You are on page 1of 37

LAPORAN PENDAHULUAN

KANKER SERVIK, ANEMIA, DAN HIPOALBUMIN

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Maternitas


Ruang 9 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
Dia Amalindah
NIM. 150070300011131

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
KANKER SERVIK, ANEMIA, DAN HIPOALBUMIN

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Maternitas


Ruang 9 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
DIA AMALINDAH
NIM. 150070300011131

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
CANCER CERVIKS

1. Definisi
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim
sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak
jaringan normal disekitarnya dan menjadi kanker paling umum ketiga di sistem reproduksi
wanita (Wiliams and Wilkins, 2011)
Kanker Serviks adalah pertumbuhan sel-sel mulut rahim/serviks yang abnormal
dimana sel-sel ini mengalami perubahan kearah displasia atau mengarah keganasan.
Kanker ini hanya menyerang wanita yang pernah atau sekarang dalam status sexually
active. Tidak pernah ditemukan wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual
pernah menderita kanker ini. Biasanya kanker ini menyerang wanita yang telah berumur,
terutama paling banyak pada wanita yang berusia 30-45 tahun. Akan tetapi, tidak
mustahil wanita yang muda pun dapat menderita penyakit ini, asalkan memiliki factor
risikonya (Brunner Sudarth, 2002)
Jadi, kanker serviks merupakan pertumbuhan sel abnormal yang terjadi di mulut
rahim / serviks yang akhirnya dapat merusak jaringan normal disekitanya. Kanker serviks
biasanya menyerang wanita yang berusia 35 55 tahun dan ditemukan paling banyak
pada wanita yang pernah melakukan hubungan seksual.

2. Klasifikasi
2 bentuk kanker serviks yang paling sering dijumpai yaitu karsinoma sel skuamosa
dan adenokarsinoma. 85% merupakan karsinoma skuamosa (epidermoid), 10%
merupakan jenis adenokarsinoma dan 5% merupakan adenoskuamosa, clear cell, small
cell dan verucous.
Ada beberapa klasifikasi tapi yang paling banyak digunakan yaitu klasifikasi dari
IFGO (International Federation of Ginecology and Obstetric) yaitu :
a. Stage 0 : Carsinoma insitu = Ca intraephitelial = Ca preinvasif
b. Stage 1 : Ca terbatas pada cerviks
c. Stage 1a : Disertai invasi dari stoma (preclinical Ca) yang hanya
diketahui secara histologi
d. Stage 1b : Semua kasus kasus lainnya dari stage 1
e. Stage 2 : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai ke panggul,
telah mengenai dinding vagina tapi tidak melebihi 2/3 bagian proksimal
f. Stage 3 : Sudah sampai dinding panggung dan sepertiga bagian
bawah vagina
g. Stage 4 : Sudah mengenai organ yang lainnya
Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi
pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.
2. Stadium karsinoma insitu
Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis
menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks,
peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.
3. Stadium karsionoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat
juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5
mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada
skrining kanker.
4. Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk
sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan
meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametrium
dan korpus uteri.
5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks
Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi
setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudah
nekrosis dan perdarahan.
Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke
forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium
Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubah
bentuk menjadi ulkus.
Markroskopis
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan
jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.

Klasifikasi Klinis
Keganasan menurut system TNT
Tingkat Kriteria
T Tidak ditemukan tumor primer
T1S Karsinoma pra invasif (KIS)
T1 Karsinoma terbatas pada serviks
T1a Pra klinik: karsinoma yang invasif terlibat dalam histologik
T1b Secara klinik jelas karsinoma yang invasif
T2 Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum sampai
dinding panggul, atau Ca telah menjalar ke vagina, tetapi belum
sampai 1/3 bagian distal
T2a Ca belum menginfiltrasi parametrium
T2b Ca telah menginfiltrasi parametrium
T3 Ca telah melibatkan 1/3 distal vagina / telah mencapai dinding panggul
(tidak ada celah bebas)
T4 Ca telah menginfiltrasi mukosa rektum, kandung kemih atau meluas
sampai diluar panggul
T4a Ca melibatkan kandung kemih / rektum saja, dibuktikan secara
histologik
T4b Ca telah meluas sampai di luar panggul
Nx Bila memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa regional. Tanda -/+
ditambahkan untuk tambahan ada/tidaknya informasi mengenai
pemeriksaan histologik, jadi Nx+ / Nx-.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi
N1 Kelenjar limfa regional berubah bentuk (dari CT Scan panggul,
limfografi)
N2 Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul dengan
celah bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor
M0 Tidak ada metastasis berjarak jauh
M1 Terdapat metastasis jarak jauh, termasuk kele. Limfa di atas bifurkasio
arrteri iliaka komunis.

