You are on page 1of 29

Pak PUR

BAB 1

1.1 ISU PEMANASAN GLOBAL (GLOBAL CHANGE)

Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan uap air membiarkan radiasi surya
menembus dan memanasi bumi, menghambat pemantulan sinar infra merah dan
menyebabkan efek rumah kaca. Dengan naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan
lebih banyak panas tertekan di dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto
2007).

Kerusakan hutan, khususnya hutan hujan tropis, kini ditelaah erat kaitannya dengan isu
global, terutama kepunahan jenis flora dan fauna atau keragaman hayati (biodiversity), dan
pemanasan global. Oleh karena itu dampak hidroorologi akibat kerusakan hutan sifatnya
lokal, regional dan nasional, dan masalah ini kurang disoroti sebagai isu global. Namun
demikian masalah penggurunan, sebagai akibat proses erosi yang berlebihan hingga terbentuk
bentang alam yang menyerupai gurun, telah menarik perhatian internasional, hal ini
nampaknya erat kaitannya dengan dampak negatif akibat pemanasan global yang terjadi.

Isu-isu di atas, dapat dilihat dari dua kepentingan baik internasional maupun nasional.
Terhadap kepentingan internasional, erat kaitannya dengan pembagian biaya penanganan
masalah global. Ditinjau dari segi luasan penyusutan hutan, nampaknya hutan tropis relatif
lebih kecil dibanding dengan hutan non-tropis. Kerusakan hutan tropis tercatat 15,15% (7,01
juta km2), dan kerusakan padang rumput sebesar 19,1% (6,47 juta km2), sedangkan
kerusakan hutan non-tropis sebesar 13,6 kali lipat lebih besar dibanding dengan penyusutan
pada hutan hujan tropis. Akan tetapi isu yang terlontar bahwa kerusakan hutan hujan tropis
lebih besar dibanding dengan hutan non-tropik. Dugaan lebih mendasar bagi negara-negara
maju saat itu, bahwa kerusakan lapisan ozon di stratosfer disebabkan oleh rusaknya hutan
tropis.

Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan oleh Wardhana
(2010) sebagai berikut :

1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2 dan memanasi bumi.

2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.


3. Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer.

4. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar 30
watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi panas.

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang bertanggung jawab sebagai
penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah kaca yang utama adalah
karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan Nitrogen oksida (N2O). Gas-gas rumah kaca yang
kurang umum, tetapi sangat kuat, adalah hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons
(PFCts) dan sulphur hexafluoride (SF6) (TPIBLK 2010b).

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya
keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara
lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan
nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini
konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan
keseimbangan ekosistem. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat adanya
pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam
skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-
kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan
pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007).

Emisi rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Industrialisasi dan
pembangunan memberikan andil terciptanya pemanasan global. Sudah banyak upaya untuk
menekan atau mencegah peningkatan pemanasan global, tidak hanya dalam konteks lokal,
tetapi juga di level internasional dan nasional (Rudy 2008).

Akhirnya dugaan itu menjadi reda setelah diperolehnya data penyebab rusak-nya lapisan
ozon dan kadar GRK di atmosfer, lebih cenderung disebabkan oleh kenaikan gas CFC (gas
buatan manusia, mengkonsumsi 29%) yang banyak digunakan dalam industri (karet, plastik
busa, AC dan alat pendingin lainnya). Kerusakan lapisan ozon seperti yang dikemukakan oleh
Falk dan Brownlow (1989), mempunyai pengaruh naiknya sinar UV-B yang dapat mencapai
bumi; yang berakibat sebagai penyebab naiknya frekwensi penyakit kangker kulit, katarak
dan menurunnya kekebalan tubuh manusia.

Walaupun hutan memberikan dampak yang relatif kecil terhadap pemanasan global
dibanding dengan gas CFC, bukan berarti bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi dianggap
aman. Penebangan hutan secara besar-besaran terutama di negara-negara berkembang
cenderung memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Oleh karena itu harus diakui
bahwa hutan sebagai sumber utama penyebab ERK. Demikian halnya dengan besaran laju
erosi yang melebihi ambang batas erosi yang diijinkan, menimbulkan sedimentasi baik di
sepanjang badan sungai dan atau muara sungai, hingga menyebabkan banjir pada musim
hujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Sedimen yang terjadi pada muara-muara sungai, memberikan dampak negatif terhadap
kelangsungan hidup hutan mangrove, yang erat kaitannya dengan kehidupan biota perairan
laut. Di sisi lain, kerusakan hutan tropis menyebabkan terancamnya degradasi jenis flora dan
fauna khsusnya terhadap jenis-jenis endemik.

Peristiwa perubahan iklim akan berakibat fatal bagi kehidupan di permukaan bumi,
seperti pada bidang pertanian, perubahan ekosistem alam, meluasnya padang rumput dan
gurun, areal hutan menyusut dan bergeraknya suhu panas ke arah kutub. Sedangkan daerah
kutub sendiri karena naiknya suhu air laut mengakibatkan mencairnya sebagian besar
bongkahan es dan lambat laun mengakibatkan banyak daerah pantai yang terendam (Arief
2001). Pemanasan global dapat menimbulkan berbagai kerusakan melalui dampak terhadap
atmosfer, hidrosfer, geosfer dan terakhir terhadap manusia. Semua dampak akan
menimbulkan bencana bagi umat manusia, baik yang melakukan pencemaran maupun yang
tidak melakukannya (Wardhana 2010).

