You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOARTHRITIS

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


RSUP. FATMAWATI GPS Lantai 1
OLEH: MIPTAHUL JANAH, 1206218700
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
1. Anatomi Sistem Muskoskeletal
Sistem muskoloskeletal manusia tersusun atas otot (muscle) dan rangka (skeletal) (Black
& Hawks, 2014). Otot (muscle) jaringan tubuh yg berfungsi mengubah energi kimia
menjadi kerja mekanik sebagai respons tubuh terhadap perubahan lingkungan. Rangka
(skeletal) merupakan bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan tulang rawan
(kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan memungkinkan tubuh untuk
mempertahankan sikap dan posisi (Kuntarti, 2007)
Sistem skeletal memiliki fungsi sebagai, (1) penyangga: berdirinya tubuh, tempat
melekatnya ligamen-ligamen, otot, jaringan lunak dan organ, (2) penyimpanan mineral
(kalsium & fosfat) dan lipid (yellow marrow), (3) produksi sel darah (red marrow), (4)
pelindung; membentuk rongga melindungi organ yang halus & lunak, (5) penggerak; dpt
mengubah arah & kekuatan otot rangka saat bergerak; adanya persendian (Kuntarti,
2007).
a. Tulang
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh serta merupakan
tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh (Price &
Wilson, 2005). Terdapat 206 tulang dalam tubuh manusia yang terbagi dalam empat
kategori yaitu tulang panjang (mis. femur), tulang pendek (mis. tulang tarsalia), tulang
pipih (mis. sternum) dan tulang tak teratur (mis. vertebra) (Smeltzer & Bare, 2002).
Tulang manusia tersusun oleh jaringan tulang konselus (spongius) dan tulang kortikal
(kompak). Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-sel tulang
meliputi osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Osteosit merupakan sel dewasa yang
terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak didalam matriks tulang.
Sedangkan osteoklas merupakan sel multinuklear yang berperan dalam
penghancuran , resorpsi, dan remodeling tulang (Price & Wilson, 2005).
b. Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang (artikulasio). Tulang-tulang ini
dipadukan dengan berbagai cara misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen,
tendon, fasia atau otot. Dalam membentuk rangka tubuh, tulang yang satu
berhubungan dengan tulang yang lain melalui jaringan penyambung yang disebut
persendian. Pada persendian terdapat cairan pelumas (cairan sinofial). Otot yang

melekat pada tulang oleh jaringan ikat disebut tendon. Sedangkan, jaringan yang
menghubungkan tulang dengan tulang disebut ligamen (Kuntarti, 2007).
Secara struktural sendi dibagi menjadi: sendi fibrosa, kartilago dan sinovial.
Sedangkan berdasarkan jenis persambungannya sendi dibagi menjadi: sendi
sinartrosis dan diartrosis (Black & Hawks, 2014).
c. Tulang rawan (Kartilago)

Tulang rawan berkembang dari mesenkim membentuk sel yang disebut sebagai
kondrosit. Kondrosit menempati rongga kecil (lakuna) di dalam matriks dengan
substansi dasar seperti gel (berupa proteoglikans) yang basofilik. Berdasarkan jenis &
jumlah serat di dalam matriks, ada 3 macam tulang rawan diantranya (Kuntarti, 2007):
1. Tulang rawan hialin: merupakan jenis tulang rawan yang paling banyak dijumpai,
mengandung serat kolagen
2. Tulang rawan elastin: tulang rawan yang serupa dengan tulang rawan hialin tetapi
memiliki lebih banyak serat elastin yang mengumpul pada dinding lakuna yang
mengelilingi kondrosit.
3. Fibrokartilago: tulang rawan yang tidak pernah berdiri sendiri tetapi secara
berangsur menyatu dengan tulang rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa yang
berdekatan.
2. Patofisiologi Osteoarthritis
a. Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang
berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat,
ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada tepinya,
sklerosis tulang subkondral, perubahan pada membran sinovial, disertai nyeri,
biasanya setelah aktivitas berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari
atau setelah inaktivitas (Firestein, et al., 2009).
Penyakit ini disebut juga
degenerative arthritis, hypertrophic arthritis, dan degenerative joint disease
(Hartanto, et al., 2000). Osteoartritis adalah bentuk artritis yang paling umum terjadi
pada orang-orang usia lanjut atau usia dewasa (Price & Wilson, 2005).
b. Klasifikasi
Altman, et al. (2001) mengklasifikasikan osteoartritis (OA) menjadi 2 golongan, yaitu
OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui
penyebabnya dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi (Soeroso, et. al., 2006). Meski demikian, osteoartritis
primer banyak dihubungkan pada penuaan. Pada lansia, volume air dari tulang muda
meningkat dan susunan protein tulang mengalami degenerasi. Pada kasus-kasus
lanjut, terjadi kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan sendi-