-
Tingkat Kriteria
0 KIS (Karsinoma in Situ) atau karsinoma intra epitel, membrana basalis
masih utuh.
I Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri
Ia Karsinoma mikro invasif: bila membrana basalis sudah rusak dan tumor
sudah memasuki stroma tdk> 3mm dan sel tumor tidak terdapat dalam
pembuluh limfe/pembuluh darah. Kedalaman invasi 3mm sebaiknya
diganti dengan tdk> 1mm.
Ib occ Ib occult = Ib yang tersembunyi, secara klinis tumor belum tampak
sebagai Ca, tetapi pada pemeriksaan histologik, ternyata sel tumor
telah mengadakan invasi stroma melebihi Ia.
Ib Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik menunjukkan
invasi ke dalam stroma serviks uteri.
II Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke2/3 bagian
atas vagina dan ke parametrium, tetapi tidak sampai dinding panggul.
IIa Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari infiltrat
tumor.
IIb Penyebaran ke parametrium uni/bilateral tetapi belum sampai ke
dinding panggul
III Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina / ke parametrium
sampai dinding panggul.
IIIa Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina, sedang ke
parametrium tidak dipersoalkan asal tidak sampai dinding panggul.
IIIb Penyebaran sudah sampai ke dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul (frozen pelvic)/
proses pada tk klinik I/II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.

IV Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan


mukosa rektum dan atau kandung kemih.
IVa Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektum dan atau kandung kemih.
Ivb Telah terjadi penyebaran jauh.
Gambar. Perjalanan penyakit dan staging
(Sumber : http://www.cirikankerserviks.com/)

4. Etiologi dan Faktor Resiko


a. Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah virus yang disebut Human
Papilloma (HPV). HPV tersebar luas, dapat menginfeksi kulit dan mukosa epitel.
HPV dapat menyebabkan manifestasi klinis baik lesi yang jinak maupun lesi
kanker. Tumor jinak yang disebabkan infeksi HPV yaitu veruka dan kondiloma
akuminata sedangkan tumor ganas anogenital adalah kanker serviks, vulva,
vagina, anus dan penis. Sifat onkogenik HPV dikaitkan dengan protein virus E6
dan E7 yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga terjadi lesi pre
kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker
b. Faktor resiko
Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks
meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai
pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun,juga dapat dijadkan sebagai faktor
resiko terjadinya kanker servks. Hal ini diduga ada hubungannya dengan belum
matangnya daerah transformas pada usia tersebut bila sering terekspos.
Frekuensi hubungan seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya resiko pada
usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua.
Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin
sering melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks.
Penelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan
multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV.
- Merokok
Beberapa penelitian menemukan hubungan yang kuat antara merokok dengan
kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding seperti
pola hubungan seksual. Penemuan lain memperkuatkan temuan nikotin pada
cairan serviks wanita perokok bahkan ini bersifat sebagai kokarsinogen dan
bersama-sama dengan karsinogen yang telah ada selanjutnya mendorong
pertumbuhan ke arah kanker.
- Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983
(Schiffman,1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks
dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga
mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada
pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker
setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna
kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk
menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat
kaitannya dengan hal tersebut.
WHO mereview berbagai peneltian yang menghubungkan penggunaan
kontrasepsi oral dengan risko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa
sulit untuk menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama
penggunaan kontraseps oral berinteraksi dengan factor lain khususnya pola
kebiasaan seksual dalam mempengaruhi resiko kanker serviks. Selain itu,
adanya kemungkinan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain
lebih sering melakukan pemeriksaan smera serviks,sehingga displasia dan
karsinoma in situ nampak lebih frekuen pada kelompok tersebut. Diperlukan
kehati-hatian dalam menginterpretasikan asosiasi antara lama penggunaan
kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor
confounding.(Setiawan,2002&American Cancer Society, 2012).
- Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti
betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungna dengan peningkatan
resiko terhadap displasia ringan dan sedang.. Namun sampai saat ini tdak ada
indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi tersebut akan menurunkan resiko.
(Setiawan,2002&American Cancer Society, 2012).

- Sosial ekonomi
Studi secara deskrptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat antara
kejadian kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah. Hal ini juga
diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen
pada wanita dengan tingkat pendidkan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi
nutrisi, multilaritas dan kebersihan genitalia juga dduga berhubungan dengan
masalah tersebut. (Setiawan,2002; American Cancer Society, 2012;
Martaadisoebrata,1981).
- Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan
yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi
resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan
genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang
terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga
merupakan factor resiko yang lain. (Setiawan,2002&American Cancer Society,
2012).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Dalimartha (2004), Gejala klinis dari kanker serviks sangat tidak khas
pada stadium dini. Biasanya sering ditandi sebagai fluos dengan sedikit darah,
perdarahan postkoital atau perdarahan pervaginam yang disangka sebagai
perpanjangan waktu haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang ;ebih
khas untuk kanker serviks, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam
bentuk eksofilik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat.
Pada fase prakanker, sering tidak ditandai dengan gejala atau tanda-tanda yang
khas. Namun, kadang dapat ditemui gejala-gejala sebagai berikut:
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini
makin lama makin berbau busuk karena adanya infeksi dan nekrosis jaringan.
b. Perdarahan setelah senggama ( post coital bleeding) yang kemudian berlanjt ke
perdarahan yang abnormal.
c. Timbulnya perdarah setelah masa menopause
d. Pada tahap invasif dapat muncul cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau
dan dapat bercampur dengan darah
e. Timbul gejala-gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal
f. Timbul nyeri pada daeah panggul (pelvic) atau pada daerah perut bagian bawah
bila terjadi peradangan pada panggul. Bila nyeri yang terjadi dari daerah
pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu masih mungkin
terjadi nyeri pada tempat-tempat lainnya.
Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan gizi, edema
pada kaki, timbul iritasi pada kandung kemih dan poros usus besar bagian bawah
(rectum), terbentuknya viskelvaginal dan rektovaginal, atau timbul gejala-gejala lain yang
disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap) sangat bermanfaat
untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan
dengan baik. Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan, bahwa sel-sel permukaan
secara terus menerus dilepaskan oleh epitel dari permukaan traktus genitalis. Sitologi
adalah cara skrining sel-sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian
diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik. Sediaan sitologi harus
meliputi komponen ekto- dan endoserviks. Untuk mendapatkan informasi sitologi yang
baik dianjurkan melakukan beberapa prosedur. Sediaan harus diambil sebelum
pemeriksaan dalam, spekulum yang dipakai harus kering tanpa pelumas. Komponen
endoserviks didapat dengan menggunakan ujung spatula Ayre yang tajam atau kapas lidi,
sedangkan komponen ektoserviks dengan ujung spatula Ayre yang tumpul. Sediaan
segera difiksasi dalam alkohol 96% selama 30 menit dan dikirim ke laboratorium sitologi
terdekat. Pemeriksaan ini menilai perubahan morfologi sel-sel yang mengalami eksfoliasi.

