You are on page 1of 22

TUGAS PRESENTASI KASUS

HIPERTIROID

TUTOR:

KELOMPOK H 3

NAMA ANGGOTA:

1. NAHIYAH ISNANDA G1A010098


2. HESTI PUTRI A. G1A010099
3. HANDIKA RHEZA A. G1A010100
4. ANGGITA SETIADI R. G1A010049

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2013
I. PENDAHULUAN

Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan


jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit
yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit
Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000
pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Sudoyo, 2007).

Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun


secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar
tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada
tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya
yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi
diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan
Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus
2.5%) (Sudoyo, 2010).

Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis


(80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5%
karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi
terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan
dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada
2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi
antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Sudoyo,
2010.

Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang


meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang
meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan
defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukuan sel atas
hormon tiroid dan bukan kadar normal hormone tiroid dalam darah. Ada
beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone
yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolism sel didasarkan atas
tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III
di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di
otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang
dapat dihambat oleh PTU (Sudoyo, 2010).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi
berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triidotironin (T3). Bentuk
umum dari masalah ini adalah Graves, sedangkan bentuk yang lain adalah
toksik adenoma, tumor kelenjar hipofisis yang menimbulkan sekresi TSH
meningkat, tiroiditis subakut dan berbagai kanker tiroid (Kusrini, 2010).

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI


1. Etiologi
a. Penyakit Graves : 75% kasus. Merupakan sebuah kelainan autoimun
akibat interaksi antara antibody terhadap reseptor TSH immunoglobulin
IgG dengan reseptor TSH pada kelenjar tiroid, yang menyebabkan
stimulasi kelenjar tiroid, sekresi tiroksin (T 4) yang meningkat, dan
pembesaran tiroid. Penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit
graves adalah penyakit mata (oftalmopati) dan penyakit autoimun yang
spesifik pada organ tertentu.
b. Struma toksik multinoduler : 15% kasus. Struma yang berkepanjangan
dapat menyebabkan hipertiroidisme. Sering terjadi relaps setelah terapi
dengan obat anti tiroid, sehingga diperlukan pembedahan atau
radioterapi.
c. Adenoma toksik (struma nodular tunggal): 5% kasus. Suatu nodul yang
hiperfungsi secara otonom yang menyebabkan kelebihan hormone
tiroid dan menekan sekresi TSH.
d. Tiroiditis Hashimoto: bersifat autoimun (berhubungan dengan antibody
peroksidase tiroid), pembesaran tiroid yang licin pada perabaan, dapat
menyebabkan hiper- dan lalu hipotiroidisme.
e. Tiroiditis pasca melahirkan: biasanya sembuh dengan sendirinya.
f. Penyebab yang jarang termasuk: tiroiditis oleh virus (de Quervain),
obat obatan seperti amiodaron, terapi penggantian T4 yang berlebihan,
kelebihan iodine (efek Jod-Basedow), penyakit hipofisis hipotalamus
(tumor yang mensekresi TSH atau hipofisis yang resisten terhadap
hormone tiroid), atau hiperemis gravidarum (stimulasi tiroid oleh
human chorionic gonadotropin [hCG]) (Davey, 2005).
2. Faktor Predisposisi
a. stres
b. merokok
c. radiasi pada leher
d. Terjadi lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki
e. Pada usia lebih dari 50 tahun
f. Post trauma emosional
g. Peningkatan stress
(Djokomoeljanto, 2009).

C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika pada wanita sebesar 1,9% dan
pria 0,9%. Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi hipertiroid berkisar 1%-2%,
dan di Inggris kasus hipertiroid terdapat pada 0,8 per 1000 wanita per tahun.
Menurut Asdie prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti
dan penderita hipertiroid wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria yaitu 5
banding 1 (Supadmi, et al., 2007).
Prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui tetapi kasusnya
semakin meningkat. Data dari Whickham survey pada pemeriksaan penyaring
kesehatan dengan Free Thyroxine Index (FT4) menunjukkan prevalensi
hipertiroid pada masyarakat sebanyak 2% (Kusrini dan Kumorowulan, 2010).
Tingkat kejadian hipertiroidisme dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
diantaranya yang mungkin penting adalah asupan yodium dalam populasi.
Daerah dengan tingkat asupan yodium yang tinggi, hipotiroidisme lebih umum
dari hipertiroidisme, sedangkan hipertiroidisme mendominasi di daerah dengan
defisiensi yodium ringan dan sedang (Carle, 2011).