sendi. Kehilangan bantalan tulang ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus
pada nyeri dan keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di sekitar sendisendi (Adnan, 1983 dalam Yanuarty, 2014). Sedangkan OA Sekunder merupakan OA
yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lainnya seperti pada post-traumatik,
kelainan kongenital dan pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan
tulang dan sendi, penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik,
inflamasi, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya (Altman, et. al,
2001; Firestein, et al., 2009).

c. Etiologi/ faktor risiko


Secara garis besar, faktor risiko timbulnya OA lutut meliputi usia, jenis kelamin, ras,
genetik, nutrisi, obesitas, penyakit komorbiditas, menisektomi, kelainan anatomis,
riwayat trauma lutut, aktivitas fisik, kebiasaan olah raga, dan jenis pekerjaan (Altman,
et. al, 2001; Firestein, et al., 2009).
- Usia
Usia adalah faktor risiko utama timbulnya OA, dengan prevalensi dan beratnya
OA yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lebih dari 80%
individu berusia lebih dari 75 tahun terkena (Altman, et. al, 2001). OA. Bukti
radiografi menunjukkan insidensi OA jarang pada usia di bawah 40 tahun. OA
hampir tidak pernah terjadi pada anak-anak dan sering pada usia di atas 60 tahun.
Meskipun OA berkaitan dengan usia, penyakit ini bukan merupakan akibat proses
penuaan yang tak dapat dihindari (Firestein, et al., 2009).
Perubahan morfologi dan struktur pada kartilago berkaitan dengan usia termasuk
penghalusan dan penipisan permukaan artikuler; penurunan ukuran dan agregasi
matriks proteoglikan; serta kehilangan kekuatan peregangan dan kekakuan
matriks. Perubahan-perubahan ini paling sering disebabkan oleh penurunan
kemampuan kondrosit untuk mempertahankan dan memperbaiki jaringan
sehingga terjadi penurunan aktivitas sintesis dan mitosis, penurunan respon
terhadap anabolic growth factor, dan sintesis proteoglikan yang lebih kecil dan
tidak seragam (Firestein, et al., 2009).

- Jenis Kelamin
Wanita berrisiko terkena OA dua kali lipat dibanding pria (Firestein, et al., 2009).
Walaupun prevalensi OA sebelum usia 45 tahun kurang lebih sama pada pria dan
wanita, tetapi di atas 50 tahun prevalensi OA lebih banyak pada wanita, terutama
pada sendi lutut. Wanita memiliki lebih banyak sendi yang terlibat dan lebih
menunjukkan gejala klinis seperti kekakuan di pagi hari, bengkak pada sendi, dan
nyeri di malam hari (Firestein, et al., 2009)
Meningkatnya kejadian OA pada wanita di atas 50 tahun diperkirakan karena
turunnya kadar estrogen yang signifikan setelah menopause. Kondrosit memiliki
reseptor estrogen fungsional, yang menunjukkan bahwa sel-sel ini dipengaruhi
oleh estrogen (Soeroso, et. al., 2006)
- Genetik
Faktor genetik juga berperan pada kejadian OA lutut. Hal tersebut berhubungan
dengan abnormalitas kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat
diturunkan, seperti adanya mutasi pada gen prokolagen II atau gen-gen struktural
lain untuk struktur-struktur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII,
protein pengikat, atau proteoglikan (Soeroso, et. al., 2006).
- Nutrisi
Orang yang jarang mengkonsumsi makanan bervitamin D memiliki peningkatan
risiko 3 kali lipat menderita OA lutut (Marsland, Daniel, Kapoor, 2008).
Penelitian faktor nutrisi sebagai etiopatologi OA membuktikan adanya
peningkatan risiko kejadian OA lutut pada individu dengan defisiensi vitamin C
dan E.
- Obesitas
Kegemukan (obesitas) adalah faktor risiko terkuat untuk terjadinya osteoartritis
lutut. Efek obesitas terhadap perkembangan dan progresifitas OA terutama
melalui peningkatan beban pada sendi-sendi penopang berat badan. Tiga hingga
enam kali berat badan dibebankan pada sendi lutut pada saat tubuh bertumpu
pada satu kaki. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut
saat berjalan (Faucy, et al., 2008).
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa makin besar Indeks Massa Tubuh (IMT),
risiko menderita OA lutut akan semakin meningkat (Maharani, 2007). Penderita
OA dengan obesitas memiliki gejala OA yang lebih berat. Obesitas tidak hanya
mengawali timbulnya penyakit OA, tetapi juga merupakan akibat lanjut dari
inaktivitas para penderita OA (Faucy, et al., 2008). Selain melalui peningkatan
tekanan mekanik pada tulang yang menyebabkan kerusakan kartilago, obesitas
berhubungan dengan kejadian osteoartritis secara tidak langsung melalui faktorfaktor sistemik (Firestein, et al., 2009).

