Professional Documents
Culture Documents
ANEMIA APLASTIK
Oleh:
Davin Pannaausten
11.2013.307
Penguji :
dr. Suryantini, Sp.PD
dr. J Widodo Sutandar, Sp.PD-KGH
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
Nama Mahasiswa
: Davin Pannaausten
NIM
: 11 2013 307
......................
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap: Ny. D
Status perkawinan: pernah menikah
Umur : 79 tahun
Alamat : Jorong Titih Nagari Padang Tarok
No. RM : 157291
Kebangsaan : Indonesia
Agama: Islam
Tanggal masuk RS : 13 November 2016
ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 13 November 2016 jam 15.00.
Keluhan utama:
Pusing sejak 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh pusing. Pusing dirasa tidak berputar, namun pasien merasa
sering ingin terjatuh sehingga pasien sulit berjalan ataupun berdiri. Pusing dirasa terus menerus,
tidak hilang meski pasien banyak tidur.
Pasien juga mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien juga merasa lemas. BAB dan BAK
menurut pasien normal. Keluhan batuk pilek, demam, sesak nafas disangkal pasien. Nafsu
makan pasien relatif menurun sejak 3 hari terakhir. Keluhan mimisan, BAB hitam, bintik
kemerahan di kulit, gusi berdarah disangkal pasien.
Pasien telah dijadwalkan untuk menerima transfusi darah pada tanggal 12 November 2016.
Riwayat Sosial
Pasien tidak minum alkohol. Pasien tidak merokok. Pasien biasa tidur sekitar 8-9 jam sehari.
Pasien biasa makan 3 kali sehari, setiap makan sekitar setengah piring. Pasien sehari-hari di
rumah membantu anaknya mengurus rumah tangga.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku mengalami kurang darah sejak 5 tahun terakhir, dan sejak saat itu setiap kali
dicek darah, Hb, trombosit, dan darah putih selalu kurang, dimana kelainan tersebut semakin
lama semakin parah. 3 tahun yang lalu pasien diperiksakan sumsum tulangnya dan setelah
diperiksa dikatakan oleh dokter bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum tulang pasien
menderita anemia aplastik. Pasien rutin mendapatkan transfusi darah 2 bulan sekali di tempat
asalnya sejak 3 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat penyakit maag sejak 10 tahun
yang lalu. Riwayat kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung, ginjal, dan hati disangkal.
Ya
Tidak
Alergi
Asma
Tuberkulosi
Hubungan
s
Arthritis
Rematisme
Hipertensi
Ibu
Jantung
Ginjal
Lambung
adik
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaaan umum
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Tinggi badan
: 153 cm
Berat badan
: 45 kg
IMT
Tekanan darah
: 122/61 mmHg
Nadi
: 99 x/menit
Suhu
: 36.6C
Pernapasan
: 20 x/menit
Keadaan gizi
: cukup
Sianosis
: tidak ada
Udema umum
: tidak ada
Mobilisasi(aktif/pasif)
: aktif
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku:
wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif
Alam perasaan:
biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah
Proses pikir:
wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi
Kulit
Warna : sawo matang
Keringat : Umum: -
Turgor : baik
Setempat: -
Lipat paha
Kepala
Ekspresi wajah : Wajar
Simetri muka: Simetris
Rambut : warna rambut cenderung putih
Mata
Exophthalmus : tidak ada
Kelopak : normal
Lensa : Jernih
Konjungtiva : anemis
Telinga
Tuli : Tidak
Lubang : Lapang
Mulut
Bibir : Tidak sianosis
Langit-langit: Utuh
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 5+1 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : Tidak teraba
Dada
Bentuk : Simetris
Buah dada : Tidak ada kelainan
Paru
Depan
Inspeksi
Belakang
Kiri
Kanan
Tidak ada benjolan, tidak ada Tidak ada benjolan, tidak ada
Palpasi
Perkusi
nyeri
kiri=kanan
kanan.