D. PATOGENESIS
Kelenjar tiroid pada penyakit hipertiroid (graves) membesar secara
difus, lunak dan hipervaskularisasi. Parenkim kelenjar mengalami hipertrofi
dan hiperflasia yang secara khas terlihat dengan adanya peninggian
epithelium dan redudanci dinding folikular sehingga memberikan gambaran
lipatan papilar dan tanda peningkatan aktivitas selular. Hiperplasi biasanya
disertai dengan infiltrasi limfositik, sebagai adanya gambaran imunitas selular
(CMI= cell mediated immunity) atau mungkin lebih menggambarkan
hubungannya dengan tiroiditis kronik. Apabila penderita mendapat terapi
yodium, akan terjadi penimbunan koloid yang kadang kadang menyebabkan
pembesaran dan bertambah kerasnya kelenjar. Penyakit graves seringkali
berhubungan dengan pembesaran limfa atau timus. Hipertiroidisme dapat
menyebabkan degenerasi serabut otot skelet dan pembesaran jantung.
Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar
dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak
hyperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga
jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan
pembesaran kelenjar. Setiap sel juga meningkatkan kecepatan sekresinya
beberapa kali lipat; dan penelitian ambilan iodium radioaktif menunjukkan
bahwa kelenjar-kelenjar hiperplastik ini mensekresi hormone tiroid dengan
kecepatan 5- 15 kali lebih besar daripada normal.
Perubahan pada kelenjar tiroid ini mirip dengan perubahan akibat
kelebihan TSH. Akan tetapi dari penelitian dengan pengukuran
radioimunologik dapat ditunjukkan bahwa pada sebagian besar penderita
besarnya konsentrasi TSH dalam plasma adalah lebih kecil dari normal, dan
seringkali nol. Sebaliknya, pada sebagian besar penderita dijumpai adanya
beberapa bahan yang mempunyai kerja mirip dengan kerja TSH yang ada
dalam darah. Biasanya bahan bahan ini adalah antibody immunoglobulin
yang berikatan dengan reseptor membrane yang sama dengan reseptor yang
mengikat TSH. Bahan bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel,
dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Antibody ini disebut
immunoglobulin perangsang tiroid dan disingkat TSI. Bahan ini mempunyai
efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya
sekresi hormone tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan
pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis.

Hipothalamus

Hipofisis
(TSH)

TSHR-Ab

T3 dan T4

Iodine

Ginjal, Hati,
Otot, Otak, Dsb

Bagan Patogenesis Hipertiroid (Graves Disease)

Pada penyakit Grave, terdapat antibody yang menyerupai TSH.


Sehingga TSH-r (reseptor TSH) mengikat antibody tersebut sehingga TSH
yang berasal hipofisis tidak ditanggap. Produksi T3 dan T4 yang
distimulus oleh autoimun tersebut tidak dapat dihambat dan t3 dan t4 yang
dihasilkan tidak dapat menghasilkan negative feedback sehingga produksi
terus berlebihan.
Tabel penyebab dan patogenesis nya.

E. PATOFISIOLOGI

Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang


merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat. Akibat
peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan emosi,
palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan. Kulit lebih
hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat, tekanan nadi yang
kecil, pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal jantung. Peningkatan
cardiac output dan kerja jantung selama ketidakstabilan atrial menyebabkan
ketidakteraturan irama jantung, terutama pada pasien dengan penyakit jantung.
Ancaman bagi kehidupan di kombinasi dengan delirium atau koma,
temperatur tubuh naik sampai 41o C, detak jantung meningkat, hipotensi,
muntah dan diare.

Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri khas


atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai penyakit
Graves, yaitu:
1. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik yang
bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan di
orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari
limfosit yang disintesis menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot
ekstraokular, dan hasilnya adalah pembengkakan pada otot orbital (Gardner,
2007)

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi


akibat peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air
mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya
terletak pada reaksi imun terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama
dengan reseptor TSH. Akibatnya terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi
limfosit, akumulasi asam mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat
retrobulbar (Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang
dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan
kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan seperti
yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai derajat keparahan yang diderita
pasien tersebut. Sehingga ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
a. Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi antara iris
bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease
biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal
normalnya tidak.
b. Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer
(Harrison, 2005).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang
dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan
kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan
seperti yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai derajat keparahan
yang diderita pasien tersebut. Sehingga ditakutkan hasilnya jadi kurang
valid.
c. Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi antara iris
bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease
biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal
normalnya tidak.
d. Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer
(Harrison, 2005).
2. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson, tremor
pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor kasar. Tremor
halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari
bertambahnya kepekaan sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla
(Guyton dan Hall, 2008).
Gejala lain yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1. Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan yang
lebih banyak untuk megimbanginya.
2. Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid
membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di dalam
otot untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis. Karena
diambil dari otot, maka pemakaian senyawa glukogenik secara terus-menerus
dapat mengurangi massa otot sehingga berat badan pun bisa mengalami
penurunan (Guyton dan Hall, 2008).
3. Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid dapat
merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon yang
dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin dan norepinephrin. Kedua
hormon tersebut dapay meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara
menstimulasi dan reseptor, terutama reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung (Guyton dan Hall, 2008).
4. Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga hipertiroidisme seringkali
menyebabkan diare (Guyton dan Hall, 2008).
Sekresi hormon tiroid