- Penyakit komorbid
Faktor metabolik juga berkaitan terhadap timbulnya OA, selain faktor obesitas.
Hal ini didukung dengan adanya kaitan antara OA dengan beberapa penyakit
seperti diabetes mellitus, hipertensi, hiperurisemia, dan penyakit jantung koroner
(Soeroso, et al., 2006).
- Menisektomi
Menisektomi merupakan suatu tindakan operasi yang dilakukan di daerah lutut
dan merupakan salah satu faktor risiko penting pada timbulnya OA lutut (Altman,
et al., 2001). Osteoartritis lutut dapat terjadi pada 89% pasien yang telah
menjalani menisektomi. OA campuran antara patellofemoral dan tibiofemoral
sering terjadi pada individu yang pernah menjalani menisektomi (Firestein, et al.,
2009).
- Kelainan anatomi
Kelainan lokal pada sendi lutut yang dapat menjadi faktor risiko OA lutut antara
lain genu varum, genu valgus, Legg Calve Perthes disease, displasia
asetabulum, dan laksiti ligamentum pada sendi lutut (Maharani, 2007).
Kelemahan otot kuadrisep juga berhubungan dengan nyeri lutut, disabilitas, dan
progresivitas OA lutut (Soeroso, et al., 2006). Selain karena kongenital, kelainan
anatomis juga dapat disebabkan oleh trauma berat yang menyebabkan timbulnya
kerentanan terhadap OA (Faucy, et al., 2008).
- Riwayat trauma lutut
Trauma lutut akut, terutama kerusakan pada ligamentum cruciatum dan robekan
meniskus pada lutut merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut, dan
berhubungan dengan progresifitas penyakit. Perkembangan dan progresifitas OA
pada individu yang pernah mengalami trauma lutut tidak dapat dicegah, bahkan
setelah kerusakan ligamentum cruciatum anterior diperbaiki. Risiko
berkembangnya OA pada kasus ini sebesar 10 kali lipat (Firestein, et al., 2009).
- Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang berat / weight bearing seperti berdiri lama (2 jam atau lebih
setiap hari), berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat benda
berat (10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek
yang berat (10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun
tangga setiap hari merupakan faktor risiko terjadinya OA lutut (Maharani, 2007).
Di sisi lain, seseorang dengan aktivitas minim sehari-hari juga berrisiko
mengalami OA lutut. Kurangnya aktivitas sendi yang berlangsung lama akan
menyebabkan disuse atrophy yang akan meningkatkan kerentanan terjadinya
trauma pada kartilago (Altman, et al., 2001).

