You are on page 1of 8

ESAI MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN HHNK

Di Susun Oleh :

ENDAR GIRI BUDIHARTO 22020112120006

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2014
Manajemen Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Diabetes militus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai


sebab dangan karakteristik adanya hiperglikemia kronik disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat dari gangguan sekresi insulin atau kerja
insulin (Holt & Kumar, 2010). Mekanisme timbulnya penyakit DM adalah sebagai berikut.
Pada saat kondisi normal, glukosa yang ada dalam tubuh yang berasal dari makanan, diserap
kedalam aliran darah dan bergerak ke sel sel dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi
dilakukan oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas. Hormon insulin juga berfungsi
untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Namun jika insulin tersedia terbatas atau bekerja
tidak normal, maka sel sel dalam tubuh tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam
darah. Apabila glukosa dalam darah berlebih, maka sebagian glukosa kemudian dibuang dan
dikenal dengan kencing manis atau Diabetes Militus (Kurnia, 2010)
Klasifikasi DM terdiri dari DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan dm tipe lain.
DM tipe 1 berhubungan dengan adanya gangguuan auto imun yang merusak sel beta
pankreas sehingga menyebabkan sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin. DM tipe
2 berhubungan dengan adanya resestensi insulin dan defisiensi insulin secara relatif
sedangkan DM gestasional adalah DM yang terjadi selama masa kehamilan (Ligaray, 2010).
DM tipe 2 disebabkan adanya defisiensi dan resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi
insulin dapat terjadi pada jaringan hepar, lemak dan otot serta akibat adanya respon yang
tidak adekuat dari sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Defisiensi insulin
menyebabkan terjadnya penurunan proses pembentukan glikogen dan terjadi peningkatan
pemecahan glikogen, pembentukan glukosa dari asam amino dan laktat, pemecahan
trigliserida menjadi giserol dan asam lemak bebas, pembentukan bahan keton dari asam
lemak bebas (Ignatavicius & Workman, 2008).
DM tipe 2 berhubungan dengan adanya resistensi insulin dan sekresi insulin yang
tidak adekuat. Sekresi insulin oleh kelenjar pankreas yang tidak adekuat menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia yang terjadi
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan komplikasi yang bersifat akut maupun
kronis. Komplikasi akut yang terjadi pada pasien DM adalah ketoasidosis diabetik (DKA)
dan hiprglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) akibat kurangnya insulin sehingga
menyebabkan lipolisis, ketogenesis dan hiperglikemia (Holt et al, 2010).
Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik merupakan sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemi ekstrim dan deplesi volume intravaskuler tanpa ketonemia dan dengan asidosis
dan ketonuria yang minimal atau tidak ada. Sindrom ini juga ditandai dengan hiperglikemia
parah, yang ditandai denganpeningkatan osmolaritas serum dan disertai bukti klinis dehidrasi.
Kenaikan osmolaritas alam cairan ekstraseluler dapat menyebabkan pergeseran air dari
intraseluler ke ruang ekstraseluler mengakibatkan dehidrasi intrasesluler. Hiperosmolar
Hiperglikemi Non Ketotik sering terjadi pada pasien yang mengalami diabetes militus
terutama diabetes militus tipe 2 dan dapat dicetuskan oleh penyakit lain seperti influensa atau
pneumania bakterial (Stillwell, 2011).
Menurut National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh Pusat Statistik
Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800 kejadian tahunan untuk HNS di Amerika
Serikat 1989-1991. HHNK mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden
keseluruhan HHNK kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga secara signifikan
kurang umum daripada DKA (Diabetes Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang
meningkat, kejadian HHNK kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012). Rata-rata
usia pasien dengan HHNK adalah 60 tahun. Laporan kejadian kasus yang paling sering
dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun. Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes
Ketoasidosis adalah awal dekade keempat kehidupan. HHNK juga dapat terjadi pada orang
yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada anak-anak, prevalensi
DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia ini dan dapat menyebabkan peningkatan
insiden HHNK pada populasi ini (Hemphill, 2012).
Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHNK. Hal hal yang
mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai, termasuk imobilitas, usia lanjut,
kelemahan, demensia, agitasi, dan aktivitas yang menurun, menempatkan pasien pada risiko.
Gangguan indera, seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan juga
meningkatkan risiko HHNK. Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering
dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa prevalensi sedikit lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Dalam Survei Discharge US National
Hospital, 3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan. Afrika Amerika, Hispanik,
dan penduduk asli Amerika yang terpengaruh oleh HHS sebagai konsekuensi dari
peningkatan prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS dari
10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Serikat antara tahun 1989 dan 1991, ada
6300 pasien putih dan 2.900 pasien Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras
lain atau ras tidak diketahui (Hemphill, 2012).
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
(HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan
ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan
air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas
tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah
ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah,
terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009).
Tanda dan gejala Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik tidak spesifik dan
karenanya sering terjadi keterlambatan dalam penanganan medisnya. Pasien biasanya tidak
memiliki pengetahuan sebelumnya bahwa dia mengalami intoleransi glukosa serta
mengalami poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. Penyakit umum dan obat yang
