You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan dan penyebaran
jaringan secara abnormal. Kanker serviks adalah penyakit kanker terbanyak kedua diseluruh
dunia yang mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Dibeberapa negara bahkan menjadi
penyebab kanker terbanyak pada wanita dengan kontribusi 20-30%. Di negara berkembang
keganasan pada serviks merupakan penyebab kematian terbanyak karena kanker sedangkan di
negara maju menjadi penyebab kematian nomor dua.1 Lebih dari 371.100 kasus baru didiagnosa
setiap tahunnya. Diperkirakan 190.000 wanita meninggal setiap tahunnya akibat dari penyakit
ini.2
Kanker serviks merupakan kanker paling umum ketiga pada saluran reproduksi wanita.
Meskipun pengenalan skrining smear Papanicolaou telah menurunkan insidensi dan mortalitas
akibat kanker invasif, 10.000 hingga 15.000 kasus baru dan 3.500 sampai 5.000 kematian masih
terjadi setiap tahunnya selama 10 sampai 15 tahun terakhir. Lebih dari 12.000 kasus baru dan
4.100 kematian diperkirakan pada tahun 2003. Hanya sekitar sepertiga wanita yang berisiko
terkena kanker serviks yang menerima skrining yang tepat. Insidensi karsinoma serviks lebih
tinggi pada wanita dengan riwayat penyakit menular seksual [misalnya, infeksi human
papillomavirus (HPV) dan infeksi herpes simplex virus (HSV)].2
Dinegara-negara maju insidensi kanker serviks hanya mencapai 4-6% dari seluruh
penyakit kanker. Perbedaan yang besar ini disebabkan oleh penggunaan metode skrining massal
yang sudah efektif. Tujuan utama dari skrinning adalah menemukan lesi prakenker yang bila
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dapat mencegah terjadinya kanker serviks.
Kemampuan untuk melakukan deteksi lesi prakanker ditentukan oleh kemudahan untuk
melakukan akses daerah serviks dan kemampuan melakukan penilaian terhadap patologi yang
ditemukan.1

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERJALANAN PENYAKIT


Infeksi HPV resiko tinggi merupakan awal proses karsinogenesis kanker serviks uteri.
Infeksi HPV dapat dideteksi pada 13,5 bulan dari terjadinya infeksi HPV. Lesi prakanker
ASCUS, NIS I-II-III dapat terjadi 14,1 bulan sampai 4 tahun setelah ditemukan DNA HPV
resiko tinggi. Pada penelitian kasus kontrol, dijumpai adanya infeksi HPV pada lesi prakanker
dan kanker serviks invasif. Kejadian infeksi HPV resiko tinggi dijumpai sejumlah 80% pada NIS
II, 90% pada NIS III dan sejumlah 98% pada karinoma serviks invasif.3
HPV merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya
gangguan sel serviks. Onko protein E6 dan E7 yang beraal dari HPV merupakan penyebab
terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat P53 sehingga Tumor
Suppressor gene (TSG) P53 kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat
TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F, E2F merupakan faktor transkripsi sehingga
siklus sel berjalan tanpa kontrol.3

Tabel 1. Tipe Human Papiloma Virus 3,4

Golongan
Tipe HPV

Resiko tinggi 16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58,59

Kemungkinan resiko tinggi 26,53,66,68,73,82

Resiko Rendah 6,11,40,42,43,44,54,61,70,72,81

Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa didahului oleh fase prakanker yaitu NIS I,
II, III. Karsinoma sel skuamosa serviks menggambarkan hasil dari perkembangan displasia atipik
yang progresif pada epitel metaplastik di zona transformasi. Klasifikasi lesi yang dimulai dari
displasia ringan hingga karsinoma insitu tidak merefleksikan progresivitas penyakit.1

Richart mengenalkan terminilogi Neoplasia Intraepitelial Serviks (NIS) untuk


menggambarkan kelainan sel squamosa serviks prainfasif, terdapat 3 derajat perubahan yaitu:
NIS I ( displasia ringan ), NIS II ( displasia sedang ), dan NIS III ( displasia Berat ).1

2.2 LESI PRAKANKER

2
Konsep lesi prakanker serviks telah dikenal luas diseluruh dunia, lesi prakanker disebut
lesi intraepitelial serviks/ NIS/ CIN ( cervical intraepitelial neoplasia) merupakan perubahan
menuju karsinoma serviks uterus. Diawali dengan NIS I (CIN I) yang secara klasik dinyatakan
dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III, kemudian berkembang
menjadi karsinoma serviks infasif. Konsep regresi spontan serta lesi yang persistent menyatakan
bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi infasif, sehingga diakui bahwa
masih cukup banyak faktor yang berpengaruh.3
Untuk memudahkan penilaian sitologi, klasifikasi Bethesda memperkenalkan dua
kategori untuk derajat lesi prakanker yaitu lesi derajat rendah (Low grade squamous
intraepithelial lesion) dan lesi derajat tinggi (High grade squamous intra-epithelial lesion). LSIL
setara dengan NIS I ( CIN I) sedangkan HSIL (CIN II dan CIN III). Dokategorikan derajat
rendah karena NIS I hanya 12% saja yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan
NIS II dan NIS III mempunyai resiko menjadi kanker serviks yang lebih besar bila tidak
mendapat pengobatan.3
Terdapat hubungan yang kuat antara derajat NIS dengan infeksi HPV. Pada NIS I atau
LSIL infeksi yang dijumpai umumnya infeksi HPV tipe 6 atau 11. Kedua HPV ini tidak
menyebabkan progresivitas ke derajat yang lebih tinggi. Pada HSIL terdapat hubungan yang kuat
dengan infeksi HPV 16 dan 18, kedua tipe ini merupakan tipe yang mempunyai onkoprotein.
Infeksi ini menyebabkan perubahan lesi pada NIS II tanpa melalui NIS I. Dengan demikian
terdapat dua alur perjalanan penyakit pada lesi prakanker.3
Pada tahun 1991 diperkenalkan suatu metoda pelaporan sitologi yang dikenal sebagai
sistem Bethesda, sistem ini terus dilakukan perbaikan. Perbaikan yang relatif cepat ini
menyebabkan perkembangan revisi sistem Bethesda sering kali belum diikuti oleh para dokter
yang berkecimoung di bidang kanker ginekologi khususnya di indonesia. Keadaan ini sering kali
menjadi kendala dalam penyeragaman penatalaksanaan penderita.5

Tabel 2. Perbedaan Sistem WHO dan Sistem Bethesda 4

Sistem WHO Sistem Bethesda

Normal Dalam batas normal

Sel dengan perubahan dalam batas normal

3
Atipik ASC (US,H),

AGCUS / AGUS / AGCNOS / AGC

Displasia ringan Lesi intrapitel derajat rendah (LGSIL)

