You are on page 1of 2

Komplikasi Cedera Kepala

1. Gangguan Neurologik
Cedera kepala dapat menyebabkan cedera saraf otak yang dapat berupa anosmia (bau),
gangguan visus, strabismus, cedera nervus fasialis, gangguan pendengaran atau
keseimbangan, disartri, dan disfagia. Kadang terdapat afasia dan hemiparesis.
2. Sindrom Pascatrauma
Biasanya sindrom pascatrauma terjadi pada cedera kepala yang tergolong ringan dengan
GCS >12, ataupun pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom tersebut berupa nyeri
kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, cemas, dan mudah
tersinggung. Tidak didapatkan kelainan neurologik. Keluhan tersebut biasanya berlangsung
hingga 2-3 bulan pascatrauma walaupun kadang jauh lebih lama.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Kebocoran Cairan Serebrospinal (CSS) pada cedera kepala terutama menyertai fraktur
basis. Kebocoran CSS dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara
rongga subarakhnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya
kecil dan menutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis di kemudian hari. Pada proses penyembuhan luka kebocoran CSS,
umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.
4. Sindrom Psikis Pascatrauma
Sindrom psikis pascatrauma yang agak jarang ditemukan, meliputi penurunan inteligensia
baik verbal maupun perilaku, gangguan perilaku, gangguan berpikir, rasa curiga serta sikap
bermusuhan, cemas, menarik diri, dan depresi. Yang paling menonjol adalah gangguan
daya ingat. Faktor utama timbulnya neuropsikiatrik ini adalah beratnya cedera dan bukan
faktor premorbid seperti status sosial, umur atau tingkat pendidikan.
5. Kejang Post Traumatika
Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak menyebabkan morbiditas dan
mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi menjadi:
a. Kejang post traumatika dini (immediate post traumatic seizuries) merupakan kejang
yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.
b. Kejang post traumatika awal (early post traumatic seizuries) merupakan kejang yang
terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.
c. Kejang post traumatika lanjut (late post traumatic seizuries) merupakan kejang yang
timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.
d. Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang timbul
berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera kepala. Sebanyak
60% penderita yang mengalami kejang dini dan kejang awal terjadi dalam 22 jam
pertama, lebih kurang setengahnya terjadi dalam jam pertama setelah cedera kepala.

Dua per tiga keseluruhan penderita akan mengalami kejang lebih dari satu kali, dan 10%
akan mengalami status epileptik.
6. Hidrosefalus
Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara umum dapat dibedakan atas dua
tipe, yaitu:
a. Hidrosefalus non komunikan
Jenis ini dapat timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang terjadi,
terhadap jalur aliran CSS dalam sistem sentrikel. Sehingga aliran CSS terbendung.
Jenis ini biasanya timbul karena adanya perdarahan di fossa posterior yang menekan
ventrikel IV.
b. Hidrosefalus komunikan
Jenis ini timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga subarachnoid
terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan ini timbul karena adanya darah pada
rongga subarachnoid yang mengganggu aliran maupun penyerapan CSS. Biasanya
terjadi pada 2 bulan pertama setelah cedera kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan
daripada non komunikan. Secara klinis harus dipertimbangkan adanya hidrosefalus ini
jika setelah cedera kepala, penderita memperlihatkan perbaikan awal yang cepat namun
selanjutnya tidak ada kemajuan atau bahkan perburukan. Untuk alasan ini idealnya
perlu dilakukan CT scan.
7. Ganggguan Gastrointestinal
Pada cedera kepala berat akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan saluran
cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
8. Neurogenic Pulmonary Edema
Neurogenic pulmonary edema jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala berat.
Terdapat dua mekanisme yang mungkin bekerja secara sinergis. Pertama peningkatan
Tekanan Tinggi IntraKranial (TTIK) yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus
menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah yang
meningkat ke paru-paru dengan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge Pressures
(PCWP) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru. Kedua pelepasan katekolamin yang
terjadi akan memengaruhi endotel kapiler sehingga permeabilitas alveolar juga meningkat.

You might also like