Kolposkopi
Peranan tes Pap tidak diragukan lagi sebagai metode yang paling praktis dalam skrining
kanker serviks.Pemeriksaan tes Pap abnormal harus didukung oleh pemeriksaan
histopatologik sebelum melakukan terapi definitif. Kolpos-kopi adalah pemeriksaan
dengan menggunakan kolposkop, suatu alat yang dapat disamakan dengan sebuah
mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya (pembesaran 6-40
kali).Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel-sel yang mengalami
eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang
mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di jaringan
serviks. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis histologik tetapi
menetukan kapan dan dimana biopsi harus dilakukan. Pemeriksaan ini dapat
mempertinggi ketepatan diagnosis sitologi menjadi hampir mendekati 100%.

Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika SSK terlihat seluruhnya dengan kolposkopi.Jika
SSK tidak terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di dalam
kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi .Biopsi
harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan
dalam larutan formalin 10 %.

Konisasi
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa sehingga
yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu
ke- rucut.Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan
kuretase.Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi.
Jika karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes
Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol (yodium 5g, kalium
yodida 10g, air 100 ml) dan eksisi dilakukan di luar daerah dengan tes positif (daerah
yang tidak berwarna oleh larutan lugol). Konisasi diagnostik dilakukan pada keadaan-
keadaan sebagai berikut :
Proses dicurigai berada di endoserviks
Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi
Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar spesimen biopsy
Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik
Servikografi
Servikografi terdiri dari kamera 35 mm dengan lensa 100 mm dan lensa ekstensi 50 mm.
fotografi diambil oleh dokter, perawat,atau tenaga kesehatan lainnya, dan slide
(servikogram) dibaca oleh yang mahir dengan kolposkop. Disebut negatif atau curiga jika
tidak tampak kelainan abnormal, tidak memuaskan jika SSK tidak tampak seluruhnya dan
disebut defek secara teknik jika servikogram tidak dapat dibaca (faktor kamera atau flash)
Pemeriksaan visual langsung
Pada daerah di mana fasilitas pemeriksaan sitologi dan kolposkopi tidak ada, maka
pemeriksaan visual langsung dapat digunakan untuk mendeteksi kanker secara
dini.Sehgal dkk tahun 1991 di India melakukan pemeriksaan visual langsung disertai
pemeriksaan sitologi dan kolposkop. Kanker dini dicurigai sebanyak 40-50% dengan
visual langsung, sedang pemeriksaan sitologi dan kolposkopi dapat mendeteksi masing-
masing sebanyak 71% dan 87%.
Gineskopi
Gineskopi menggunakan teleskop monokuler, ringan dengan pembesaran 2,5 x dapat
digunakan untuk meningkatkan skrining dengan sitologi. Biopsi atau pemeriksaan
kolposkopi dapat segera disarankan bila tampak daerah berwarna putih dengan pulasan
asam asetat. Sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 84% dan 87% dan negatif palsu
sebanyak 12,6% dan positif palsu 16%.

7. Penatalaksanaan Medis
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / tim onkologi)
(Wiknjosastro, 1997). Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada
stadium kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan (modalitas)
dalam tata laksana kanker serviks antara lain:
a. Terapi Lesi Prakanker Serviks
Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yng pada umunya tergolong NIS
(Neoplasia Intraepital Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,
medikamentosa, terapi destruksi dan terapi eksisi.
Tindakan observasi dilakukan pada tes Pap dengan hasil HPV, atipia, NIS
1 yang termasuk dalam lesi intraepitelial skuamosa derajad rendah (LISDR).
Terapi nis dengan destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi
intraeoitelial serviks derajat tinggi). Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan
untuk LISDR dan LISDT. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi
adalah pada terapi destruksi tidak mengangkat lesi tetapi pada terapi eksisi
ada spesimen lesi yang diangkat.

