You are on page 1of 40

BATUBARA

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar mengandung lebih


dari 50% berat dan 70% volume material karbonan, termasuk
lengas bawaan(inherent moisture). Secara umum, batubara
dibedakan menjadi dua :
1 Humic (tumbuhan darat)
2 Sapropelic (tumbuhan air -> ganggang).
3 tumbuhan -> gambut : peatifikasi.
4 gambut -> lignit -> subbituminous -> bituminous -> antrasit :
coalification

Menurut Frenzel(1983) dan Boron et al.(1987), pembentukan


gambut dapat diawali dengan:
1 Terrestrialisation :replacement air oleh mire(Lumpur). Dapat terjadi
di kolam, danau, lagoon, interdistributary bay, dll.
2 Paludification yang merupakan penggantian dataran kering oleh
mire(Lumpur) contoh ketika penaikan muka air tanah.

Gambaran Fisik batubara


Unsur utama batubara :
Maceral : persamaan dari mineral untuk organic.
Mineral matter : fraksi anorganik yang tersusun atas variasi
mineral primer dan sekunder.
Brown Coal : low coal rank seperti lignite dan subbituminus
Black atau Hard Coal : bituminous, semi antrasit dan antrasit.
Batubara dapat dibagi menjadi 2 grup utama :
1 Humic Coals : terdiri dari berjenis jenis campuran debris tumbuhan
makro, biasanya batubaranya mempunyai kenampakan
banded(berpita).
2 Sapropelic Coals : terdiri dari debris tumbuhan microscopic yang
terbatas, biasanya batubara tampak homogen.

Deskripsi Makroskopik batubara


Humic coals
Stopes(1919) mengajukan 4 tipe litological (LITHOTYPES) untuk
mendescripsikan humic coals :
1 Vitrain : hitam, brittle, glassy, vitreous material, terjadi sebagai
band tipis
2 Clarain : bright dengan kilap sutra pada laminasi halus
3 Durain : abu smapai hitam dengan kilap tanah, pecah menjadi
fragmen kasar dipermukaanya
4 Fusain : hitam lembut, dapat diremas, mudah terpisah menjadi
bubuk hitam berserat.
Namun sulit untuk menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan
batubara di core atau singkapan, karena keempat lithotype tersebut
biasanya terjadi sebagai lensa atau layer tipis, biasanya dalam
ketebalan millimeter.
Sapropecic Coals
Sapropelic coal biasanya berbutir halus, homogen, berwarna gelap
dan memperlihatkan jejak conchoidal fracture. Bisa berasosiasi
dengan humic ataupun berdiri sendiri. Tipe dari Sapropelic coal :
a. Cannel Coal, terdiri dari utamanya miospore dan mud organic
yang terbentang dibawah air, seperti di danau dangkal.
b. Boghead Coal, batubara alga, seluruhnya berasal dari material
alga, bergradasi secara lateral atau vertical menjadi oil shales.
Transisi antara keduanya : cannel-boghead coal atua boghead-
cannel. Biasanya sapropelic bisa dibedakan secara mikroskopik.

Deskripsi Mikroskopik batubara


Deskripsi mikroskopik dari batubara dianalisa berdasarkan
MACERAL, yang dibagi menjadi 3 group (berdasarkan Stopes-
Heerlen) :
1 Huminite/vitrinite : material kayu.
2 Exinite(liptinite) : spora, resin, cuticles.
3 Inertinite : material tumbuhan yang teroksidasi
Kandungan Mineral dalam batubara
Mineral detrital adalah mineral2 yang tertransportasi ke swamp atau
tanah berlumpur oleh udara atau air. Variasi yang besar dari mineral
dapat ditemukan pada batubara, biasanya didominasi oleh kuarsa,
karbonat, iron dan mineral lempung.

Watter borne mineral matter : tertransportasi kedalam coal swamps


sepanjang channel yang memotong akumulasi debris organic. Ketika
channel dalam keadaan banjir, detritus menebar pada top dari
material organic dan peristiwa seperti ini biasanya menghasilkan
mineral-rich parting pada batubara. Mineral rich material yang hadir
pada bagian floor dari peat swamp kemungkinan dihasilkan aktivitas
bioturbasi dan perbedaan kompaksi.
Wind borne mineral matter : biasanya berhubungan dengan coal
swamp yang dekat dengan wilayah vulkanik aktif. Asosiasi litologi :
flint clays, tonsteins. Jika peristiwa vulkanik singkat dan tersebar
luas, wind-borne mineral matter akan berguna sebagai stratigraphic
marker.

Authigenic Mineral adalah mineral yang tercampur kedalam gambut


selama atau setelah pengendapan, atau kedalam batubara selama
coalification. Endapan mineral biasanya terdapat sebagai sebaran
atau agregat, sedangkan mineral-rich fluids yang ada selama tahap
akhir dari coalification cenderung mengendapkan mineral pada
joints dan celah lain di batubara. Produk umum dari mineralisasi
adalah mineral mineral calcium-iron, seperti calcite, ankerite,
siderite dan pyrite, dan silica dalam bentuk kuarsa.

