You are on page 1of 9

Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap

Kecenderungan Kenakalan Remaja

Nindya P. N.
Margaretha R.
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract
This undergraduate thesis is written to find whether there is a correlation between emotional
abuse and tendency of juvenile delinquency at the children who become a victim in that kind of
abuse. This research was carried out on each sample consist of 150 high school student in Mojo,
Surabaya. This research using survey method for collecting data. Emotional abuse was measured
by using The Child Abuse and Trauma Scale (CATS) developed by Sanders and Becker-Lausen
(1995), and the tendency of juvenile delinquency was measured using the Self-Report
Delinquency (SRD) developed by Elliott and Ageton (1980). The data analyzed using statistic
non parametric method with correlation test technique of Spearman's Rho The result of this
research shows that emotional abuse which happen to child is in correlation with the tendency of
juvenile delinquency in that child. The value of correlation coefficient between those two
variables is 0,288 with significance rating of 0,000. Significance value of 0.000 which is smaller
than the probability value of 0.05 (p <0.05) showed that the working hypothesis in this study
received, that there is a significant correlation between emotional abuse and tendency of
juvenile delinquency. But the small correlation coefficient indicate there are other thing that can
be greater effect for the tendency of delinquency.

Keyword : emotional abuse, juvenile delinquency

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kekerasan
emosional yang terjadi pada anak dengan kecenderungan kenakalan remaja pada anak yang
menjadi korban kekerasan emosional tersebut. Penelitian dilakukan pada 150 pelajar Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di kelurahan Mojo, Surabaya. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan metode survey. Kekerasan Emosional yang dialami oleh remaja akan
diukur dengan menggunakan Child Abuse and Trauma Scale yang dikembangkan oleh Sanders
dan Becker-Lausen (1995) dan kecenderungan kenakalan remaja akan diukur dengan skala Self-
Report Delinquency yang dikembangkan oleh Elliott dan Ageton (1980). Analisis data yang
digunakan pada penelitian ini adalah statistik non-parametrik dengan teknik uji korelasi
Spearman's Rho. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan emosional berkorelasi
dengan kecenderungan kenakalan remaja. Besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel

Korespondensi: Nindya P.N, Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Airlangga,
Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, e-mail: nindyaputrinovita@gmail.com

1 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Nindya P.N, Margaretha R.

tersebut adalah 0,288 dengan taraf signifikansi 0,000. Nilai signifikansi 0,000 yang lebih kecil
dibandingkan dengan nilai probabilitasnya 0,05 (p < 0,05) menunjukkan bahwa hipotesis kerja
pada penelitian ini diterima, yaitu ada hubungan antara kekerasan emosional dengan
kecenderungan kenakalan remaja. Namun dari koefisien korelasi yang lemah, dapat dikatakan
bahwa kekerasan hanya sebagian kecil dari faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku
kenakalan pada remaja.