Displasia sedang Lesi intrapitel derajat berat (HGSIL)

Displasia berat Lesi intrapitel derajat berat (HGSIL)

Karsinoma insitu Lesi intrapitel derajat berat (HGSIL)

Karsinoma sel skuamosa Karsinoma sel skuamosa

Adenokarsinoma Adenokarsinoma

2.3 PENATALAKSANAAN PEMERIKSAAN PAP SMEAR ABNORMAL

2.3.1 Pemeriksaan Sitologi Tidak Memuaskan

Hasil pemeriksaan sitologi dengan hasil tidak memuaskan terjadi lebih kurang 1% dari
keseluruhan jenis preparasi yang dibuat. Hasil pemeriksaan sitologi yang tidak memuaskan
menjadikan deteksi dari abnormalitas epitel menjadi tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan pap
smear dapat menjadi tidak memuaskan disebabkan oleh adanya darah, proses inflamasi, ataupun
proses-proses lainnya.4

Pada wanita dengan hasil pemeriksaan sitologi yang tidak memuaskan dengan hasil test
HPV tidak ada, tidak diketahui atau negatif, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
ulang dalam 2-4 bulan. Pemberian terapi pada keadaan atrofi atau adanya proeses peradangan
dengan adanya infeksi yang spesifik dapat diterima. Pada wanita berumur 30 tahun atau lebih
dengan hasil pemeriksaan sitologi tidak memuaskan dan test HPV (+), pemeriksaan ulangan
dalam 2-4 bulan atau kolposkopi dapat dilakukan. Kolposkopi direkomendasikan pada wnaita
dengan pemeriksaan sitologi tidak memuaskan pada dua kali pemeriksaan.4

4
Gambar 1. Skema Penatalaksanaan Pemeriksaan Sitologi Tidak Memuaskan 4

2.3.2 Wanita dengan test HPV positif dan sitologi negatif


Pada wanita dengan usia diatas 30 tahun atau lebih dengan test HPV (+) namun dengan
hasil pemeriksaan sitologi (-), pemeriksaan ulangan dalam 1 tahun dapat diterima. Pada
pemeriksaan ulangan yang dilakukan setelah satu tahun, jika test HPV (+) atau pemeriksaan
sitologi menunjukkan ASCUS atau lebih buruk, direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan
kolposkopi. Jika pada pemeriksaan ulangan ditemukan test HPV (-) dan pemeriksaan sitologi (-),
dapat dilakukan pemeriksaan ulangan dalam 3 tahun mendatang.4
Pemeriksaan Genotyping HPV juga dapat dilakukan dan diterima. Jika HPV tipe 16 dan
18 (+), direkomendasikan untuk dilakukan kolposkopi, namun jika (-) dapat dilakukan
pemeriksaan ulangan dalam 1 tahun medepan.4

5
Gambar 2. Skema Penatalaksanaan wanita usia > 30 tahun dengan HPV (+)4

2.3.3 LSIL (Low Grade SIL)


LSIL (low grade SIL) disebut juga lesi derajat rendah. Sebagian besar lesi LSIL akan
regresi spontan dan sebagian kecil lesi LSIL berkembangan menjadi lesi dengan derajat kelainan
yang lebih tinggi. Terjadinya regresi ataupun progresi LSIL, pada penelitian dipengaruhi oleh
adanya infeksi HPV onkogenik. Pada LSIL yang disertai infeksi non-onkogenik pada umumnya
akan regresi sedangkan yang disertai infeksi HPV onkogenik mempunyai potensi berkembang
menjadi lesi dengan derajat yang lebih berat.5
Penatalaksanaan LSIL sangat bervariasi dan mengundang kontroversi. Terlebih lagi bila
sarana penunjang diagnostic tidak mendukung. Sehingga seringkali overtreatment tetapi
seringkali pula undertreatment.5
Sebagian ahli umumnya berpendapat terapi menunggu atau terapi konservatif merupakan
terapi pada LSIL. Pengamatan dysplasia ringan selama 1 tahun atau lebih, mendapatkan
sejumlah 70,3% regresi spontan (rata-rata pengamatan 9,3 bulan), sejumlah 11,0% berkembang
menjadi tingkat yang lebih lanjut (rata-rata pengamatan 10,4 bulan), dan sejumlah 18,7%
menetap (rata-rata pengamatan 29,7 bulan).6
Analisa hasil pap smear LSIL yang dilakukan di Thailand, ternyata pada sitologi LSIL
yang dilakukan kolposkopi dan pemeriksaan histologi didapatkan HSIL sejumlah 36,4%, dan
mikroinvasi dan kanker serviks invasif sejumlah 5%. Dari hasil ini menunjukkan bahwa hasil

6
pada pap smear LSIL mengandung risiko menderita HSIL dan karsinoma serviks. Untuk
menghindari kesalahan maka pada LSIL sebaiknya dilakukan pemeriksaan kolposkopi.7
Faktor infeksi HPV merupakan faktor resiko terjadinya pertumbuhan NIS. Resiko
menderita LSIL pada yang HPV(+) adalah 3,8 kali jika dibandingkan dengan yang HPV(-).
Mereka yang menderita LSIL mempunyai resiko menderita HSIL adalah 12,7. Mereka yang
menderita LSIL dan HPV(+) mempunyai resiko menjadi HSIL sebesar 67,1.5
Tes DNA-HPV resiko tinggi dapat membantu menseleksi kasus LSIL yang mempunyai
resiko berkembang menjadi HSIL/karsinoma serviks. Kasus LSIL dengan tes DNA yang
negative, diperlakukan sama dengan kasus tanpa kelainan atau resiko. Kasus LSIL dengan tes
DNA yang positif berarti bahwa kasus tersebut mempunyai resiko berkembang menjadi
HSIL/karsinoma serviks sehingga harus diamati dengan baik. Dalam perjalanan penyakit sangat
mungkin akan terjadi regresi spontan, dan mungkin pula kasus berkembang menjadi HSIL.
Sehingga pada LSIL dengan tes DNA-HPV yang positif, harus dilakukan pemeriksaan koloskopi
karena terdapat kemungkinan lesi dengan derajat yang lebih tinggi.5
Tetapi European Guideline menetapkan 2 opsi penatalaksanaan LSIL, yaitu ulangi pap
smear dengan interval 6 bulan atau dilakukan kolposkopi terutama bila pap smear ini merupakan
pap smear ulangan yang hasilnya ASCUS atau derajat lebih berat. Sedangkan pemeriksaan tes
DNA-HPV dilakukan bersifat selektif karena sensitifitas pemeriksaan pap smear ulangan
mencapai 91% sedangkan sensitifitas pemeriksaan DNA-HPV 95% sehingga pemeriksaan pap
smear ulangan dianggap cukup memadai.8