Akumulasi gas rumah kaca akibat perubahan tutupan lahan dan kehutanan diperkirakan
sebesar 20% dari total emisi global yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan
perubahan iklim. Hal ini menegaskan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim perlu
melibatkan sektor perubahan tutupan lahan dan kehutanan. Mengingat hutan berperan sangat
penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon, tetapi secara alami juga berfungsi sebagai
penyerap karbon yang paling efisien di bumi sekaligus menjadi sumber emisi gas rumah kaca
pada saat tidak dikelola dengan baik (Manuri et al. 2011).

Menurut Fadliah (2008), pemanasan global dapat disebabkan beberapa faktor seperti:

1. Efek Rumah Kaca

Sekarang ini pemanasan global telah menjadi masalah bersama negara-negara di


dunia, karena pemanasan global ini telah menimbulkan dampak pada perubahan iklim
dan memicu terjadinya bencana alam berupa banjir angin puting beliung, gempa
bumi, dan banyak gejala alam lainnya yang membahayakan kehidupan manusia di
muka bumi.

Guna menyikapi dampak pemanasan tersebut, UNFCCC (United Nation Framework


Convention on Climate Change) sebagai salah satu badan PBB memelopori sebuah
konferensi untuk membahas perubahan iklim yang dilaksanakan di Bali. Emil Salim
(2010) memperkirakan, sedikitnya 23 pulau tidak berpenghuni di Indonesia akan
tenggelam dalam 10 tahun terakhir. Gejala yang paling mudah dilihat adalah makin
tingginya permukaanlaut, bahkan hanya beberapa pulau di Indonesia yang
diprediksikan akan tenggelam, tetapi pulau Maladewa di India, Vanuatu dan beberapa
pulau lainnya juga dikhawatirkan akan mengalami nasib yang sama akibat pemanasan
global.

Terlepas dari itu semua, pemerintah hendaknya segera kembali merencanakan dan
melakukan program-progran reboisasi seperti yang pernah dilakukan pada tahun-
tahun sebelumnya. Program ini terlaksana dengan baik bila menggandeng institusi
yang mudah digerakkan, misalnya TNI maupun POLRI begitu juga negara-negara
lain di dunia. Semoga saja kesadaran manusia di dunia untuk menjaga dan
melestarikan hutan selalu terpelihara, sehingga efek pemanasan global dapat ditekan
sesegera mungkin.

2. Penipisan lapisan Ozon

Indikasi kerusakan lapisan ozon pertama kali ditemukan sekitar tiga setengah dekade
yang lalu oleh tim peneliti Inggris, British Antarctic Survey (BAS), di Benua
Antartika. Beberapa tahun kemdian hasil pantauan menyimpulkan bahkan ozon
melindungi kehidupan di bumi dari radiasi ultraviolet matahari. Namun, semakin
membesarnya lubang ozon di kawasan kutub bumi akhir-akhir ini sungguh
menghawatirkan. Bila hal tersebut tidak diantisipasi, maka dapat menimbulkan
bencana lingkungan yang luar biasa.

Masalah lingkungan dan kesehatan manusia yang terkait dengan penipisan ozon
sesungguhnya berbeda dengan resiko yang dihadapi manusia dari akibat pemanasan
global. Walaupun begitu, kedua fenomena tersebut saling berhubungan. Beberapa
polutan (zat pencemar) memberikan kontribusi yang sama terhadap penipisan lapisan
ozon dan pemanasan global. Penipisan ozon mengakibatkan masuknya lebih banyak
radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya masuk ke permukaan bumi. Namun,
meningkatnya radiasi sinar UV bukanlah hanya menyebabkan terjadinya pemanasan
global, melainkan juga dapat menyebabkan kangker kulit, penyakit katarak,
menurunnya kekebalan tubuh manusia, dan menurunnya hasil panen.

Pada intinya negara-negara di dunia harus berusaha melakukan efisiensi energi dan
memasyarakatkan penggunaan energi yang dapat diperbaharui (renewable energy)
untuk mengurangi atau bahkan menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Denmark adalah salah satu negara yang tetap menikmati pertumbuhan ekonomi yang
kuat meskipun harus mengurangi emisi gas rumah kaca.

3. Kelestarian Hutan

Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang
perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap
keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia
dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektare 4,5 juta hektare merupakan hutan
mangrove. Hutan mangrove di Indonesia 25% dari total hutan mangrove dunia.
Sekitar 17% dari luasan tersebut adalah hutan konservasi dan 23% hutan lindung,
sementara sisanya adalah hutan produksi. Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia
termasuk negara paling kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut situs web
Indonesia National Park, Indonesia memiliki sekitar 10% spesies tanaman dari
seluruh dunia.

Indonesia merupakan Negara dengan luas hutan terbesar dibandingkan dengan Negara
ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi
tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektare per
tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektare per tahun pada periode 1997 2001. Salah
satu akibatnya, jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan
negara ASEAN lainya. Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon
oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah besar 20%, dan mengubah iklim
mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga memengaruhi kesuburan tanah.

1.2 DAMPAK GLOBAL CHANGE BAGI INDONESIA

Pemanasan global telah menjadi isu internasional sejak beberapa dekade yang lalu,
walaupun mungkin sebenarnya masih terdapat ketidakpastian apakah benar akan terjadi
pemanasan global. Sebagai akibat dari pemanasan global, memberikan dampak sangat besar
baik terhadap iklim dunia, maupun kenaikan permukaan air laut.

Dampak iklim global ini akan mengakibatkan perubahan tatanan hujan pada suatu
wilayah; dimana sebagian wilayah hujannya akan bertambah dan di beberapa wilayah lainnya
hujannya akan berkurang. Hal ini memberikan dampak turunan terhadap sistem pertanian
dalam arti luas.