Kata kunci : kekerasan emosional, kenakalan remaja

Masa remaja merupakan masa transisi, penguatan pada perilaku positif anak di usia dini.
remaja merasakan keraguan akan peran yang Seterusnya orang tua tersebut tidak terlibat secara
harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas ini positif terhadap perkembangan anak hingga
juga menguntungkan karena status tersebut beranjak remaja. Tak jarang anak malah mendapat
memberi waktu kepada mereka untuk mencoba perlakuan yang tidak seharusnya atau kekerasan di
gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola dalam rumah. Secara teoritis, kekerasan terhadap
perilaku, nilai, dan sifat yang sesuai bagi dirinya anak dapat didefinisikan sebagai peristiwa
(Hurlock, 1980). pelukaan fisik, mental atau seksual yang
Karakteristik remaja yang sedang dalam umumnya dilakukan oleh orang-orang yang
tahap pencarian identitas menjadi rentan mempunyai tanggung jawab terhadap
terhadap timbulnya permasalahan. Menurut kesejahteraan anak. Tindakan pelukaan tersebut
Jessor dan Jessor (1977) permasalahan pada remaja diindikasikan dengan kerugian dan ancaman
adalah perilaku yang dipandang sebagai masalah terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak
dalam segi sosial, atau hal yang tidak sesuai (Gelles dalam Suyanto & Hariadi, 2002).
dengan norma dan ketentuan orang dewasa. Salah Kekerasan emosional adalah sikap atau
satu permasalahan yang kerap muncul pada masa perilaku yang bisa menganggu perkembangan
remaja adalah tindakan kenakalan. Istilah sosial atau kesehatan mental anak. Istilah lain dari
kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang kekerasan emosional adalah kekerasan verbal,
perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak kekerasan mental ataupun kekerasan psikologis.
dapat diterima secara sosial, pelanggaran, hingga Kekerasan emosional melibatkan perasaan
tindakan-tindakan kriminal (Santrock, 1995). berbahaya dari diri anak. Moffatt (2003)
Kenakalan remaja didef inisikan sebagai menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu kekerasan psikologis yang ekstrim anak-anak akan
yang berusia di bawah 18 tahun (Berger, 2000). belajar bahwa dunia merupakan tempat yang tidak
Beberapa faktor seperti keluarga, sekolah, aman bagi mereka, dan tidak ada orang yang dapat
dan teman sepermainan dianggap menjadi faktor mereka percaya. Selanjutnya menurut Moffatt, hal
penyebab perilaku kenakalan remaja. Banyak ahli ini akan membuat anak tidak mampu memberi
percaya bahwa keluarga yang bermasalah atau menerima kasih sayang secara normal,
merupakan penyebab utama dalam pembentukan mereka tidak akan dengan mudah menerima kasih
masalah emosional pada anak yang dapat sayang yang diberikan pada mereka, bahkan
mengarah pada masalah sosial dalam jangka ketika mereka sudah dikeluarkan dari lingkungan
panjang (Siegel & Welsh, 2011). Orang tua yang keluarga yang melakukan kekerasan dan
mengacuhkan atau tidak memenuhi kebutuhan ditempatkan pada lingkungan yang
anak dengan baik akan meningkatkan resiko memperhatikan mereka. Efek jangka panjang dari
keterlibatan anak dalam perilaku sosial yang tidak kekerasan emosi dapat dilihat dari hubungan anak
dapat diterima, seperti agresi dan masalah dengan orang lain pada masa remaja dan dewasa.
perilaku eksternal lain (Verlaan & Schwartzman, Anak mungkin akan meninggalkan semua
2002). harapan hubungan yang normal, menjadi
Orang tua dari anak yang terlibat terisolasi atau antisosial. Kemungkinan lain
kenakalan remaja biasanya gagal dalam memberi adalah anak akan terlibat dalam penganiayaan

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 2


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Hubugan Antara Kekerasan Emosional Pada Anak Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

