke jantung
menurun
Tekanan arteri
menurun

Penggumpalan
darah pada
pembuluh darah
Peningkatan
asam laktat,
pH, CO2

Jarin
gan
Jaringan
kekuranga
n O2

Asidosi
s
metaboli
k

Aktivasi simpatis
& respon iskemik
sentral
Aliran daraf
perifer
menurun

Kulit
pucat &
dingin

Aktivitas
simpatis
menurun

Kerusaka
n
ireversib
el
miokardi
um
Penurunan
curah jantung
bertahap

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat

Kerusakan
ditangani oleh tubuh), dekompensasi
(sudah tidakOtadapat ditangani Tekanan
oleh tubuh), dan

ireversibel (tidak dapat pulih).

SSP
ireversibel

arteri
menurun

Fase1 : kompensasi
Aliran darah
Disorienta
ke SSP dapat dipertahankan melalui
Pada fase ini fungsi-fungsi
organ vital masih
si

menurun

penuruna
mekanisme kompensasi tubuh dengan
meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya
n
kesadaran

resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif Perubahan


aliran darah dari organ
perifer non vital
Aliran
Vasodilata

kimia yang

darah

jaringan

sangat
rendah

Sirkul
ke organ
jantung, paru
dan otak. Tekanan
darah
normal sedangkan
kemativital seperti
si general
drastis
padasistolik tetap perifer
an

asi
kolaps

14

tekanan darah diastolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan
nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin
dan renin angiotensin aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan
natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
Fase II : Dekompensasi.
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung
yang adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang
buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan
asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy
dependent NaK-pump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan sel.
Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat
memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan
trombos disertai tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin,
sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat
membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan
syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol
dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali
kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah
mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling bertambah
lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi
susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya. Cadangan fosfat
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru
hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Akibat dari hipoksia dan
berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi metabolisme anaerobic yang
tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap molekul glukosa. Pada metabolism

15

oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup dengan pemecahan 1 molukel glukosa akan
menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolism anaerobic ini akan terjadi penumpukan asam
laktat dan pada khirnya metabolism tidak akan mampu lagi menyediakan energy yang cukup
untuk mempertahan homeostasis seluler, terjadi kerusakan popma ionic dinding sel, natrium
masuk ke dalam sel dan kalium keluar sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol,
terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ
tubuh atau terjadi kegagalan organ multiple dan renjatan yang ireversibel. Kematian akan
terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa
tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (soporkoma), anuria dan tanda-tanda kegagalan system organ lain.
Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik
Tanda klinis
Blood loss ( %)

Kompensasi
Sampai 25

Dekompensasi
25 40

I reversible
> 40

Heart rate

Takikardia +

Takikardia ++

Taki/bradikardia

Tekanan
Sistolik

Normal

Normal/menurun

Tidak terukur

Nadi/volume

Normal/menurun

Menurun +

Menurun ++

Capillary refill

Normal/meningkat
3-5 detik

Meningkat > 5
detik

Meningkat ++

Kulit

Dingin, pucat

Dingin/mottled

Dingin+/deadly
pale

Pernafasan

Takipneu

Takipneu +

Sighing
respiration

Kesadaran

Gelisah

Lethargi
bereaksi

Reaksi -/ hanya
terhadap nyeri

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun secara umum
bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui reflex
neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus
pembuluh darah dan sistem pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat
menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok hipovolemik maka mekanisme kompensasi
yang terjadi adalah melalui:
- .Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tagangan dalam pembuluh
darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan
menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang
sehingga akan terjadi:

16

Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre


Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor
ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam
sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perifer yang paling
berperan dalam pengaturan tekanan darah.
-

Kemoreseptor

Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia
dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas
dan rangsangan pernafasan.
-

Cerebral ischkemic reseptor

Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .
-

Reseptor humoral

Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon stress
seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang mempunyai efek
kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah terjadinya takikardia,
vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan
darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisee
posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
-