- Kebiasaan olahraga
Olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA
yang lebih tinggi. Beban benturan yang berulang juga dapat menjadi suatu faktor
penentu lokasi pada individu yang mempunyai predisposisi OA dan dapat
berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA (Soeroso, et al., 2006). Atlet
olah raga yang cenderung mengalami benturan keras dan membebani lutut seperti
sepak bola, lari maraton, dan kung fu meningkatkan risiko untuk menderita OA
lutut (Maharani, 2007).
- Jenis pekerjaan
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus,
misalnya tukang pahat, pemetik kapas, berkaitan dengan peningkatan risiko OA
tertentu. Terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan yang menggunakan
kekuatan lutut dan kejadian OA lutut. Osteoartritis lebih banyak ditemukan pada
pekerja fisik berat, terutama yang sering menggunakan kekuatan yang bertumpu
pada lutut, seperti penambang, petani, dan kuli pelabuhan (Maharani, 2007).
d. Manifestasi klinis
Keluhan osteoartritis yang paling sering dirasakan yaitu nyeri sendi, terutama saat
sendi bergerak atau menanggung beban, dan akan berkurang saat istirahat. Seringkali
penderita merasakan nyeri pada sendi asimetris yang meningkat secara bertahap
selama beberapa tahun. Nyeri pada pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul
sendi, periostitis dan spasme otot periartikular. Pada tahap awal, nyeri hanya
terlokalisasi pada bagian tertentu, tetapi bila berlanjut, nyeri akan dirasakan pada
seluruh sendi yang terkena OA. Nyeri ini seringkali disertai bengkak, penurunan
ruang gerak sendi, dan abnormalitas mekanis. Keterbatasan gerak biasanya
berhubungan dengan pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat
kehilangan rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular
(Black & Hawks, 2014; Price & Wilson, 2005).
Kekakuan sendi juga dapat ditemukan pada penderita OA setelah sendi tidak
digerakkan beberapa lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah
sendi digerakkan. Kekakuan yang terjadi pada pagi hari biasanya berlangsung tidak
lebih dari 30 menit. Selain itu, juga didapatkan pembesaran tulang di sekitar sendi,
efusi sendi, dan krepitasi. Pada OA lutut, gejala spesifik yang dapat timbul adalah
keluhan instabilitas pada waktu naik turun tangga (Price & Wilson, 2005).
e. Grading OA menurut kriteria Kellgren-Lawrence
Pada OA terdapat gambaran radiografi yang khas, yaitu osteofit. Selain osteofit, pada
pemeriksaan X-ray penderita OA biasanya didapatkan penyempitan celah sendi,
sklerosis, dan kista subkondral (Marsland, Daniel & Kapoor, 2008). Berdasarkan
gambaran radiografi tersebut, Kellgren dan Lawrence membagi OA menjadi empat
grade (Waddel, 2014) :

Grade 0 : normal
Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit
Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral, celah sendi
normal, terdapat kista subkondral
Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis tulang, terdapat
penyempitan celah sendi
Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi, terdapat kista
subkondral dan sklerosis

f. Komplikasi
Apabila osteoarthritis tidak ditangani dengan baik, maka akan terjadi
komplikasi.Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan
osteoarthritis diantaranya sebagai berikut:
- Komplikasi akut: Osteoarthritis with crystals, Bakers cysts (popliteal cysts)
- Komplikasi kronis: malfungsi tulang bahkan kelumpuhan
3. Rencana Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian pada pasien meliputi identitas pasien, riwayat kesehatan, pemeriksaan
fisik, dan hasil data penunjang seperti lab dan radiologi.
o Identitas pasien
Pengkajian identitas pasien meliputi: nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan lain-lain.

o Riwayat kesehatan
Dorong pasien untuk mendiskusikan awal dan perjalanan gejala. Selama
wawancara, catat pemahaman pasien mengenai proses penyakit, bagaimana
pasien dan keluarganya mengatasi masalah dan bagaimana pasien mengatasi
gejala yang dirasakannya.
o Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, massa dipalpasi dengan lembut, ukuran dan
pembengkakan jaringan lunak yang diakibatkannya, dan nyeri tekan dicatat.
Pengkajian status neurovaskuler dan tentang gerak ekstremitas merupakan data
dasar sebagai pembanding. Mobilitas dan kemampuan pasien melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari juga perlu dievaluasi.
o Diagnosis
American College of Rheumatology menggunakan kriteria klasifikasi sebagai
berikut untuk melakukan diagnosis OA.
Klinis
Nyeri lutut + minimal
3 dari 6 kriteria
berikut :
o Umur > 50 tahun
o Kaku pagi < 30
menit
o Krepitus
o Nyeri tekan
o Pembesaran tulang
o Tidak panas pada
perabaan

Klinis dan
Laboratorik
Nyeri lutut + minimal
5 dari 9 kriteria
berikut :
o Umur > 50 tahun
o Kaku pagi < 30
menit
o Krepitus
o Nyeri tekan
o Pembesaran tulang
o Tidak panas pada
perabaan
o LED < 40 mm / jam
o RF < 1 : 40
o Analisis cairan sendi
normal