baik secara fisik maupun emosi (Moffatt, 2003). seorang remaja tinggal, atau dalam lingkungan
Kekerasan emosional diketahui memiliki keluarga. Faktor resiko, seperti yang dijelaskan di
dampak yang negatif pada anak (Trojanwich & atas merupakan faktor yang meningkatkan
Morash, 1983; Cicchetti & Rogosch, 1997; kemungkinan seorang anak terlibat dalam
Thornberry & Smith, 2001). Namun walau kenakalan. Salah satu bentuk dari faktor resiko
kekerasan emosional sudah diketahui berdampak yang akan di ukur dalam penelitian ini adalah
buruk pada anak, kasus kekerasan yang terjadi tindakan kekerasan emosional yang dilakukan
tetap saja tinggi. Menurut data Komisi oleh orangtua pada anak. Tindakan kekerasan
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun emosional yang dilakukan oleh orangtua dapat
2008 kekerasan emosional yang terjadi di menjadi model yang berperan sebagai faktor
Indonesia mencapai 1.902 kasus. Penelitian yang resiko terbentuknya perilaku kenakalan pada
dilakukan oleh Yoenanto (2006) menunjukkan remaja.
kekerasan emosional yang meningkat di Jessor (1977) menjelaskan bahwa anak
Indonesia. Hal tersebut berdampak pada yang tinggal dengan orangtua yang melakukan
meningkatnya permasalahan yang akan muncul tindak kekerasan akan belajar bagaimana cara
pada anak yang menjadi korban kekerasan berinteraksi dan bersosialisasi dari orangtuanya.
emosional. Selanjutnya menurut Jessor (1977) orangtua yang
terbiasa berteriak, mengancam, atau melakukan
Hubungan Kekerasan Emosional pada Anak tindakan yang menyimpang lainnya akan diamati
dan Kenakalan Remaja oleh anak untuk kemudian dicontoh oleh anak
Terbentuknya perilaku kenakalan pada saat ia harus bersosialisasi atau melakukan
remaja dianggap sebagai dampak dari aspek interaksi dengan lingkungannya. Tindakan ini
psikososial pada remaja tersebut (Jessor, 1977). akan membawa anak pada sebuah perilaku
Lebih lanjut Jessor dalam teori perilaku menyimpang yang apabila dilakukan hingga usia
bermasalah (Problem Behavior Theor y) remaja akan menjadi tindakan kenakalan remaja.
menjelaskan bahwa terbentuknya perilaku Penjelasan tentang model sebagai
menyimpang remaja dipengaruhi oleh tiga aspek penyebab munculnya perilaku kenakalan pada
yang saling berhubungan. Ketiga aspek tersebut remaja juga dijelaskan oleh Patterson (1992).
adalah kepribadian yang meliputi nilai individual, Patterson menemukan bahwa remaja yang
harapan, dan keyakinan pada remaja. Aspek kedua bertindak agresi, tinggal di lingkungan keluarga
adalah sistem lingkungan yang diterima oleh yang mengalami tingkat kekerasan yang tinggi
remaja, seperti pada lingkungan keluarga atau antara orangtua dan anak. Pola tindakan agresi
teman sebaya. Aspek ketiga adalah sistem perilaku dalam keluarga muncul dari perilaku interaksi
yang merupakan cara yang dipilih remaja untuk yang agresif antara anggota keluarga. Perilaku
berperilaku dalam kesehariannya. agresi yang dimunculkan oleh seorang anggota
Ketiga aspek diatas dapat berperan keluarga akan membuat anggota keluarga yang
sebagai faktor pelindung dan faktor resiko. lain ikut melakukan perilaku agresi. Anak yang
Menurut Jessor (2003), yang dimaksud dengan menerima kekerasan dari orangtua akan
faktor pelindung adalah faktor yang dapat melakukan tindakan kekerasan untuk melawan
mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan dan menjauhkan dirinya dari kekerasan yang
remaja, faktor ini meliputi dukungan sosial, sikap dilakukan oleh orang tua. Hal ini akan menjadi
positif, serta memberi contoh sikap yang benar sebuah siklus yang terus berputar dalam keluarga
pada anak. Sebaliknya, faktor resiko adalah faktor tersebut (Patterson dkk., 1992).
yang meningkatkan kemungkinan terjadinya Perilaku kekerasan yang dijelaskan
kenakalan remaja, seperti perilaku orangtua yang Patterson dalam Coercive Family Process Theory
tidak baik pada anak, orangtua yang memberi (1992) meliputi perilaku yang tidak layak oleh
contoh tindakan menyimpang seperti merokok orangtua seperti membentak, mencaci, serta
dan mabuk di depan anak. kurangnya pemberian penguatan positif pada
Penelitian ini lebih ditekankan pada anak. Selanjutnya Patterson (1994) menjelaskan
faktor resiko pada aspek lingkungan dimana bahwa adanya tindakan kekerasan oleh orang tua

3 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Nindya P.N, Margaretha R.