Tabel. Klasifikasi lesi prakanker serviks dan penanganannya

b. Terapi NIS dengan destruksi lokal


Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah-daerah terpilih
yang mengandung epitel abnormal yang nkelak akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.
Krioterapi adalah suatu cara penyembuhan penyakit dengan cara
mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu 0 0 C. Pada suhu
sekurang-kurangnya 250Csel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami
nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan sel-sel tersebut, terjadi perubahan
tingkat seluller dan vaskular, yaitu: 1. sel-sel mengalami dehidrasi dan
mengkerut; 2.konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; 3. Syok termal dan
denaturasi kompleks lipid protein; dan 4. Status umum sistem mikrovaskular.
Pada saat ini hampir semua alat menggunakan N20.

c. Terapi NIS dengan eksisi


Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut
pada serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan
untuk diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks

Punch Biopsi yaitu menggunakan alat yang tajam untuk menjumput sampel kecil
jaringan serviks

Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): menggunakan arus listrik


yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan abnormal kanker serviks
Trakelektomi radikal (radical trachelectomy) : Dokter bedah mengambil leher
rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar getah bening di panggul. Pilihan ini
dilakukanuntuk wanita dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk hamil di
kemudian hari

Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk


mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya
(subtotal).Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi
FIGO).Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum
baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien
jugaharus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit
jantung,ginjal dan hepar. Ada 2 histerektomi :
1. Total Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks
2. Radikal Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung telur,
tuba falopi maupun kelenjar getah bening di dekatnya

d. Terapi Kanker Serviks Invasif


1. Pembedahan
2. Radioterapi
Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar X) untuk merusak sel-sel
kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks
sertamematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks
stadiumII B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan
dengantujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau
paliatif.Pengobatan kuratifialah mematikan sel kanker serta sel yang telah
menjalar ke sekitarnya danatau bermetastasis ke kelenjar getah bening
panggul, dengan tetapmempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan
jaringan sehat di sekitarseperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter.
Radioterapi dengandosiskuratif hanya akan diberikan pada stadium I
sampai III B. Bila sel kanker
sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif
yangdiberikan secara selektif pada stadium IV A. Ada 2 macam
radioterapi, yaitu :
1. Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar
Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
2. Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3
hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa
diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah :
a. Iritasi rektum dan vagina
b. Kerusakan kandung kemih dan rektum
c. Ovarium berhenti berfungsi.
Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh melakukan
hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit
dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan
hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk
menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air. Pada radioterapi
juga bisa timbul diare dan sering berkemih.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui
infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk
membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan
kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa
kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh
dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatanadjuvant.
Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit
dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker
menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif
untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi kombinasi telah
digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis
tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan Contoh obat yang
digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide
Adremycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain lain. Cara
pemberian kemoterapi dapat bsecara ditelan, disuntikkan dan diinfus.
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi awal /
bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA adalah cisplatin,
flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling sering digunakan untuk
kanker serviks stage IVB / recurrent adalah : mitomycin.
pacitaxel, ifosamide.topotecan telah disetujui untuk digunakan bersama dengan
cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat digunakan ketika operasi /
radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak menampakkan hasil; kanker serviks yang
timbul kembali / menyebar ke organ lain.
Kemoterapi dapat digunakan sebagai :
1. Terapi utama pada kanker stadium lanjut
2. Terapi adjuvant/tambahan setelah pembedahan untuk meningkatkan hasil
pembedahan dengan menghancurkan sel kanker yang mungkin tertinggal
dan mengurangi resiko kekambuhan kanker.
3. Terapi neoadjuvan sebelum pembedahan untuk mengurangi ukuran tumor
4. Untuk mengurangi gejala terkait kanker yang menyebabkan ketidaknyamanan
dan memperbaiki kehidupan pasien (stadium lanjut / kanker yang kambuh)
5. Memperpanjang masa hidup pasien (stadium lanjut / kanker yang kambuh)
Efek samping dari kemoterapi adalah :
1. Lemas
Timbulnya mendadak atau perlahan dan tidak langsung menghilang saat
beristirahat, kadang berlangsung terus sampai akhir pengobatan.
2. Mual dan muntah
Mual dan muntah berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan obat anti
mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan.
3. Gangguan pencernaan
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada yang diare
sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai terjadi sembelit.
Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat, buah
dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi kehilangan cairan.
Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika memungkinkan
olahraga.
4. Sariawan
5. Rambut rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu
setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah didekat
kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah kemoterapi.
6. Otot dan saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari
tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki.
7. Efek pada darah
Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja sumsum
tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel
darah merah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih
(leukosit). Penurunan sel darah terjadi setiap kemoterapi, dan test darah
biasanya dilakukan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah
sel darah telah kembali normal.

Penurunan jumlah sel darah dapat menyebabkan:


a. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit adalah sel
darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada juga beberapa obat
kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan leukosit.
b. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan
darah, apabila jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan pendarahan,
ruam, dan bercak merah pada kulit.
c. Anemia
Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan
penurunan Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel darah
merah. Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan lemah, mudah
lelah, tampak pucat.
1. Kulit menjadi kering dan berubah warna
2. Lebih sensitive terhadap sinar matahari.
3. Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang
4. Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada peningkatan
kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang mengandung
nutrisi, pengontrol sakit (pain control).