Retensi air da garam oleh ginjal

Volume sirkulasi

Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus

Preloadangiotensin

yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi


I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:
-

Volume sekuncup
Vasokonstriksi kuat
Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di

tubulus ginjal.
Meningkatkan sekresiBaroreseptor,
vasopressin. kemoreseptor, cerebral ischemic

reseptor

Cardio inhibitor center


dihambat

Aktivasi cardiostimulator
center

Output simpatetik
meningkatkat,output
parasimpatetik menurun
HR, kontraktilitas otot jantung
, vasokonstriksi
17
Ginjal
Angiotensi, vasopressin, aldosteron

Gambar 3.1 Refleks kardiovaskular pada hipotensi

1.
2.
3.
4.

WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi, yaitu:
Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
Trombositopenia ( 100.000/ul)
Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites)
Perbedaan manifestasi klinik Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan

Sindrom Syok Dengue meliputi:


Demam Dengue
Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle
back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi,
mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada
awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam
merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan.
Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya
demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti: epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. (1,2,3,4)
Demam Berdarah Dengue
Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan
muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual,
dan muntah sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di
epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji
tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan
intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas,
aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam.
Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan
dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just
palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada
akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai
dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan
gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat
penderita dapat mengalami syok.(1,2,3,4)

18

Sindrom Syok Dengue


Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai
hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok
yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan
nadi < 20 mmHg, hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang.
Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila
terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan
berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna. infeksi
(pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik
infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada masa penyembuhan
yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau
aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup
dan kembalinya nafsu makan.(1,2,3,4)
2.8

DERAJAT/GRADE DEMAM BERDARAH MENURUT WHO

(9)

Grade I
Demam dan gejala konstitusional
Uji torniket +
Grade II
Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan lainnya)
Grade III
Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
Tekanan Sistolik normal
Grade IV
Syok mendalam
Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade I dan
II dengan Demam dengue
xcd

19

6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

(1,2)

Laboratorium
a. Leukosit
normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir fase
demam jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah limfosit
relatif meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau limfosit
plasma biru (LPB >4%) di daerah tepi dijumpai pada hari sakit ke 3-7.
b. Trombosit
jumlah trombosit 100.000/ul atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb. Pada
hari ke 3-7
c. Hematokrit
gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20%
atau lebih mencerminkan peningkatan

permeabilitas kapiler

dan

perembesan plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh pergantian cairan


atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen, protrombin
seperti faktor V, VII, IX, X
Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
Hipoproteinemia
Hiponatremia
SGOT/SGPT sedikit meningkat
k. Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat
g.
h.
i.
j.

pada syok yang berkepanjangan.


Radiologi
Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan efusi
pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus kanan.
Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.
Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini :
(a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan
tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama
dalam tubuh (sampai > 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi
sero-epidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer
konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik

20

pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai positif infeksi


dengue yang baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik rutin,
oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan tenaga yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi CF hanya
bertahan beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus dengu. Uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plague reduction Neutralization
Test (PRNT) yang berdasarkan adanya reduksi dari plak yang terjadi.
Antibodi neutralisasi dideteksi hampir bersamaan dengan HI antibodi dan
bertahan lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam
waktu yang relatif singkat dan akan disusul dengan pembentukan igG.
Pada kira-kira hari ke 5 terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi
virus. Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda infeksi saat ini)
dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi
mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang
setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14
pada infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

21

5. NS1-Ag tes
tes yang dapat mendiagnosis

DBD dalam waktu demam 8 hari

pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen NS1.
Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui adanya
infeksi dengue pada penderita tersebut pada fase awal demam, tanpa
perlu menunggu terbentuknya antibodi.
Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya
infeksi virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai penelitian
menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya dibandingkan
kultur virus dan pemeriksaan PCR maupun antibodi IgM dan IgG
antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama tingginya seperti pada
gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang tidak
terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun terakumulasi di dalam
supernatan dan membran plasma sel selama proses infeksi. NS1
merupakan gen esensial di dalam sel yang terinfeksi dimana fungsinya
sebagai ko-faktor untuk replikasi virus, yang terdapat bersama di dalam
bentuk replikasi RNA double-stranded (Mackenzie, 1996). Immune
recognition dari permukaan sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan
berperan dalam mekanisme kebocoran plasma yang terjadi selama
infeksi virus dengue yang berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1
berhubungan dengan membran plasma, yang tidak berisi motif sekuens
membrane-spanning masih belum jelas.