pada anak dapat meningkatkan resiko anak Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang ada di
terlibat permasalahan perilaku yang meliputi Kelurahan Mojo, Surabaya.
kenakalan remaja.
Selain karena siklus kekerasan yang Instrumen Penelitian
terjadi dalam keluarga, Patterson juga Pengumpulan data penelitian dilakukan
menjelaskan adanya proses modeling pada anak dengan bantuan kuisioner (self-report) yang
yang menjadi korban kekerasan oleh orangtuanya, mengukur kedua variabel kontinu dalam
sehingga resiko kenakalan akan sangat tinggi pada penelitian. Variabel kekerasan emosional diukur
anak tersebut. Proses modeling akan terjadi ketika menggunakan skala terjemahan dari Child Abuse
anak mengamati cara orangtua dalam bersikap. Trauma Scale (CATS) yang disusun oleh Barbara
Ketika ia terbiasa melihat orangtuanya Sanders dan Evvie Becker-Lausen (1995). CATS
menyelesaikan suatu permasalahan dengan digunakan karena CATS merupakan alat ukur yang
tindakan agresi, maka ia juga akan melakukan sering digunakan untuk mengukur kekerasan
kekerasan dalam bersikap. dalam keluarga yang pernah dialami oleh seorang
Seperti halnya Jessor (1977) yang anak. Alat ukur ini dibuat untuk responden yang
menjelaskan tentang aspek modeling, Patterson berusia 14 sampai dengan 23 tahun.. Nilai
(1982) juga menjelaskan bahwa orangtua reliabilitas alpha Cronbach uji terpakai dari skala
mempengaruhi gaya interpersonal remaja melalui tersebut sebesar 0,848. Variabel kecenderungan
proses belajar. Remaja yang menjadi korban kenakalan remaja diukur dengan skala terjemahan
kekerasan akan meniru cara orangtuanya dalam dari alat ukur Self-Report Delinquency (SRD) yang
bersosialisasi. Hal tersebut akan membuat remaja disusun oleh Delbert S. Elliott dan Suzanne S.
memiliki tingkat agresi yang tinggi ketika berada Ageton. Alat ukur ini merupakan alat yang banyak
di luar rumah. Remaja dengan tingkat agresi tinggi digunakan dalam penelitian-penelitian
akan dijauhi oleh remaja normal yang tidak sebelumnya yang mengukur kenakalan remaja
memiliki gaya sosialisasi agresif. SRD digunakan untuk mengukur kenakalan pada
Oleh sebab itu menurut Patterson (1982), remaja yang berusia 13 sampai 19 tahun. Nilai
remaja korban kekerasan emosional yang bersifat reliabilitas alat ukur berdasarkan uji terpakai
agresif akan lebih sering bersosialisasi dengan sebesar 0,855.
remaja lain yang memiliki karakteristik yang sama.
Dengan begitu resiko untuk melakukan tindakan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
kenakalan atau pelanggaran akan semakin besar.
Hal inilah yang menjadi dampak dari proses Uji Asumsi
belajar remaja korban kekerasan emosional pada Sebelum dilakukan pengolahan dengan
perilaku orangtuanya, yang dapat membawa ia statistik inferensi parametrik ataupun non-
terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. parametrik data harus melalui pengujian
Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis normalitas terlebih dahalu. Hal ini diperlukan
kerja dalam penelitian ini adalah terdapat untuk mengetahui teknik apa yang akan
hubungan yang positif antara kekerasan digunakan dalam proses pengolahan data
emosional pada anak dengan kenakalan remaja. selanjutnya. Uji normalitas dilakukan untuk
mengetahui apakah data berdistribusi normal
METODE PENELITIAN atau tidak. Data yang normal juga merupakan
Penelitian ini menggunakan metode salah satu syarat dalam penggunaan teknik
kuantitatif. Dalam penelitian ini akan dilihat statistik parametrik. (Pallant, 2011).
hubungan antara kedua variabel yang diteliti. Taraf signifikansi yang digunakan oleh
Pendekatan kuantitatif dipilih karena data yang peneliti adalah 5% yang berarti jika signifikansi
akan dikumpulkan dalam penelitian ini berbentuk pengujian lebih dari 0,05 (p > 0,05) data dapat
angka (Neuman, 2000). dikatakan normal dan sebaliknya. Berikut adalah
tabel hasil pengujian normalitas dari data yang
Partisipan diperoleh pada penelitian ini:
Penelitian ini dilakukan kepada 150 siswa

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 4


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Hubugan Antara Kekerasan Emosional Pada Anak Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa


koefisien korelasi (r) antara kedua variabel adalah
0,288. Koefisien korelasi bernilai positif, hal
tersebut berarti kedua variabel memiliki arah
hubungan yang positif, yaitu semakin tinggi
kekerasan emosional yang dilakukan pada anak
akan semakin tinggi resiko kecenderungan
kenakalan remaja pada anak tersebut.
Selain menunjukkan arah hubungan,
nilai koefisien korelasi juga menunjukkan
kekuatan hubungan antara kedua variabel. Cohen
Berdasarkan tabel di atas, taraf signikansi data (1988, dalam Pallant, 2011) memberikan sebuah
kenakalan remaja dan kekerasan emosional pada pedoman untuk mengintepretasi koefisien
anak adalah 0,000. Hal ini berarti nilai taraf korelasi yang bergerak dari 0 hingga 1. Dimana
signifikansi kurang dari 0,005 dan dapat dikatakan nilai r yang bernilai antara 0,1 sampai dengan 0.29
kedua variabel memiliki distribusi data yang tidak merupakan nilai korelasi yang rendah atau kecil,
normal. Nilai r pada penelitian ini adalah 0,288 itu berarti
kedua variabel penelitian ini memiliki korelasi
Uji Hipotesis yang kecil. Signifikansi korelasi dapat dilihat
Metode analisis yang digunakan pada berdasarkan nilai probabilitasnya (p). Apabila
penelitian ini adalah metode analisis non- nilai p > 0,05 maka Ho diterima. Namun apabila p
parametrik, metode tersebut digunakan karena < 0,05 maka Ho ditolak. Hasil uji korelasi ini
tidak memiliki syarat data harus berdistribusi menunjukkan bahwa angka p (sig.) pada kedua
normal. Teknik non-parametrik yang digunakan variabel adalah 0,000 atau berarti dibawah 0,05,
dalam penelitian ini yakni korelasi rank order yang menandakan bahwa Ho ditolak.
correlation dari Spearman atau spearman's rho. Jadi berdasarkan hasil uji Spearman's Rho
Pengujian dilakukan untuk melihat dua variabel dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha
apakah ada hubungan atau tidak. Uji korelasi yang diterima. Sehingga dapat dikatakan ada hubungan
dilakukan adalah mengkorelasikan variabel antara kekerasan emosional pada anak dengan
kekerasan emosional pada anak, dan variabel kecenderungan kenakalan remaja.
kecenderungan kenakalan remaja dengan
bantuan IBM SPSS 20.0 for Mac. Berikut adalah Diskusi Hasil
tabel hasil penghitungan korelasi Spearman's Rho: Berdasarkan uji korelasi menggunakan
teknik Spearman, diketahui koefisien korelasi
Tabel 2. Uji Korelasi Spearman's Rho adalah 0,288 dengan taraf signifikansi 0.000. Taraf
signifikansi tersebut kurang dari nilai alpha (0,05)
yang menyebabkan hubungan antara kekerasan
emosional dan kecenderungan kenakalan remaja
signifikan. Apabila hasil tersebut diaplikasikan
pada pengujian hipotesa, maka Ho ditolak, dan Ha
diterima yang dapat di artikan bahwa ada
hubungan antara kedua variabel. Jadi dalam
penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel kekerasan emosional dengan
variabel kecenderungan kenakalan remaja.
Hubungan antara kedua variabel tersebut
hanya berlaku pada populasi penelitian, yaitu
pelajar kelas XI Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) yang ada di Kelurahan Mojo, Kota
Surabaya. Selain itu generalisasi juga dapat

5 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Nindya P.N, Margarehta R.

