Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA
E1A006106
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Pembimbing I
Pembimbing II
Djumadi. SH.,SU
Penguji
Rochati. SH.,MHum
NIP.194705051893031001
NIP.195410091984032001
Joko Susanto.SH.,SU
NIP.195508101983031003
Mengetahui
Universitas Jenderal Soedirman
D e k a n,
SURAT PERNYATAAN
NIM
: E1A006106
USAHA
PENAMBANGAN
BAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
The purpose of this study To determine the mineral mining business management
class C in the Village District Darmakradenan Ajibarang Banyumas Regional Level II
Regulation Banyumas No. 39 of 1995 on Mining Minerals Group C.
The method used in the writing of this thesis is a normative juridical approach
method, which is an approach that uses the concept positifis legislators stating that the
law is identical to the written norms made by the competent authority, other than that this
conception view the law as an autonomous normative system regardless
ofmasyarakat.Metode life approach to the problem using the approach Legislation in the
form of an inventory of legislation. The approach to the assessment of legislation related
to the central theme of research.
The data used is in the form of legislation and regulations, books, studies, works
of the law as well as a dictionary. Based on the literature review can be concluded that
the management of mining enterprises in the Village District Darmakradenan Ajibarang
Banyumas many actions that are contrary to rules of legislation in particular the
Environment Act. Local regulations relating to the use the Level II Regional District
Regulation No. 39 of 1995 Banyumas although its production has been referred to the
Environment Act and the Mining Act tertapi necessary to amend the regulations malihat
area because he is already quite long and is no longer applicable to the development of
society.
Based on the literature review can be concluded that the management of mining
enterprises in the Village District Darmakradenan Ajibarang Banyumas many actions
that are contrary to rules of legislation in particular the Environment Act. Local
regulations relating to the use the Level II Regional District Regulation No. 39 of 1995
Banyumas although its production has been referred to the Environment Act and the
Mining Act tertapi necessary to amend the regulations malihat area because he is
already quite long and is no longer applicable to the development of society.
Keywords: environmental protection, mineral mining category C
Kata Pengantar
Alihamdulillah hirobil alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsinya yang berjudul Pengelolaan Usaha Penambangan bahan Galian
Golongan C Di Desa Darmakradena Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas
(Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor
39 Tahun 1995 tentang Pertambangan Golongan C)
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bimbingan, petunjuk, bantuan dari berbagai pihak sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih yang seikhlas-ikhlasnya atas motivasi dan dukungan baik langsung ataupun
tidak langsung kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Djumadi S.H.,S.U selaku Pembimbing Akademik dan sekaligus sebagai
Pembimbing I, yang selalu memotivasi dalam perjalanan kuliah penulis.
3. Ibu Rochati. S.H., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah memberi masukan
kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsinya.
4. Bapak Joko Susanto. S.H.,S.U selaku Penguji yang telah meberikan masukan
untuk perbaikan skripsi penulis.
5. Bapak Supriyanto.S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
dan sekaligus sebagai Pembimbing pengganti dalam seminar penulis.
6. Semua dosen dan juga karyawan Fakultas Hukum Unsoed
7. Semua sahabat di Unit kegiatan mahasiswa Perguruan Pencak Silat Batako
Berpati Putih yang telah membantu dalam proses pendewasaan diri penulis.
8. Orang tua dan juga saudara yang selalu memberikan motivasi dan dukungan baik
moril dan materil.
9. Sahabat dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, trimakasih
karma slalu memberikan semangat dan telah memberikan warna dalam
kehidupan penulis.
10. Semua mahasiswa angkatan 2006 yang telah bersama-sama berjuang untuk
menyelesaikan kuliah.
Daftar Isi
Halaman
Halaman Judul
Halaman Pengesahan..
ii
3. Perizinan Penambangan.. 38
4. AMDAL, UKL-UPL... 42
5. Dampak Penambangan.... 44
C. BAB III. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan. 46
2. Spesifikasi Penelitian.. 46
3. Sumber Data 47
4. Metode Pengumpulan Data. 49
5. Metode Penyajian Data... 49
6. Metode Analisis Data.. 49
D. BAB IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil.. 51
B. Pembahasan.. 64
E. BAB V. Penutup
A. Simpulan. 89
B. Saran 90
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
10
masyarakat, seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3)
yang berbunyi sebagai berikut:
Bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipegunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketentuan Pasal 33 tersebut memberikan hak penguasaan kepada Negara atas seluruh
sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk
menggunakannya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan lain yang menyatakan bahwa
sumber daya alam adalah hak bersama dan dapat dimanfatkan oleh setiap orang diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH) yaitu:
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UPPLH) yaitu:
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana
dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
11
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup.
Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas sumber daya batu
gamping/kapur di daerah Darmakradenan berjumlah 442.181.173 ton. 2 Penambangan
batu gamping/kapur yang dilakukan saat ini oleh masyarakat yang dalam pengerjaannya
termasuk penambangan skala kecil banyak dijumpai di Desa Darmakradenan Kecamatan
Ajibarang sebagai usaha penambangan rakyat atau termasuk dalam penambangan bahan
galian golonagn C. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang dimaksud usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Dalam Peraturan Daerah Tingkat II
Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 Pasal 1 huruf (g) tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang dimaksud dengan usaha pertambangan
bahan galian golongan C adalah usaha pertambangan yang terdiri atas usaha eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan/ pemurnian, pengangkutan dan penjualan bahan galian golongan
C.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan penambangan sebagai proses, cara,
perbuatan menambang.