LSIL

PAP SMEAR ULANG > 3 BULAN TES DNA-HPV

DNA-HPV (+) DNA-HPV (-)

KOLPOSKOPI SKRINING RUTIN


Gambar 3. Skema Penatalaksanaan LSIL5

7
Bila hasil pap smear tidak memuaskan, maka dianjurkan untuk diulang pap smear
kembali 6-12 minggu dengan memperbaiki kesalahan yang menyebabkan pap smear
tidak memuaskan.
Hasil pap smear LSIL pada wanita usia > 30 tahun tanpa riwayat pap smear sebelumnya,
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kolposkopi
Hasil pap smear LSIL pada riwayat pap smear sebelumnya juga LSIL, dianjurkan
dilakukan kolposkopi
Hasil pap smear normal pada riwayat pap smear sebelumnya LSIL, dianjurkan dilakukan
pap smear ulang 12 bulan kemudian,
Bila pada pemeriksaan kolposkopi, tampak gambaran kolposkopi normal, maka
dianjurkan untuk mengulang pap smear sebagai pemeriksaan screening.
Bila pada pemeriksaan kolposkopi, gambaran lesi sebagai lesi derajat rendah, maka harus
dilakukan biopsi untuk konfirmasi diagnosis.
Bila pada pemeriksaan kolposkopi, gambaran lesi sebagai lesi derajat tinggi, maka harus
dilakukan biopsi untuk menjadi dasar terapi definitif.
Hasil pap smear LSIL, untuk membuktikan LSIL yang dapat berkembang menjadi derajat
yang lebih tinggi dilakukan tes DNA-HPV
Bila tes DNA positif maka dilakukan kolposkopi, bila negative maka dilanjutkan dengan
skrining rutin 1 tahun kemudian
Pada Wanita dengan LSISL tanpa test HPV atau test HPV (+), pemeriksaan kolposkopi
direkomendasikan. Jika test HPV (-), dapat dilakukan pemeriksaan ulangan dalam 1 tahun
kemudian, namun pemeriksaan kolposkopi dapat juga dilakukan.5

8
Gambar 4. Skema Penatalaksanaan LSIL4

LSIL Pada Wanita 21-24 tahun

Pada wanita berumur 21-24 tahun dengan LSIL, pemeriksaan follow up dengan sitologi
direkomendasikan. Kolposkopi tidak direkomendasikan. Jika pada pemeriksaan follow up
dijumpai ASC-H atau HSIL, pemeriksaan kolposkopi direkomendasikan. Pada wanita dengan
ASCUS atau lebih buruk dalam follow up 24 bulan, kolposkopi direkomendasikan. Pada wanita
dengan dua kali pemeriksiaan dengan hasil negatif, dianjurkan untuk melakukan skrining rutin.4

9
Gambar 5. Skema Penatalaksanaan LSIL wanita usia 21-24 tahun4

LSIL Pada Wanita Hamil

Pada wanita hamil dengan LSIL, pemeriksaan kolposkopi menjadi pilihan. Kuretase
endoserviks pada wanita hamil tidak diperbolehan. Penundaan pemeriksaan kolposkopi sampai 6
minggu pasca persalinan dapat diterima. Pada wanita hamil dengan sitologi, histologi atau
kolposkopi tanpa kecurigaan terhadap CIN 2+, follow up post partum direkomendasikan.
Penambahan pemeriksaan kolposkopi dan sitologi tidak dianjurkan dalam kasus seperti ini.4

10
Gambar 6. Skema Penatalaksanaan LSIL Pada Wanita Hamil4

LSIL Pada wanita Pasca Menopause

Wanita pasca menopause dengan LSIL dan tanpa tes HPV, dapat dilakukan pemeriksaan
ulangan dalam 6-12 bulan ataupun dapat dilakukan kolposkopi. Jika test HPV (-) atau jika CIN
tidak teridentifikasi, dapat dilakukan pemerisaan ulangan dalam 12 bulan. Jika test HPV (+) atau
hasil pemeriksaan sitologi ulangan ASCUS atau lebih dari itu, pemeriksaan kolposkopi
direkomendasikan. Jika pemeriksaan sitologi ulangan negatif setalah dua kali berturut, dapat
dilakukan skrining rutin.4

2.3.4 HSIL ( High Grade SIL)


HSIL merupakan kategori yang mencakup NIS-II dan NIS-III, kategori tersebut
merupakan kendala dalam memilih modalitas terapi. HSIL (NIS-II) ditatalaksana secara
konservatif dan bedah eksisi yang bersifat radikal (histerektomi total) bukan pilihan terapi yang
baik karena bedah eksisi histerektomi dianggap berlebihan (over treatment). Terapi HSIL (NIS-
III) dapat ditatalaksana secara konservatif ataupun terapi pembedahan histerektomi dengan
mempertimbangkan beberapa faktor (usia, keinginan keperluan fungsi reproduksi, adanya
patologi uterus, dll).5

11
Penatalaksanaan HSIL mempunyai kendala khusus, karena HSIL merupakan gabungan
NIS-II dan NIS-III. Hasil biopsi menentukan apakah HSIL tersebut adalah displasia sedang atau
displasia berat. Terapi pada displasia sedang lebih mengarah kepada konservatif tetapi terapi
displasia berat lebih cenderung dilakukan terapi eksisi yang non-konservatif.5
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi ataupun terjadinya rekurensi,
antara lain:
1. Faktor derajat lesi, semakin berat derajat lesi maka resiko residif akan semakin
meningkat.
2. Faktor lesi itu sendiri karena pengaruh adanya ekspresi proteomic dari jaringan lesi.
Beberapa protein mempengaruhi prognosis ataupun kejadian residif lesi prakanker.
Antara lain ekspresi p16ink4, lesi yang mengekspresi p16ink4 meningkatkan resiko
terjadinya residif.
3. Faktor residu tumor, faktor residu tumor berhubungan dengan modalitas terapi yang
digunakan, modalitas eksisi (LETZ / LEEP, bedah eksisi) merupakan modal terapi yang
dapat dinilai radikalitas eksisi secara histology sedang modalitas lain relative sulit bahkan
sering tidak dilakukan analisa histology (krio, kauterisasi). Faktor residu juga dipengaruhi
oleh keterampilan yang melakukan terapi ablasi atau terapi eksisi, semakin trampil maka
semakin kecil kemungkinan adanya residu, dan residu tumor merupakan faktor terjadinya
residif.