Para pakar lingkunagan sependapat bahwa pemanasan global akan menyebab-kan


terjadinya perubahan iklim sedunia. Karena kenaikan suhu udara di permukaan bumi, maka
laju penguapan air akan meningkat, dengan demikian jumlah awan dan hujan secara umum
akan meningkat; dan menyebabkan distribusi curah hujan secara regional akan berubah. Di
suatu daerah tertentu jumlah hujannya naik, akan tetapi di beberapa tempat lainnya akan
mengalami penurunan.

Di Asia Tenggara, curah hujan akan bertambah; sedangkan di wilayah Indonesia bagi
daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi, penambahan curah hujan akan
menimbulkan bahaya banjir dan meningkatnya erosi. Sedangkan kenaikan suhu udara karena
pemanasan global akan mempersulit masalah kekurangan air (defisit air) di daerah tertentu.

Mencermati pernyataan Scneirder (1989), terhadap perubahan suhu udara, kecende-


rungan yang kini dirasakan telah menjadi kenyataan. Di beberapa kota di Indonesia, pada
tahun 1970-an rata-rata suhu udara di Jakarta tercatat berkisar antara 24 oC dan 26 oC, dan kini
telah berubah antara 28,12 oC dan 30,26 oC; di Bogor tercatat berkisar antara 24,09 oC dan
25,11 oC, kini telah berubah antara 25,14 oC dan 27,31 oC, sedangkan di kota Bandung tercatat
berkisar antara 18,11 oC dan 23,15 oC, dan kini telah berubah antara 24,28 oC dan 26,22 oC.
Perubahan suhu udara di beberapa kota juga berpengaruh terhadap kelembaban relatif, yang
cenderung turun rata-rata dari ketiga kota 6,23% hingga 8,35%.

Perkiraan lainnya yang menyertai perubahan iklim di Asia Tenggara, menurut Scneirder
(1989), naiknya frekuensi dan intensitas badai. Indonesia saat ini masih beruntung karena
terletak di luar daerah badai topan; namun demikian apakah badai yang berlangganan di
bagian wilayah Filipina akan bergeser kearah selatan. Terhadap perubahan curah hujan,
nampaknya juga mulai dirasakan pengaruh-pengaruhnya. Walaupun curah hujan meningkat
dan ditandai dengan peningkatan genangan (banjir), akan tetapi neraca keseimbangan air
setiap tahunnya memperlihatkan defisit air yang semakin berkelanjutan. Suatu contoh S.
Ciliwung di Kota Depok, pada tahun 1970-an, pada bulan kering (Agustus), tercatat memiliki
debit >413 m3/detik; namun kini pada bulan yang sama hanya memiliki debit 32,44
m3/detik; S. Serayu di Rawalo (Jembatan Cindaga), pada bulan Juli tercatat memiliki debit
1.843 m3/detik, dan kini pada bulan yang sama hanya memiliki debit 169,65 m3/detik, dan
kemungkinan juga terjadi pada beberapa sungai lainnya. Contoh isu di atas, memperlihatkan
adanya perubahan-perubahan yang terjadi akibat pemanasan global dimuka bumi ini.

Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan terendamnya daerah pantai yang rendah,
hal ini akan menimbulkan kesulitan terhadap negara-negara yang memiliki pulau-pulau kecil,
seperti Maldives, Fiji dan Marshall; negara dengan delta yang luas (Mesir dan Banglades);
serta negara yang memiliki daerah rawa pantai yang luas seperti Indonesia.

Beberapa pendapat juga masih mempersoalkan ketidak pastian yang besar sebagai akibat
dari pemanasan global; walaun di beberapa tempat secara nyata telah dirasakan akibat-
akibatnya. Suatu prediksi para pakar lingkungan, permukaan air laut akan naik setinggi satu
meter sejak tahun 2045, dan akan terlihat efektif pada tahun 2060. Kenaikan air laut diduga
disebabkan oleh beberapa hal antara lain (a) adanya kenaikan suhu air laut, hingga
menyebab-kan pemuaian di atas permukaan; dan menyebabkan volumenya bertambah; (b)
melehnya es abadi di benua Antartika, dan pengunungan-pegunungan tinggi; (c) kenaikan air
laut juga disebabkan turunnya permukaan tanah sebagai akibat dari proses geologi.

Sebagai akibat kenaikan permukaan air laut, menyebabkan (a) terendamnya daerah-
daerah genangan (rawa), seperti di daerah pasang surut Pulau Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan dan Irian Jaya bagian Barat; (b) meningkat dan meluasnya intrusi
air laut yang menyusur melalui badan-badan sungai pada saat musim kemarau.

Suatu pendapat para pakar lingkungan bahwa peranan fungsi jasa biologis, ekologis dan
hidrologis komunitas vegetasi hutan dinilai mampu dalam mengendalikan degradasi
lingkungan yang erat kaitannya dengan pemanasan global. Atas dasar itulah dalam paparan
ini juga akan diungkap fenomen pelestarian hutan. Adapun keterkaitan dengan makna
pemberdayaan masya-rakat dalam kaitannya dengan pelestarian hutan, dimaksudkan untuk
memacu keperduliannya untuk ikut berkiprah dalam pelestarian lingkungan melalui
pembudidayaan hutan; karena hutan merupakan sumber oksigen yang sangat esensial
dibutuhkan oleh setiap insan manusia, dan atau kehidupan lainnya. Di Indonesia daerah rawa
pantai seperti mangrove, tambak udang, daerah pasang surut dan kota-kota yang berdataran
rendah seperti (Jakarta, Surabaya dan Banjarmasin), terancam akan terendam. Kerugian lain
misalnya akan munculnya gelombang badai dan menyusupnya intrusi air laut. Mencermati
atas uraian tersebut di atas, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap pemanasan
global, memberdayakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun kawasan
hijau baik dalam bentuk hutan maupun hijauan lainnya, merupakan alternatif pendekatan
yang dinilai efektif dan rasional.

Efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1 50C. Bila kecenderungan
gas rumah kaca seperti sekarang ini akan menyebabkan pemanasan global antara 1,5 4,50C
sekitar tahun 2030 (Anonim, 2011). Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer,
maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap
atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.

Anonim (2007) menyatakan bahwa pemanasan global mengakibatkan dampak luas dan
serius bagi lingkungan bigeofisika (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan
fauna, migrasi fauna dan hama penyakit, dan sebagainya), sedangkan dampak bagi aktivitas
sosial ekonomi masyarakat meliputi (a) gangguan terhadap kawasan pesisir, (b) pengurangan
produktivitas lahan pertanian, (c) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (d) peningkatan
resiko kanker dan wabah penyakit, dan sebagainya.

Anonim (2011) menyatakan bahwa dunia telah kehilangan hampir 20% terumbu karang
akibat emisi karbon dioksida. Laporan yang diliris Global Caral Reef Monitoring Network
ini merupakan upaya memberi tekanan atas peserta konferensi PBB mengenai iklim agar
membuat kemajuan dalam mengurangi kenaikan suhu global. Jika kecenderungan emisi
karbon saat ini terus berlangsung, banyak terumbu karang mungkin akan hilang dalam waktu
20 40 tahun mendatang dan akan memiliki konsekuensi bahaya bagi sebanyak 500 juta
orang yang bergantung atas terumbu karang untuk memperoleh nafkah mereka. Jika tidak ada
perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di atmosfer dalam waktu
kurang dari 50 tahun karena karbon ini diserap, samudera akan menjadi lebih asam, yang
secara serius merusak banyak biota laut dari terumbu karang hingga kumpulan plankton dan
dari udang besar hingga rumput laut. Saat ini perubahan iklim dipandang sebagai ancaman
terbesar bagi terumbu karang. Ancaman utama iklim, seperti naiknya suhu permukaan laut
dan tingkatan keasaman air laut.

Keberadaan tersebut menunjukkan bahwa pepohonan hutan berpotensi dalam hal


pencegahan pemanasan global; karena jasa-jasa biologis dan hidrologisnya serta mampu
mendaur ulang CO2 secara alami. Atas dasar itulah dalam paparan ini penulis ingin mencoba
mengungkap lebih jauh proses terjadinya pemanasan global, dampak dan upaya
penangannya; serta memberdayakan masyarakat untuk tujuan pencegahannya.

Menurut Sulistyono (2015) Dampak dari pemanasan global adalah meliputi:

1. Suhu Global cenderung Meningkat Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang
hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini
sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh,
mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih
lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa
bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika
kumpulan salju (snowpac ) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami,
akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan
dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

2. Perubahan Iklim

Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global akan terjadi


perubahan iklim (climate change), daerah bagian utara dari belahan Bumi Utara
(Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di bumi.
Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih
sedikit es yang terapung di perairan utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di
daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih
cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim
dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan.. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga
keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air
yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan
memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan
menurunkan proses pemanasan. Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan.
Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun
terakhir ini. Badai akan menjadi lebih sering, selain itu, air akan lebih cepat menguap
dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya.
Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan
badai(hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi
lebih besar. Berlawanan denganpemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat
dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

Benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin akan menghadapi gejala menyingkatnya
musim tanam, berkurangnya mutu lahan, menghilang atau rusaknya tanah pertanian,
turunnya produksi pertanian, dan semakin langkanya air minum. Kekeringan di Afrika
akan memperluas kelaparan dan kelangkaan pangan. Asia telah lebih dulu
menghadapi bencana banjir, banjir bandang, dan longsor, yang akan menyebabkan
mewabahnya berbagai penyakit dan kematian. Di Amerika Latin, meningkatnya suhu
dan berkurangnya keanekaragaman hutan tropis akan menghancurkan komunitas-
komunitas asli. Secara global, meningkatnya permukaan air laut akan membanjiri
kawasan-kawasan yang berada dibawah permukaan laut, meningkatnya ancaman petir
akan mengancam masyarakat pesisir, dan semakin panasnya suhu air laut akan
menghilangkan cadangan ikan.

3. Penigkatan Suhu Permukaan Laut

Ketika atmosfer menghangat, apisan permukaan lautan juga akan menghangat,


sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut.
Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland,
yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC
memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5
persen daerah Bangladesh dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan
bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat
air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana
yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara
miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit
kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50
cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika
Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan
daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar
dari Florida Everglades.

Gambar. Perubahan tinggi rata-rata muka air laut

4. Gangguan Ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan global ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam
pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas
pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru
karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia
akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau
selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati.
Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub
mungkin juga akan musnah.

5. Dampak Sosial Politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang


berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga
dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi.
Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya
es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya
bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat
pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air
(waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne
diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang
(ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan
iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq aedes agipty), virus, bakteri,
plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu. Selain itu bisa
diprediksikan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi
ataupun punah dikarenakan perubahan ekosistem yang ekstrem ini. hal ini juga akan
berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (infeksi saluran
pernafasan akut), kemarau panjang, kebakaran hutan.

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas industri dan sarana transportasi yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran
pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung, paru kronis,
dan lain-lain.