Desa Darmakradenan yang terletak sebagian di dataran sedang dan sebagian di dataran
tinggi dengan ketinggian antara 250-750 m di atas permukaan laut dengan tanah yang
sebagian berupa tanah bebatuan memiliki tidak kurang dari 15 tempat penambangan dan
pengelolaan batu kapur/gamping yang terletak di sisi kanan kiri jalan utama penghubung
2
www.pemdesdarma.go.id
13
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pengelolaan lingkungan hidup adalah, upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam upaya pengendalian lingkungan bukan hanya menjadi kewajiban pelaku
penambangan saja tetapi juga Pemerintah dan masyarakat seperti diatur dalam dalam
3
www.pemdesdarma.go.id
14
Pasal 63 UUPPLH Tahun 2009, bahwa pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan juga pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada
tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup
tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
15
Kewajiban masyarakat untuk pengendalian lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 67 dan
Pasal 68 UUPPLH Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yaitu:
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Dalam penambangan skala kecil bentuk perizinan yang diperlukan adalah berupa Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) dan bisa dimiliki perorangan atau kelompok atau berupa
koperasi atau badan usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang untuk
mengurus soal pertambangan ini melalui Dinas Pertambangan dan Energi di Kabupaten
Banyumas. Selain berkaitan dengan perizinan perlu juga diperhatikan peraturan mengenai
K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Telah banyak daerah penambangan batu kapur
16
yang menjadi rusak dan bahkan sampai memakan korban seperti tertimbun tanah longsor,
pencemaran lingkungan dan juga banjir.
Pemerintah Daerah sebagai pengawas dan juga sebagai pembuat kebijakan yang telah
memperoleh kewenangan dari pemerintah pusat perlu mengatur lebih lanjut mengenai
usaha penambangan bahan galian golongan C dalam suatu peraturan yang lebih khusus,
sehingga pemerintah Kabupaten Banyumas mengeluarkan Peraturan Daerah Tingkat II
Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian
Golongan C.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam Pasal 124 bahwa:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
17
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil perumusan masalah:
Bagaimanakah pengelolaan usaha penambangan bahan galian golongan C di Desa
Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas berdasarkan
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengelolaan usaha penambangan bahan galian golongan C di
Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas berdasarkan Peraturan
Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C.
D. Kegunaan Penelitian
18
seperti
Badan Lingkungan Hidup, Pengusaha, Penambang swasta, dan Pemerintah pada saat
melakukan tindakan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan pada umumnya dan
menyangkut tentang praktik penambanngan bahan galian golongan C (gamping/kapur) di
Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lingkungan Hidup
Sebagai wujud kesepakatan Negara Indonesia terhadap Konferensi Stockholm
pada tahun 1972 yaitu untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan,
19
undang tersebut cukup mampu mengatasi masalah yang ada tetapi melihat usia UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 yang cukup lama dan juga kualitas lingkungan hidup
yang semakin menurun sepertinya
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lagi menjamin kepastian hukum dan juga menjamin
hak rakyat Indonesia maka dilakukanlah perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara keduanya adalah merupakan Undang-Undang yang
setingkat selain itu keduanya juga memiliki keterkaitan satu sama lain. Dalam Undang20
Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap usaha yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL (Pasal 23). Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 dimuat pula bahwa setiap izin eksplorasi yang diterbitkan
harus memuat dokumen AMDAL. Untuk izin usaha operasi produksi, harus juga memuat
tentang pengelolaan lingkungan hidup termasuk reklamasi lahan yang telah ditambang.
Jika melihat hal tersebut keduanya adalah merupakan undang-undang yang berlapis dan
keduanya juga memiliki sifat kekhususan masing-masing. Dari kedua undang-undang
tersebut pastilah ada peraturan pelaksana yang mengikutinya, diantaranya yaitu Peraturan
Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang merupakan salah satu peraturan di tingkat
daerah kabupaten. Untuk ditingkat propinsi sendiri yaitu ada Peraturan Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 1994
a. Pengertian Lingkungan Hidup
Istilah lingkungan dan lingkungan hidup dalam bahasa inggris sebagai terjemahan
dari environment and human environment , digunakan secara bergantian dalam
pengertian yang sama.
Lingkungan hidup adalah merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia.
Semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi dari kekayaan alam yang menjadi sumber
penting bagi manusia.
21
N.H.T.Siahaan mengartikan bahwa lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan
kondisi yang terdapat dalam satu tempat atau ruang tempat manusia atau mahluk hidup
berada dan dapat mempengaruhi hidupnya. 4
Walaupun lingkungan hidup merupakan sumber penting bagi manusi tetapi perlu adanya
upaya untuk tetap melestarikan kekayaan alam yang ada agar generasi selanjutnya tetap
dapat nenikmati hasil dari alam.
Lingkungan hidup menurut Soejono diartikan sebagai lingkungan hidup fisik atau
jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang
terdapat dalam alam. 6
Dari pengertian lingkungan di atas maka lingkungan dapat di kelompokkan menjadi 3
macam yaitu:
1.) Lingkungan fisik (Physical Environment)
Yaitu segala sesuatu disekitar kita yang bersifat benda mati seperti gedung, sinar, air
dan lain-lain.
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, erlangga, Jakarta. Hal 4
Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hal 4
6
Soejono, 1996. Hukum Lingkungan, Rineka Cipta
5
22
Guna perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup sangat dibutuhkan hukum yang
mampu berperan sebagai sarana dalam melindungi lingkungan hidup. Selain sebagai
pelindung, hukum lingkungan ini juga sebagai dasar untuk mengatasi masalah-masalah
lingkungan. Masalah-masalah tersebut dapat berupa terganggunya lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial suatu masyarakat yang dapat merupakan suatu akibat ataupun
suatu proses ataupun akibat dari ulah manusia yang dapat berupa pencemaran maupun
perusakan lingkungan.
N.H.T. Siahaan.2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (edisi ke dua). Erlangga.hal 15
23
pencemaran yang sudah terjadi. Dalam hukum lingkungan asas ini dinyatakan dalam
kewajiban perizinan terhadap aktifitas tertentu dengan persyaratan-persyaratannya. Izin
persyaratannya bertujuan untuk mencegah pencemaran.