diterapkan pada populasi remaja yang mempunyai Orangtua yang bertindak sebagai model
karakteristik sama dengan sampel penelitian, dapat berperan sebagai faktor resiko ataupun
yaitu yang memiliki tingkat kenakalan yang faktor protektif pada kecenderungan perilaku
kebanyakan ada pada nilai yang kecil namun kenakalan pada anak. Menurut Jessor (2003),
sebagian memiliki nilai yang tinggi seperti pada faktor resiko yang dapat memicu kecenderungan
sampel penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga kenakalan pada remaja akan timbul apabila
dapat di generalisasi pada sampel yang sebagian orangtua menjadi model yang tidak baik pada
besar terlibat pada kenakalan remaja yang bersifat anaknya. Perilaku tersebut meliputi tindakan yang
melanggar status, seperti membolos, melarikan melanggar norma sosial seperti mengkonsumsi
diri serta beberapa kenakalan lain yang tidak zat-zat berbahaya, mengkonsumsi minuman
bersifat merugikan orang lain. Hal tersebut berarti beralkohol, merokok atau melakukan tindak
data yang ada pada penelitian ini berlaku bagi kekerasan pada anak. Thornberry dan kawan-
sampel yang memiliki karakteristik melakukan kawan (2001) menemukan bahwa perlakuan yang
kenakalan remaja dengan jenis pelanggaran status tidak semestinya atau kekerasan pada anak
yang tinggi. meningkatkan kemungkinan tindakan kenakalan
Koefisien korelasi yang bernilai positif pada anak ketika ia berusia remaja.
menandakan adanya hubungan positif antara Namun, apabila melihat interpretasi nilai
kedua variabel pada penelitian ini. Hubungan koefisien korelasi oleh Cohen (1988, dalam Pallant,
positif berarti kedua variabel memiliki hubungan 2011) hubungan antara kekerasan emosional pada
yang searah. Dalam penelitian ini semakin tinggi anak dan kecenderungan kenakalan remaja pada
kekerasan emosional yang diterima oleh seorang penelitian ini yang memiliki nilai koefisien
anak, maka semakin besar pula resiko anak korelasi sebesar 0,288 dapat dikatakan lemah.
tersebut pada kecenderungan kenakalan remaja. Hubungan yang lemah tersebut dikarenakan hal
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah perlakuan yang menjadi faktor penyebab seorang remaja
kekerasan emosional yang diterima anak, maka terlibat kenakalan bukan hanya perilaku
makin kecil resikonya dalam kecenderungan kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya.
kenakalan remaja. Jessor dan kawan-kawan (1991) menjelaskan
Hasil penelitian ini mendukung bahwa perilaku beresiko pada remaja tidak hanya
penelitian sebelumnya dimana munculnya disebabkan oleh satu faktor. Akan tetapi perilaku
perilaku beresiko pada remaja salah satunya tersebut dihasilkan dari interaksi yang komplek
dipengaruhi oleh perlakuan yang seorang anak antara remaja dengan lingkungannya. Hal ini yang
terima dari orang tuanya (Cicchetti & Rogosch, oleh Jessor disebutkan sebagai adanya faktor
1997; Dodge dkk., 1990; Loeber dkk., 1998). Lebih psikososial yang membentuk perilaku seorang
lanjut dapat dijelaskan bahwa perilaku kekerasan remaja.
emosional yang diterima anak dapat menjadi Fa k to r p s i ko s o s i a l ya n g s a l i n g
contoh bagi anak tersebut dalam menyelesaikan berinteraksi dengan remaja akan membentuk
suatu permasalahan dan bersosialisasi dengan sebuah perilaku pada remaja tersebut. Faktor
lingkungan. Anak akan terbiasa menggunakan psikososial terdiri dari kepribadian, lingkungan
kekerasan seperti yang biasa ia lihat dari dan perilaku remaja itu sendiri. Kepribadian
orangtuanya, hal tersebut akan terbawa hingga ia meliputi nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang,
beranjak remaja. Conger dan Simons (1997, dalam sikap, keyakinan, dan kontrol diri. Sedangkan
Spoth dkk., 2006), menemukan bahwa keadaan lingkungan meliputi teman sebaya, sekolah,
lingkungan keluarga yang kritis dan tidak keluarga, dan lingkungan tempat tinggal remaja
mendukung, akan secara signifikan berhubungan serta bagaimana remaja memaknai lingkungannya
dengan permasalahan perilaku pada remaja. Anak tersebut. Kedua faktor tersebut akan saling
yang secara konsisten menerima perlakuan yang berinteraksi untuk membentuk faktor yang ketiga,
tidak layak atau menyimpang dari orangtuanya yaitu perilaku remaja, atau dalam hal ini adalah
dapat mencontoh gaya interaksi tersebut ketika perilaku beresiko pada remaja.
berhadapan dengan orang lain saat ia beranjak
remaja (Spoth dkk., 2006).

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 6


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Hubugan Antara Kekerasan Emosional Pada Anak Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