1.3 FENOMENA GLOBAL CHANGE DI KOTA SURABAYA


BAB 2

2.1 PERAN HUTAN MANGROVE DALAM MENGURANGI DAMPAK PEMANASAN


GLOBAL

Hutan mangrove memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih banyak. Karbon


lebih banyak tersimpan di bawah. hutan bakau daripada di atas permukaan tanah dan air.
Hasil penelitian para ahli di Cifor menunjukkan bahwa penyimpanan karbon di mangrove di
sepanjang kawasan pesisir wilayah Indo-Pacific. Meski hanya memiliki luas 0,7% dari luasan
hutan, akan tetapi mangrove dapat menyimpan sekitar 10% dari semua emisi. Sebagian besar
karbon disimpan di dalam tanah di bawah hutan mangrove. Di hutan mangrove yang
dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah, penyimpanan karbon mencapai 800-1.200 ton
per hektar. Pelepasan emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di
daratan, hal ini karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepaskan karbon ke
udara. Adapun tanaman hutan tropis yang mati melepaskan sekitar 50 persen karbonnya
ke udara.

Pelepasan emisi yang berlebihan dari hasil aktivitas metabolisme organism atau
hasil pembusukan ke udara bebas merupakan bentuk cemaran tersendiri bagi atmosfer
yang pada dasarnya bersifat negative terhadap kondisi lingkungan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi cuaca atau iklim dalam skala besar. Dari akumulasi perubahan-
perubahan kecil nantinya akan mengarah pada perubahan besar. Emisi karbon di alam
dapat mempunyai bentuk yang beragam diantara dalam bentuk CO2 (karbon dioksida)
dari hasil respirasi organisme dan CO (karbon monoksida) dari hasil pembakaran fosil
atau minyak bumi. Aktivitas lainnya seperti pembakaran, merokok, keluarnya gas
alam CH4 (metana), gas rumah kaca seperti HFC (hidrofluorokarbon) atau PFC
(perfluorokarbon) dan yang lainnya juga menyumbang peningkatan gas karbon di alam.

Hutan mangrove memiliki kerapatan empat kali lebih besar dibandingkan hutan tropis
pada umumnya. Potensi penyimpanan karbon pun berbanding jauh lebih besar. Perusakan
terhadap tanaman mangrove terus terjadi dan menyebabkan kerusakan substrat di
bawahnya. Mangrove atau biasa disebut bakau memiliki kesamaan sifat dengan lahan
gambut. Hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun menghilangkan
karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan
tahun. Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus
membangun kantong-kantong karbon dalam jumlah besar didalam sedimen laut.
Dengan kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon, maka peningkatan emisi
karbon di alam tentu dapatlebih dikurangi. Jadi dalam hal ini habitat mangrove
merupakan tempat pembenaman karbon (carbon sinks) yang besar. Menurut beberapa
literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah reservoir atau tempat untuk
menyimpan atau menyerap gas karbon dioksida yang terdapat di atmosfer bumi. Hutan
dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk menjadi tempat
menyerap gas karbon dioksida (CO2). Gas karbon dioksida diserap oleh tumbuhan yang
sedang tumbuh dan disimpan di dalam batang kayunya. Proses berpindahnya gas karbon
dioksida dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan lautan) biasa disebut sebagai carbon
sequestration. Beberapa ahli di negara-negara maju saat ini banyak yang aktif meneliti
tentang proses ini dan berharap menemukan sebuah cara efektif untuk membuat sebuah
proses buatan dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim global (mitigasi
pemanasan global) yang menurut para ahli berada dalam level yang cukup
mencemaskanan abad ini.

Peranan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim bakar fosil sebagai suatu sumber
energi, konsentrasi CO2 telah dengan mantap bangkit sebanyak kira-kira 1,5 ppm/tahun
sehingga kandungan gas karbon dioksida dalam atmosfir pada saat ini mencapai 365
ppm. Selain itu keberadaan gas karbon dioksida juga sangat dibutuhkan tumbuhan untuk
proses fotosintesis yang nantinya menghasilkan oksigen bagi kehidupan di permukaan bumi.

Menurut ilmu biologi kenapa hutan bisa menyerap karbon karena hutan adalah
tempat sekumpulan pohon yang memiliki aktifitas biologisnya seperti fotosintesis dan
respirasi. Dalam fotosintesis pohon (tanaman) menyerap CO2 dan H2O dibantu dengan
sinar matahari diubah menjadi glukosa yang merupakan sumber energi (sebelumnya
diubah dulu melalui proses respirasi) tanaman tersebut dan juga menghasilkan H2O
dan O2 yang merupakan suatu unsure yang dibutuhkan oleh oranisme untuk melangsungkan
kehidupan (bernapas).

Hutan sangat dibutuhkan manusia untuk menyerap carbon yang berlebih dalam atmosfer.
Mekanisme tanaman dalam menyerap karbon melalui fotosintesis. Fotosintesis adalah
proses penyusunan energi menggunakan cahaya pada organisme yang memiliki
kloroplas. Fotosintesis adalah prose kimia yang paling penting di bumi ini.
Kebanyakan tanaman melakukan fotosintesis pada daunnya. Proses fotosintesis diawali
dengan reaksi terang pada reaksi terang eneri matahari di convert ke chemical energi dan
diproduksi oksigen. Lalu tahap yang kedua adalah siklus calvin yang membuat molekul
gula dari karbon yang membutuhkan energi ATP yang didapat dari proses respirasi.
Siklus ini juga membawa hasil produksi dari reaksi terang. Tumbuhan yang memiliki
banyak daun lebih berpotensi menyerap carbon lebih banyak dari tumbuhan lain.
Tetapi, penyerapan karbon juga bergantung dari kondisi tumbuhan tersebut apakah tumbuhan
tersebut tumbuh optimal pada tempat yang sesuai dan tanahnya mengan dung nutrien
yang cukup untuk menghidupi pohon tersebut. Sekecil apapun yang namanya kerusakan
pasti memberikan kontribusi terhadap kerusakan besar, karena besar itu berasal dari yang
kecil. Untuk itu jagalah perilaku kita untuk tidak terbiasa melakukan kerusakan walaupun
kecil. Mangrove merupakan ekosistem unik yang harus tetap dilestarikan.