HSIL harus diterapi, tetapi sebelum terapi beberapa faktor yang harus diperhatikan :
1. Harus diidentifikasi HSIL yang didiagnosis, apakah NIS II atau NIS III.
2. Apakah pasien mengerti kemungkinan terjadinya kanker servik setelah menderita HSIL,
berapa persentase kemungkinan terjadinya. Progresivitas HSIL menjadi karsinoma
serviks invasive dalam waktu 2 tahun berkisar 1,4%.
3. Apakah pasien masih menginginkan fungsi reproduksi untuk dipertahankan.
4. Adakah kelainan ginekologi lainnya terutama kelainan uterus.
HSIL-NIS II terapi utamanya adalah konservatif, terapi destruksi lokal sudah memadai.
Salah satu terapi yang telah diteliti adalah terapi retinoid lokal. Topikal asam retinoat salah satu
alternative terapi karena pada penelitian pemberian asam retinoat dapat meningkatkan kejadian
regresi NIS-II menjadi 43% dari 27% (kontrol group).5
Bila pasien tidak menginginkan lagi mempertahankan fungsi reproduksi, maka terapi
pembedahan histerektomi total pada NIS III merupakan pilihan utama. Pembedahan histerektomi
12
mempunyai arti sebagai terapi tetapi juga mempunyai arti diagnosis. Pada tindakan konisasi pada
795 kasus HSIL dan histerektomi total pada 288 kasus HSIL, ternyata 0,9% dan 1,2% adalah
karsinoma serviks invasive. Keadaan ini menunjukkan bahwa tindakan terapi destruksi lokak
mempunyai resiko kegagalan atau residif sebagai kanker invasive sebesar minimal antara 0,9-
1,2%.5
Bila pasien masih menginginkan fungsi reproduksinya tetap berlangsung normal, maka
terapi konservatif merupakan pilihan, yaitu dengan mengambil lesi yang abnormal atau merusak
lesi abnormal tersebut.5
Pilihan metoda atau alat yang digunakan untuk terapi local sangat tergantung beberapa
faktor antara lain faktor luasnya lesi, perluasan ke kanalis servikalis, letaknya lesi serta faktor
dokter yang memberi terapi. Ukuran lesi serta perluasan lesi ke dalam kanalis servikalis
merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi local. Pilihan dokter
sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dokter tersebut, rujukan dari dokter tersebut dll.5
Pada wanita dengan hasil sitologi berupa HSIL, penatalaksanaan dengan LEEP atau
kolposkopi dapat diterima, kecuali pada populasi khusus. Pada wanita yang tidak ditatalaksana
dengan eksisi, pemeriksaan kolposkopi direkomendasikan. Prosedur diagnostik denan eksisi
direkomendasikan pada wnaita dengan HSIL ketika pemeriksaan kolposkopi tidak adequat,
kecuali pada saat kehamilan.5

13
Gambar 7. Skema Penatalaksanaan HSIL4

HSIL Pada wanita 21-24 Tahun

Pada wanita usia 21-24 tahun dengan HSIL, pemeriksaan kolposkopi direkomendasikan.
Tatalaksana segera ( see and treat ) tidak diterima. Ketika CIN 2+ tidak teridentifikasi secara
histologis, observasi dalam 24 bulan dengan menggunakan kolposkopi dan pemeriksaan sitologi
dengan interval 6 bulan direkomendasikan. Jika pada follow up dijumpai adanya high grade
colposcopic lesion atau sitologi HSIL menetap sampai 1 tahun, dianjurkan untuk dilakukan
biopsi. Jika HSIL menetap sampai 24 bulan tanpa dijumpai adanya CIN 2+, dianjurkan untuk
dilakukan prosedur eksisi diagnostik. Setelah pemeriksaan berurutan menunjukkan hasil sitologi
negatif dan tidak ditemukan bukti adanya abnormalitas dari pemeriksaan kolposkopi, dapat
dilakukan kembali skrining rutin.4

14
2.3.5 ASCUS ( Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance )
ASCUS merupakan salah satu jenis pemeriksaan sitologi abnormal yang paling sering
ditemukan, namun ASCUS berhubungan dengan resiko yang rendah terhadap CIN 3,
kemungkinan disebabka oleh 1/3 sampai 2/3 tidak berhubungan dengan infeksi HPV.4 Kejadian
ASCUS pada pap smear berkisar 3.5-5%.3 Metoda penilaian bethesda memperkenalkan suatu
kategori yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan normal ataupun kelainan sel epitel
yang jelas, tetapi perubahan sel tersebut baik secara kuantitatif ataupun kwalitatif mengarah
kepada SIL (squamous intraepitelial lesion), dengan demikian kelainan ini mungkin suatu sel
reaktif tetapi mungkin saja suatu kelainan SIL. Kelainan ini didefinisikan sebagai ASCUS.3
Pada penelitian Cox dkk., pada pap smear dengan ASCUS ternyata sebesar 23%
merupakan kasus dysplasia.11 Kobelin dkk. Melaporkan kejadian HSIL sebesar 16% pada wanita
dengan ASCUS.5
Dengan demikian secara umum kejadian LSIL pada ASCUS kurang lebih antara 13-25%,
sedangkan kejadian HSIL berkisar 5-13%.13 Karena angka kejadian SIL yang sangat lebar
kisarannya, maka penatalaksanaan ASCUS sangat bervariasi. ASCUS LSIL Triage Study Trial
(ALTS) yang disponsori oleh National Cancer Institute of The United State membuat panduan
penatalaksanaan ASCUS.5
Penatalaksanaan ASCUS mengalami perkembangan yang cukup pesat, hal tersebut terjadi
karena berkembangnya sarana diagnostic infeksi HPV dengan tes DNA-HPV, genotyping (tes
tipe HPV onkogenik) serta perkembangan tes onko-protein dengan pemeriksaan mRNA.5
Perkembangan teknologi diagnostik tersebut memperkaya alur diagnostic ASC yang
bertujuan memperkecil false positive dan false negative serta meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas pemeriksaan.5
Penatalaksanaan ASCUS mempunyai beberapa alternative
1. Alur penatalaksanaan ASCUS secara konvensional adalah mengulangi pemeriksaan pap
smear. Pengulangan pemeriksaan ini akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan.
Pemeriksaan ulangan pap smear pada umumnya dilakukan karena ada kendala untuk
melakukan pemeriksaan kolposkopi. Pemeriksaan ulang pap smear dianggap tidak
meningkatkan resiko progresivitas lesi ASCUS.