Baik faktor kepribadian maupun faktor status. Kenakalan tersebut terjadi dalam setting
lingkungan memiliki dua peran, yakni sebagai sekolah seperti membolos, mencontek, serta
pelindung dan pemicu resiko perilaku beresiko melarikan diri dari sekolah. Kenakalan dilakukan
pada remaja. Lingkungan keluarga yang menjadi ketika remaja sedang bersama dengan teman
salah satu bagian dalam faktor lingkungan akan sebayanya. Dari sini dapat dilihat kuatnya
menjadi faktor pelindung apabila keluarga dapat pengaruh teman sebaya pada kecenderungan
menurunkan resiko anak terlibat pada perilaku kenakalan remaja.
yang menyimpang, sebaliknya keluarga yang Menurut Solechatun (2004), remaja yang
melakukan kekerasan pada anak akan menjadi bergabung dengan kelompok teman sebayanya
faktor pemicu keterlibatan anak pada tindakan merupakan bentuk dari penyelesaian konflik yang
kenakalan. dialami remaja dengan orangtuanya maupun
Seperti yang dijelaskan di atas, aspek dengan orang lain. Sosialisasi yang dilakukan
psikososial yang menyebabkan seorang remaja remaja dengan kelompok teman sebayanya
terlibat kenakalan bukan hanya faktor keluarga, mengarahkan remaja untuk melakukan respon-
tetapi juga teman sebaya, dan lingkungan sekolah respon adaptif atas konflik yang sedang dihadapi
atau sosialisasi remaja tersebut. Hal ini menjadi remaja tersebut. Kelompok remaja tersebut akan
Surabaya.
salah satu penyebab hubungan yang lemah antara memiliki aturan-aturan sendiri yang terkadang
kekerasan emosional pada anak dan bertentangan dengan norma sosial yang berlaku di
kecenderungan kenakalan remaja pada penelitian masyarakat. Hal ini yang membuat remaja
ini. Remaja yang menjadi korban kekerasan kemudian terlibat perilaku beresiko seperti
emosional namun memiliki teman-teman yang kenakalan remaja.
baik dan dapat menjadi pelindung dari resiko Berdasarkan analisis gender, diketahui
kenakalan bisa saja memiliki resiko kenakalan bahwa tingkat kenakalan lebih tinggi pada remaja
yang rendah, sebaliknya remaja yang memiliki laki-laki. Sedangkan pada aspek kekerasan
hubungan yang baik dengan orangtua namun emosional, kedua gender memiliki nilai yang
bergaul dengan remaja lain yang beresiko, dapat relatif sama. Hal tersebut menjadi salah satu bukti
meningkatkan kemungkinan terlibat perilaku bahwa kekerasan pada anak tidak sepenuhya
kenakalan remaja. berperan dalam membentuk perilaku kenakalan
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan remaja. Remaja laki-laki dan perempuan yang
yang diberikan oleh Havighurst (1972) dalam memiliki nilai kekerasan emosional yang sama,
Sarwono (1989), yang menjelaskan bahwa remaja dapat memiliki nilai kenakalan yang berbeda, hal
memiliki kecenderungan untuk lebih dekat tersebut menunjukkan bahwa kekerasan
dengan teman-temannya yang sebaya emosional tidak sepenuhnya membentuk
dibandingkan dengan keluarganya. Seorang yang perilaku kenakalan pada remaja.
sudah beranjak remaja akan melepaskan diri dari Dalam penelitian ini dapat disimpulkan
ketergantungan emosi dengan orangtua dan orang bahwa kekerasan emosional pada anak memiliki
dewasa lainnya. Teman sebaya juga memiliki peran hubungan yang lemah terhadap kecenderungan
yang besar terhadap terbentuknya kecenderungan perilaku kenakalan remaja. Hal tersebut
kenakalan pada remaja. dikarenakan selain faktor kekerasan dari keluarga
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah juga terdapat beberapa faktor lain yang tidak dapat
mengenai bentuk kenakalan remaja yang dominan dipisahkan dari munculnya tindakan kenakalan
pada sampel yang diteliti. Berdasarkan pada remaja.
karakteristik sampel yang diteliti, kecenderungan
kenakalan pada sampel juga sangat beragam. SIMPULAN
Kebanyakan sampel memiliki nilai Berdasarkan hasil pengolahan data pada
kecenderungan kenakalan yang rendah, namun penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada
ada sebagian kecil yang memiliki nilai hubungan yang positif antara kekerasan
kecenderungan kenakalan yang cukup tinggi. emosional pada anak dan kecenderungan
Bentuk kenakalan yang memiliki nilai intensitas kenakalan remaja pada pelajar Sekolah Lanjutan
yang tinggi adalah jenis kenakalan yang melanggar Tingkat Atas (SLTA) di Kelurahan Mojo, Kota

7 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Nindya P.N, Margateha R.

Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan Me s k i p u n h a s i l d a r i p e n e l i t i a n


bahwa remaja yang menerima perilaku kekerasan menunjukkan adanya hubungan antara kekerasan
emosional dalam keluarga memiliki emosional dan kecenderungan kenakalan remaja,
kecenderungan yang lebih tinggi melakukan namun hal lain yang penting disampaikan adalah
kenakalan remaja, daripada remaja yang tidak koefisien korelasi yang rendah mengindikasikan
menjadi korban kekerasan emosional. adanya faktor lain, seperti pengaruh teman sebaya,

PUSTAKA ACUAN

Berger, KS. (2000). The Developing Person Through Childhood andAdolescence. New York: Worth
Publishers.
Cicchetti, D., & Rogosch, F. A. (1997). The Role of Self-Organization in The Promotion of Resilience in
Maltreated Children. Development and Psychopathology, 12, 255-265.
Elliot, D. S., & Ageton, S. (1980). Reconciling Race and Class Differences in Self Reported and Official
Estimates of Delinquency. American Sociological Review, 45, 95-110.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(terjemahan oleh Istiwidayanti). Jakarta: Erlangga.
Jessor, R., Donovan, J. E., & Costa, F. M. (1991). Beyond adolescence: Problem behavior and young adult
development. New York: Cambridge University Press.
Jessor, R., & Jessor, S. L. (1977). Problem behavior and psychosocial development: A longitudinal study of
youth. New York: Academic Press.
Jessor, R., Turbin, M.S., Costa, F.M., Dong, Q., Zhang, H., & Wang, C. (2003). Adolescent Problem Behavior
in China and The United States: A Cross-National of Psychosocial Protective Factors. Journal of
Research on Adolescence, 13, 329-360.
Moffatt, G. (2003). Wounded Innocents and Fallen Angels : Child Abuse and Child Aggression. Praegar
Publisher.
Neuman, W.L. (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 2nd ed.
Massachusetts: Allyn and Bacon.
Pallant, J. (2011). SPSS: Survival manual (4th ed.). Sydney: Allen & Unwin.
Patterson, G.R. (1982). Coercive family processes. Eugene, OR: Castalia.
Patterson, G. R., Reid, J. B., & Dishion, T. J. (1992). Antisocial Boys. Eugene, OR: Castalia.
Sanders, B., & Lausen-Becker, E. (1995). The Measurement of Psychological Maltreatment: Early Data on
The Child Abuse and Trauma Scale. Child Abuse and Neglect, 19, 315-323.
Santrock, J.W. (1995). Life Span Development, 11th edition (terjemahan). New York: McGraw Hill, Inc.
Sarwono, S.W. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Siegel, J. & Welsh, B. (2011). Juvenile Delinquency The Core. California: Wadsworth
Solechatun, Y. (2004). Hubungan Disfungsi Keluarga dan Kelompok Teman Sebaya dengan
Penyalahgunaan Obat pada Siswa Panti Asuhan Rehabilitasi Korban Narkoba. Jurnal Tabularasa,
2.
Spoth, R., Neppl, T., Goldberg-Lillehoj, C., Jung, T., & Ramisetty-Mikler, S. (2006). Gender-Related
Quality of Parent-Child Interactions and Early Adolescent Problem Behaviors : Exploratory Study
With Midwestern Samples. Journal of Family Issues, 27, 826-849.
Suyanto, B., & Hariadi, S. (2002). Krisis dan Child Abuse. Surabaya: Airlangga University PressThornberry,
T., Ireland, T. & Smith, C. (2001). The importance of timing: The varying impact of childhood and
adolescent maltreatment on multiple problem outcomes. Development and Psychopathology, 13,
957979.

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 8


Vol.1.No.02.,Juni 2012
Hubugan Antara Kekerasan Emosional Pada Anak Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja

Trojanwitch, R. C., & Morash, M. (1983). Juvenile Delinquency: Concepts and Control. London: Prentice-
Hall International, Inc.
Verlaan, P., & Schwartzman, A. E. (2002). Mother's and Father's Parental Adjustment: Links To
Eksternalising Behavior Problem in Sons and Daughters. The International Journal of Behavioral
Development, 26, 214-224.
Yoenanto, H.N. (2006,). Kekerasan pada Anak: Jenis, Gejala, Penyebab & Upaya Solusinya. Makalah
dipresentasikan pada seminar nasional Kekerasan pada Anak di Unmuh Surakarta.

You might also like