Klinis dan
Radiografi
Nyeri lutut + minimal
1 dari 3 kriteria
berikut :
o Umur > 50 tahun
o Kaku pagi < 30
menit
o Krepitus
+
OSTEOFIT

b. Diagnosa keperawatan
- Dx. 1 Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik
- Dx. 2 Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan pada kedua ekstremitas bawah
- Dx. 3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan b.d kurang intake
makanan, muntah

Diagnosa
Keperawatan
Domain 12:
Kenyamanan
Kelas
1:
Kenyamanan Fisik
Nyeri
(00132)

Akut

Definisi:
Pengalaman
sensorik
dan
emosional
yang
tidak
menyenangkan
terkait
dengan
kerusakan jaringan
aktual
atau
potensial,
atau
yang digambarkan
dalam
hal
kerusakan
(Penelitian Nyeri
Asosiasi
Internasional);
tiba-tiba
atau
lambat
setiap
intensitas
dari
ringan
sampai
berat dengan akhir
diantisipasi atau
diprediksi.
Domain 4 :
Aktivitas
/Istirahat
Kelas 2 :
Aktivitas
/Istirahat
00085 Hambatan
Mobilitas Fisik

Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Klien
mengatakan
nyeri hilang dan
terkontrol,
Klien tampak
rileks,
tidak
meringgis, dan
mampu
istirahat/tidur
dengan tepat,
Tampak
memahami
nyeri akut dan
metode untuk
menghilangkan
nya, dan
Skala nyeri 0-2.

Catat dan kaji lokasi


dan intensitas nyeri
(skala 0-10). Selidiki
perubahan
karakteristik nyeri.
Berikan
tindakan
kenyamanan (contoh
ubah posisi sering,
pijatan lembut).
Berikan
sokongan
(support)
pada
ektremitas yang luka.

Untuk mengetahui
respon dan sejauh
mana tingkat nyeri
pasien.

Pasien
menyatakan
pemahaman
situasi
individual,
program
pengobatan, dan
tindakan

Berikan lingkungan
yang tenang.

Mencegah
pergeseran tulang
dan penekanan pada
jaringan yang luka.
Peningkatan vena
return, menurunkan
edema,
dan
mengurangi nyeri.
Agar pasien dapat
beristirahat
dan
mencegah
timbulnya stress.

Kolaborasi dengan
dokter
tentang
pemberian
analgetik, kaji
efektifitas
dari
tindakan penurunan
rasa nyeri.

Untuk mengurangi
rasa sakit / nyeri.

Kaji
tingkat
immobilisasi
yang
disebabkan oleh nyeri
dan persepsi pasien
tentang immobilisasi
tersebut.
Dorong
partisipasi
dalam
aktivitas

Pasien
akan
membatasi
gerak
karena
salah
persepsi (persepsi
tidak proporsional).
Memberikan
kesempatan untuk

Diagnosa
Keperawatan
Definisi :
Keterbatasan pada
pergerakan fisik
tubuh atau satu
atau lebih
ekstremitas secara
mandiri

Kriteria Hasil
keamanan,
Pasien tampak
ikut serta dalam
program
latihan
/
menunjukan
keinginan
berpartisipasi
dalam aktivitas,
Pasien
menunjukan
teknik / perilaku
yang
memampukan
tindakan
beraktivitas, dan
Pasien tampak
mempertahanka
n
koordinasi
dan mobilitas
sesuai tingkat
optimal.

Intervensi
rekreasi (menonton
TV, membaca koran
dll ).

Anjurkan
pasien
untuk
melakukan
latihan pasif dan aktif
pada yang cedera
maupun yang tidak.

Bantu pasien dalam


perawatan diri.

Berikan diit Tinggi


protein Tinggi kalori ,
vitamin , dan mineral.

Rasional
mengeluarkan
energi, memusatkan
perhatian,
meningkatkan
perasaan
mengontrol
diri
pasien
dan
membantu
dalam
mengurangi isolasi
sosial.
Meningkatkan
aliran darah ke otot
dan tulang untuk
meningkatkan tonus
otot,
mempertahankan
mobilitas
sendi,
mencegah
kontraktur / atropi
dan reapsorbsi Ca
yang
tidak
digunakan.
Meningkatkan
kekuatan
dan
sirkulasi
otot,
meningkatkan
pasien
dalam
mengontrol situasi,
meningkatkan
kemauan
pasien
untuk sembuh.
Mempercepat
proses
penyembuhan,
mencegah
penurunan
BB,
karena
pada
immobilisasi
biasanya
terjadi
penurunan BB.