15
Ulangi pap smear pada 3 bulan berikut, bila pada pemeriksaan pap smear ulangan tetap
ASCUS atau ditemukan lesi LSIL/HSIL maka dilanjutkan dengan pemeriksaan
kolposkopi.
Sensitifitas pemeriksaan pap smear ulang pada ASCUS berkisar 82% hasil ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan sensitifitas pemeriksaan DNA-HPV yang mencapai
95%.
2. Pemeriksaan kolposkopi dianggap akan mempercepat diagnosis lesi ASCUS sehingga
penataklaksanaan selanjutnya dapat dilakukan dengan cepat agar tidak berlarut-larut.
Pemeriksaan langsung dengan kolposkopi sangat menguntungkan untuk pasien rujukan
dari daerah jauh (Indonesia) karena akan menghemat biaya. Pemeriksaan kolposkopi, dan
penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil kolposkopi serta specimen patologi yang
dijumpai.
3. Penatalaksanaan ASCUS akan bertambah mudah dengan deteksi DNA HPV, karena
pemeriksaan DNA-HPV mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi. Pemeriksaan DNA-
HPV dinilai lebih menguntungkan karena pemeriksaan DNA-HPV memungkinkan kita
membedakan ASCUS yang maligna atau tidak. Bila tes HPV negative berarti ASCUS
yang benigna atau tidak ada kelainan sel. Bila hasil tes DNA-HPV positif maka perlu
dilakukan pemeriksaan kolposkopi.
Pemeriksaan genotyping dapat membantu mengidentifikasi jenis atau tipe HPV yang
menginfeksi. Infeksi HPV tipe 16/18 merupakan tipe yang dianggap virulen karena paling
banyak dijumpai sebagai penyebab kanker serviks. Sehingga adanya ASCUS yang disertai
infeksi HPV 16/18 memerlukan penatalaksanaan yang lebih serius.5
Tetapi dengan perkembangan teknolohi diagnostic dengan diperkenalkannya pemeriksaan
mRNA yang mendeteksi akan mendeteksi serta menseleksi ASCUS yang maligna atau tidak.
Karena pemeriksaan mRNA mempunyai spesifitas yang tinggi maka secara akurat dapat
ASCUS
menseleksi ASCUS yang berpotensi menjadi lesi HSIL atau lebih.5
Kendala pemeriksaan alat bantu diagnostic tes DNA-HPV genotyping, serta pemeriksaan
mRNA adalah kendala biaya. Tetapi semakin luasnya dan berkembangnya pemeriksaan alat
KOLPOSKOPI
bantu diagnostic tersebut mungkin akan disertai penurunan biaya sehingga biaya akan semakin
BIOPSI
terjangkau.5

Negative NIS-I NIS II-


III
16

Ulangi pap smear


Gambar 8. Skema Penatalaksanaan ASCUS ( pap smear)5

ASC-US

ULANGI PAP 6-12 BULAN KOLPOSKOPI HPV-DNA TEST

2 TES PAP (-) > ASC POSITIF NEGATIF

SKRINING RUTIN

SKRINING RUTIN NIS (-) NIS (+)

GUIDELINE

NIS (-), HPV-DNA (-) HPV-DNA (+)

SKRINING RUTIN ULANGI PAP HPV-DNA TES 6 BULAN

Gambar 9. Skema Penatalaksanaan ASCUS ( Pap Smear dan Tes DNA HPV)5
Tes DNA yang digunakan sebaiknya mempunyai sensitivitas tinggi ASC-US disertai hasil
negative tes HPV dilakukan pemeriksaan ulang 1 tahun kemudian

17
Pada kasus ASC-US dengan tes HPV yang positif tetapi tidak dijumpai lesi prakanker
pada bopsi, dapat dilakukan pengamatan ulang 1 tahun kemudian.
Pada kasus ASC-US dengan tes HPV yang positif dan dijumpai lesi prakanker pada
bopsi, maka dilakukan terapi sesuai dengan protocol terapi yang dianut
Pada wanita dengan hasil pemeriksaan sitologi ASCUS, pemeriksaan Test HPV
merupakan tindakan pilihan. Untuk wanita dengan hasil ASCUS dengan test HPV (-),
pemeriksaan ulangan dalam 3 tahun direkomendasikan. Pada wanita dengan ASCUS dengan
HPV (+), dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kolposkopi. Ketika pemeriksaan kolposkopi
tidak mengidentifikasi adanya CIN pada wanita ASCUS dengan test HPV (+), dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan ulangan dalam 12 bulan mendatang. Jika dalam pemeriksaan ulangan
test HPV (-) dan pemeriksaan sitologi (-), dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan
dalam 3 tahun mendatang. Jika seluruh pemeriksaan dijumpai (-) pada saat itu, dianjurkan untuk
melakukan skrining rutin. Dianjurkan bahwa follow up pemeriksaan test HPV setelah kolposkopi
tidak dilakukan dalam interval kurang dari 12 bulan.4
Pada wanita dengan hasil sitologi ASCUS tanpa adanya pemeriksaan test HPV,
pemeriksaan ulangan dalam 1 tahun dapat diterima. Jika pada pemeriksaan ulangan dijumpai
ASCUS atau lebih buruk, dianjurkan untuk dilkaukan kolposkopi, dan jika hasilnya (-) kembali
dapat dilakukan pemeriksaan sitologi ulangan dalam interval 3 tahun.4

18
Gambar 10. Skema Penatalaksanaan ASCUS4

ASCUS pada wanita 21-24 tahun


Pada wanita berumur 21-25 tahun dengan ASCUS, pemeriksaan sitologi sajadengan
interval 12 bulan menjadi pilihan, namun pemeriksaan test HPV juga dapat diterima. Jika
dilakukan pemeriksaan HPV pada ASCUS dan didapat hasil (+), pemeriksaan sitologi ulangan
dalam 12 bulan direkomendasikan. Dalam hal ini pemeriksaan kolposkopi atau test HOV
ulangan tidak dianjurkan. Jika test HPV (-), maka dapat dilakuakn pemeriksaan sitologi ulangan
dalam 3 tahun.4
Pada wanita berumur 21-24 tahun dengan ASCUS, pemeriksaan sitologi follow up dalam
12 bulan direkomdeasikan. Kolposkopi tidak direkomendasikan. Pada wanita dengan ASC-H
atau HSIL pada follow up setelah 12 bulan, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kolposkopi.