Manajemen Nyeri Kanker :


Berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan obat, yaitu :
a. Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain Asetaminofen, OAINS
(Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
b. Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah kelompok opioid
ringan seperti kodein dan tramadol.
c. Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat
seperti morfin dan fentanil
8. Pencegahan
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan
menghindari faktor- faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) :
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda,
pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang
berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering berganti pasangan
beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan
terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu
melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter.
Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya yang relatif
terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah
usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali
dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka
tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih
akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim,
yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII).
3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena
dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim.
4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat
mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang
terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak
mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan
kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak
makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko
untuk kena penyakit kanker mulut Rahim
5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe
16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan
cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum memasuki
sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga
bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang
menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru
efektif apabila diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang
belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu
tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga
75%.
HIPOALBUMIN

1. Definisi
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau
keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik
Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan
pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis
albumin serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).
Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-50% pasien mengalami
hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya hipoalbuminemia
berat, serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition menunjukkan 90%
lebih lama daripada pasien dengan gizi baik (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005).

2. Klasifikasi
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau
jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,55 g/dl atau total kandungan
albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006).
Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai
berikut:
1) Hipoalbuminemia Ringan : 3,53,9 g/dl
2) Hipoalbuminemia Sedang : 2,53,5 g/dl
3) Hipoalbuminemia Berat : < 2,5 g/dl

3. Etiologi
Menurut Iwan (2005), Hariani (2005) dan Baron (1995) hipoalbuminemia adalah
suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan
oleh masukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat
dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
medis kronis dan akut yaitu kurang energi protein, kanker, peritonitis, luka bakar, sepsis,
luka akibat pre dan post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah
trauma), penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin
menurun), penyakit ginjal (hemodialisa), penyakit saluran cerna kronik, radang atau
infeksi tertentu (akut dan kronis), diabetes mellitus dengan gangren, dan tbc paru.
4. Penatalaksanaan
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi albumin
(Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur, atau ekstrak
albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup
tinggi. Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito Yogyakarta dilakukan dengan
pemberian putih telur sebagai sumber albumin dan sebagai alternatif lain sumber
albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan
pada RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan
dengan pemberian BSA (Body Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan
pemanfaatan bahan makanan seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai
(Illy Hajar Masula, 2005).
ANEMIA

A. Definisi Anemia
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan/atau masa hemoglobin
yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratories, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin serta
hitung eritrosit dan hematokrit di bawah normal.
Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas hemoglobin atau
hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat dipengaruhi oleh
usia, jenis kelamin, dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut. Batasan umum
yang digunakan adalah kriteria WHO pada tahun 1968. Dinyatakan sebagai anemia bila
terdapat nilai dengan kriteria sebagai berikut :
Laki-laki dewasa Hb <13 gr/dL
Perempuan dewasa tidak hamil Hb <12 gr/dL
Perempuan hamil Hb <11 gr/dL
Anak usia 6-14 tahun Hb <12 gr/dL
Anak usia 6 bulan-6 tahun Hb <11 gr/dL
Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada umumnya dinyatakn
anemia bila tedapat nilai sebagai berikut :
Hb <10 gr/dL
Hematokrit <30%
Eritrosit <2,8 juta/mm3
(Handayani & Haribowo, 2008)

B. Epidemiologi Anemia
Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini, dkk. tergambar dalam tabel di
bawah ini :
Kelompok Populasi Angka Prevalensi

Anak prasekolah 30-40%

Anak usia sekolah 25-35%

Dewasa tidak hamil 30-40%

Hamil 50-70%

Laki-laki dewasa 20-30%

Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

Untuk angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung pada geografi
dan taraf sosial ekonomi masyarakat (Handayani & Haribowo, 2008).

C. Derajat Anemia
Derajat anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai
adalah sebagai berikut :
- Ringan sekali Hb 10 gr/dL-13 gr/dL
- Ringan Hb 8 gr/dL-9,9 gr/dL
- Sedang Hb 6 gr/dL-7,9 gr/dL
- Berat Hb <6 gr/dL
(Handayani & Haribowo, 2008)

D. Manifestasi Klinis Anemia


a. Gejala umum
Gejala umum disebut juga sebagai sindrom anemia atau anemic syndrome. Gejala
umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis
anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan
menurut organ yang terkena, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat
beraktivitas, angina pectoris, dan gagal jantung.
2) Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.
3) Sistem urogenital : gangguan haid dan libido menurun.
4) Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus.
b. Gejala khas masing-masing anemia
1) Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis angularis.
2) Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue).
3) Anemia hemolitik : ikterus dan hepatosplenomegali.
4) Anemia aplastik : perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena
penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut, misalnya anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti
pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.
(Handayani & Haribowo, 2008)

E. Pemeriksaan Diagnostik Anemia


1) Pemeriksaan laboratorium hematologis
Pemeriksaan laboratorium hematologis dilakukan secara bertahap sebagai berikut :
a. Tes penyaring : tes ini dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini, dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologi
anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada komponen-komponen
berikut ini :
- Kadar hemoglobin
- Indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)
- Apusan darah tepi
b. Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan pada
sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi laju endap
darah (LED), hitung diferensial, dan hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang : Pemeriksaan ini harus dilakukan pada sebagian
besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada
beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum
tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus : pemeriksaan ini akan dikerjakan jika telah
mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk
mengonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut meliputi
komponen berkiut ini :
- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan feritin
serum
- Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
- Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs, dan elektroforesis Hb
- Anemia pada leukemia akut biasanya dilakukan pemeriksaan sitokimia
2) Pemeriksaan laboratorium nonhematologis
- Faal ginjal
- Faal endokrin
- Asam urat
- Faal hati
- Biakan kuman