2. Asas Tentang Sarana Praktis Yang Terbaik (The Best Prakticabel Mean)
Asas ini mengandung arti bahwa sarana-sarana tersebut diterapkan untuk menanggulangi
atau mencegah pencemaran lingkungan yang menurut keadaan teknik actual adalah
paling efektif dan sekaligus bagi si pencemar dapat diterima secara logis.
3. Asas Cegah Tangkal (Stand Still Principle)
Asas ini maksudnya dalam daerah yang relative bersih tidak boleh menjadi semakin jelek
dan pencemaran dalam daerah yang telah tercemar tidak boleh bertambanh tercemar dan
bahkan harus ditekan kembali dengan cara scanering.
4. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Setiap orang yang mencemarkan bertanggung jawab untuk menghilangkan atau
meniadakan pencemaran yang disebabkan olehnya, ia wajib membayar biaya-biaya untuk
menghilangkannya.
5. Asas Differensiasi Regional
Situasi lingkungan berbeda-beda menurut daerah dank arena itu menuntut suatu
kebijaksanaan yang ditujukan kepada daerah itu. Pelaksanaannya juga berbeda menurut
daerahnya.
6. Asas Beban Pembuktian Terbalik
Hal ini dinyatakan dalam perkara-perkara perdata. Dalam kenyataan hakim-hakim
mempunyai kebebasan besar dalam pembagian pembuktian tentang pertanyaan apakah
suatu kegiatan merugikan bagi lingkungan. Dalam arti pemerintah, asas tersebut berarti
bahwa barang siapa yang akan melakukan kegiatan wajib menunjukan bahwa kegiatan
tersebut tidak merugikan lingkungan. 8
Kartono. Abdul Aziz. Diktat Kuliah Hukum Lingkungan. Purwokerto. 2002. hal 15-17
24
dan
asas
manfaat
bertujuan
untuk
mewujudkan
pembangunan
h. Ekoregion;
i.
Keanekaragaman hayati;
j.
Pencemar membayar;
k. Partisipatif;
l.
Kearifan local;
dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia
selaras dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun
lintas gender. Yang dimaksud dengan asas ekoregion adalah bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam,
ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Yang
dimaksud dengan asas keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
harus
memperhatikan
upaya
terpadu
untuk
27
28
29
2. RPPLH provinsi;
3. RPPLH kabupaten/ kota.
RPPLH memuat rencana tentang:
a) Pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam;
b) Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c) Pengendalian, pemantauan serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam, dan;
d) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH yang telah dibuat,
jika RPPLH belum tersedia maka pemanfaatan sumberdaya alam dilaksanakan
berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
1) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
2) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, dan;
3) Keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas
Pengendalian Lingkungan Hidup Di Kabupaten Banyumas dalam Pasal 1 angka 9 dan 16,
pengendalian lingkungan hidup diartikan sebagai upaya terpadu untuk mencegah,
menanggulangi dan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan perencanaan
pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan
30
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 3 UUPPLH 2009 menjelaskan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah:
a) Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup;
b) Menjamin, keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c) Menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d) Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e) Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f) Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan.
g) Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h) Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i) Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j) Mengantisipasi isu lingkungan global.
31
1.) Pencegahan
Berdasarkan Pasal 14 UUPPLH Tahun 2009 instrumen pencegahan, pencemaran,
dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategia);
b. Tata ruang;
c. Baku mutu lingkungan hidup;
d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. AMDAL;
f. UKL-UPL;
g. Perizinan;
h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i.
j.
2.) Penanggulangan
Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yaitu berupa:
a. Pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup kepada masyarakat;
32
3.) Pemulihan.
Dalam Pasal 54 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa, setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
pemulihan fungsi lingkungan hidup. Pemulihan tersebut dilakukan dengan tahapan:
a.
b.
c.
d.
e.
33
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Kerusakan lingkungan hidup adalah, perubahan langsung dan/ atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup, yang melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup, pengertian ini didasarkan pada Pasal 1 angka (17)
Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Adapun tindakan manusia yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung
terhadap perubahan sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku lingkungan hidup disebut dengan perusakan lingkungan, yang
diatur dalam Pasal 1 angka (14) UUPLH dan juga dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH
Tahun 2009.
Jika dilihat dari segi ilmiah, suatu lingkungan dapat disebut sudah tercemar bila memiliki
beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1) Kalau suatu zat, organisme, atau unsur-unsur yang lain (seperti gas, cahaya,
energi) telah tercampur (terinduksi) ke dalam sumber daya/ lingkungan
tertentu; dan
2) Karenanya menghalangi/ mengganggu fungsi atau peruntukan dari sumber
daya lingkungan tersebut.9
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUPPLH Tahun 2009, penentuan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup yang meliputi:
a. Baku mutu air;
b. Baku mutu air limbah;
c. Baku mutu air laut;
9
N.H.T. Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (edisi ke dua). Erlangga, Jakarta. 2004
34
hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan, perizinan, baku
mutu lingkungan, dan rencana pengelolaan lingkungan. Beberapa jenis sarana penegakan
hukum administratif adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
2. Instrumen Perdata
Penegakan hukum lingkungan melalui hukum perdata tidak terlalu populer, hal ini
disebabkan karena berlarut-larutnya proses perdata di pengadilan. Dalam Pasal 89
10
Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga
University Press. 1996. hal 192
37
UUPPLH Tahun 2009 mengenai pengajuan gugatan melaui jalur pengadilan ketentuan
pengajuan didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk pengajuan
gugatan ganti rugi dan juga pemulihan lingkungan dapat dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, oleh masyarakat dan juga oleh organisasi lingkungan hidup. Khusus
untuk organisasi lingkungan, hak pengajuan gugatan hanya sebatas untuk melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3. Instrumen Pidana
Penegakan hukum lingkungan berdasarkan instrumen pidana adalah cara terahir
yang ditempuh apabila dalam penegakan instrumen administratif dan instrumen perdata
tidak tercapai. Dalam Pasal 97 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa tindakan pidana
dalam UUPPLH adalah merupakan suatu kejahatan. Pengaturan ketentuan pidana yang
lebih lengkap dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 94 dan Pasal 120.