terkait dengan sindrom Hiperglikemi hiperosmolar non-ketotik antara lain : infeksi-
pneumonia, ISK sepsis, trauma, gagal ginjal, dialisis, infark miokard, tromboemboli,
perdarahan gastrointestinal, Obat : Kortikosteroid, -blocker, Phenytoin, diazoxide, - L-
asperginase, Calcium channel blockers, Klorpromazin, Simetidin dan agen imunosupresif
(Venkatraman, 2006).
Penatalaksanaan Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) meliputi lima
pendekatan (Soewondo, 2009) : Rehidrasi intravena agresif, Penggantian elektrolit,
Pemberian insulin intravena, Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit
penyerta dan Pencegahan.
Penatalaksanaan cairan pada pasien HHNK. Langkah pertama dan terpenting dalam
penatalaksaan HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai
dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg,
atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload
cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan
potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan
monitor hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin
diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang
diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per
jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
Penatalaksanaan elektrolit pada pasien HHNK. Kehilangan kalium tubuh total
seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau
tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini
akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau
terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0
mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq
per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi
awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap
liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per
L (Soewondo, 2009).
Terapi insulin, Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka
cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi
glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat
ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL,
sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
Penatalaksanaan non medikamentosa, Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non
Ketotik (KHHNK) biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan
gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang tepat
karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK)
yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan penyakit
Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
Terapi gizi, Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Latihan
jasmani, Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang
dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin
plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh.
Identifikasi dan mengatasi faktor penyebab, Walaupun tidak direkomendasikan untuk
memberikan antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi
antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien
hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan
interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009).
Pencegahan, Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance
yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga
terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan
status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan
edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai
pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein
dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut : Karbohidrat : 60-70%,
Protein : 10-15%, Lemak : 20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin
dan memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%
(HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan
jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan,
namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada),
tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi
penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong
menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga
dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko
masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-
buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association,
2004).
Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) merupakan salah satu
komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus (DM). Kedaruratan ini pun masih
merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes
Melitus (DM). Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit
diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun diperkirakan
kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah Sakit. Koma hanya
ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis dari kasus ini biasanya buruk, meskipun
sebenarnya kematian dari pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri
melainkan oleh karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka kematiannya
berkisar antara 30 50 % yang merupakan angka kematian yang tinggi hal ini disebabkan
karena serinya terjadi kegawatan ini pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit
penyakit kardiovaskular atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan
osmoralitas darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara maju
dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care. 2004
Ignativicius & workman. 2006. Medical Surgiical Nursing Critical Thinking for Colaborative
Care vol. 2. ohio
Ligaray, K., Isley, M. 2010, Diabetes Militus, Type 1. Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/articel/ 117739-overview
Holt & Kumar. 2010. ABC of Diabetes. Sixth edition. UK. Willey-Blackwell.
Stillwell, Susan B. 2011. Pedoman Keperawatan Kritis Edisi 3. Jakarta:EGC
Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2094446-
mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK
Arifin, Zaenal. 2011. Analisa Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah Pasien
Diabetes Militus tipe 2 Dirumah sakit Umum Provinsi NTB. Jakarta : UI
Reynolds, Ira Gene. 2012. How to recognize hyperosmolar hyperglycemic syndrome,
American Nurse Today vol. 7; 12-15. America. diunduh dari
www.americannursetoday.com pada 23 Oktober 2014.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Aru W.
Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156
Venkatraman, R & Sunghi, Sunit C. 2006. Hyperglycemic Hyperosmolar Nonketotic
Syndrome. Indian Journal of Pediatrics, Volume 73

You might also like