Diabetes militus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai sebab dangan karakteristik adanya hiperglikemia kronik disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat dari gangguan sekresi insulin atau kerja insulin (Holt & Kumar, 2010).
Diabetes militus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai sebab dangan karakteristik adanya hiperglikemia kronik disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat dari gangguan sekresi insulin atau kerja insulin (Holt & Kumar, 2010).
Diabetes militus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai sebab dangan karakteristik adanya hiperglikemia kronik disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat dari gangguan sekresi insulin atau kerja insulin (Holt & Kumar, 2010).
2014 Manajemen Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
Diabetes militus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai
sebab dangan karakteristik adanya hiperglikemia kronik disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat dari gangguan sekresi insulin atau kerja insulin (Holt & Kumar, 2010). Mekanisme timbulnya penyakit DM adalah sebagai berikut. Pada saat kondisi normal, glukosa yang ada dalam tubuh yang berasal dari makanan, diserap kedalam aliran darah dan bergerak ke sel sel dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dilakukan oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas. Hormon insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Namun jika insulin tersedia terbatas atau bekerja tidak normal, maka sel sel dalam tubuh tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Apabila glukosa dalam darah berlebih, maka sebagian glukosa kemudian dibuang dan dikenal dengan kencing manis atau Diabetes Militus (Kurnia, 2010) Klasifikasi DM terdiri dari DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan dm tipe lain. DM tipe 1 berhubungan dengan adanya gangguuan auto imun yang merusak sel beta pankreas sehingga menyebabkan sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin. DM tipe 2 berhubungan dengan adanya resestensi insulin dan defisiensi insulin secara relatif sedangkan DM gestasional adalah DM yang terjadi selama masa kehamilan (Ligaray, 2010). DM tipe 2 disebabkan adanya defisiensi dan resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin dapat terjadi pada jaringan hepar, lemak dan otot serta akibat adanya respon yang tidak adekuat dari sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Defisiensi insulin menyebabkan terjadnya penurunan proses pembentukan glikogen dan terjadi peningkatan pemecahan glikogen, pembentukan glukosa dari asam amino dan laktat, pemecahan trigliserida menjadi giserol dan asam lemak bebas, pembentukan bahan keton dari asam lemak bebas (Ignatavicius & Workman, 2008). DM tipe 2 berhubungan dengan adanya resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat. Sekresi insulin oleh kelenjar pankreas yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan komplikasi yang bersifat akut maupun kronis. Komplikasi akut yang terjadi pada pasien DM adalah ketoasidosis diabetik (DKA) dan hiprglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) akibat kurangnya insulin sehingga menyebabkan lipolisis, ketogenesis dan hiperglikemia (Holt et al, 2010). Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik merupakan sindrom yang ditandai dengan hiperglikemi ekstrim dan deplesi volume intravaskuler tanpa ketonemia dan dengan asidosis dan ketonuria yang minimal atau tidak ada. Sindrom ini juga ditandai dengan hiperglikemia parah, yang ditandai denganpeningkatan osmolaritas serum dan disertai bukti klinis dehidrasi. Kenaikan osmolaritas alam cairan ekstraseluler dapat menyebabkan pergeseran air dari intraseluler ke ruang ekstraseluler mengakibatkan dehidrasi intrasesluler. Hiperosmolar Hiperglikemi Non Ketotik sering terjadi pada pasien yang mengalami diabetes militus terutama diabetes militus tipe 2 dan dapat dicetuskan oleh penyakit lain seperti influensa atau pneumania bakterial (Stillwell, 2011). Menurut National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh Pusat Statistik Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800 kejadian tahunan untuk HNS di Amerika Serikat 1989-1991. HHNK mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden keseluruhan HHNK kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga secara signifikan kurang umum daripada DKA (Diabetes Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian HHNK kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012). Rata-rata usia pasien dengan HHNK adalah 60 tahun. Laporan kejadian kasus yang paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun. Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah awal dekade keempat kehidupan. HHNK juga dapat terjadi pada orang yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada anak-anak, prevalensi DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia ini dan dapat menyebabkan peningkatan insiden HHNK pada populasi ini (Hemphill, 2012). Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHNK. Hal hal yang mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai, termasuk imobilitas, usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan aktivitas yang menurun, menempatkan pasien pada risiko. Gangguan indera, seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan juga meningkatkan risiko HHNK. Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Dalam Survei Discharge US National Hospital, 3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan. Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang terpengaruh oleh HHS sebagai konsekuensi dari peningkatan prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS dari 10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Serikat antara tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien putih dan 2.900 pasien Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras lain atau ras tidak diketahui (Hemphill, 2012). Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009). Tanda dan gejala Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik tidak spesifik dan karenanya sering terjadi keterlambatan dalam penanganan medisnya. Pasien biasanya tidak memiliki pengetahuan sebelumnya bahwa dia mengalami intoleransi glukosa serta mengalami poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. Penyakit umum dan obat yang terkait dengan sindrom Hiperglikemi hiperosmolar non-ketotik antara lain : infeksi- pneumonia, ISK sepsis, trauma, gagal ginjal, dialisis, infark miokard, tromboemboli, perdarahan gastrointestinal, Obat : Kortikosteroid, -blocker, Phenytoin, diazoxide, - L- asperginase, Calcium channel blockers, Klorpromazin, Simetidin dan agen imunosupresif (Venkatraman, 2006). Penatalaksanaan Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) : Rehidrasi intravena agresif, Penggantian elektrolit, Pemberian insulin intravena, Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta dan Pencegahan. Penatalaksanaan cairan pada pasien HHNK. Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009). Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009). Penatalaksanaan elektrolit pada pasien HHNK. Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor (Soewondo, 2009). Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009). Terapi insulin, Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). Penatalaksanaan non medikamentosa, Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) : Terapi gizi, Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Latihan jasmani, Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh. Identifikasi dan mengatasi faktor penyebab, Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009). Pencegahan, Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009). Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009). Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut : Karbohidrat : 60-70%, Protein : 10-15%, Lemak : 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah- buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association, 2004). Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus (DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM). Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka kematiannya berkisar antara 30 50 % yang merupakan angka kematian yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit penyakit kardiovaskular atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara maju dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes Care. 2004 Ignativicius & workman. 2006. Medical Surgiical Nursing Critical Thinking for Colaborative Care vol. 2. ohio Ligaray, K., Isley, M. 2010, Diabetes Militus, Type 1. Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/articel/ 117739-overview Holt & Kumar. 2010. ABC of Diabetes. Sixth edition. UK. Willey-Blackwell. Stillwell, Susan B. 2011. Pedoman Keperawatan Kritis Edisi 3. Jakarta:EGC Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at : http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2094446- mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK Arifin, Zaenal. 2011. Analisa Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Militus tipe 2 Dirumah sakit Umum Provinsi NTB. Jakarta : UI Reynolds, Ira Gene. 2012. How to recognize hyperosmolar hyperglycemic syndrome, American Nurse Today vol. 7; 12-15. America. diunduh dari www.americannursetoday.com pada 23 Oktober 2014. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156 Venkatraman, R & Sunghi, Sunit C. 2006. Hyperglycemic Hyperosmolar Nonketotic Syndrome. Indian Journal of Pediatrics, Volume 73