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - glukosa Kontraksi usus masa protein otot rangka

Degradasi KH, protein dan lemak


Sering defekasi Sering lelah

Kebutuhan metabolisme BB

Nafsu makan

Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering


defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme
SMMeitlo-sk ntyirao gd tmreb ptunydairkelm afopsiutankbermaknsyidbengka ntfilgaemn diaftbsrodan sbilda ter ngsa oleh p ngaruh sitok n
(mseiop rtis on beritf on gam a
Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme
FKRT u3ae nn&p gge sks iaa ha on rms i n o a n p s s a ra f
tre
tpknT i agr4 oda ina d d a e ra h m e d u l a
m
m(ms a eraemn nfi og da tu l ra st io n u s o t o t )
bo er rl e b i
shn yg sk t ae tm s a ra f
Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme
F. MANIFESTASI KLINIS
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk
palpitasi, kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada
mata, dan takikardi ringan umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya
massa otot dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi
tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan
pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60 tahun, manifestasi
kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang paling
menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort, tremor, nervous dan penurunan
berat badan (Sudoyo, 2007).
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa
bulan sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik.
Manifestasi klinis yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan,
tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan
pembesaran tiroid. Penurunan berat badan meskipun nafsu makan bertambah
dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik, sehingga segera dipikirkan
adanya hipertiroidisme (Sudoyo, 2007).
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang
disebut dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita
dan degenerasi otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses
autoimun. Eksoftalmus berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus
sehingga penglihatan akan rusak. Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak
bisa menutup sempurna sehingga permukaan epithel menjadi kering dan sering
terinfeksi dan menimbulkan ulkus kornea (Sudoyo, 2007).
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab
gejala dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang
berdiri sendiri. Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan
tanda-tanda kelainan tiroid sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung
yang tidak dapat diterangkan pada umur pertengahan harus dipikirkan
hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga curah jantung yang tinggi atau
atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia lanjut ada baiknya
dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam darah untuk
mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari gejala-
gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang
kecil (Sudoyo, 2007).

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Dada berdebar-debar, tangannya sering gemetar, badan mudah lelah,
sering merasa kepanasan, banyak keringat, gelisah, sulit berkonsentrasi dan
sensitif (mudah marah). Pasien menjadi mudah lapar dan makan banyak,
namun berat badan tidak meningkat bahkan cenderung menurun. Frekuensi
buang air besar pasien meningkat, tanpa disertai perubahan jumlah maupun
konsistensi fesesnya. oligomenore/amenore dan libido turun, kulit hangat
dan basah, rambut ontok, bruit. Ada riwayat keluarga yang mempunyai
penyakit sama (Sudoyo, 2007).
b. Pemeriksaan Fisik
1. KU : cemas, tidak tenang
2. Denyut nadi : takikardi (bervariasi)
3. Frekuensi napas : 20/menit
4. Kulit : hangat dan lembab, Rambut rontok, kulit basah,
berkeringat
5. Kepala : mata diplopia, eksoftalmus
6. Leher : teraba massa difus di leher depan tanpa benjolan
diskret dan dapat digerakkan
7. Thorax : disritmia cordis, : hipertensi, aritmia, palpitasi,
gagal jantung.
8. Genitourinaria : Oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil,
ginekomasti.
9. Psikis dan saraf : Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervositas,
paralisis periodik dispneu.
10. Ekstremitas : tremor halus
11. Darah dan limfatik : Limfositosis, anemia, splenomegali, leher
membesar.
12. Skelet : Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri
tulang.
13. Muskular : Rasa lemah.
(Sudoyo, 2007. Djokomoeljanto, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit
(bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid).
2. Sidik tiroid (thyroid scan) terutama membedakan penyakit Plummer dari
penyakit Graves dengan komponen nodosa.
3. EKG.
4. Foto thoraks (Sudoyo, 2007).

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Anemia
2. Hipertensi
3. Diabetes mellitus
4. Hipotiroid
5. Parkinson
6. Penyakit Jantung Koroner
(Djokomoeljanto, 2009).

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan hipertiroid adalah produksi hormon (obat anti
tiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi sub total).
1. Obat antitiroid
Digunakan dengan indikasi :
a. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirrotoksikosis.
b. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan,
atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium radioaktif.
c. Persiapan tiroidektomi
d. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
e. Pasien dengan krisis tiroid
(Djokomoeljanto, 2009).