22

NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel


epitelial dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat
terhadap berbagai sel darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk deteksi
protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan dapat
mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat mendeteksi virus
lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai demam hari ke-9 dan
mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%, DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%,
DEN-4 : 93,35%.
DIAGNOSIS (1,2,3)
Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi kriteria
demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Kriteria demam berdarah
dengue yaitu:
Gejala klinis
Demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik
Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut ini:
-tes tornikuet positif
-ptekie, ekimosis atau purpura
-perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi
lain
-hematemesis atau melena
Hepatomegali
Syok
Laboratorium
Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari
20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)
Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG) dengan
enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi moniklonal, atau tes
hemaglutinasi
Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan basa urea
nitrogen
Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat
Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja
Pemeriksaan penunjang lain:
Radiografi dada: efusi pleura
CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri.
7.

PENATALAKSAAN (5,10)
Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis, setiap
menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat sangat
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pemberian
cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi organ yang
dapat

menyebabkan

kematian.

Gangguan

elektrolit

(natrium

dan

kalsium),

23

ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi terjadinya


disseminated intravascular coagulopathy (DIC).
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan
cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.2
Indikasi perawatan:
Takikardi
Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)
Dingin dan pucat
Perubahan status neurologik
Oliguria
Hematokrit mendadak tinggi
Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)
Hipotensi
Mengingat sindrom syok dengue merupakan keadaan kritis, maka penyebab
langsungnya harus segera ditentukan apakah akibat perdarahan atau akibat
perpindahan plasma.9
Obat pertama yang diberikan pada kegawatan DBD ialah oksigen. Hipoksemia
harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil contoh darah untuk
analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, golongan darah,
dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca, Mg, dan asam laktat. Lalu
pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin , urinalisis dan pengukuran berat
jenis urin. Jumlah diuresis dihitung setiap jam (normal 2-3 ml/kgBB/jam). Bila diuresis
kurang

ml/kgBB/jam

maka

terdapat

hipoperfusi

ginjal.

Pemasangan

pipa

oro/nasogastrik pada anak sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau


perdarahan saluran cerna dan melakukan bilasan lambung dengan garam fisiologik.
Tabel perbandingan cairan kristaloid dengan cairan koloid
Cairan Kristaloid
Cairan Koloid

Mengandung zat dengan berat


Mengandung zat dengan berat
molekul rendah (<8000 dalton)
molekul tinggi (>8000 dalton)

Cairan kristaloid dengan atau


Tekanan osmotik tinggi, sebagian
tanpa dekstrosa
besar akan tetap tinggal di ruang

Larutan RL atau dekstrosa 5%


intravaskuler
dalam larutan RL. Larutan RA atau
dekstrosa 5% dalam larutan RA.
Larutan NaCl 0,9% atau dekstrosa
5% dalam larutan garam faali

Tekanan onkotik rendah, cepat


terdistribusi ke ruang ekstraseluler

24

Menurunkan tekanan osmotik


koloid plasma dan cenderung
menimbulkan edema

Respon
metabolik
adalah
meningkatkan pengiriman oksigen ke
jaringan dan konsumsi O2 serta
menurunkan laktat serum
Koloid isoonkotik mengisi ruang
intravaskuler tanpa mengurangi volume
interstisial
Mempertahankan tekanan osmotik
koloid plasma dan menurunkan akumulasi
cairan interstisial
Larutan yang mempunyai efek
menyumpal, paling baik koloid dengan
BM 100.000-300.000 dalton

Cairan koloid yang dapat dipakai adalah :