Unsur sulphur biasanya hadir di setiap batubara, biasanya hadir


dalam fraksi organic, sedangkan fraksi anorganiknya hadir dalam
bentuk pyrite. Pyrite dapat hadir sebagai mineral detrital primer
ataupun pyrite sekunder sebagai hasil dari reduksi sulfur di air laut,
jadi ada pemikiran yang kuat tentang hubungan antara batubara
dengan sulfur tinggi dan lingkungan pengendapan marine.
Mineral lempung rata-rata menyusun 60-80% dari jumlah mineral
matter total dalam batubara. Mineral lempung bisa berasal dari
detrital ataupun sekunder, terbentuk dari larutan aqueous. Kondisi
kimia pada tempat pengendapan juga mempengaruhi tipe dari
mineral lempung yang berasosiasi dalam batubara.

Secara khusus, rawa air tawar dengan pH rendah akan cenderung


menghasilkan alterasi insitu dari smectites, illite dan mixed-layers
clays to kaolinite. Umumnya, illite merupakan mineral lempung
yang dominant pada kondisi marine, sementara pada kondisi
nonmarine, mineral lempung yang dominant adalah kaolinite.

Mineral lempung terjadi dalam batubara dengan 2 cara : tonsteins


atau seagai inclusi dalam litotipe maceral. Tonsteins terbentuk dari
proses detrital atau authigenic, berasosiasi dengan aktivitas
vulkanik, biasanyan mengandung kaolinite, smectite dan mixed-
layer clays dengan mineral aksesoris.
Clay mineral dapat mengkontaminsasi seluruh microlitohtype.
Mineral lempung < 20% (by volume) disebut sebagai contaminated
by clay, 20-60% carbargillite, > 60% udah bukan batubara, tapi
argillaceous shale.

Mineral lempung mempunyai sifat mengembang jika terkena air.


Swelling disertai dengan pengurangan kekuatan dan penghancuran
mengakibatkan ketidakstabilan dalam penambangan.
Kandungan mineral matter pada batubara dan batuan
disekelilingnya akan membpengaruhi sifat dari coal roof dan floor,
dan pada kasus khusus akan resistance atau response terhadap air.
Hal ini juga mempengaruhi komposisi dari debut tambang dengan
diamenter kurang dari 5 mikron, khususnya dalam penambangan
bawah tanah. Jumlah quarsa yang signifikan akan berakibat
timbulnya penyakit silicosis.

Kandungan mineral matter jua akan mempengaruhi kepada


pencucian batubara dan hasilnya, dan kandungan ash pada clean
coal. Keberadaan campuran mineral matter mempengaruhi
kecocokan batubara sebagai bahanbakar boiler, titik lebur abu yang
rendah menyebabkan endapan debu dan korosi pada dapur
pemanas dan konveksi pada boiler. Kehadiran mineral fosofor dalam
batubara, yang biasanya dalam bentuk phoporite atau apatite
menghasilkan ampas bijih pada beberapa boiler dan baja yang
dihasilkan dari batubara kaya akan posfor cenderung britle.

Mineral halide separti klorida, sulfat dan nitrat hadir dalam batubara
biasanya sebagai produk infiltrasi diendapkan dari air asin yang
bermigrasi melalui sediment sequence. Mineral halide akan menjadi
hal yang signifikan pada operasi penambangan, contoh nitrate akan
menyebabkan korosi yang serius, clorin menyebabkan corosi juga
pada boiler.

Coalification(Rank)
Coalification
Coalification adalah perubahan vegetasi membentuk gambut,
diakhiri dengan transformasi gambut menjadi lignit, subbituminus,
bituminous, semi anthracite, anthracite dan meta anthracite.
Derajat transformasi tersebut dikenal dengan istilah rank. Proses
coalification pada dasarnya diawali dengan fasa biokimia yang
diikuti dangan fasa geokimia atau metamorfik.
Fasa biokimia mencakup proses-proses yang terjadi pada rawa
gambut yang mengikuti deposition dan burial, yaitu selama
diagenesis. Proses ini ada sebelum tahapan hardbrowncoal dicapai.
Perubahan biokimia yang paling intensif terjadi pada kedalaman
yang sanagat dangkal dari rawa gambut. Pada kondisi ini utamanya
terjadi pembentukan aktivitas bakteri yang mendegradasi gambut,
dan yang dapat dibantu dengan kecpatan burial, pH dan level muka
airtanah. Dengan bertambahnya burial, aktivitas bakteri berakhir,
dan diperkirakan absent pada kedalaman lebih dari 10m. Kompinen
yang kaya akan karbon dan kandungan volatile dari gambut sedikit
berpengaruh pada proses biokimia, bagaimanapun, dengan
bertambahnya kompaksi pada gambut, kandungan lengas
berkurang dan jumlah kalori bertambah.

Dari tahapan browncoal, perubahan material organic terjadi sangat


kuat dan dapat disebut sebagai metamorphism. Batubara lebih
bereaksi untuk berubah karena tempreatur dan tekanan lebih cepat
dari mineral pada batuan, oleh karenanya batubara dapat
mengindikasikan derajat metamorfisme pada sequence yang
memperlihatkan perubahan mineralogic.

Pada tahapan geokimia atau metamorfik, perubahan pada batubara


yang terjadi adalah penambahan kandungan karbon, pengurangan
kandungan hydrogen dan oksigen dan menghasilkan hilangnya zat
terbang. Hal ini diteruskan dengan kehilangan air dan kompaksi,
menghasilkan pengurangan volume batubara.
Produk dari tahap ini adalah methane, karbondioksida dan air, air
sangat mudah hilang, dan perbandingan methane : karbondioksida
bertambang sesuai rank.