3) Pemeriksaan penunjang lain


- Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
- Radiologi : torak, bone survey, USg, atau limfangiografi
- Pemeriksaan sitogenetik
- Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction, FISH =
fluorescence in situ hybridization)
(Handayani & Haribowo, 2008)

F. Penatalaksanaan Medis Anemia


a. Terapi gawat darurat
Pada kasus anema dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan transfuse sel darah merah yang dimampatkan
(PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
b. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi untuk
anemia defisiensi besi.
c. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang harus diberikan obat anti cacing tambang.
d. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita
harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik, terapi diteruskan, tetapi
jika tidak terdapat respon, maka harus dilakukan evaluasi kembali.

Selain itu, penatalaksanaan anemia juga dilakukan sesuai dengan klasifikasi atau
penyebab terjadinya anemia yaitu sebagai berikut (Handayani & Haribowo, 2008):
1. Anemia Defisiensi Besi
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-kira 2
mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, kira-kira 50 mg/kg BB pada
pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena selain
kekurangan Fe juga terdapat kekurangan asam folat.
Penatalaksanaan :
a. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan
antelmintik yang sesuai.
b. Pemberian preparat Fe :
Fero sulfat 3 x 325 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai
dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap. Pada pasien yang tidak kuat dapat
diberikan bersama makanan.
Fero glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi
terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat
diberikan oral, maka dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe
( 3mg/kg BB ) untuk tiap g% penurunan kadar Hb di bawah normal.
Iron dekstran mengandung Fe 50 mg/ml, diberikan secara intramuscular mula-
mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai
perhitungan. Dapat pula diberikan intravena, mula-mula 0,5 ml sebagai dosis
percobaan, Bila dalam 3-5 menit tidak mnimbulkan reaksi, boleh diberikan 250-500
mg.
c. Selain itu, pengobatan anemia defisiensi zat besi biasanya terdiri
dari suplemen makanan dan terapi zat besi. Kekurangan zat besi dapat diserap dari
sayuran, produk biji-bijian, produk susu, dan telur.

2. Anemia Pernisiosa
Kekurangan vitamin B12 bisa disebabkan oleh factor intrinsic dan factor ekstrinsik.
Kekurangan vitamin B12 akibat factor intrinsic terjadi karena gangguan absorpsi vitamin yang
merupakan penyakit herediter autoimun, sehingga pada pasien mungkin dijumpai penyakit-
penyakit autoimun lainnya. Kekurangan vitamin B12 karena factor intrinsic ini tidak dijumpai di
Indonesia. Yang lebih sering dijumpai di Indonesia adalah penyebab intrinsic karena
kekurangan masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat. Didapatkan adanya
anoreksia, diare, lidah yang licin, dan pucat. Terjadi gangguan neurologis, seperti gangguan
keseimbangan.
Penatalaksanaan :
Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari secara intramuscular selama 5-7 hari, 1 kali tiap
bulan.

3. Anemia Defisiensi Asam Folat


Asam folat terutama terdapat dalam daging, susu, dan daun-daun yang hijau.
Umumnya berhubungan dengan malnutrisi. Penurunan absorpsi asam folat jarang
ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh saluran cerna. Juga berhubungan dengan
sirosis hepatis, akrena terdapat penurunan cadangan asam folat. Dapat ditemukan gejala-
gejala neurologis, seperti gangguan kepribadian dan hilangnya daya ingat. Selain itu juga
perubahan megaloblastik pada mukosa ( anemia megaloblastik ).
Penatalaksanaan :
Pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian /
suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.

4. Anemia pada Penyakit Kronik


Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with reticuloendothelial
siderosis. Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah
anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit ini
banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru.
Penatalaksanaan :
Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah
seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak diindikasikan. Pemberian kobalt
dan eritropoeitin dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit kronik.

5. Anemia Aplastik
Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.
Penyebabnya bisa karena kemoterapi, radioterapi, toksin, seperti benzen, toluen,
insektisida, obat-obat seperti kloramfenikol, sulfonamide, analgesik ( pirazolon ), antiepileptik
( hidantoin ), dan sulfonilurea. Pasien tampak pucat, lemah, mungkin timbul demam dan
perdarahan.
Penatalaksanaan :
Transfusi darah, sebaiknya diberikan transfusi darah merah. Bila diperlukan trombosit,
berikan darah segar atau platelet concentrate.
Atasi komplikasi ( infeksi ) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah
timbulnya infeksi.
Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat
trombositopenia berat.
Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon, dan nondrolon.
Efek samping yang mungkin terjadi, virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan
amenore.
Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin, dkk menyarankan
penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak menjalani transplantasi sumsum tulang
dan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang.
Transplantasi sumsum tulang.

6. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah ( normal 120 hari ),
baik sementara atau terus-menerus. Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak
mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila
kemampuannya terganggu oleh sebab lain. Tanda-tanda hemolisis antara lain ikterus dan
splenomegali.
Etiologi anemia hemolitik dibagi sebagai berikut :
Intrinsik : kelainan membrane, kelainan glikolisis, kelainan enzim, dan
hemoglobinopati.
Ekstrinsik : gangguan sistem imun, mikroangiopati, infeksi ( akibat plasmodium,
klostridium, borrelia ), hipersplenisme, dan luka bakar.
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi
toksik-imunologik, yang dapat diberikan adalah kortikosteroid ( prednisone, prednisolon ),
kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-
obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
a. Identitas klien dan penanggungjawab
b. Keluhan utama
Perdarahan dan keputihan
a Riwayat penyakit sekarang
b Klien datang dengan perdarahan pasca coitus dan terdapat keputihan yang berbau
tetapi tidak gatal. Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga tentang tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi gejala dan hal yang dapat memperberat, misalnya
keterlambatan keluarga untuk memberi perawatan atau membawa ke Rumah Sakit
dengan segera, serta kurangnya pengetahuan keluarga.
c Riwayat penyakit terdahulu.
Perlu ditanyakan pada pasien dan keluarga, apakah pasien pernah mengalami hal
yang demikian dan perlu ditanyakan juga apakah pasien pernah menderita penyakit
infeksi.
d Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit seperti ini
atau penyakit menular lain.
e Riwayat psikososial
Dalam pemeliharaan kesehatan dikaji tentang pemeliharaan gizi di rumah dan
bagaimana pengetahuan keluarga tentang penyakit kanker serviks.
f Aktivitas dan istirahat
Gejala :
- Kelemahan atau keletihan akibat anemia
- Perubahan pada pola istirahat dan kebiasaan tidur pada malam hari
- Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas, dan
keringat malam
- Pekerjaan atau profesi dengan panajaman kersinogen lingkungan dan tinggkat
stress tinggi
g Integritas ego
Gejala : faktor stress, merokok, minum alcohol, menunda mencari pengobatan,
keyakinan religious atau spiritual, masalah tentang lesi cacat, pembedahan,
menyangkal diagnosis, dan perasaan putus asa.
h Eliminasi
Pengkajian eliminasi yang dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut
- Pada kanker serviks : perubahan pola defekasi, mengalami perubahan eliminasi
urinalisis, misalnya nyeri
- Pada kanker ovarium didapat tanda haid tidak teratur, sering berkemih,
menopause dini dan menoragia
i Makanan dan minuman
Gejala :
- Pada kanker serviks : kebiasaan diet buruk (misalnya : rendah serat, tinggi
lemak, adiktif, bahan pengawet rasa.
- Pada kanker ovarium : dispesia, rasa tidak nyaman pada abdomen, lingkar
abdomen yang terus meningkat.
j Neurosensory
Gejala : pusing, sinkope
k Nyeri dan kenyamanan
Gejala : adanya nyeri derajat bervariasi, misalnya ketidaknyamanan ringan sampai
nyeri hebat (dihubungkan dengan proses penyakit), nyeri tekan pada payudara (pada
kanker ovarium)
l Pernafasan
Gejala : merokok, pemajanan abses.
m Keamanan
Gejala : pemajanan pada zat kimia toksik, karsinogen.
Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi.
n Seksualitas
Gejala : perubahan pola respon seksual, keputihan (jumlah, karakteristik, bau),
perdarahan sehabis senggama (pada kanker serviks)
o Interaksi sosial
Gejala : ketidaknyamanan atau kelemahan system pendukung, riwayat perkawinan
(berkenaan dengan kepuasan), dukungan, bantuan, masalah tentang fungsi dan
tanggung jawab.(Mitayani. 2009)
B. Analisa Data
N MASALAH
DATA ETIOLOGI
o KEPERAWATAN
1 DO: Sel normal Nyeri Akut
- perubahan tekanan Factor resiko
darah Kerusakan DNA
- perubahan frekuensi
jantung dan Mutasi pada gen dari sel somatic
pernafasan
- Melindungi area Aktivasi dari pertumbuhan gan
nyeri penyebab kanker (oncogene)
- perubahan posisi
untuk menghindari Ekspresi dari gangguan produk
nyeri gen dan kehilangan pengatur
- Nampak
gelisah,merengek Ekspansi clonal

Sel kanker mutasi secara
DS: progresif
- mengeluh nyeri
Heterogenesis

Neoplasma ganas pada serviks

Ca. serviks

Infiltrasi sel kanker ke jaringan
sekitar

Menekan serabul saraf

Nyeri akut
2 DO: Sel normal Ansietas
- peningkatan TD, Factor resiko
denyut nadi, reflex, Kerusakan DNA
frekuensi pernapasan
- jantung berdebar- Mutasi pada gen dari sel somatic
debar
- mulut kering Aktivasi dari pertumbuhan gan
- wajah merah penyebab kanker (oncogene)
- rasa nyeri yang
meningkatkan Ekspresi dari gangguan produk
ketidakberdayaan gen dan kehilangan pengatur
- tampak tegang
Ekspansi clonal
DS:
- mengeluh susah Sel kanker mutasi secara
tidur progresif
- merasa kesedihan
Heterogenesis

Neoplasma ganas pada serviks

Ca. serviks

Perubahan pada status
kesehatan

Merasa khawatir dengan keadaan
kesehatannya

Ansietas
3 DO: Sel normal Gangguan Eliminasi Urine
- dysuria Factor resiko
- retensi Kerusakan DNA