1. DEKSTRAN:larutan 10% dekstran 40 dan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan
hiperonkotik, maka cairan ini akan menambah volume plasma karena menarik cairan dari
ekstravaskular ke intravaskular.efeknya dipertahankan masing - masing 3,5-4,5 jam dan 6-8
jam.Efek samping meggangu mekanisme pembekuaan darah dengan cara menurunkan
jumlah fibrinogen dan menggangu fungsi trombosit.Tidak boleh diberikan pada DIC
2. Gelatin : haemasel dan gelofusin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik.efeknya menetap sekitar 2-3 jam dan tidak menggangu pembekuan
darah.
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) : 6% hes 200/0,5;6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik
dan isoonkotik, sedangkan 10 % HES 200/0,5 isotonik dan hipoonkotik.gangguan
pembekuan darah tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24jam

Tatalaksana Sindrom Syok Dengue5

1. oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)


2. penggantian volume plasma segera
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian cairan
intravena
syok teratasi
kesadaran membaik
nadi teraba kuat

syok tidak teratasi


kesadaran menurun
nadi lembut/tidak teraba

25

tekanan nadi>20 mmHg


tidak sesak nafas/sianosis

tekanan nadi <20mmHg


distres

pernapasan/sianosis
ekstremitas hangat
diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit

ekstremitas dingin
periksa kadar gula darah
lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam

tambahkan koloid/plasma
dekstran/FPP
10-20 (max 30) ml/kgBB/jam
Koreksi asidosis
Syok belum teratasi
Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam/Ht <40


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Syok teratasi
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Ht tetap tinggi/naik
Infus stop tidak melebihi 48 jam
20ml/kgBB koloid
setelah syok teratasi

6.

Ht turun

tranfusi darah segar 10 ml/kgBB

10-

diulang sesuai kebutuhan

Pertimbangkan
Penatalaksaan pasien dengan syok yang
terkompensasi:
Syok belum teratasi
pemakaian inotropik
Berikan cairan isotonik kristaloid secara
intravena
dosis 5-10 ml/kgBB/jam,
dan koloid HESdengan
BM
100.000-300.000
D
habis dalam 1 jam. Lalu periksa tanda
vital, cappilary
refill time, hematokrit, dan

produksi urin.
Jika keadaan pasien membaik, cairan kristaloid diturunkan secara perlahan. Turunkan
5-7 ml/kgBB/jam dalam waktu 1-2 jam. Lalu 3-5 ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. 2-3
ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. Jika keadaan terus membaik, maka cairan dapat
terus dikurangi.
Bila keadaan pasien tidak membaik, dimana tanda vital tetap tidak stabil, periksa
hematokrit setelah pemberian bolus pertama. Bila hematokrit meningkat atau tetap
tinggi ( 50%), berikan bolus kristaloid kedua dengan dosis 10-20 ml/kgBB/jam dalam 1
jam. Bila setelah pemberian cairan kedua ini ada perbaikan, kurangi dosis cairan
kristaloid menjadi 7-10 ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, dan terus kurangi dosis seperti
yang telah dijelaskan di atas. Bila nilai hematokrit menurun dari nilai hematokrit awal (<
40% pada anak dan wanita dewasa, < 45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah secepatnya.
Selanjutnya bolus larutan kristaloid ataupun koloid mungkin perlu diberikan

26

selama 24-48 jam berikutnya.

7.

Penataksaan pasien dengan syok yang tidak terkompensasi


Beri cairan isotonik ataupun kristaloid (bila tersedia) secara intravena
dengan dosis 20 ml/kgBB/jam selama 15 menit
Bila keadaan pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10
ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Lalu lanjutkan dengan pemberian cairan
kristaloid dan kurangi dosis secara perlahan, 5-7 ml/kgBB/jam dalam 1-2
jam. Lalu 2-5 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam. Dan 2-3 ml/kgBB/jam atau
kurang, yang dapat dipertahankan selama 24-48 jam.
Bila tanda vital masih tidak stabil, periksa nilai hematokrit sebelum
pemberian cairan pertama. Jika nilai hematokrit rendah (< 40% pada anak
dan dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah
secepatnya.
Bila nilai hematokrit lebih tinggi dari nilai hematokrit awal, maka danti
cairan dengan berikan cairan koloid 10-20 ml/kgBB dalam waktu 30 menit
sampai 1 jam. Bila keadaan pasien membaik, turunkan dosis 7-10
ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid dan