Perubahan sifat fisik dan kimia dari batubara ini dalam kenyataanya
merupakan perubahan kandungan bawaan batubara. Selama proses
coalification, tiga group maceral menjadi kaya akan karbon. Setiap
group maceral yaitu exinite, vitrinie, dan inertinite mengikuti jalan
coalifikasi yang berbeda. Properti petrografik dari vitrinite berubah
seiring bertambahnya rank.
Pada cahaya yang dipantulkan reflektansi vitrinit makin bertambah,
sebaliknya, pada cahaya transmisi, material organic menjadi opak,
dan struktur tumbuhan makin sulit dikenali. Propeti optic dari vitrinit
ini telah dapat digunakan sebagai indicator rank.

Selama proses coalification, batubara sapropelic mengalami


perubahan yang sama dengan komponen liptiniti batubara humic.
Pada tahapan gambut, batubara sapropelic diperkaya hydrogen
relative terhadap humic, tapi pada tahapan selanjutnya komposisi
kimia dari boghead, cannel dan batubara humic sama. Selama
proses coalification jumlah signifikan dari bitumen dapat dihasilkan
sari sapropelic coals.

Penyebab Coalification
Penyebab coalificasi yang paling utama adalah penambahan
temperature dan waktu selama proses ini terjadi.

Perubahan temperature
Perubahan temperature dapat dicapai dengan 2 jalan. Pertama
dengan kontak langsung batubara dengan material batuan beku,
baik sebagai intrusi minor atau deep seated intrusion. Dengan
kondisi ini batubara akan memperlihatkan kehilangan zat terbang,
oksigen, metan, dan air, dan sediment disekelilingnya akan
memperlihatkan bukti metamorf kontak, seperti perkembangan rank
yang lebih tinggi di tempat tertentu.

Kedua, perubahan temperature dapat terjadi dengan penambahan


kedalaman burial, dimana temperature akan semakin naik
sebanding dengan naiknya kedalaman burial. Penambahan
kedalaman dari burial menghasilkan pengurangan kandungan
oksigen dari batubara dan menambah perbandingan karbon
tertambat terhadap zat terbang.
Hilt(1873) mengamati fenomena ini dan mengeluarkan HUKUM
HILT : dalam urutan vertical, pada satu tempat di lapangan
batubara, rank dari coal seam bertambah seiting bertambahnya
kedalaman. Kecepatan kenaikan rank, yag dikenal sebagai rank
gradient, tergantung dari gradient geothermal dan konduktivitas
panas dari batuan.

Waktu
Temperatur coalification biasanya lebih rendah dari temperature
eksperimen. Untuk mencapai rank yang tinggi, temperature yang
tinggi deperlukan dengan kecepatan pemanansan yang tinggi
(metamorf kontak) daripadan slower heating rates(subsidence dan
kedalaman burial)
Ketika temperatur sangat rendah terjadi selama waktu yang lama,
coalifikasi akan terjadi hanya sebagian kecil. Pengaruh temperature
oleh karenanya akan lebih besar pada temperature yang lebih
tinggi. Time akan mempunyai efek yang nyata ketika temperaturnya
cukup tinggi untuk terjadinya reaksi kimia.

Tekanan
Pengaruh tekanan lebih besar selama proses kompaksi dan lebih
berarti pada tahapan gambut-subbituminous, pada saat
pengurangan porositas dan reduksi kandungan lemngas.
Stach(1982) menyatakan bahwa tekanan mendorong terjadinya
physico-structural coalification, sebaliknya, penambahan
temperature mempercepat coalificasi kimia. Dengan
berangsurnya penurunan batubara, keduap pengaruh tersebut
berjalan parallel, tapi kadang kadan physico structural coalification
mendahului checimal coalification. Chemical coalification akan
meningkat jika panas tambahan tersuplaikan. dengan
bertambahnya chemical coalification, tekanan mempunyai
pengaruh yang kecil.

Radioactivity
Peningkatan rank oleh radioaktivitas jarang diamati, hanya secara
microscopik diseketiar uranium atau thorium.

Coal Quality
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang
mempengaruhi potensi kegunaanya. Kualitas dari batubara
ditentukan oleh penyusun maceral dan mineral matternya, dan juga
oleh derajat coalification (rank).

Sifat kimia dari batubara


Dalam istilah sederhana, batubara dapat diutarakan tersusun dari
moisture, pure coal dan mineral matter. Moisture terdiri dari surface
moisture dan chemically bound moisture yang terdiri dari pure coal
mencerminkan jumlah organic matter yang hadir. Mineral matter
merupakan jumlah fraksi anorganik yang ketika terjadi pembakaran
akan menjadi ash. Analisa batubara sering dilaporkan sebagai
analisa proksimat dan analisa ultimat.
Analisa proksimat adalah anlisa kasar yang menentukan jumlah :
Moisture,
Volatile matter,
Karbon tertambat dan
Ash.

Analisa ultimate adalah penentuan elemen kimia pada batubara


seperti :
Karbon.
Hydrogen.
Oksigen.
Nitrogen.
Sulphur.
Tambahan :elemen lainyang berguna untuk kegunaan batubara :
sulphure, klorin, fosfor, dan analisa dari elemen yang menyusun
kandungan mineral matter dari batubara, dan unsur jarang.