19
Gambar 11. Skema Penatalaksanaan ASCUS Pada Wanita 21-24 tahun4

ASCUS Pada wanita 65 tahun keatas


Pada wanita pascamenopasue dengan ASCUS, penatalaksaan yang dilakukan adalah
sama dengan pupalasi secara umum, kecuali jika ada pertimbangan bahwa wanita tersebut dapat
luput dari evaluasi lanjutan. Pada keadaan seperti ini, HPV (-) dengan ASCUS dapat dianggap
sebagai keadaan abnormal. Pengulangan pemeriksaan dalam 1 tahun dapat dilakukan,
pemeriksaan test HPV menjadi pilhan naum pemeriksaan sitologi dapat diterima.4

ASCUS Pada wanita hamil


Penatalaksanaan wanita hamil dengan ASCUS identik dengan penatalaksanaan pada
wanita tidak hamil, dengan pengecualian penundaan pemeriksaan kolposkopi sampai 6 minggu
pasca persalinan. Pada wanita hamil dengan hasil sitologi, histologi atau kolposkopi tanpa
adanya kecurigaan CIN 2+, follow up pasca persalinan direkomendasikan.4

2.3.6 ASC-H ( Atypical Squamous Cells: Cannot Exclude High-Grade SIL)


20
ASC-H adalah hasil sitologi dengan adanya sel atipik yang mencurigakan HSIL tapi
belum dapat didiagnosa sebagai HSIL. Dengan demikian ASC-H harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan kolposkopi dengan histology untuk membuktikan atau menyingkirkan HSIL. Bila
pada kolposkopi terbukti NIS II-III maka terapi harus dilakukan. Bila pada pemeriksaan
kolposkopi ternyata tidak dijumpai kelainan (NIS II-III) maka pengamatan dan penilaian ulang
harus dilakukan.5
Kejadian ASC-H relative kecil berkisar 0,84% atau 7,8% kasus ASC. Dari data ASC-H
yang ditemukan terbukti bahwa 78,8% ASC-H adalah SIL dan setengahnya adalah HSIL.5
Penemuan ASC-H sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi,
penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil kolposkopi dan biopsy. Risiko menderita CIN 2/3
pada ASC-H berkisar 27% (deteksi dengan pap smear konvensional) dan 40% (deteksi dengan
LBC/thin prep), walaupun angka tersebut dianggap kecil tetapi sebaiknya kasus ASC-H
dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila pada pemeriksaan kolposkopi dan biopsy
terbukti menderita normal/NIS-I/ASCUS maka dilakukan skrining ulang pada 6-12 bulan setelah
sesuai dengan hasil evaluasi ulang histology dan pap smear. Sedangkan bila terbukti menderita
NIS II maka dilakukan terapi sesuai protokal yang dianut.5
ASC-H pada pascamenopause umumnya jinak, karena 58% kasus adalah negative, 34%
LSIL, 6% HSIL dan 2% ASC-US. Pada perimenopause ASC-H sejumlah 36,2% ternyata
negative, 36,2% LSIL, 22% HSIL dan ASCUS 2,4%.9
Penatalaksanaan yang saat ini dianut negara maju adalah menggabungkan pemeriksaan
pap smear dan tes DNA HPV, gabungan tes tersebut menurunkan kejadian ASCUS dan AGC.
ASCCP dan ASCO telah menyusun panduan penatalaksanaan ASC-US dengan menggunakan
pap smear dan tes HPV sebagai tes.5
ASC-H berhubungan dengan resiko yang lebih besar terhadap CIN 3+ dibandingkan
ASCUS atau LSIL, namun dengan resiko yang lebih rendah dibandingkan HSIL.4
Pada wanita dengan ASC-H, pemeriksaan sitologi dan kolposkopi direkomendasikan.
Namun pemeriksaan test HPV tidak direkomendasikan.4

21
Gambar 12. Skema Penatalaksanaan ASC-H 4

Pada wanita dengan usia 21-24 tahun, direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan
kolposkopi dan penatalaksanaan lanjtan dapat mengkikuti penatalaksanaan wanita usia 21-24
tahun dengan HSIL.4

2.3.7 AGC/AGUS/AGCUS (Atypical Glandular Cells of Undetermined Significance)


Pada system Bethesda tidak dijumpai kategori untuk kelainan sel kelenjar seperti pada sel
skuamosa. Pada perkembangan selanjutnya, istilah AGUS atau AGCUS diganti dengan AGC
(atypical glandular cell), dan adenokarsinoma insitu dimasukkan kategori. Diantara sel kelenjar
yang normal dan adekarsinoma invasive hanya ada satu kategori yaitu AGC/AGCUS (Atypical
Glandular Cells of Undetermined Significance). Tidak ada kategori glandular intraepithelial
neoplasia ataupun adenokarsinoma insitu, sedangkan perubahan reaktif dimasukkan kedalam
perubahan sel jinak. Cukup sulit bagi sitoolog untuk menetapkan AGUS/AGC, sehingga dari 100
preparat sitologi yang diperiksa oleh 5 orang sitoloog mempunyai kesamaan bervariasi antara 25-
69%. AGC/AGCUS diketemukan 0,5% dari pap smear. Penelitian tentang AGC/AGCUS yang
dijumpai pada sitologi dengan menggunakan thin prep pada konfirmasi histology menemukan
HSIL antara 5,2-21,9%, adenokarsinoma insitu 0-3,9%, kanker serviks invasive 1,4-4,3% dan
hiperplasi endometrium dan karsinoma endometrium sebesar 1,3-11%.5

22
Kelainan AGC merupakan kelainan yang mungkin berasal dari serviks ataupun
endometrium bahkan mungkin dari rongga abdomen. Pengamatan AGC selama 4 tahun
ditemukan lesi prakanker yaitu 40,1% LSIL, 17,15% HSIL, 17,15% adenokarsinoma insitu,
0,01% hyperplasia endometrium, dan 0,01% adenokarsinoma endoservik dan endometrium.5
Bila didapatkan AGUS/AGCUS/AGC pada pap smear, maka perlu dilakukan
pemeriksaan kolposkopi, kuretase endoservik, biopsy atau kuretase endometrium (bila perlu
karena ada kecurigaan kelainan endometrium). Bila prosedur diagnostic tersebut belum
menjawab asal kelainan sel, maka dilakukan pap smear ulang, bila ternyata tetap
AGUS/AGCUS/AGC maka dilanjutkan dengan prosedur konisasi dan laparaskopi diagnostik. 5
Kuretase endoservik sering menjadi masalah, karena kontroversial. Kuretase endoserviks
dilakukan untuk mendiagnosa kelainan di endoserviks. Pada penelitian terbukti bahwa
pemeriksaan sitologi dengan cytobrush pada kanalis servikalis mempunyai negative palsu yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan kuretase endoserviks.5
Bila hasil sitologi menyatakan :
1. Lesi derajat tinggi pada kelenjar
2. Sel kelenjar yang atipik atau AGUS (AGC)
3. Adekarsinoma yang berasal dari Endometrium
4. Adekarsinoma insitu serviks
5. Adekarsinoma serviks
Dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kalposkopi
Kontroversi AGC (Atypical Glandular Cell) sering terjadi, tetapi dengan data bahwa
AGC 9-54% adalah dysplasia, 9% adalah adekarsinoma invasive maka hasil pap smear harus
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kolposkopi dan sampling endoserviks. Sedangkan pada
endometrium atipik harus ditindaklanjuti dengan sampling endometrium. Hasil pap smear AGC
disertai dengan pendarahan uterus abnormal, harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan
kolposkopi, sampling endoserviks dan sampling endometrium. Bila hasil AGC dengan
kecurigaan AIS (Adenokarsinoma Insitu) dengan hasil kolposkopi negative, maka sebaiknya
dilakukan konisasi dan konisasi yang dianjurkan adalah cold knife cone.5
Pada wanita dengan keseluruhan subkaegori dari AGC dan AIS kecuali atypical
endometrial cells, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan sampling
endoservikal. Sampling endoservikal dianjurkan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