DS: Mutasi pada gen dari sel somatic
-mengeluh nyeri ketika
pipis, Aktivasi dari pertumbuhan gan
- tidak bisa pipis penyebab kanker (oncogene)

Ekspresi dari gangguan produk
gen dan kehilangan pengatur

Ekspansi clonal

Sel kanker mutasi secara
progresif

Heterogenesis

Neoplasma ganas pada serviks

Ca. serviks

Sel kanker menyebar ke
parametrium

Mengilfiltrasi septum rektovaginal
dan kandung kemih

Obstruksi kandung kemih/ureter

Gangguan eliminasi urine

C. Prioritas Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan
3. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomic
D. Intervensi
1. Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen cedera biologis ditandai dengan melaporkan
nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri klien berkurang
sampai dengan normal
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor 5 pada indikator NOC
NOC : Pain Control
N INDIKATOR 1 2 3 4 5 Keterangan :
O 1. Severe
1 Reported pain 2. Substantial
2 Facial expression pain 3. Moderate
3 Restlessness 4. Mild
4 Irritbility 5. None
Intervensi (NIC) :
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan factor [resipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terpiutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
4. Evaluasi pengalami nyeri sebelumnya
5. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
6. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
7. Kurangi factor presipitasi nyeri
8. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
9. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
10. Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri
11. Evaluasi keefektifan control nyeri
12. Tingkatkan istirahat
13. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
14. Monitor penerimaan pasien tentang managemen nyeri
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum memberikan obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi dari analgesic ketika pemberian lebih
dari satu
5. Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe dan bertnya nyeri
6. Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal.
7. Tentukan rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic pertama kali
9. Berikan analgesic tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efekivitas analgesic, tanda dan gejala (efek samping)
2. Diagnosa 2 : Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status
kesehatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam klien
kecemasan klien menurun
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor 5 pada NOC
NOC : Anxiety Self : Control
INDIKATOR 1 2 3 4 5
Monitors intensity of anxiety v
Seeks information to reduce anxiety v
Uses relaxation techniques to reduce v Keterangan :
anxiety 1. Never
Maintains adequate sleep v 2. Rarely
3. Sometimes
4. Often
5. Consistently

NIC : Anxiety Reduction


1 Tenangkan klien
2 Memberikan informasi factual mengenai diagnosis, perawatan, dan prognosis
3 Meminta keluarga untuk tetap menemani pasien
4 Mengidentifikasi perubahan tingkat kecemasan
5 Membantu pasien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
6 Mengajarkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi
7 Memberikan obat untuk mengurangi kecemasan
8 Menilai tanda-tandaverbal dan nonverbal kecemasan
9 Dengarkan dengan penuh perhatian
10 Bangun kepercayaan dengan pasien

3. Diangnosa 3 : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi


anatomik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
gangguan eliminasi urin membaik
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor 4 pada indicator NOC
NOC : Urinary elimination
Indicator 1 2 3 4 5 Keterangan :
Elimination pattern 1. Severe
Urinary frequency 2. Substantial
Urinary retention 3. Moderate
4. Mild
5. None
Intervensi (NIC ):
Urinary elimination management
1. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, konsistensi, volume, warna dan bau
2. Monitor tanda dan gejala retensi urin
3. Catat waktu terakhir eliminasi urin
4. Kolaborasi pemberian bisoprolol (merelaksasikan kandung kemih)
Urinary retention care
1. Pasang kateter urine
2. Monitor intake and output
Daftar Pustaka

Alfian Elwin Zai. 2009. Karakteristik Penderita Kanker Leher Rahim Yang Dirawat Inap Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam MAlik Medan Tahun 2003-2007. Skripsi. FKM
USU Medan
Anonymous. 2009. Kanker Rahim. http://www.scribd.com/doc/57734498/Kanker-Rahim.
Diakses Tanggal 21 september 2015.
Arif Mansjoer dkk. 1999 . Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1,. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Carpenitto Linda Jual, 2000, Asuhan Keperawatan, Edisi 2. EGC:Jakarta.
Dasar-dasar keperawatan maternitas. Jakarta: EGC. Smeltzer, G Bare.(2002). Buku ajar
keperawatan medikal bedah vol. 2. Jakarta: EGC. Price, Sylvia A. (1995).
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit edisi keempat buku kedua.
Jakarta: EGC.
Doengoes Marillyn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan PasienEdisi 3. EGC:Jakarta.
Hanifa Wiknjosastro dkk. 1999. Ilmu Kandungan, Edisi II, Cetakan 3, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2006. Standar Pelayanan Medik
Obstetri dan Ginekologi. Jakarta

Scott, R James, dkk. 2002. Buku Saku Obstetri dan Gynekologi. Widya Medica:Jakarta

Sperof, Leon. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Lippincot Williams &
Wilkins : Philadelphia.

Sutoto J. S. M., 2005. Tumor Jinak pada Alat-alat Genital dalam Buku Ilmu Kandungan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta.338-345
Varney, H. 2002. Buku Saku Bidan.Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Yatim, Faisal. 2008. Penyakit Kandungan. Myoma, kanker rahim/leher rahim dan indung
telur, kista, serta gangguan lannya. Jakarta: Pustaka Populer Obor

You might also like