Dasar-dasar analisa data


Analisis batubara (table 2.12) dapat dilaporkan sebagai :
1 As received basis (a.r.) atau as sampled. Data tersebut
mengungkapkan sebaggai presentasi batubara termasuk kandungan
moisture total, yaitu surface moisture dan air-dried moisture
content.
2 Air dried basis (a.d.b.) = inherent moisture basis data ini
mencerminkan presentase dari air-dried coal; termasuk air dried
moisture, tapi tidak surface moisture.
3 Dry basis (dry). Data ini mencerminkan prosentasi dari batubara
setelah semua moisturenya dihilangkan.
4 Dry ash-free basis (d.a.f) Data ini mempertimbangkan kandungan
volatile matter dan karbon tertambat dengan moisture dan ash
dihilangkan. Mesti diingat tidak boleh ada vaolatil matter dari
mineral yang ada pada air-dried coal. Laporan ini digunakan sebagai
cara paling mudah untuk membandingkan fraksi organic dari
batubara.
5 Dry, mineral matter free (d.m.m.f.) Di sini diperlukan jumlah total
mineral matter daripada penentuan jumlah ash, jadi jumlah volatile
matter pada mineral matter dapat dihilangkan.

Moisture (lengas)
1 Surface moisture :ini merupakan lengas tambahan (adventitious),
tidak asli berasal dari batubara, dan dapat dihilangkana dengan
pengeringan udara 400 C. Tahap pengeringan ini biasanya
merupakan tahap pertama dari analisa apapun, dan moisture yang
tersisa setelah pengeringan ini adalah air-dried moisture.
2 As received atau as delivered moisture : ini merupakan moisture
total dari sample batubara ketika diterima atau dikirim ke
laboratorium. Biasanya lab akan mengeringkan batubara dengan
udara, dan dengan begitu akan diperoleh loss on air drying. Hasil
ini kemudian ditambah dengan air dried moisture mengahasilkan as
delivered moisture.
3 Total moisture. Ini semua moisture yang dapat dihilangkan dengan
pengeringan (1500 C pada vakum atau nitrogen atmosfer).

4 Air dried moisture- lihat no 1.


Kandungan moisture yang tinggi tidak dikehendaik pada batubara,
sebagaimana moisture ini secara kimia inert dan menyerap panas
selama pembakaran, dan membuat kesulitan pada saat pengiriman
dan transport. Moisture juga merendahkan nilai kalori pada steam
coal, dan menurunkan jumlah karbon yang ada di coking coal.

Ash
Kandungan ash dari batubara berarti residue anorganik yang tersisa
setelah pembakaran. mesti diingat bahwa menentukan kandungan
ash tidak sama dengan kandungan mineral matter pada batubara.
Pada steam coal, kandungan ash yang tinggi akan mengurangi
jumlah kalor. Kandungan ash yang direkomendasikan untuk steam
coal yang digunakan sebagai pulverized fuel adalah sekitar 20% (air
dried), tapi untuk stoker-fired boilers bisa lebih rendah. Untuk coking
coals, maksimum 10-20% (air-dried). Konsentrasi ash yang lebih
tinggi akan mengurangi efisiensi tungku pembakaran.

Volatile Matter (kandungan gas dan uap)


Volatile matter mencerminkan bahwa komponen dari batubara,
kecuali moisture, yang terbebaskan pada temperature tinggi tanpa
udara. Material ini umumnya berasal dari fraksi organic dari
batubara, tapi sebagian kecil bisa juga dari mineral matter yang
ada. Untuk pembangkit listrik pada pulverized fuel firing, boilers
didisain untuk jumlah volatile maater minimum 20-25% (d.a.f). Pada
stoker firing untuk pembangkit listrik 25-40%(d.a.f.) Tidak ada
batasan yang jelas untuk penggunaan batubara untuk semen. Untuk
coke production 20-35%(air-dried).

Fixed Carbon
Kandungan karbon tertambat pada batubara adalah karbon yang
ditemukan pada residue yang tersisa setelah volatile matter telah
dibebaskan. Fixed carbon tidak ditentukan secara langsung, tapi
didapat dari pengurangan presentasi component, yaitu moisture,
ash dan volatile matter lain terhadap 100%.

Analisa ultimate
Analisa ultimate dari batubara terdiri dari penentuan karbon dan
hydrogen sebagai produk gas, dari pembakaran sempurna,
penentuan sulfur, nitrogen dan ash dalam material secara
keseluruahan, dan perhitungan oksigen dari selisihnya.
Carbon dan hydrogen. Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika
batubara dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral karbonat yang ada,
dan H2O bisa berasal dari mineral lempung atau inherent moisture
pada air-dried coal atau pada keduanya.
Nitrogen. kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang
signifikan, khususnya dengan hubungan polusi udara. jadi batubara
dengan nitrogen yang rendah lebih diharapkan pada industri.
Batubara tidak boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5-2.0%
(d.a.f.)