Kiri
Sonor
Sonor
Kanan
Sonor
Sonor
Kiri
Auskultasi
Kanan
(-)
(-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas atas
Batas kiri
Pembuluh darah
Arteri Temporalis
: Teraba pulsasi
Arteri Karotis
: Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis
: Teraba pulsasi
Arteri Radialis
: Teraba pulsasi
Arteri Femoralis
: Teraba pulsasi
Arteri Poplitea
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
Perut
Tampak datar, tidak ada benjolan, tidak tampak peristaltik
Inspeksi
usus
terdapat nyeri tekan + pada regio epigastrium. Tidak
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Anggota gerak
Kanan
Kiri
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Normal
Normal
Gerakan
aktif
aktif
Kekuatan
+5
+5
Lain lain
(-)
(-)
Luka
Varises
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Normal
Normal
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
+5
+5
Edema
Lengan
Otot
Otot
Lain lain
Bisep
Refleks
Trisep
tendon
Patella
Achilles
Kremaster
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Refleks kulit
Refleks patologis
Refleks
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematologi tanggal 10-11-2016
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Referensi
Hemoglobin
6,2
gr/dL
P: 13,2-17,3 W: 11,7-15,5
Leukosit
2700
/mm3
P: 3600-10600 W: 3600-11000
Hematokrit
20
P: 40-52 W: 35-47
Trombosit
55000
/mm3
150000-440000
Basofil
0-1
Eosinofil
2-4
DARAH LENGKAP
HITUNG JENIS
Neutrofil Batang
3-5
Neutrofil Segment
34
50-70
Limfosit
59
25-40
Monosit
2-8%
LED
115
mm/jam
P: <15, W: <20
Ureum
30
mg/dL
10-50
Kreatinin
1,0
mg/dL
P: 0,9-1,3 W: 0,6-1,1
94
mg/dL
<120
KIMIA DARAH
X-foto thorax:
Kesan:
Cor: tampak cardiomegali
Pulmo: dalam batas normal
Diagnosis kerja
1. Anemia Aplastik
Adalah kelainan di mana tubuh tidak mampu membuat sel darah akibat adanya kerusakan pada
sumsum tulang, yang berakibat pada menurunnya proses hematopoiesis yang menyebabkan
kurangnya sel darah pasien, baik eritrosit, leukosit, maupun trombosit.
Dasar diagnosis: adanya pansitopenia yang jelas: Hb < 10, Trombosit < 100.000, Netrofil <
1500, peningkatan LED signifikan (115), serta adanya riwayat anemia aplastic sebelumnya
berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum tulang yang dilakukan 3 tahun yang lalu.
Dd/
Mielodisplasia
Mielodisplasia merupakan keadaan dimana sel blas yang akan berkembang menjadi sel darah
gagal mengalami maturasi, sehingga bisa mengakibatkan pansitopenia.
Yang tidak mendukung: tidak adanya splenomegaly. Untuk kepastian perlu dilakukan biopsy
sumsum tulang.
2. Dispepsia
Dasar diagnosis: adanya keluhan nyeri ulu hati yang tidak menjalar, mual, disertai dengan
riwayat maag tanpa adanya tanda-tanda perdarahan saluran cerna bagian atas (hematemesis
melena) ataupun keluhan sesak, keringat dingin, dan lain-lain.
Dd/
Gastritis
Pada gastritis, ditemukan keluhan yang serupa dengan dyspepsia, namun pada pasien belum
ditemukan adanya perdangan yang jelas pada gaster.