38
hidup dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan dan pilihan tersebut
dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam UUPPLH
Tahun 2009 penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dalam Pasal 84. Untuk
gugatan di pengadilan hanya dapat dilakukan jika penyelesaian di luar pengadilan
dianggap gagal.
Upaya penyelesaian di luar pengadilan adalah menjadi salah satu alternatif
penyelesaian yang bertujuan:
1.) Mengurangi penumpukan perkara di pengadilan;
2.) Untuk meningkatkan keterlibatan dan otonomi masyarakat dalam proses
penyelesaian sengketa;
3.) Untuk memperlancar dan memperluas akses kepada pengadilan;
4.) Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan:
a.
b.
c.
d.
e.
Negosiasi
Mediasi
Arbitrase
Konsiliasi
Pencarian fakta11
11
Hyrinimus Rhiti. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
2006. hal 125
39
UUPLH terdapat dalam Pasal 34-40 dan dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 87
sampai dengan Pasal 96.
B. Pertambangan Golongan C
1. Pengertian Pertambangan
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara menyebutkan dalam Pasal 1 angka (1) yang dimaksud pertambangan adalah,
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Masih dalam UU yang sama tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka
(29) yang dimaksud wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah
yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan
administrasi pemerintah yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Pasal 1 angka
(32) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, wilayah
pertambangan rakyat yang disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan
kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Usaha penambangn sendiri adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
40
41
mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang
berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa gamping adalah merupakan jenis
batuan yang menjadi komoditas tambang.
2. Pengertian Penambangn Golongan C (Gamping/Kapur)
Pengertian Penambangan batu kapur, dalam kamus umum bahasa Indonesia
disebutkan bahwa penambangan adalah: proses, cara, perbuatan menambang. Gamping
adalah; batuan berwarna putih jika dibakar dapat digunakan sebagai campuran bahan
bangunan yang sebagian besar terdiri atas kalsium karbonat dan batu kapur.
Pasal 1 huruf (f) dan (g) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39
Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang dimaksud
bahan galian golongan C adalah, bahan galian yang bukan strategis dan bukan vital.
Sedangkan usaha pertambangan bahan galian golongan C adalah Usaha pertambangan
yang terdiri atas usaha eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/ pemurnian, pengangkutan dan
penjualan bahan galian golongan C.
3. Perizinan Penambangan
Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangn. Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009 dikelompokan atas:
42
Batubara pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa IUP diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh, badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Ketentuan mengenai
jangka waktu IUP eksplorasi diatur dalam pasal 42 UU Pertambangn Mineral dan
Batubara yaitu;
1) Untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 8 tahun.
2) Untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam
jangka waktu 3 tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat dapat
diberikan dalam jangka waktu 7 tahun.
3) Untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
3 tahun.
4) Untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 7 tahun.
IUP Operasi produksi akan diberikan setelah mendapatkan IUP ekplorasi sebagai
kelanjutan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangannya dengan jangka waktu;
1. Pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
2. Pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.
3. Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masingmasing 10 tahun.
4. Pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5
tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.
5. Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20
thun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
Dalam Pasal 1 huruf (h) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39
Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C mengenai Surat Izin
44
Pertambangan Daerah yang selanjutnya disebut SIPD adalah kuasa pertambangan yang
berikan wewenang untuk melakukan semua atau sebagian tahap usaha pertambangan
bahan galian golongan C. Pemberian SIPD diberikan dengan jangka waktu maksimal 5
tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 kali. Perpanjangan SIPD diajukan selambatlambatnya dalam waktu 3 bulan sebelum berahir masa berlaku SIPD, ketentuan tersebut
berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Banyumas Nomor 39 Tahun
1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pasal 10.
12
Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal
253
45
46
Kajian
mengenai
dampak-dampak
yang
diakibatkan
oleh
penambangan
batu
5. Dampak Penambangan
Setiap upaya penambangan pastilah memberikan dampak yang luas pada
lingkungan disekitarnya baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Salah satu
dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah dengan adanya pusat
penambangan maka akan mensejahterakan wilayah disekitarnya dan juga akan
meningkatkan perekonomian di tempat tersebut sedangkan dampak negatifnya adalah
rusaknya wilayah penambangan akibat pengambilan bahan tambang. Tetapi terlepas dari
dampak positif yang diterima masyarakat, usaha penambangan sudah pasti akan lebih
banyak menyisakan problem lingkungan, banyak contoh yang membuat kita harus
berhati-hati dalam melakukan eksplorasi sumberdaya alam. Krisis lingkungan yang
ditinggalkan oleh aktifitas penambangan bermacam-macam, mulai dari degradasi lahan
sampai residu bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi manusia. Idealnya setiap usaha
eksplorasi harus diikuti oleh upaya reklamasi, komitmen ini seharusnya dapat diikuti oleh
setiap pengusaha penambangan atau penanggung jawab penambangan agar pencemaran
47
dan perusakan lingkungan dapat dicegah atau diatasi sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi masyarakat dan juga lingkungan disekitarnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis
Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positifis yang menyatakan
bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,
48
selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom
terlepas dari kehidupan masyarakat.13 Metode pendekatan masalah menggunakan
Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) berupa inventarisasi peraturan
perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 14
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian
deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya
Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut, Penelitian deskriptif adalah
suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. 15
3. Sumber Data
13
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1988, halaman 13-14.