Sulphur. sebagaimana nitrogen, kandungan sulfur dari batubara


menyebabkan masalah degnan polusi dan kegunaan. Sulfur
menyebabkan korosi dan pengotoran pada pipa boiler dan
mneyebabkan polusi udara ketika dikeluarkan sebagai asap
cerobong. Sulfur dapat hadir di batubara dalam 3 bentuk :
1 Sulfur organic, hadir pada senyawa organic pada batubara.
2 Pyritic sulfur, hadir sebagai mineral sulfide pada batubara, pada
dasarnya iron pyrite.
3 Mineral sulfat, biasanya hydrous iron atau kalsium sulfat, dihasilkan
dari oksidasi fraksi sulfide pada batubara.
Kandungan total dari sulfur pada steam coal yang digunakan untuk
pembangkit listrik tidak boleh melebihi 0.8-1 % (air-dried); jumlah
maksimum tergantung dari peraturan emisi local. Pada industri
semen, total sulfur > 2% masih diterima, tapi..di coking coals
diperlukan maksimum 0.8% (air-dried) karenan value yang lebih
tinggi mempengaruhi kualitas baja.
Oksigen. Oksigen merupakan komponen dari banyak campuran
organic dan anorganik pada batubara, sebagaimana kandungan
moisture. Ketika batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai
oksida, hidroksida dan mineral sulfat, seperti material orgaink yang
teroksidasi. Perlu diingat bahwa oksigen merupakan indicator
penting rank coal.

Sifat-sifat pembakaran batubara


Test pembakaran dilakukan untuk menentukan performan coal
dalam tungku pembakaran, yaitu jumlah kalori dan temperatru titik
lebur abu. Caking dan coking properties diperlukan untuk batubara
industri metalurgi.

stilah batubara merupakan istilah yang luas untuk keseluruhan


bahan yang bersifat karbon yang terjadi secara alamiah. Batubara
dapat pula didefinisikan sebagai batuan yang bersifat karbon
berbentuk padat, rapuh, berwarna coklat tua sampai hitam, dapat
terbakar, yang terjadi akibat perubahan atau pelapukan tumbuhan
secara kimia dan fisika (dalam Kamus Pertambangan, Teknologi
dan Pemanfaatan Batuabara, Silalahi, 2002). Sedangkan dalam
pengertian geologi batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk
(1983) (dikutip dari Rahmad, B., 2001) lebih spesifik mendefinisikan
batubara sebagai bahan atau batuan yang mudah terbakar,
mengandung lebih dari 50% hingga 70% volume kandungan karbon
yang berasal dari sisa-sisa material tumbuhan yang terakumulasi
dalam cekungan sedimentasi dan mengalami proses perubahan
kimia dan fisika, sebagai reaksi terhadap pengaruh pembusukan
bakteri, temperatur, tekanan dan waktu geologi.

Tempat Pembentukan Batubara


Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk
menjelaskan tempat terbentuknya batubara (Sukandarrumidi,
1995), yaitu :
Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan
batubara, terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal
itu berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami
proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis batubara
yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
merata, kualitasnya relatif baik karena kadar abunya relatif kecil.

Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan
batubara terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat
tumbuhan semula hidup dan berkembang, dengan demikian
tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan
berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan
mengalami proses pembatubaraan. Batubara ini mempunyai
penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas
kurang baik.

Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi menjadi


dua tahap (Diessel, 1986), yaitu :
1. Tahap Biokimia (Biochemical Stage)
Merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan batubara.
Pada tahap ini terjadi proses pembusukan sisa-sisa material
tumbuhan dan penggambutan (peatification), yang disebabkan oleh
bakteri ataupun organisme tingkat rendah lainnya. Oleh karena
proses tersebut maka terjadi pelepasan kandungan hidrokarbon, zat
terbang dan oksigen disertai penyusunan kembali molekul-molekul
bahan tersisa, dan sebagai akibatnya terjadi penambahan
kandungan karbon pada maseral batubara.

2. Tahap Fisika-Kimia (Physico-Chemical Stage)


Setelah tahap biokimia, kemudian dilanjutkan dengan tahap fisika-
kimia. Pada tahap ini terjadi proses pembatubaraan yang mana
gambut yang sudah terbentuk berubah menjadi berbagai macam
peringkat batubara oleh akibat pengaruh temperatur, tekanan dan
waktu geologi. Peningkatan peringkat batubara pada proses ini
ditandai dengan bertambah gelapnya warna, kekerasan dan
perubahan pada bidang belah batubara, seturut peningkatan
temperatur, tekanan dan lama waktu geologi.

Faktor-faktor Pembentukan Batubara


Dari berbagai teori yang menerangkan tentang terbentuknya
batubara, terdapat kesepakatan mengenai faktor-faktor yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, yang mempunyai peranan
penting didalam pembentukkan batubara dalam suatu cekungan.
Faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Akumulasi Sisa Tumbuhan-Tumbuhan (Bahan Organik)
Akumulasi sisa tumbuh-tumbuhan dapat secara insitu maupun hasil
hanyutan (allochotonous), namun akumulasi ini harus terdapat
dalam jumlah yang cukup besar dan terletak pada daerah yang
digenangi oleh air, yang mana nantinya dapat dijadikan daerah
pengendapan bagi batuan sedimen klastik. Keadaan ini dapat
dicapai dari produksi tumbuhan yang tinggi, penimbunan secara
perlahan dan menerus yang diikuti dengan penurunan dasar
cekungan secara perlahan. Produksi tumbuhan yang tinggi terdapat
pada iklim tropis dan sub tropis, sedangkan penimbunan secara
perlahan dan menerus hanya terjadi dalam lingkungan paralik dan
limnik, yang memiliki kondisi tektonik relatif stabil.

2. Bakteri dan Organisme Tingkat Rendah Lain


Merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sisa tumbuhan-
tumbuhan menjadi bahan pembentuk gambut (peat). Kegiatan
bakteri dan organisme tingkat rendah lain akan merusak akumulasi
sisa tumbuh-tunbuhan yang telah ada dan merubahnya menjadi
bahan pembentuk gambut berupa massa berbentuk agar-agar (gel),
yang kemudian terakumulasi menjadi gambut.