23
kolposkopi dan sampling endoservikal pada wanita berusia 35 tahun dengan indikasi klinis
menunjukkan bahwa mereka dalam resiko untuk terjadinya neoplasia endometrium.4
Pada wanita dengan atypical endometrial cells, evaluasi awal ang terbatas pada
endometrium dan sampling endoservikal menjadi pilihan dengan diikuti pemeriksaan kolposkopi
pada saat yang bersamaan dengan evaluasi awal ataupun ditunda sampai hasil pemeriksaan
endometrium dan endoserviks diketahui.4

Gambar 13 . Skema Alur Pemeriksaan AGC 4

Pada Wanita dengan AGC tanpa ditemukannya CIN 2+, pemeriksaan ulangan dalam 12-
24 bulan dianjurkan. Jika kedua pemeriksaan ulangan (-), dapat dilakukan pemeriksaan ulangan
dalam 3 tahun. Jika salah satu dari pemeriksaan ditemukan abnormal, dianjurkan untuk
dilakukan kolposkopi.

24
Gambar 14. Penatalaksanaan AGC 4

AGC Pada Wanita Hamil

Evaluasi awal pada wanita hamil dengan AGC seharusnya identik dengan wanita tidak
hamil dengan AGC. Kecuali pemeriksaan kuretase endoserviks dann endometrium tidak boleh
dilakukan.4

AGC Pada Wanita 21-34 Tahun

Penatalaksaan AGC pada wanita usia 21-34 tahun tidak berbeda dari penatalaksanaan
AGC seperti pada keseluruhan wanita.4

2.3.8 ADENOKARSINOMA IN SITU (AIS)


25
Terapi adenokarsinoma insitu serviks seperti penatalaksanaan HSIL. Histerektomi
merupakan pilihan utama. Pada penderita yang masih menginginkan anak atau ingin
mempertahankan fungsi organ reproduksi dapat dilakukan terapi LLETZ (large loop excision of
transformation zone) atau dengan konisasi. Adenokarsinoma insitu dapat dideteksi pada saat pap
smear. Diagnosis adenokarsinoma insitu dapat diketahui dengan biopsy, LLETZ atau dengan
konisasi.10
Penatalaksanaan konservatif dengan konisasi lebih baik dibandingkan dengan LLETZ
karena kejadian margin yang positif pada konisasi sebesar 27,3% lebih rendah dibandingkan
dengan LLETZ yang kejadiannya sebesar 57,1. Kejadian residif pada penderita pascakonisasi
dengan pengamatan selama 5 tahun kurang lebih sebesar 6,9%, tetapi tidak dijumpai kasus
residif dengan adenokarsinoma invasif. Pemeriksaan margin eksisi dengan LLETZ ataupun
dengan konisasi sangat penting artinya. Kejadian residu adenokarsinoma insitu pada margin yang
negative adalah 19% dan lebih rendah dibandingkan dengan yang margin positif 58%.
Sedangkan kejadian residif pada margin negative sebesar 9,5% lebih rendah jika dibandingkan
dengan yang margin positif sebesar 29,4%.5

Gambar 15. Skema Penatalaksanaan Adenokarsinoma insitu 4

2.3.9 PANDUAN SKRINING DETEKSI DINI KANKER SERVIKS

26
Tabel 2. Panduan Tatalaksana Deteksi Dini Kanker Serviks ( NCCN Guidelines 2012)11

Populasi
Metode Skrining Penatalaksanaan Komentar
Yang Hasil skrining
Direkomendasikan

Usia < 21 tahun - Test HPV tidak


seharusnya dilakukan
untuk skrining
ataupun management
dari ASCUS pada
grup usia ini.

Usia 21-29 tahun Pemeriksaan sitologi HPV (+), ASCUS atau Test HPV seharusnya
saja setiap 3 tahun LSIL ataupun lebih : tidak diperlukan
Lihat penatalaksanaan dalam skrining pada
sesuai Guideline grup usia ini.
ASCCP

Usia 30-65 tahun Tes HPV dan Sitologi HPV (+), ASCUS, Skrining dengan
setiap 5 tahun LSIL atau lebih : hanya melakukan test
Lihat penalatalsanaan HPV saja tidak
sesuai Guideline direkomendasikan
ASCCP

HPV (+), sitologi (-):


Pilihan 1: folllow 12
bulan dan
pemeriksaan ulang

Pilihan 2: Test HPV


DNA 16 dan 18

Jika (+) kolposkopi


Jika (-) follow up
12 bulan dan periksa
ulang

Jika pemeriksaan

27
Ulang dan tes HPV (-)
Ulangi pemerisaan
Sitologi Saja setiap 3 dalam 5 tahun.
tahun
HPV (+), ASCUS,
LSIL atau lebih :
Lihat Penatalaksanaan
sesuai ASCCP
guideline

Sitologi (-), HPV (-)

Periksa ulang dengan


sitologi salam 3 tahun

Usia > 65 tahun Tidak ada skrining Wanita dengan


riwayat CIN 2 atau
lebih seharusnya harus
diikuti dengan
skrining setidaknya
dalam 20 tahun

Post Hysterectomy Tidak ada skrining Diperuntukkan pada


wanita tanpa serviks
dan tanpa adanya
riwayat CIN 2 atau
lebih.

Wanita yang telah Mengikuti rekomendasi tiap subkategori umur ( panduan sama dengan
tervaksinasi wanita tanpa vaksinasi

Skrining kanker serviks dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVA (inspeksi visual),
pemeriksaan Pap smear, dan pemeriksaan DNA-HPV (HC-II) genotyping, ataupun pemeriksaan
mRNA. Pemeriksaan IVA sebaiknya merupakan bagian pemeriksaan ginekologi rutin (tidak ada
kendala biaya, memerlukan waktu yang tidak lama).5

28
Bila hasil pemeriksaan IVA negative maka skrining dapat diulang 6-12 bulan kemudian.

Bila hasil pemeriksaan IVA positif, maka dapat dilakukan beberapa alternative penatalaksanaan :

1. Krioterapi
2. Pemeriksaan kolposkopi, dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan
kolposkopi
3. Pemeriksaan DNA-HPV, bila pemeriksaan DNA-HPV negative maka pemeriksaan
skrining ulang dapat dilakukan 3 tahun kemudian, bila pemeriksaan DNA-HPV positif
dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi

Bila hasil pemeriksaan pap smear negative maka skrining dapat diulang 6-12 bulan kemudian

Bila hasil pemeriksaan DNA-HPV negative maka skrining dapat diulang 3 tahun kemudian

Bila hasil pemeriksaan pap smear positif (LSIL, HSIL), maka penatalaksanaannya tergantung
derajat kelainan LSIL atau HSIL (lihat penatalaksanaan LSIL/HSIL).