Obat antitiroid yang sering digunakan :


Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeriksaan (mg/hari)
Karbimatol 30 60 5 20
Metimazol 30 60 5 20
Propiltiourasil 300 600 50 200
(Djokomoeljanto, 2009).

Obat-obatan ini umumnya diberikan sekitar 18 24 bulan. Pada pasien


hamil biasanya diberikan propil tiourasil dengan dosis serendah mungkin
yaitu 200 mg/hari atau lebih lagi. Pada masa laktasi juga diberikan
propiltiourasil karena hanya sedikit sekali yang keluar dari air susu ibu,
oasis yang dipakai 100-500 mg tiap 8 jam (Djokomoeljanto, 2009).

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Indikasi pengobatan dengan yodium radiaktif diberikan pada :
a. Pasien umur 35 tahun atau lebih
b. Hipertiroid yang kambuh sesudah di operasi
c. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
d. Tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat antitiroid
e. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
(Djokomoeljanto, 2009).

3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroid. Indikasi operasi
adalah :
a. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid
b. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
c. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif.
d. Adenoma toksik atau strauma multinodular toksik
e. Pada penyakit graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Sebelum operasi biasanya pasien diberi obat antitiroid sampai eutitiroid
sampai eutiroid kemudian diberi cairan kalium yodida 100-200 mg/hari
atau cairan lugol 10-14 tetes/ hari selama 10 hari sebelum dioperasi
untuk mengurangi vaskularisasi pada kelenjar tiroid.
(Djokomoeljanto, 2009).
4. Pengobatan tambahan
a. Sekat -adrenergik
Obat ini diberikan untuk mengurangi gejala dan tanda hipertiroid.
Dosis diberikan 40-200 mg/hari yang dibagi atas 4 dosis. Pada orang
lanjut usia diberik 10 mg/6 jam.
b. Yodium
Yodium terutama digunakan untuk persiapan operasi. Sesudah
pengobatan dengan yodium radiaktif dan pada krisis tiroid. Biasanya
diberikan pada dosis 100-300 mg/hari.
c. Ipodat
Ipodat kerjanya lebih cepat dan sangat baik digunakan pada keadaan
akut seperti krisis tiroid kerja (padat adalah menurunkan konversi T4
menjadi T3 diperifer, mengurangi sintesis hormon tiroid, serta
mengurangi pengeluaran hormon dari tiroid.
d. Litium
Litium mempunyai daya kerja seperti yodium, namun tidak jelas
keuntungannya dibandingkan dengan yodium. Litium dapat digunakan
pada pasien dengan krisis tiroid alergi terhadap yodium.
(Djokomoeljanto, 2009).

b. Non farmakologi :
1. Istirahat
2. Diet cukup kalori dan vitamin
3. Diet tinggi kalori 2600 3000 kal / hari
4. Protein tinggi 100 125 gr / hari/ (2,5 gr/ bb), untuk pemecahan
protein jaringan
5. Olahraga teratur
6. Hindari merokok karena dapat menigkatkan metabolism, Menghindari
rokok, dikarenakan dapat memperparah keadaan dari ophthalmopathy,
7. Memakai penutup mata untuk menyiasati terjadinya penekanan di kornea
yang disebabkan oleh ophthalmopathy.
(Djokomoeljanto, 2009).
CONTOH RESEP

dr. Handika Reza


SIP. G1A010100
Alamat: Jalan Merdeka No. 1 Purwokerto Barat
Telp. 081548056784

Purwokerto, 3 Desember 2013

R/. RL ml 500 fl No. 1


s. i. m. m

R/ infus set No.18 No. 1


S. i. m. m

Pro: Tn. Adi


Umur : 34 tahun
Alamat: Berkoh, Purwokerto

CONTOH SURAT RUJUKAN

Yth. Dokter : dr. Agus B.S., Sp.BS


Di RSU : Margono Soekarjo, Purwokerto

Mohon pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut terhadap penderita,


Nama Pasien : Tn. Gito
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 34 tahun
No. Telpon : 081548765429
Alamat : Berkoh, Purwokerto

Dengan hasil pemeriksaan sbb:


Anamnesa :
Pemeriksaan fisik : KU: sopor. TD: 80/60 mmHg. Nadi: 115 x/menit.
Suhu: 36,50 C. Konjunctiva anemis. Status lokalis: vulnus
penetratum abdomen regio hipokondriaka dekstra
Pemeriksaan lab :-
Lain-lain :-
Diagnosa sementara : vulnus penetratum abdomen regio hipokondriaca dekstra
e.c. peluru
Terapi/Obat yang telah diberikan : resusitasi cairan (RL), balut tempat luka,
perawatan luka penetrasi.

Demikian surat rujukan ini kami kirim, kami mohon balasan atas surat
rujukan ini. Atas perhatian Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami

(dr. Handika Reza)


No. SIP:G1A0100
III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

You might also like