3. Temperatur
Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen diatas lapisan
batubara dan gradien panas bumi. Efek panas dari faktor ini
menimbulkan proses kimia dinamis (geokimia) yang mampu
manghasilkan perubahan fisik dan kimia, dalam hal ini merubah
gambut menjadi berbagai jenis dan peringkat batubara. Proses ini
merupakan tahap kedua pada proses pembatubaraan (coalification).
Selain panas yang dihasilkan karena timbunan sedimen diatas
lapisan batubara dan gradien panas bumi, juga dapat dihasilkan
oleh adanya intrusi batuan beku, sirkulasi larutan hidrotermal dan
struktrur geologi.

4. Tekanan
Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun juga dapat
membantu melepaskan unsur-unsur zat terbang dari lapisan
batubara, yang dikenal sebagai proses devolatilisasi. Proses ini
akan lebih efektif apabila lapisan batuan diatasnya bersifat
permeabel dan porous, sehingga batubara yang berada pada
lapisan batupasir akan mengalami proses devolatilisasi yang lebih
efektif dibandingkan lapisan batulempung.

5. Waktu Geologi
Pengaruh pembentukkan batubara tidak terlepas dari lamanya
waktu pemanasan dalam cekungan. Pemanasan dalam waktu yang
lama, pada temperatur yang sama akan menghasilkan batubara
yang lebih tinggi peringkatnya. Jadi harus ada keseimbangan yang
baik antara panas, tekanan dan waktu geologi.

Tipe Batubara Berdasarkan Lingkungan Pengendapan


Lingkungan pengendapan batubara akan mempengaruhi tipe
batubara yang dihasilkan. Berdasarkan lingkungan pengendapan,
maka dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis tipe batubara, yaitu
tipe batubara humik (humic coal), sapropelik (sapropelic coal) dan
humospropelik (humosapropec coal).

1. Tipe Batubara Humik (Humic Coal)


Batubara humik biasanya diendapkan di lingkungan darat (limnic),
dengan proses pengendapan secara insitu, yang mana material
organik pembentuk batubara berasal dari tempat dimana tumbuh-
tumbuhan asal itu berada (autochthonous). Batubara tipe ini
memiliki kualitas batubara yang baik dengan peringkat batubara
bituminus hingga antrasit. Komposisi maseral 90% lebih terdiri dari
vitrinit (vitrite), memiliki kandungan hidrogen dan zat terbang yang
sangat rendah.

2. Tipe Batubara Sapropelik (Sapropelic Coal)


Batubara sapropelik biasanya diendapkan di lingkungan laut
(paralic) seperti pada daerah delta, laguna, lestuarin, marsh, rawa-
rawa air payau. Proses pengendapannya secara drift, yang mana
material organik pembentuk batubara berasal dari tempat lain
(allochthonous). Batubara tipe ini memiliki kualitas batubara kurang
baik dibandingkan batubara humik, sedangkan peringkat
batubaranya adalah sub bituminus hingga lignit dengan kandungan
hidrogen dan zat terbang yang tinggi sedangakan kandungan
karbon rendah. Batubara sapropelik dapat dibagi menjadi dua jenis
yaitu batubara cannel dan boghead.
Batubara jenis cannel dan boghead dapat dibedakan dari komposisi
maseralnya, terutama kelompok liptinit. Batubara cannel memiliki
maseral sporinite lebih banyak dibandingkan maseral alginite
(sporinite > alginite). Sedangkan batubara boghead lebih dibanyak
disusun oleh maseral alginite dibandingkan sporinite (sporinite <
alginite).

3. Tipe Batubara Humosapropelik (Humosapropec Coal)


Batubara humosapropelik merupakan batubara yang dihasilkan dari
rangkaian humik dan spropelik, tetapi rangkaian humik lebih
dominan. Asal material organik pembentuk batubara berasal dari
tempat dimana material organik diendapkan dan dari tempat lain.

Endapan Batubara Indonesia


Endapan batubara Indonesia pada umumnya berkaitan erat dengan
pembentukan cekungan sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen),
yang diakibatkan proses tumbukan lempeng Eurasia, Hindia-
Australia dan Pasifik pada zaman kapur.
Berdasarkan perkembangan tektonik Tersier oleh Sudarmono (1997)
(dalam Koesoemadinata, 2000) endapan batubara Indonesia
diklasifikasikan menjadi:
5 Endapan batubara Paleogen (Eosen Oligosen), dan
6 Endapan batubara Neogen (Oligosen Akhir Miosen).
Sedangkan dalam tatanan tektono-stratigrafi pengendapan
batubara oleh Koesoemadinata (2000) diklasifikasikan menjadi tiga
kategori.

1. Endapan Batubara Paleogene Syn-Rift


Batubara syn-rift berasosiasi dengan sedimen fluvial dan lakustrin,
biasanya batubara yang diendapkan pada tipe ini menghasilkan
batubara dengan nilai kalori yang tinggi (~7000 Kcal/kg), rendah
kandungan air lembab dan sulfur. Sebagai contoh untuk tipe ini
adalah Formasi Sawahlunto di Cekungan Ombilin, Sumetera Tengah.