14
Johnny, Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising: Malang, 2008,
halaman 295
15
Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press, 1981, hal. 10
49
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam penelitian
hukum, data sekunder mencakup 16
a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
e) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
f) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Usaha Pertambangan
g) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL)
h) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995
tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C
b. Bahan hukum sekunder
16
Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatf. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Halaman:13.
50
Dengan demikian jumlah (kuantitas) data sekunder tidak diutamakan melainkan kualitas
dari data sekunderlah yang lebih diutamakan, yaitu data yang diperoleh dari studi
kepustakaan. 17 Dalam metode ini menjabarkan dan membahas hasil penelitian yang
didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan pokok permasalahan dan
doktrin hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
BAB IV
17
Ibid., Hal. 25
52
A. HASIL
1. Gambaran Umum Desa Darmakradenan
a. Keadaan Geografis Desa Darmakradenan
Secara administratif Desa Darmakradenan termasuk dalam wilayah Kecamatan
Ajibarang Kabupaten Banyumas, terletak di sebelah barat Kecamatan Cilongok dan
berada di daerah selatan Kabupaten Banyumas. Luas wilayah Desa Darmakradenan
adalah 1.184.245 ha dengan batas-batas desa sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Desa Gancang
Sebelah Barat
: Desa Paningkaban
Sebelah Selatan
Sebelah Timur
Desa Darmakradenan terdiri atas empat dusun yaitu Dusun I berada di tengah desa
yang terbagi dalam tiga RW, Dusun II berada di sebelah selatan desa yang terbagi dalam
dua RW, Dusun III berada di sebelah timur desa yang terbagi dalam tiga RW, dan Dusun
IV berada di sebelah barat desa yang terbagi dalam dua RW.
53
rumah tangga dengan jumlah total anggota rumah tangga industri 88 orang, dan jumlah
rumah tangga buruh industri 656 rumah tangga dengan jumlah total anggota rumah
tangga buruh industri 872 orang. Jumlah kepala keluarga 2674 dengan rincian 882
keluarga pra sejahtera, 462 keluarga sejahtera 1, 859 keluarga sejahtera 2, 293 keluarga
sejahtera 3, 115 keluarga sejahtera 3 plus.
b. Penambangan Kapur
Gugusan perbukitan yang memanjang kurang lebih 4 km, berada di 3 kecamatan,
Ajibarang, Gumelar, Pekuncen dan wilayah ini adalah daerah kaya sumber daya alam,
khususnya batu gamping. Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas memperkirakan
total cadangan limestone yang bisa dieksplorasi sekitar 442.181.173 ton. Jumlah tersebut
hanya cadangan di Desa Darmakeradenan, desa dan kecamatan lain belum dihitung. Bisa
dipastikan total cadangan batu gamping di perbukitan tersebut jauh melebihi angka yang
dikeluarkan pemerintah.
55
nantinya diolah menjadi kapur putih yang biasa digunakan untuk campuran adonan
semen, labur( sejenis kapur tembok).
Saat ini di Desa Darmakeradenan, hanya tersisa kurang lebih 25 buah tobong.
Tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi kapur tohor.
Tiap tobong bisa menghasilkan sekitar 40 M kapur per minggu. Dari tiap meter kubik
kapur yang dihasilkan, Pemerintah Kabupaten Banyumas kebagian jatah melalui pajak
bahan galian C sebesar 15 % dari hasil penjualan kapur. Namun, sampai sekarang belum
ada laporan yang pasti tentang pendapatan daerah dari sektor ini. Setiap kali obong
membutuhkan paling tidak 12 truk batu gamping, tiap rit gamping dibeli seharga Rp.
100.000. Batu gamping ini dibeli dari para pemilik tanah yang kebetulan memiliki lahan
bergamping, atau kepada Perhutani jika batu gamping diambil dari hutan. Cadangan batu
gamping di desa Darmakradenan terdapat di beberapa grumbul, antara lain di grumbul
Pegawulan, Karangpucung, Angkruk dan Darma. Di grumbul Angkruk lokasi batu
gamping terletak di wilayah Perhutani mempunyai panjang 1.475,00 M, Lebar 540,93 M,
tebal 188,00 M berat jenis 2,2 kg, kawasan ini mempunyai cadangan batu gamping
sebesar 164.499.999 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan
Kabupaten Banyumas, bahwa batu gamping di grumbul ini memiliki kualitas paling baik,
kadar CaO-nya mencapai 53,5 %. Di Karang Pucung dan Pegawulan, terdapat cadangan
batu gamping dengan panjang 1.200,00 m, lebar 261, 12 m, tebal 188 m, berat jenis 2,20
kg, jadi cadangan di kawasan ini adalah 67.499.520 ton.
56
Batu gamping juga dapat dimanfaatkan untuk membuat klinker, bahan ini adalah
bahan dasar pembuatan semen portland. Melihat cadangan yang melimpah, direncanakan
akan ada pembangunan pabrik semen skala besar. Walaupun dari masyarakat belum ada
persetujuan tetapi dari informasi yang didapat pehutani telah menyetujui lahannya untuk
pembangunan pabrik semen, dan jika di daerah tersebut benar dibangun pabrik semen
dengan teknologi yang canggih maka itu akan sangat menambah pundi-pundi PAD.
b. Subjek Penambangan
Penambangan batu kapur di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang
kabupaten Banyumas kebanyakan merupakan penambangan rakyat.