Diagnosa
Keperawatan

Kriteria Hasil

Domain 2 Nutrisi
Kelas
Pencernaan

00002
Ketidakseimbanga
n nutrisi: kurang
dari kebutuhan b.d
kurang intake
makanan

Klien mampu
menghabiskan
minimal porsi
makanan yang
disediakan
Klien
mengalami
peningkatan
napsu makan

Intervensi

Rasional

Kolaborasi dengan
bagian fisioterapi.
Mengkaji
pemenuhan
kebutuhan
nutrisi
klien
(kalori,
protein, lemak).
Mengkaji
pemenuhan napsu
makan.

Untuk menentukan
program latihan.
Mengidentifikasi
kekurangan
nutrisi pada klien.

Menjelaskan
pentingnya makana
bagi
proses
penyembuhan.

Membantu
mengidentifikasi
mal-nutrisi pada
klien.

Mengidentifikasi
adanya
ketidakseimbang
an nutrisi.

Makanan hangat
dapat
meningkatkan
napsu makan.
Memudahkan
proses makan.
Mulut yang kotor
dapat mengurangi
napsu makan.

Mengukur BB dan
TB klien.

Mendokumentasika
n
asupan
oral
selama
24 jam
(riwayat dan jumlah
kalori dengan tepat).
Memberi makanan
selagi hangat.

Memberi makanan
sedikit tapi sering.
Menyarankan klien
oral hygiene.

Agar
dapat
melakukan
intervensi dalam
pemberian
makanan
pada
klien.
Dengan
pengetahuan
yang baik tentang
nutrisi
akan
memotivasi klien
untuk
meningkatkan
pemenuhan
nutrisi.

Diagnosa
Keperawatan

Kriteria Hasil

Intervensi

Berkolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
memilih
makanan yang dapat
memenuhi
kebutuhan
gizi
selama sakit.
Mengkaji
obatobatan
yang
dikonsumsi
yang
mempengaruhi
napsu makan

Rasional

Ahli gizi dapat


membantu klien
memilih makanan
yang
sesuai
dengan keadaan
sakit.

Mengidentifikasi
efek obat-obatan
yang dikonsumsi
terhadap
perubahan napsu
makan

4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Osteoartritis dimodifikasi berdasarkan guideline ACR: Update tahun
2000
Tahap Pertama

Terapi Non farmakologi


a. Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
b. Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi gaya
hidup. (Level of evidence: II)
c. Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan, minimal
penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
d. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises). (Level of
Evidence: I)
e. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot- otot
(quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for
ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
f. Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan splint
dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)

Tahap kedua

Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi


diatas)

- Pendekatan terapi awal

a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah
satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat
tersebut:
Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence: II)
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko
pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan
polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna,
mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan
salah satu obat berikut ini:
Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian
obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis
analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya bila
dengan dosis rendah respon kurang efektif. Pemberian OAINS lepas
bertahap (misalnya Na-Diklofenak SR75 atau SR100) agar
dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien.
Penggunaan misoprostol atau proton pump inhibitor dianjurkan pada
penderita yang memiliki faktor risiko kejadian perdarahan sistem
gastrointestinal bagian atas atau dengan adanya ulkus saluran pencernaan.
(Level of Evidence: I, dan II)
Cyclooxygenase-2 inhibitor. (Level of Evidence: II)
c. Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi

dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone


hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga
minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per
oral (OAINS).
- Pendekatan terapi alternatif
Bila dengan terapi awal tidak memberikan respon yang adekuat:
a. Untuk penderita dengan keluhan nyeri sedang hingga berat, dan memiliki
kontraindikasi pemberian COX-2 inhibitor spesifik dan OAINS, dapat
diberikan Tramadol (200-300 mg dalam dosis terbagi). Manfaatnya dalam
pengendalian nyeri OA dengan gejala klinis sedang hingga berat dibatasi
adanya efek samping yang harus diwaspadai, seperti: mual (30%), konstipasi
(23%), pusing/dizziness (20%), somnolen (18%), dan muntah (13%).
b. Terapi intraartikular seperti pemberian hyaluronan (Level of Evidence: I dan
II) atau kortikosteroid jangka pendek (satu hingga tiga minggu) pada OA lutut.
(Level of Evidence: II)
c. Kombinasi:

Metaanalisis membuktikan: Manfaat kombinasi paracetamol-kodein


meningkatkan efektifitas analgesik hingga 5% dibandingkan paracetamol saja,
namun efek sampingnya lebih sering terjadi: lebih berdasarkan pengalaman
klinis. Bukti-bukti penelitian klinis menunjukkan kombinasi ini efektif untuk
non-cancer related pain.
Tahap Ketiga
Indikasi untuk tindakan lebih lanjut:
a. Adanya kecurigaan atau terdapat bukti adanya artritis inflamasi: bursitis, efusi sendi:
memerlukan pungsi atau aspirasi diagnostik dan teurapeutik (rujuk ke dokter ahli
reumatologi/bedah ortopedi.
b. Adanya kecurigaan atau terdapat bukti artritis infeksi (merupakan kasus gawat
darurat, resiko sepsis tinggi: pasien harus dirawat di Rumah Sakit)
Segera rujuk ke dokter bedah ortopedi pada:
a. Pasien dengan gejala klinis OA yang berat, gejala nyeri menetap atau bertambah berat
setelah mendapat pengobatan yang standar sesuai dengan rekomendasi baik secara
non-farmakologik dan farmakologik (gagal terapi konvensional).
b. Pasien yang mengalami keluhan progresif dan mengganggu aktivitas fisik sehari-hari.
c. Keluhan nyeri mengganggu kualitas hidup pasien: menyebabkan gangguan tidur
(sleeplessness), kehilangan kemampuan hidup mandiri, timbul gejala/gangguan
psikiatri karena penyakit yang dideritanya.
d. Deformitas varus atau valgus (>15 hingga 20 derajat) pada OA lutut
e. Subluksasi lateral ligament atau dislokasi: rekonstruksi retinakular medial, distal
patella realignment, lateral release.
f. Gejala mekanik yang berat (gangguan berjalan/giving way, lutut terkunci/locking,
tidak dapat jongkok/inability to squat): tanda adanya kelainan struktur sendi seperti
robekan meniskus: untuk kemungkinan tindakan artroskopi atau tindakan
unicompartmental knee replacement or osteotomy/realignment osteotomies.
g. Operasi penggantian sendi lutut (knee replacement: full, medial unicompartmental,
patellofemoral and rarely lateral unicompartmental) pada pasien dengan:
- Nyeri sendi pada malam hari yang sangat mengganggu
- Kekakuan sendi yang berat
- Mengganggu aktivitas fisik sehari-hari.

Referensi:
Altman, et al. (2001). Osteoarthritis 3rd Edition diagnosis and medical surgical
management. Philadelphia: W.B Saunders Company
Black, J.M., & Hawks, J.H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: manajemen klinis untuk
hasil yang diharapkan. 8th Ed. Vol I. Singapore: Elsevier
Doengoes, Marilynn E. Et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Faucy, et al. (2008). Harrisons principles of internal medicine 17th Ed. USA:McGraw-Hill
Companies
Firestein, et al. (2009). Kelleys textbook of rheumatology 8th Ed Vol. II. Canada: Saunders
Elseviers
Hartanto, et al. (2000). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Kuntarti. 2007. Anatomi sistem muskoloskeletal dan sistem integumen. Retireved from:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/anatomimuskuloskeletal.pdf
pada 27 September 2016
Maharani, E.P. (2007). Faktor-faktor risiko osteartritis lutut. [Karya Tulis Ilmiah].
Universitas Diponegoro
Marsland., Daniel., & Kapoor, S. (2008). Crash course rheumatology and orthopaedics 2nd
edition. Phiiladelphia: Elsevier
Perhimpunan Rheumatologi Indonesia (IRA). (2014). Rekomendasi IRA untuk diagnosis dan
penatalaksanaan
osteoartritis.
Retrieved
from:
http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_IRA_Osteoarthritis_2014.pdf
pada 27 September 2016
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. 6th
Ed. Vol II. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8 Vol.1. Jakarta: EGC.
Soeroso, et al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Waddel, D.D. (2014). Integrating viscosupplementation into a comprehensive osteoarthritis
treatment program. Medscape Multispecialty
Yanuarty, M. (2014). Hubungan antara faktor risiko osteoartritis lutut dengan nyeri,
disabilitas, dan berat ringannya osteoartritis. [Karya Tulis Ilmiah]. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro

You might also like