2.Endapan Batubara Paleogene PostRift Transgression


Batubara postrift transgression diendapkan pada lingkungan
paparan yang stabil selama kala Eosen Akhir hingga Awal Miosen.
Sebagai contoh tipe ini adalah batubara dari Cekungan Sumatera
Tengah (Awal Miosen), dan lebih tepat diwakili dengan batubara
Senakin di Formasi Tanjung bagian bawah dalam Cekungan Barito
dan Pasir-Asem-asem. Batubara pada lingkungan ini diendapkan
secara lateral dan menerus, dengan nilai kalori dan kandungan
sulfur tinggi.

3. Endapan Batubara Neogene Syn-Orogenic Regressive


Batubara syn-orogenic regressive terjadi pada Miosen Tengah
hingga Plio-Pleistosen dan merupakan hasil dari pengangkatan
cekungan. Endapan batubara biasanya terdapat cekungan belakang
busur (back-arc basin) dan cekungan depan busur (fore-arc basin)
pada busur kepulauan. Endapan batubara pada syn-orogenic
regressive biasanya tidak terlalu tebal, tetapi akan terdiri dari
beberapa lapisan. Nilai kalori rata-rata adalah rendah (~5000
kcal/kg), kandungan air lembab tinggi dan kandungan sulfur juga
rendah
Dalam kerangka tatanan tektono-stratigrafi pengendapan batubara
ini dapat memberikan pendekatan mengenai gambaran umum
kualitas, kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara dalam
suatu cekungan. Selain itu juga dapat memberikan pendekatan
tentang kondisi geologi lokal yang mengontrol kualitas, kuantitas
maupun karakteristik lapisan batubara tersebut. Dari hal tersebut
juga dapat diperoleh pengertian bahwa kualitas, kuantitas maupun
karakteristik lapisan batubara pada tiap-tiap cekungan sedimentasi
batubara akan berbeda-beda karena kontrol geologi dari tiap-tiap
cekungan juga berbeda-beda pula.
Endapan Batubara Telitian
Penelitian ini mengambil beberapa contoh endapan batubara (raw
coal) dari cekungan-cekungan Sumatera Selatan, Tarakan (Sub-
Cekungan Tarakan dan Berau), Kutai dan Barito (Sub-Cekungan
Pasir), pada lapisan batubara berumur Miosen yang merupakan
endapan batubara Neogen.
Endapan Batubara Cekungan Sumatera Selatan
Menurut De Coster, 1974 (dikutip dari Bachtiar. T., 2001) Cekungan
Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali orogenesa, yaitu pada
Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir Tersier Awal dan Plio-Pliestosen.
Setelah orogenesa terakhir (Plio-Pliestosen) telah menghasilkan
kondisi dan struktur geologi seperti yang terlihat saat ini. Endapan
batubara yang ada sekarang juga merupakan hasil dari kendali
geologi saat itu, diendapakan di cekungan belakang busur saat pada
Tersier Akhir.

Startigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan menurut beberapa


peneliti terdahulu dibagi menjadi beberapa formasi dan satuan
batuan dari tua sampai muda adalah sebagai berikut :
3 Batuan Dasar Pra Tersier, terdiri dari andesit, breksi andesit, filit,
kuarsit, batu gamping, granit dan granodiorit.
4 Formasi Lahat; terdiri dari tufa, aglomerat, breksi tufaan, andesit,
serpih, batu lanau dan batubara. Formasi ini diendapkan secara
tidak selaras di atas batuan dasar Pra-Tersier pada kala Paleosen
Oligosen Awal di lingkungan darat.
5 Formasi Talang Akar ; terdiri dari batupasir berukuran butir kasar
sangat kasar, batu lanau dan batubara. Formasi ini diendapkan tidak
selaras diatas Formasi Lahat pada kala Oligosen Akhir Miosen Awal
di lingkungan fluviatil sampai laut dangkal.
6 Formasi Baturaja; terdiri dari batugamping terumbu, serpih
gampingan dan napal. Formasi ini terletak diatas Formasi Talang
Akar, diendapkan pada kala Miosen Awal dilingkungan litoral
sampai neritik.
7 Formasi Gumai; terdiri dari serpih gampingan dan serpih
lempungan, diendapkan dilingkungan laut dalam pada kala Miosen
Awal Miosen Tengah.
8 Formasi Air Benakat; dicirikan oleh batupasir yang terbentuk
selaras di atas Formasi Gumai, diendapkan di lingkungan neritik
sampai laut dangkal pada kala Miosen Tengah Miosen Akhir.
9 Formasi Muara Enim; terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung
dan batubara. Formasi ini berumur kala Mio-Pliosen, diendapkan
selaras diatas Formasi Air Benakat di lingkungan delta.
10 Formasi Kasai; terdiri dari batupasir tufaan dan tufa, terletak selaras
diatas Formasi Muara Enim, diendapkan di lingkungan darat pada
kala Pliosen Akhir Pleistosen Awal.
11 Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua,
berupa material berukuran kerakal hingga lempung, menumpang
tidak selaras di atas Formasi Kasai.
Secara khusus mengenai pengendapan batubara di Cekungan
Sumatera Selatan oleh Koesoemadinata, 2000 menyebutkan bahwa
pengendapan di Formasi Talang Akar bagian atas (Oligosen Akhir
Miosen Awal) berhubungan pengendapan batubara paleogene post
rift transgression yang menghasilkan batubara dengan nilai kalori
tinggi (>6000 kal/gr), kadar abu rendah (<15%), dan kandungan
sulfur tinggi (>1%).
Sedangkan pada pengendapan di Formasi Muara Enim (Miosen
Pliosen) dan neogene syn-orogenic regressive yang menghasilkan
lapisan batubara dengan ketebalan 20 meter Batubara Suban
(dalam Koesoemadinata, 2000). Lebih dari 20 lapisan batubara hadir
di sekitar lapangan Tanjung Enim (PTBA) yang mana batubara
tersebut ditambang. Batubara yang dihasilkan memiliki rata-rata
nilai kalori 5504 5347 kkal/kg (as received), air lembab
keseluruhan 23,6% (as received), kandungan sulfur 0,5%, kadar abu
4%, zat terbang 32,1% dan karbon padat 40,3%.Pada beberapa
batubara di Tanjung Enim terdapat batubara peringkat antrasit
dengan nilai kalori 8000 kkal/kg, hal ini diakibatkan oleh intrusi
andesit di daerah tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa endapan batubara Miosen
di Cekungan Sumatera Selatan memiliki penyebaran lapisan
batubara yang luas, namun memiliki peringkat batubara yang tidak
terlalu tinggi, kecuali disekitar intrusi andesit. Contoh endapan
batubara yang dipakai dalam penelitian termasuk pada Formasi
Muara Enim, yang selanjutnya disebut Batubara Banko.