Bila hasil pemeriksaan DNA-HPV positif mempunyai beberapa alur alternative penatalaksanaan:

1. Dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi (tanpa mengindahkan hasil pap smear) dan
penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan kolposkopi.
2. Bila pemeriksaan DNA-HPV positif disertai hasil pap smear negative maka dapat pula
dilanjutkan dengan pemeriksaan pengamatan saja, atau dilakukan kolposkopu atau
dilakukan pemeriksaan genotyping. Bila dilakukan pemeriksaan kolposkopi maka
penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan kolposkopi.
Bila hasil genotyping bukan tipe 16/18 maka dapat dilakukan pengamatan berkala. Tetapi
bila hasil genotyping adalah positif HPV 16/18 maka harus dilakukan pengamatan ketat
(diulang pemeriksaan setiap 3 bulan sampai regresi). Bila ditemukan HPV tipe 16/18
dengan perkembangan lesi NIS I-II maka harus segera diterapi.
Bila pemeriksaan HPV positif disertai dengan hasil pap smear LSIL atau HSIL,
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi dan penatalaksanaan selanjutnya
tergantung hasil kolposkopi. Bila pemeriksaan kolposkopi negative maka dilakukan
pemeriksaan berkala, bila hasil kolposkopi lesiprakanker maka harus diterapi sesuai
protokol.5

29
BAB III
KESIMPULAN

PENATALAKSANAAN LSIL

Hasil pemeriksaan pap smear LSIL, maka pilihan penatalaksanaan :

1. Ulangi pap smear pada 3-6 bulan.

30
2. Tes DNA-HPV, bila tes DNA hasilnya negative maka skrining kembali 1-3 tahun. Bila
hasil tes DNA-HPV hasilnya positif maka dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi
dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan kolposkopi
3. Dapat pula pap smear LSIL dilanjutkan pemeriksaan kolposkopi, penatalaksanaan
selanjutnya hasil pemeriksaan kolposkopi.
4. Bila hasil pap smear LSIL disertai pemeriksaan genotyping menghasilkan positif HPV
onkogenik maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila hasil
pemeriksaan kolposkopi normal maka selanjutnya dilakukan pengamatan (pengamatan
infeksi HPV tipe 16/18 lebih ketat). Bila hasilnya tetap lesi prakanker (NIS I) maka harus
diterapi ablasi dan bila NIS II-III diterapi sesuai protokol.
5. Bila hasil pap smear LSIL disertai pemeriksaan mRNA yang positif, maka harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi. Dan terapi selanjutnya tergantung hasil
pemeriksaan kolposkopi, tetapi bila hasil pemeriksaan kolposkopi menunjukkan LSIL,
maka harus dilakukan terapi ablasi (tidak dianjurkan untuk pengamatan saja). Tetapi bila
hasil pemeriksaan kolposkopi dengan lesi NIS II-III harus diterapi sesuai protokol.

PENATALAKSANAAN HGSIL

Penatalaksanaan HGSIL adalah kolposkopi, dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung


hasil pemeriksaan kolposkopi.

PENATALAKSANAAN ASCUS

1. Ulangi pemeriksaan pap smear 3 bulan kemudian, penatalaksanaan selanjutnya


tergantung hasil pap smear ulangan.
2. Pemeriksaan kolposkopi, penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan
kolposkopi.
3. Pemeriksaan tes DNA-HPV, bila tes HPV hasilnya negative maka selanjutnya skrining
rutin. Bila hasil tes HPV positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi dan
penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan kolposkopi.

PENATALAKSANAAN AGNOS/AGC

31
1. Pemeriksaan kolposkopi dan kuretase endoserviks dan kavum uteri (bila ada kecurigaan
kelainan endometrium), penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut.
2. Tes DNA-HPV, bila hasil tes negative maka dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsy/kuret
endometrium dan penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan histology.
Bila tes DNA-HPV positif maka dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi dan kuret
endoservik, penatalaksanaan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan kolposkopi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darma Putra A. Lesi Pra Kanker. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, akarta 2006.
2. Abraham J, Allegra C, Gulley J. Bethesda Handbook of Clinical Oncology. 2nd Edition,
2005.
3. Andrijono. Kanker Ginekologi. Divisi Onkologi Departemen Onstetri Ginekologi,
Universitas Indonesia. Ed 3, 2009.
4. Massad S, et al. 2012 Updated Consensus Guidelines for the Management of Abnormal
Cervical Cancer Screening Test and Cancer Precursors.American Society for Colposcopy

32
and Cervical Pathology. Journal of lower Genital Tract Disease, volume 17, 2013, S1-
S27.
5. Andrijono. Kanker Serviks. Divisi Onkologi Departemen Onstetri Ginekologi,
Universitas Indonesia. Ed. 4, 2012
6. Song SH, Lee JK, Oh MJ, Hur JY, Park YK, Saw HS. Risk factor for the progression or
persistence of untreated mild dysplasia of the uterine cervix. Int J Gynecol Cancer.
2006;16:1608-13.
7. Phongnarisorn C, Srimsomboon J, Siri Angkuli S, Khunamornpong S, Suprasert P,
Charoenkwan K, Cheewakriangkrai C, et al. Women in a region with high incidence of
cervical cancer warrant immediate colposcopy for low grade squamous intraepithelial
lesion on cervical cytology. Int J Gynecol Cancer. 2006;16:1565-8.
8. Jordan, Arbyn M, Martin-Hirsch P, Schenck U, Baldauf JJ, Da Silva D, Anttila A,
Nieminen P, Prediville W. European guidelines for clinical management of abnormal
cervical cytology, part 2. Cytopathology.2009;20(1):5-16.
9. Saad RS, Dabbs DJ, Kordunsky L, Kanbour-Shakir A, Silverman JF, Liu Y, etal. Clinical
Significance of Cytologic Diangnosis of Atypical Squamouse Cells Cannot Exlude High-
Grade, in Perimenopausal and Postmenopausal Women. Am J Clin Pathol 2006;126:381-
88.
10. Andersen ES, Nielsen K. Adenocarcinoma in Situ of the Cervix : A Prospective Study of
Conization as Definite Treatment, Gynecol Oncol. 2002;86:365-9.
11. Partridge EE, Abu-Rustum, Campos SM et al. NNCCN Updates Cervical Cancer
Screening. National Comprehensive Cancer Network Clinical Practice Guidelines in
Oncology.2012.

33

You might also like