Menurut bapak Sartono selaku pengusaha batu kapur dan juga sebagai ketua
Asosiasi, penambangan rakyat adalah penambangan yang dilakukan oleh masyarakat
sekitar dengan alat sederhana tetapi dalam kenyataannya untuk menambah hasil produksi,
mereka juga menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan bukit kapur. Sebenarnya
penggunaan bahan peledak dilarang oleh pemerintah tetapi menurutnya ada kebijakan
yang diberikan oleh kepolisian kepada mereka walaupun dalam penggunaannya mereka
tidak memiliki izin. 18
Pertambangan kapur di Desa Darmakeradenan adalah pertambangan kapur yang
bersifat tetap, walaupun untuk sekarang permintaan kapur sudah sangat berkurang tetapi
para pengusaha tetap memproduksi kapur walaupun dalam jumlah sedikit untuk
18
57
19
20
59
60
i.
j.
61
Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan, memperluas atau memindahkan
seluruh atau sebagian usaha pertambangan bahan galian golongan C di daerah wajib
terlebih dahulu memiliki SIPD dari Bupati (kepala daerah).
Di Kabupaten Banyumas terdapat instansi yang berkaitan langsung dengan
pembinaan pertambangan bahan galian golongan C yaitu Dinas Pertambangan Kabupaten
Banyumas sebagai instansi yang berwenang di bidang pertambangan mengkoordinasi
instansi lain dalam kaitan pertambangan bahan galian golongan C di Kabupaten
Banyumas. Upaya-upaya yang dilakukan Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas
bersama tim dalam rangka menertibkan pertambangan batu kapur:
a. mengadakan sosialisasi dan pembinaan pertambangan usaha rakyat;
b. mengadakan pengawasan dan pengendalian pertambangan.
Secara fisik area bekas tambang tidak cocok lagi ditanami, oleh karena itu perlu
adanya perlakuan khusus agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Selama ini reklamasi
menjadi kewenangan Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas tetapi karena kurangnya
tenaga pantau untuk mangawasi kegiatan tersebut mengakibatkan kegiatan reklamasi
belum dapat berjalan dengan baik. Sebenarnaya reklamasi bukan hanya menjadi
tanggung jawab Dinas Pertambangan saja tetapi juga menjadi tanggung jawab para
pengusaha tambang. Untuk Desa Darmakradenan awalnya para pengusaha belum sadar
akan pentingnya reklamasi dan hanya sedikit pengusaha saja yang melakukan reklamasi
pada lahan bekas tambang tetapi setelah adanya longsor dan juga banjir yang dialami
desa tersebut kesadaran untuk menanami kembali bekas galian mulai tumbuh, memang
62
awalnya cukup sulit untuk menanam di tanah kapur tetapi ahirnya masyarakat tau
tanaman yang cocok di tanam di sana yaitu berupa pohon kayu-kayuan, coklat dan juga
palawija. Untuk sekarang tanaman yang ditanam pada kegiatan reklamasi sudah
dikembangkan oleh masyarakat dan menjadi produktif sebagai mata pencaharian lain
setelah penambangan.
B. Pembahasan
63
Kesadaran akan hak dan juga kewajiban dalam hal pengelolaan lingkungan hidup
adalah salah satu cara yang dapat mencegah pencemaran dan juga kerusakan lingkungan
hidup. seperti diatur dalam Pasal 5 UUPLH Tahun 1997 dan juga dalam Pasal 65
UUPPLH Tahun 2009 yaitu:
a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia
b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana
dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
d. Setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup.
Selain itu juga terdapat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun
2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Di Kabupaten Banyumas dalam Pasal 8
yaitu:
1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan dampak lingkungan hidup.
3) Setiap orang mempunyai hak berperan dalam rangka pengendalian dampak
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun demikian mereka juga tetap berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan dan juga mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti
diatur dalam Pasal 6 UUPLH Tahun 1997 yaitu:
64
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 68 UUPPLH Tahun 2009 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan atau
kegiatan berkewajiban:
a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindunagan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu.
b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/ atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
Aturan lain berkaitan dengan hak dan kewajiban, terdapat dalam Pasal 9 Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan
Hidup di Kabupaten Banyumas yaitu:
1.) Setiap orang wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mencegah
dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan.
2.) Setiap pemrakarsa yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengendalian dampak
lingkungan.
3.) Setiap pemrakarsa yang melakukan kegiatan dan/ atau kegiatan wajib
melaksanakan RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan RPL
(Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup), UKL (Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan hidup) atau
SPPLH (Surat Pernyataan Pengelolaan dan Pemantauan lingkungan Hidup)
sesuai dengan dokumen yang telah disepakati.
Suatu usaha penambangan pastilah akan berdampak luas pada lingkungan disekitarnya
apalagi jika usaha tersebut telah dilakukan bertahun-tahun, bukan hanya dampak positif
saja tetapi juga dampak negatif. Oleh karena itu diperlukan adanya tindakan yang dapat
dipaksakan agar lingkungan tetap terlindungi dari pencemaran dan kerusakan akibat
65
kebijaksanaan,
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan,
c. Bentuk penguasaan;
d. Pengetahuan pengelolaan;
e. Bentuk kerusakan;
f. Konflik dan penyebab konflik akibat pengelolaan.
Yang nantinya akan menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta
cadangan sumber tambang yang ada. Penentuan wilayah peambangan ditentukan oleh
Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
Dalam pelaksanaan kegiatan penambangan kapur di Desa Darmakradenan untuk upaya
perencanaan belumlah dapat berjalan dengan baik atau bahkan hampir tidak ada
perencanaan karena kebanyakan para pemilik usaha tambang memperoleh lahannya dari
warisan, bukan dengan sengaja membuka lahan penambangan. Selain itu juga karena
usaha penambangan yang dilakukan adalah merupakan peambangan rakyat sehingga
mereka merasa tidak perlu melakukan perencanaan. Kalaupun mereka memiliki data
perencanaan itu adalah hasil setelah usaha penambangan tersebut dilakukan. Perencanaan
dalam usaha penambangan bukan hanya terkait dengan inventaris penambangan saja
tetapi juga terkait dengan perizinan. Setiap usaha atau kegiatan wajib memiliki amdal jika
kegiatanya berdampak penting, UKL dan UPL jika kegiatannya tidak berdampak penting.