Anjuran Pemeriksaan
Penatalaksanaan
Farmakologi:
Non farmakologi:
Tirah baring
Prognosis
Ad vitam: dubia
Ad functionam: dubia ad malam
Ad sanationam: malam
Follow up:
Tanggal
14
Catatan Follow Up
2016
O:
Pemeriksaan Fisik:
TTV: TD: 130/70 mmHg, S: 36,4oc, HR: 88 x/menit, RR: 20
x/menit
Ku: tampak sakit sedang
Kes: compos mentis
Mata: konjungtiva anemis +/+, ikterik-/Tenggorok: faring tidak hiperemis, lidah putih
Leher: KGB tidak membesar, benjolan
Paru: SN Vesikuler, rh-/-, wh-/Jantung: BJ I,II regular, murmur-, gallop
Abdomen: nyeri tekan epigastrium+, pembesaran organ-,
BU+, timpani+,
Ekstremitas: akral hangat, oedemPemeriksaan Penunjang:
CBC:
Hemoglobin: 10,8 gr/dl (post transfusi)
Hematokrit: 33%
Trombosit: 43 000/ul
Leukostit: 1700/ul
A: Anemia aplastic
P: Rawat jalan
Kontrol setelah 1 minggu
Obat pulang:
Emibion 1 x 1 tab
Lansoprazole 1 x 30 mg tab
Sucralfate 3 x 15 ml
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular
pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini
jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu
keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1898 oleh Paul
Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,
menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada
sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan
pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta
penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur
dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor genetik. Hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia yang tinggal di
Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai
6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan
insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. 9 The
Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada
2 kasus persejuta orang pertahun. 2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia
15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4
kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan
kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. 9 Peningkatan
insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan
dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak
ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5
Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi menurut kausa2 :
A.
1.
Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2.
3.
B.
trombosit <20x109 /l
radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis
kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali
pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut
myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat
juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan
pansitopenia.13
Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis
semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik.
Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga
sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Analgesik
Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia
Kuinidin, tokainid
Anti artritis
Garam Emas
Kolkisin
Anti konvulsan
Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat
Etosuksimid, Fenasemid,
primidon, trimethadion,
sodium valproate
Anti histamin
Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Anti hipertensi
Resiko Rendah
Captopril, methyldopa
Anti inflamasi
Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon
Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac
Kloramfenikol
Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
-lactam antibiotik
Anti mikroba
Anti bakteri
Anti fungal
Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa
Kuinakrine
Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet
Tiklopidin
Anti tiroid
Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan
tranquilizer
Klordiazepoxide,
Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Numerous sulfonamides
Acetazolamide
Klorothiazide,
furosemide
Klorpropamide,
tolbutamide
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Lain-lain
Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko
tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko
menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.
Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr,
HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat
dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang
diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan
anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita
anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada
pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya
terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan
sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara
tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan
pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang.4
Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya
diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi
coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan
ginjal dan limpa.2
Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan
anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering
karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita
anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu.
Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan
DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan
radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus
sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah
akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana
timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat
dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. 7 Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang
dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah
badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2
Jenis Keluhan
Pendarahan
%
83
Lemah badan
80
Pusing
69
Jantung berdebar
36
Demam
33
29
Pucat
26
Sesak nafas
23
Penglihatan kabur
19
Telinga berdengung
13
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa
pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih
dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat
%
100
Pendarahan
63
Kulit
34
Gusi
26
Retina
20
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
16
Hepatomegali
Splenomegali
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat
normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat
ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan
penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan
anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm 3 menandakan anemia aplastik sangat
berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif
morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran
klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada
mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel
aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain
juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga
dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada
anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung
trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya
meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang
bersirkulasi.9
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong,
dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast
mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada
menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang
ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat
ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat
memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer),
atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi
sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu
berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari
60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum
tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat
pada sumsum tulang.9
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik.
Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan,
karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen
seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan
kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan
hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (lihat tabel 1).
Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia
perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.
Table 6 Penyebab Pansitopenia14
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Sepsis berat
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik
dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia
sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya
morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal
pada
sel
sumsum
tulang.
Leukemia
akut
juga
biasanya
disertai
limfadenopati,
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel
allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor
saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi
imunosupresif.
Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai
kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm 3. Transfusi trombosit
diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm 3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat
berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena
efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan
sangat pendek.
b.
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau
antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada15 :
-
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi
terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak
langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai
berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. 15 Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila
tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering
dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin
dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat.
Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan
ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi
dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini
lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi
ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studistudi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon
terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi
ATG.15
c.
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai
dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony Stimulating
Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat
anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak
bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satusatunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah
digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk
sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia
aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan
untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15
d.
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia
muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang
allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai
saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi
primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).15 Pasien
dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang
berusia muda.9,10
Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang dari
donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik
daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. 10 Pasien dengan umur kurang dari 50
tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum
tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum
tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang
bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT) adalah
sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm 3 dan trombosit
sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3 dan trombosit
dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil
lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/ul (0,5x109/liter)
dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/ul
(0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek
bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari
20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan
transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko
mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif
(ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah
yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia.
Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal
hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien
yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan
transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227
pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan
kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan
perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
ANALISA KASUS
Pada kasus ini pasien menderita anemia aplastic. Pasien dinilai menderita anemia aplastic karena
adanya gejala anemia berupa pusingpansitopenia yang mencolok dengan limfositosis relative
yang jelas, disertai dengan adanya pemeriksaan sumsum tulang 3 tahun yang lalu, yang hasilnya
mengarahkan pada diagnosis ini. Dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan adanya hiposelularitas sumsum tulang pada pasien ini.
Sebagian besar kasus anemia aplastic merupakan kasus idiopatik. Kasus ini masuk kategori
anemia aplastic yang tidak berat karena trombosit > 20.000 dan netrofil > 500.
Pasien anemia aplastic dapat diberi beberapa jenis penaalaksanaan dan pada pasien ini dilakukan
penatalaksanaan suportif berupa transfusi darah, yakni PRC, yang dilakukan karena Hb < 7g/dL.
Transfusi diberikan sebanyak 750 cc, yang membuat Hb naik dari 6,2 menjadi 10,8. Transfusi
trombosit tidak dilakukan karena trombosit masih beradaa pada angka >20.000/uL. Terapi
imunosupresan tidak diberikan pada pasien ini karena risiko komplikasi yang cukup signifikan
pada usia lanjut. Transplantasi sumsum tulang tidak dilakukan mengingat usia pasien yang
sudah lanjut, dan mempertimbangkan prognosis yang semakin buruk jika transplantasi dilakukan
pada usia lebih tua. Di samping itu, pada kasus anemia aplastic yang tidak berat, belum perlu
diberikan terapi imunosupresan atau transfusi.
Pasien juga diberikan vitamin yang diharapkan dapat mendorong peningkatan hematopoiesis,
khususnya eritropoiesis pada pasien.
Pasien diberikan obat lansoprazole dan sucralfat untuk mengurangi keluhan di lambungnya, yang
berupa mual, yang mengakibatkan turunnya nafsu makan, dan karena pasien memiliki riwayat
maag sejak 10 tahun yang lalu.
Pasien perlu diingatkan untuk menjaga nutrisi, dank arena leukosit pasien rendah, pasien harus
langsung berobat ke dokter jika ada batuk pilek, demam, dan gejala lain yang mengarah kepada
infeksi. Pasien juga perlu diberi tahu tentang risiko perdarahan yang meningkat, sehingga perlu
diingatkan untuk berhati-hati agar tidak mengalami kecelakaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR,
Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9 th ed. Philadelpia-London: Lee&
Febiger, 1993;911-43.
2.
Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
3.
Bakshi
S.
Aplastic
Anemia.
Available
in
URL:
HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4.
Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000.
5.
6.
7.
8.
9.
Shadduck RK. Aplastic anemia: acquired & inherited. In: Kaushansky K, Lichtman MA,
Beutler E, et al (eds). William Hematology 8th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2010.
10.
Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure
disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate
Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.
11.
12.
Young NS. Bone marrow failure syndromes including aplastic anemia and
myelodysplasia. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, et al (eds). Harrisons Principle of
Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill, 2015.
13.
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New York:
Lange McGraw Hill, 2005.
14.
McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical Diagnosis and Treatment. New
York: Lange McGraw Hill, 2007.
15.
Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 2006;637-43.