Secara ekologis, hutan mangrove berperan sebagai pelindung pantai dari bahaya tsunami,
penahan erosi, dan perangkap sedimen, pendaur hara, menjaga produktifitas perikanan,
peredam laju intrusi air laut, penyangga kesehatan, menjaga keanekaragaman hayati, dan
menopang ekosistem pesisir lainnya (Rochana, 2010).

Sebagai ekosistem yang ada di daerah peralihan antara laut dan darat, mangrove
merupakan tipe ekosistem yang pertama terkena pengaruh berbagai dampak yang akan terjadi
akibat perubahan iklim global (Kusmana, 2010). Hal serupa diutarakan oleh beberapa ahli, di
antaranya Field (1995), di berbagai belahan dunia akan terjadi peningkatan suhu udara,
perubahan hidrologi, dan peningkatan muka air laut, serta peningkatan frekuensi bancana
badai tropis.

Salah satu dampak perubahan iklim global adalah terjadinya pemanasan global, yaitu
meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) di atmosfer. Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti
meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi.
Sebaliknya di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan yang
disebabkan oleh kenaikan suhu (KeSeMaT, 2009)

KeSeMaT (2009) mengemukakan beberapa contoh peranan mangrove antara lain:

1. Musim

Perubahan musim bisa berakibat terjadinya Efek Rumah Kaca(ERK). ERK adalah gas
yang pada saat terakumulasi di atmosfer yang kemudian menciptakan selubung
sehingga menimbulkan gangguan pada pelepasan panas dari bumi ke luar lapisan
atmosfer. Gas yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi adalah Karbondioksida
(CO2), Metana (CH4), Nitrogen oksida (N2O), Hihrofluorokarbon (HFCs),
Perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur hexafluoride (SF6). Peranan mangrove dalam
mengatasi keadaan ini adalah sebagai penyerap karbon.

2. Kenaikan permukaan air laut

Kenaikan air laut bisa berakibat terjadinya abrasi. Peranan mangrove dalam hal ini
adalah sebagai penahan abrasi. Tiga spesies mangrove penting, jenis Rhizophora,
yaitu R. mucronata, R. apiculata, dan R. stylosa memiliki peran besar dalam
pengendalian laj abrasi di kawasan pesisir pantai. Akar-akarnya yang tertancap ke
tanah, mampu menahan derasnya arus laut sehingga tanah pesisir terlindung dari
terjangan gelombang dahsyat penyebab abrasi.

3. Suhu

Suhu yang tinggi terjadi akibat perubahan iklim global, mampu diminimalisir oleh
mangrove kerena peranannya sebagai penyeimbang ekosistem di wilayah pesisir.

4. Curah hujan tinggi

Curah huan tinggi bisa menyebabkan terjadinya topan dan badai. Dalam kaitannya
dengan peranan mangrove adalah mengurangi dampak dari topan dan badai tersebut,
karena tegakan mangrove yang tebal dan lebat di kawasan pesisir pantai, mampu
melindungi pertambakan, pemukiman, dan bangunan-bangunan lain yang terdapat di
belakangnya.

5. Tsunami

Tsunami yang terjadi kaitannya dengan pemanasan global akibat gempa tektonik di
bawah laut, gelombangnya mampu direduksi oleh tegakan mangrove sehingga pada
saat menerjang bangunan-bangunan di pesisir, kekuatan gelombang bisa
diminimalisir. Dengan demikian, dampak kerusakan yang diakibatkan dari gelombang
tsunami dapat diredam.

2.2 KARAKTERISTIK MANGROVE

Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada
temperatur dari 190C sampai 400C dengan Toleransi Fluktuasi tidak lebih dari 100C. Berbagai
jenis mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke Zona berair
laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi
antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai
jenis pohon yang seolah menjadi depan garis pantai yang secara kolekt if disebut hutan
mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme, baik
hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembangbiak (Irwanto, 2006)

Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton antara komunitas laut dan daratan,
sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri. Komunitas mangrove sangat berbeda dengan
komunitas laut, namun tidak berbeda nyata dengan komunitas daratan yang terdapat rawa-
rawa air tawar sebagai zona antara. Chapman (1976) mengklasifikasikan vegetasi mangrove
menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi.

Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan


pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui
peneumatofora, embrio vivipar, mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, serta secara
taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat. Mangrove minor dibedakan oleh ketidak
mampuannya membentuk tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan
yang toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor.

Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air
tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat. Proses internal pada
komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi
proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen.
Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah salinitas, tipe tanah, dan
ketahanan terhadap arus air dan gelombang laut. Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang
transek dari tepi laut ke daratan, sehingga dalam kondisi alami, campur tangan manusia
sangat terbatas dalam membentuk zonasi vegetasi (Giesen, 1993).

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi (misalnya terlihat
dalam Gambar. Beberapa ahli (seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981)menyatakan
bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir ataugambut), keterbukaan
(terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut.
Gambar Contoh zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (diadaptasi dari White,
dkk, 1989).