Berdasarkan Pasal 19 UUPLH Tahun 1997 bahwa izin dapat diterbitkan dengan
memperhatikan:
a. Rencana tata ruang.
b. Pendapat masyarakat.
67
c. Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha
atau kegiatan tersebut.
Izin lingkungan yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai dengan
kewenangannya, nantinya akan digunakan untuk memperoleh izin usaha atau izin
kegiatan. Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara Berkaitan dengan perizinan diatur dalam Pasal 67 yaitu:
1.) Bahwa Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan oleh Bupati/ Walikota terutama
kepada penduduk setempat baik perorangan maupun kelompok masyarakat dan/ atau
koperasi.
2.) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR kepada
camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.) Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada
bupati/walikota.
Hampir sama seperti Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan galian Golongan C Pasal 5 yaitu;
a. Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan, memperluas atau
memindahkan seluruh atau sebagian usaha pertambangan bahan galian
golongan C di daerah wajib terlebih dahulu memiliki SIPD (Surat Izin
Pertambangan Daerah) dari Bupati/ Kepala daerah.
b. SIPD diberikan setelah semua persyaratan terpenuhi dari Dinas Pertambangan
berdasarkan koordinasi dinas terkait.
c. Untuk melakukan semua usaha pertambangan eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan atau sebagian tahap
usaha pertambangan bahan galian golongan C dapat diberikan 1 (satu) SIPD
dan atau masing-masing kegiatan usaha pertambangan diterbitkan satu SIPD.
d. SIPD tidak dapat dipindah tangankan tanpa izin dari Bupati/ Kepala Daerah.
68
Dari pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa perizinan adalah merupakan tahapan
yang paling penting dalam pertambangan karena nantinya dengan perizinan akan dengan
jelas diketahui kegiatan apa yang akan dilakukan oleh seseorang. Selanjutnya dalam
Pasal 6, dalam pemberian SIPD haruslah mempertimbangkan sifat dan besarnya endapan
serta kondisi lingkungan dan kemampuan pemohon baik teknis maupun administratif.
Berkaitan dengan jangka waktu berlakunya surat ijin pertambangan berdasarkan Pasal 10
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan galian Golongan C bahwa:
a. SIPD berlaku selama usaha bersangkutan masih berjalan, dengan ketentuan
maksimal 5 tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 kali.
b. Perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam waktu
selambat-lambatnya 3 bulan sebelum berahirnya masa berlaku.
Jangka waktu
Mineral dan Batubara Pasal 42 dan Pasal 47 maka akan meliputi dua tahap yaitu:
Jangka waktu izin pertambangan untuk IUP Eksplorasi.
(1) Untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
8 tahun.
(2) Untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka
waktu 3 tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat dapat diberikan dalam
jangka waktu 7 tahun.
(3) Untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.
(4) Untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7
tahun.
a. Pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20
tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
b. Pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.
c. Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat diperpanjang
2 kali masing-masing 10 tahun.
d. Pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun dan
dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.
e. Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun
dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
70
sesuai dengan
telah tersedia untuk menghasilkan kapur yang lebih halus dan lebih putih. Tahap
selanjutnya yang dilakukan pengusaha adalah pengangkutan dan penjualan. Adanya
rangkaian kegiatan penambangan tersebut, masyarakat memperoleh manfaat atas
kegiatan yang dilakkukan, seperti meningkatnya perekonomian masyarakat, dan juga
tersedianya lapangan pekerjaan. Selain manfaat yang telah diperoleh, akibat lain yang
diteriam oleh masyarakat Darmakredenan adalah mengenai kerusakan lingkungan akibat
bekas penggalian kapur, tanah menjadi rawan longsor karena komposisinya yang tidak
lagi padat seperti pada saat masih berupa bukit-bukit kapur, selain itu juga sisa-sisa
pembakaran yang dibuang ke tempat bekas penggalian mengakibatkan tanah tersebut
menjadi sulit untuk ditanami. Pasal 16 Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas
Nomor 39 Tahun 1995 tentang Pertambangan Bahan Galian Golongan C mengatur
mengenai pembuangan sisa penambangan, bahwa pembuangan sisa-sisa bahan galian
yang tidak terpakai dan air limbahnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
Usaha selanjutnya berkaitan dengan pengelolaan usaha penambangan adalah
pengendalian dan pemeliharaan. Pengendalian pencemaran akibat usaha penambangan
dilakukan oleh pemerintah baik dipusat ataupun di daerah, penanggung jawab usaha
sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Berdasarkan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara kewenangan pengelolaan pertambangan terbagi menjadi kewenangan
pemerintah, kewenangan pemerintah provinsi dan juga kewenangan pemerintah
kabupaten atau kota.
73
a.
b.
c.
d.
e.
f.
ataupun bahan tambaang yang digunakan dan juga pencadangan sumber daya alam
berupa bahan tambang.
Dalam hal pembinaan dan pengawasan Pasal 139 Undang-Undang Pertambangan
Mineral dan Batubara Tahun 2009 menentukan bahwa:
1. Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha
penambangan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten
sesuai dengan kewenangannya.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pembinaan pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha
pertambangan;
b. Pemberian bimbingan, supervise, dan konsultasi;
c. Pendidikan dan pelatihan;
d. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan
batubara.
3. Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap
penyelenggara kewenangan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten.