27

turunkan dosis seperti yang telah disebutkan diatas. Jika masih belum
stabil, periksa kembali hematokrit.
Bila nilai hematokrit turun dari nilai sebelumnya (< 40% pada anak dan
dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah
secepatnya. Bila nilai hematokrit meningkat dari nilai sebelumnya atau
tetap tinggi (> 50%), lanjutkan pemberian koloid 10-20 ml/kgBB sebagai
bolus ketiga dalam waktu 1 jam. Lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid
dan turunkan dosis seperti yang telah disebutkan diatas saat keadaan
pasien mulai membaik.
Bolus cairan mungkin perlu diberikan selama 24 jam ke depan.
Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga tanda-tanda
bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda vital dan perfusi
perifer harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari keadaan syok,
lalu monitor setiap 1-2 jam. Secara umum, semakin tinggi tingkat cairan infus, pasien
lebih sering harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara
memastikan penggantian volume yang memadai.
Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk memudahkan
menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum dan sesudah bolus
cairan samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap 4-6 jam. Terkadang
diperlukan juga pemeriksaan analisis gas darah , laktat, karbondioksida/bikarbonat
(setiap 30 menit sampai 1 jam hingga pasien stabil, lalu diperiksa kembali sesuai
kebutuhan), gula darah (sebelum dan sesudah pemberian cairam,periksa kembali
sesuai indikasi), dan pemeriksaan fungsi organ lainnya ( ginjal, hepar, koagulasi, dll).

28

Indikasi pemberian darah:2


terdapat perdarahan secara klinis
Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,

diduga telah terjadi perdarahan. Berikan darah segar 10 ml/kgBB


Apabila kadar hematokrit tetap > 40vol%, maka berikan darah dalam volume kecil.
Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.

29

Pemberian tranfusi suspensi trombosit pada Koagulasi Intravaskular Diseminata


harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih hebat.
Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting dalam

mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda syok, terapi cermat
harus diberikan segera. Pasien kemudian harus dibawah observasi konstan dan cermat
sampai ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat. Tindakan berikut harus dilakukan rutin
pada situasi tersebut:
Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit sampai syok
teratasi.11 Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati, tanda ensefalopati.14
Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12 jam.
Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan tipe cairan
dan kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi keadekuatan penggantian
cairan.Frekuensi dan volume keluaran urin juga harus dicatat, dan kateter urin
mungkin diperlukan pada kasus syok sulit teratasi.
Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk persiapan tranfusi
darah apabila diperlukan.11
Pasien demam berdarah dengue perlu dirujuk ke ICU Anak atas indikasi:16
Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)
Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)
Perdarahan saluran cerna hebat
Demam berdarah dengue ensefalopati
Kriteria pasien pulang:1
Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perubahan klinis
Output urin baik
Hematokrit stabil
Melewati 2 hari setelah syok
Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites
Trombosit >50.000/mm3

30

31

KOMPLIKASI (5,9)

8.

Overload cairan

32

Kelebihan cairan dengan efusi pleura yang luas dan ascites merupakan
penyebab distress pernafasan akut tersering pada dengue berat. Penyebab
kelebihan cairan pada dengue adalah :
Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang terlalu cepat
Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan hipotonik

daripada cairan isotonik.


Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada pasien dengan

perdarahan masif yang tidak diketahui


Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma, trombosit

konsentrat, dan kriopresipitat


Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma telah

membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)


Keadaan komorbid
Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena karena selama
masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga peritoneum akan kembali ke

intravaskuler.
Perdarahan (biasanya gastrointestinal)
Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan trombositopenia
yang cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan hindari dari trauma untuk
mencegah perdarahan. Tidak semua pasien mengalami perdarahan yang cukup
banyak. Hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Pemberian transfusi darah
harus dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau terlihat adanya tandatanda perdarahan yang masif. Tetapi pada pemberian transfusi darah pun harus
di monitor sebaik mungkin untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien.
Jangan menunggu nilai hematokrit terlalu rendah untuk memutuskan pemberian

transfusi darah. Berikan 5-10 ml/kgBB PRC atau 10-20 ml/kgBB whole blood.
Hiperglikemia dan hipoglikemia
Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum kalsium
Asidosis metabolik
Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok. Pada

DSS bisa terjadi asidosis metabolic karena mengalami syok , sehingga mengalami
hipoksia jaringan,metabolime anaerob dengan menghasilkan asam laktat.
DIC
Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang berat, tanda

tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang dimasukkan ke dalam
pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat ditemukan tanda petekie dan
ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat tanda infark
yang luas di kulit, di jaringan subkutan atau ginjal.

Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma

33

Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan mungkin
terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema serebri, hiponatremia,
anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau pelepasan produk toksik.9
Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok yang
berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada DBD yang tanpa
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan
dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Hal ini mungkin pula disebabkan oleh
thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular
menyeluruh.

Adapun

perihal

yang

menyatakan

bahwa

ensefalopati

dengue

berhubungan dengan kegagalan hati akut.


Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen dan
dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus diatasi
terlebih dahulu untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.

Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut).
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom hemolitik uremikum yang jarang
terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan nekrosis tubular akut yang
ditandai dengan oligouria/anuria disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Oedem paru
Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian

cairan yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi cairan pada sekitar hari
sakit ke 7 dapat menimbukan keadaan ini. Ditandai dengan sesak napas, kelopak
mata sembab, dan ditunjang dengan gambaran oedem paru pada pemeriksaan
radiologi toraks.

Co-infection dan infeksi nosokomial

KESIMPULAN
Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara
hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan
berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung
sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.

34

Syok ditandai dengan :


Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral
Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang
Kulit dingin dan sembab
Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis, setiap
menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat sangat
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pemberian
cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi organyang
dapat

menyebabkan

kematian.

Gangguan

elektrolit

(natrium

dan

kalsium),

ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi terjadinya


disseminated intravascular coagulopathy (DIC).

DAFTAR PUSTAKA
1. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal.155181
2. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43
3. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2004.
4. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah
Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.20001. Hal 1134-1135
5. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Degue Shock Syndrome In The
Context Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005. Hal 1-34

35

6. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. 2009.
Hal 3-147
7. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001. Dengue
buletin vol 25. Hal 50-55
8. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Prediktor Syok Pada
Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito. 2004. Hal 1011
9. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM. 2007.
10. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2005
11. Sungkar Saleha. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia. 2002.
12. Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_citation/D
engue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_children_
diunduh pada tanggal 31 Oktober 2016
13. Fluid
Solutions
in
Dengue
Shock

Syndrome.

Didapat

dari

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200512083532317 diunduh pada 31


Oktober 2016
14. Dengue

Shock

Syndrome.

didapat

dari

http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628 diunduh pada 31


Oktober 2016
15. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Didapat dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/dengue-shock-syndrome.html
diunduh pada tanggal 31 Oktober 2016
16. Dengue Fever, Dengue haemorrhagic fever, Dengue shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm diunduh pada 31
Oktober 2016
17. Dengue
Virus

Fusion

Pathway.

Didapat

dari

http://www.microbiologybytes.com/blog/tag/dengue/ diunduh pada tanggal 31


Oktober 2016
18. Dengue
Fever

and

Dengue

haemorrhagic

fever.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
Oktober 2016
19. Dengue

Haemorrhagic

Fever.

Didapat

dari

diunduh pada tanggal 31

Didapat

dari

http://www.denguevirusnet.com/dengue-haemorrhagic-fever.html diunduh pada


tanggal 31 Oktober 2016

36

37

You might also like