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah


berlumpur,terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di
Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and
Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik
pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan
karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934) melaporkan
bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau
bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah
pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976a). Di Indonesia,
kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian Lumu, Sulawesi
Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan
lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991). Substrat mangrove berupa tanah dengan
kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu,
Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis


mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya
secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara
beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.
Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran
salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan
baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 o/oo (MacNae, 1966;1968). Pada
salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-
jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas
air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis
lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20
40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops tagal pada
salinitas 60o/oo dan padakondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa
dapat tumbuh sampai salinitas 90o/oo (Chapman, 1976a). Jenis-jenis Bruguiera umumnya
tumbuh pada6 4 daerah dengan salinitas di bawah 25 o/oo. MacNae (1968) menyebutkan
bahwa kadarsalinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza
adalah 10 25 o/oo.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa
penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang
surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia, areal yang
selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia
alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-
jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana
areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus
granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya padasaat pasang tertinggi (hanya beberapa
hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pada umumn nya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada
beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona
mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan
(Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni,
Irian Jaya (Erftemeijer, dkk, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam,
lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai
puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini
bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut,
pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai, serta kecuramannya.
2.3 JENIS-JENIS MANGROVE

Zonasi Mangrove

Ekosistem mangrove sangat rumit, karena banyak terdapat faktor yang saling
mempengaruhi, baik di dalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi,
yang disebut dengan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003) . Vegetasi
mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Zonasi pada ekosistem mangrove
dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap
kekuatan yang datang dari luar. Kondisi ini terjadi karena adanya peran dan kemampuan jenis
tumbuhan mangrove dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berada di kawasan pesisir.
Zonasi tumbuhan yang membentuk komponen mangrove, menghasilkan pola bervariasi yang
menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda di setiap lokasi penelitian (Departemen
Kehutanan, 1994).

LLK`Zonasi yang terjadi di hutan mangrove adalah dipengaruhui oleh beberapa


faktor, antara lain adalah frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan, gerakan air
pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin dan hempasan ombak,
serta jarak tumbuhan dari garis pantai (Arief, 2003). Menurut (Odum, 1972) struktur
ekosistem mangrove, secara garis besar dapat dibedakan menjadi t iga tipe formasi, yaitu :

1. Mangrove Pantai : Pada tipe ini dipengaruhi air laut dominan dari air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir
(Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Avicennia sp, Rhizophora
apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran
RhizophoraBruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa
fructicans

2. Mangrove Muara : Pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis di belakang komunitas campuran yang
terakhir. (Munisa, 2003) Rhizophora sp. Di tepian alur, di ikuti komunitas campuran
Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa
3. Mangrove sungai : Pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relalif jauh dari muara. Mangrove banyak berasosiasi
dengan komunitas daratan. sp.

Bengen (2002) mengemukakan bahwa jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, di


Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan dapat dibedakan menjadi 4 zonasi, yaitu :

Zona Api-api Prepat

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek
(dangkal),dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi.
Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia Sonneratia) (Avicennia sp.)
dan prepat (Sonneratia sp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp)

Zona Bakau (Rhizophora sp.)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam).
Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi
dengan jenis lain seperti tanjang

Zona Tanjang (Bruguiera sp.).

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan
berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang
(Bruguiera) (Bruguiera sp.) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

Zona Nipah

Zona ini terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung
air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang
dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada
umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructicant) (Nypa fructicant) dan beberapa spesies
palem lainnya.

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka,
daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah
ke arah daratan yang memiliki air tawar.

a) Mangrove terbuka
Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Samingan (1980) menemukan
bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona ini didominasi oleh Sonneratia alba yang
tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut. Van Steenis (1958) melaporkan
bahwa S. alba dan A. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat
tergenang ini. Komiyama, dkk (1988) menemukan bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini
didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat
bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir,
sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi
daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun demikian, Sonneratia akan
berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1993).

b) Mangrove tengah

Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya
didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun, Samingan (1980) menemukan di Karang Agung
didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang
Agung adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata,
Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.

c) Mangrove payau

Mangrove berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya
didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung, komunitas N. fruticans
terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut
sering sekali ditemukan tegakan N.fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri
dari Cerbera sp, Glutarenghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah
pantai, campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian besar
daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di
Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih
dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar (Giesen & van Balen, 1991).

d) Mangrove daratan

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove
yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus
microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan
Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini
memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.

Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan


di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang tumpang
tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah tidak
selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain.

Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat biologi yang
khas sebagai bentuk adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi salinitas yang
fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob dan tidak stabil, serta untuk reproduksi.

Salinitas

Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, sehingga


tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi karena kebanyakan
jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya air dari dalam jaringan
tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuhan kekeringan, menjadi layu,
dan mati. Lingkungan yang keras ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung
lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis (Efendi, 1999).

Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air laut
dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya bukan prasyarat
untuk tumbuhnya mangrove, terbukti beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik
pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan
tahun pada danau air tawar, sedangkan di Kebun Raya Bogor B. sexangula tumbuh selama
ratusan tahun pada lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke lingkungan
perairan tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies
lain, sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana tumbuhan lain
tidak mampu bertahan (Gosalam, 2000).

Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk membuang


kelebih garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke
dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih dari 90% masuknya garam
dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap dengan cepat diekskresikan oleh
kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit kayu dan daun tua yang hampir gugur
(Nybakken, 1993). Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia, Acanthus dan
Aegiceras memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya t inggi,
sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan
selanjutnya diuapkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan mengecap daun
tumbuhan mangrove atau bagian lainnya (Nybakken, 1993).

Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera, Rhizophora, dan Sonneratia


tidak memiliki alat ekskresi garam. Untuk itu membran sel di permukaan akar mampu
mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara selektif menyerap ion-ion tertentu
melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, kelebihan
garam yang terserap dibuang melalui transpirasi lewat stomata atau disimpan dalam daun,
batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat
tinggi (Nontji 1993).

Akar Napas

Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut,
asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu. Suplai oksigen
ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove
seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus
pneumatofora (akar napas). Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan
parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak pori-pori pecil di kulit kayu sehingga
oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi
sebagai struktur penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut . Tumbuhan mangrove
memiliki bentuk akar napas yang berbeda-beda (Sikong, 1987). Akar horizontal yang
menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakanjangkar untuk
mengait pada lumpur.

Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt, prop), akar pasak
(snorkel, peg, pencil), akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon, plank). Tipe akar
pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang pada pangkal
pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah (Sikong,
1987)

Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang


muncul dari pangkal batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan
menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh
tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk
mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos
pada saat laut surut (Kartawinata 1979).

Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak
dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil
atau pasak dan umumnya 20 dengan tinggi maksimal 30 cm, sedangkan pada Sonneratia
tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu dengan tinggi 3 m, kebanyakan
setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai Avicennia marina dengan
pneumatofora dengan tinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar
4 m (Harianto1999).

Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah
permukaan tanah, dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal ke atas kemudian
kembali ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas tanah (lutut)
membantu aerasi dan menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera
membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi akar lutut dan akar pasak
(Kartawinata 1979).

Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara
vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk
mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak
dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar
secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Widodo 1987).

2.4 PERAN MANGROVE DALAM MENGURANGI EMISI CO2

Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi
perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan menurut Thomson (2008) sebagai
berikut:

1. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.

2. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim.

3. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap atau menyerap tambahan


CO di atmosfer.
4. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan
kayu dalam jangka panjang.

5. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan


kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya.

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO,
dengan jumlah total vegetasi hutan di Indonesia yang terus meningkat, dapat menghasilkan
lebih dari 14 milliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan
setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara
kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (FWI 2003).

Tekanan manusia terhadap sumber daya hutan, menyebabkan deforestasi dan degradasi
terhadap hutan yang ada. Penurunan jumlah dan kualitas hutan tidak hanya menyebabkan
berkurangnya jumlah karbon yang tersimpan, tetapi juga menyebabkan pelepasan emisi
karbon ke atmosfer serta mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap karbon. Karenanya
hutan berperan penting di dalam upaya mitigasi perubahan iklim, melalui penyerapan CO2
menjadi pertumbuhan riap pohon (Manuri et al. 2011).

Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5
264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon
dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada
hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu,
pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan
hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap
kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan
hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan
menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena
kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai
tempat menyimpan karbon (TPIBLK 2010a).

Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem
hutan, karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomasa pohon. Pohon merupakan
proporsi terbesar penyimpanan C di daratan. Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan
dengan cara pengukuran langsung hasil penebangan (destruktif sampling) dan cara tidak
langsung dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran
diameter batang. Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis
telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal (TPIBLK
2010b).

Karbondioksida dianggap sebagai gas rumah kaca utama karena memiliki laju
pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama dan tingginya emisi
yang berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada
beberapa jenis hutan tanaman, hutan berperan menyerap CO2 dalam jumlah yang besar.
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu
dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien,
baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer mangrove yang tinggi
dapat menjaga keberlangsungan populasi fauna perairan; ikan, kerang dan satwa liar.
Mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies
hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut tidak ada mangrove tidak ada udang
(Macnae,1968). Diantara jasa lingkungan ekosistem hutan yang menjadi isu penting adalah
fungsinya dalam menyerap karbon. Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah
kaca dan karena berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer, menyebabkan terjadinya
perubahan iklim. Fungsi dan nilai ekonomi serapan karbon tersebut dapat dilihat dari
pertumbuhan mangrove rehabilitasi berikut (Tabel 2).

Tabel 2. Potensi Serapan Karbon Dioksida Hutan Rehabilitasi Mangrove, Sulawesi Selatan

Kelas Umur Total Karbon Perkiraan Harga CO2/ha Nilai CO2


(ton/ha) serapan (ton (US$) (US$/ha/thn)
CO2/ha/thn)
I (5 tahun) 702.04 18.65 7.00 130.57
II (10 tahun) 926.02 19.97 7.00 139.81
III (15 tahun) 1220.45 25.57 7.00 179.00
IV (20 tahun) 1674.49 29.66 7.00 207.63
Jumlah 4523.00 93.86 - 657.01

Potensi serapan CO2 pada hutan mangrove strata I (umur 5 tahun) sebesar 18,65
CO2/ha/tahun cukup besar jika dibandingkan dengan yang terjadi pada hutan pinus.
Heriansyah (2005) melaporkan bahwa tanaman pinus umur 5, 11, dan 24 tahun mengabsorsi
masing-masing sebesar 10,53 ton CO2/ha/tahun; 21,09 ton CO2/ha/tahun; dan 14,76 ton
CO2/ha/tahun. Hal ini dapat menunjukkan bahwa hutan mangrove ini pada kelas umur yang
sama yakni 5 tahun dengan tanaman yang di darat mampu menyerap CO2 dalam jumlah yang
lebih besar yakni 10,53 ton/ha/tahun untuk hutan pinus dan 18,65 ton/ha/tahun untuk hutan
mangrove. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa nilai kompensasi yang dapat diperoleh
dari hutan mangrove akan lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kompensasi karbon
tanaman di darat (Holidah dan Saprudin, 2010). Hal ini juga diungkapkan oleh Hilman
(2007), bahwa nilai kompensasi rata-rata karbon tidak sama pada setiap daerah tetapi
tergantung kepada jenis tanaman, luas lahan, dan lokasi lahan. Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Mangrove, melaporkan bahwa nilai manfaat hutan bakau dalam menyerap
karbon dioksida adalah sebesar Rp 6.489.000.000/tahun (LPPM, 2006).

BAB 3

3.1 PEMANFAATAN DATA SPASIAL UNTUK MENGIDENTIFIKASI GLOBAL


CHANGE DI KOTA

You might also like