4. Menteri, Gubernur atau Bupati sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan
oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala
Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
UUPPLH Tahun 2009 juga mengaturnya yaitu dalam Pasal 71 yang menyatakan:
1) Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2) Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab
dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
3) Dalam melaksanakan pengawasan Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota menetapkan
pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Pasal 140 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berbunyi:
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha
penambangan yang dilakukan oleh pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten
sesuai dengan kewenangannya;
(2) Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggara kewenangan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten;
(3) Menteri, Gubernur atau Bupati sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C sebagai pelaksana dari UU Pertambangan
Mineral dan Batubara, pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan tercantum
dalam Pasal 22 yaitu:
a. Pembinaan, pengawasan, pengendalian terhadap pemegang SIPD dilakukan
oleh Dinas Pertambangan, baik secara struktural maupun fungsional;
76
dilakukan tidak maksimal. Pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilakukan secara rutin
dan berkelanjutan, akibatnya masih banyak pengusaha tambang yang belum memiliki
izin, selain itu juga banyak pengusaha atau pananggung jawab penambangan yang
melakukan usaha/kegiatan tambang berbeda dengan surat izin yang dimilikinya.
Penegakan hukum dalam usaha pertambangan juga sama menggunakan instrumen
administratif, instrumen perdata, dan instrumen pidana seperti dalam UUPPLH Tahun
2009. Instrumen administratif adalah merupakan sarana yang bersifat prefentif dan
bertujuan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan
hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan, perizinan, baku
mutu lingkungan, dan rencana pengelolaan lingkungan. Beberapa jenis sarana penegakan
hukum administratif adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Jika berdasarkan Pasal 25 UUPLH Tahun 1997 terkait dengan penerapan instrumen
administratif adalah:
1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat
yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan,
21
Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga
University Press. 1996. hal 192
78
2)
3)
4)
5)
Pasal 76 ayat (2) UUPPLH Tahun 2009, sanksi administratif yang dapat diterapkan
kepada penangguang jawab usaha atau kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap
izin lingkungan adalah berupa, teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin
lingkungan, dan juga pencabutan izin lingkungan. Sanksi administratif yang digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, Pasal 151 ayat (2) juga hampir sama dengan UUPPLH yaitu berupa peringatan
tertulis, penghentian sementara/sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi, dan pencabutan IUP, IPR atau IUPK.
Pengajuan gugatan administratif dalam UUPPLH Tahun 2009 diatur dalam Pasal 93
yaitu:
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara
apabila:
a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha
dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen
amdal;
79
b. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
tercapai. Dalam Pasal 97 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa tindakan pidana
dalam UUPPLH adalah merupakan suatu kejahatan. Pengaturan ketentuan pidana yang
lebih lengkap dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal 120. Jika
dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 158 sampai dengan Pasal 165.
Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian
Golongan C juga mengatur tentang ketentuan pidana yaitu dalam Pasal 25:
1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 12,
diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
50.000 (lima puluh ribu rupiah)
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Di Desa Darmakradenan pelanggaran berkaitan dengan usaha penambangan yang
dilakukan kebanyakan adalah berupa pelanggaran administratif yang menyangkut
perizinan sehingga penegakan hukum yang dilakukan adalah cenderung kepada paksaan
pemerintah berupa penghentian kegiatan penambangan.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Sedangkan dalam UUPPLH Tahun 2009 diatur dalam Pasal 87 yaitu:
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
4. Hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
5. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar jalur pengadilan dalam UUPLH diatur
dalam Pasal diatur dalam Pasal 85 yang menyatakan:
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk
mencapai kesepakatan mengenai:
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
83
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah peraturan perundangundangan terkait dengan lingkungan hidup dan juga pertambangan maka dapat diambil
simpulan sebagai berikut:
1. Usaha penambangan yang dilakukan di Desa Darmakradenan tidak melalui tahapan
perencanaan karena usaha tersebut merupakan usaha turun temurun dan dikelola oleh
perorangan. Pemanfaatan penambangan yang seharusnya menggunakan peralatan yang
masih sederhana karena merupakan penambangan rakyat sudah mulai berubah termasuk
dalam penggunaan bahan peledak untuk lebih mempermudah pengambilan bahan
tambang. Upaya pengendalian dan pemeliharaan dilakukan oleh pemerintah dengan
menerapkan instrumen-instrumen lingkungan hidup walaupun dalam pelaksanaannya
belum dapat memperlihatkan hasil yang maksimal. Kurangnya tenaga pembinaan dan
pengawasan mengakibatkan upaya pengawasan yang dilakukan tidak dapat secara rutin
dijalankan, akibatnya masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik dalam
proses perizinan, pelaksanaan usaha, dan juga dalam penegakan hukum.
84
B. SARAN
1. Bagi pemerintah seharusnya dapat lebih tegas dalam melaksanakan penertiban dan
penegakan hukum selain itu juga pemerintah perlu melakukan perbaruan terhadap
Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas karena walaupun sudah mengacu
pada Undang-Undang Lingkungan Hidup dan juga Undang-Undang Pertambangan tetapi
ada pasal-pasal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman misalnya dalam
pengaturan mengenai perizinan yang seharusnya diatur dengan lebih jelas,
pertambangan daerah, dan juga berkaitan dengan ketentuan pidana.
85
iuran
2. Bagi semua pihak yang terkait dengan penambangan di Desa Darmakeradenan baik itu
pemerintah, pengusaha, ataupun masyarakat sekitar hendaknya dapat mengetahui dan
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing terkait dengan penambangan gamping,
karena dampak dari kegiatan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan
hidup.
86
Daftar Pustaka
Literatur
Malang:
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 1996. Penelitian Hukum Normatf. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
87
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL).
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 1994 Tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongn C.
Peraturan Derah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan
Hidup di Kabupaten Banyumas.
Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha
Pertambangan Bahan Galian Golongan C
Sumber lain
http://www.banyumaskab.go.id Diakses tanggal 18 Maret 2011
www.pemdesdarma.go.id Diakses tanggal 18 Maret 2011
88