Endapan Batubara Cekungan Kalimantan Bagian Timur


Endapan batubara Indonesia yang cukup potensial juga tersebar
luas di cekungan-cekungan belakang busur yang terdapat di
sepanjang pantai Timur Kalimantan dan tergolong dalam cekungan-
cekungan yang berumur Tersier. Endapan-endapan batubara di
cekungan Kalimantan bagian timur umumnya berumur Paleogen
(Eosen) dan Neogen (Mio-Pliosen hingga Plio-Pleistoen) dan proses
pengendapannya berhubungan dengan regresi air laut. Peringkat
batubara umumnya berupa lignite hingga high volatile bituminous
dengan nilai kalori rendah, kandungan air lembab tinggi, kadar abu
dan sulfur relatif rendah.
Secara regional, endapan batubara tersebut berhubungan dengan
empat aktifitas tektonik utama selama zaman Tersier yang
mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan tersebut, yaitu :
Aktifitas tektonik awal Tersier, mengakibatkan pengangkatan
tinggian mangkaliat dan Suikerbrood ridge yang membagi
Cekungan Kaliamantan bagian timur menjadi Cekungan Tarakan dan
Cekungan Kutai;
Aktifitas tektonik pada kala Oligosen Bawah, merupakan gerak
tektonik fleksur sepanjang Paternoster Cross High atau Barito Kutai
Cross High yang memisahkan Cekungan Kutai dengan Cekungan
Barito;

Aktifitas tektonik pada kala Miosen Tengah, mengakibatkan


pengangkatan Pegunungan Meratus yang berarah Timurlaut
Baratdaya, pungungan ini memisahkan Cekungan Barito dan Sub-
Cekungan Pasir dan Asem-asem.

Aktifitas tektonik kala Plio-Pleistosen, mengakibatkan seluruh


cekungan di Kalimantan terangkat, membentuk konfigurasi seperti
sekarang ini.
Secara umum dikenal adanya tiga cekungan sedimentasi utama dari
utara hingga selatan, yaitu :
3 Cekungan Tarakan, yang terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan,
Berau dan Muara;
4 Cekungan Kutai, dan
5 Cekungan Barito, termasuk juga Sub-Cekungan Pasir dan Asem-
asem.

Endapan Batubara Cekungan Tarakan


Cekungan Tarakan terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau
dan Muara. Contoh endapan batubara yang diambil termasuk pada
Sub-Cekungan Tarakan dan Berau. Sub-Cekungan Tarakan berada
dan berkembang di lepas pantai timur bagian utara yang meliputi
Pulau Tarakan dan Bunyu. Endapan batubara di sub-cekungan ini
terjadi selama kala Plio-Pleistosen, di sungai Sesayap purba
menghasilkan sedimen fluvio-marin yang sangat tebal terutama
terdiri dari perlapisan betupasir delta, serpih dan batubara, yang
kemudian dikenal dengan Formasi Sajau atau Formasi Tarakan-
Bunyu. Sedangkan Sub-Cekungan Berau berada di sebelah selatan
Sub Cekungan Tarakan, yang sebagian besar terletak di daratan.

Menurut beberapa peneliti terdahulu urut-urutan lithostratigrafi


regional di Cekungan Tarakan dibagi menjadi beberapa formasi dan
satuan batuan dari tua sampai muda adalah sebagai berikut :
5 Formasi Sebakung; terdiri dari batuan meta sedimen yang terlipat
kuat, diendapkan di lingkungan fluviatil hingga delta pada kala
Eosen.
6 Formasi Sailor; terdiri dari batugamping berfosil gangang dan koral,
terletak tidak selaras di atas Formasi Sembakung dan diendapkan di
lingkungan neritik hingga laut terbuka pada Oligosen Awal.
7 Formasi Tempilan; terdiri dari perselingan batupasir, napal dan
serpih, terletak selaras di atas Foramasi Sailor dan diendapkan di
lingkungan laut dangkal pada Oligosen Awal.
8 Formasi Mesaloi; terdiri dari batulampung lanauan yang berselingan
dengan batupasir, batulanau dan napal, terletak selaras diatas
Formasi Tempilan dan diendapkan di lingkungan neritik hingga laut
terbuka pada Oligosen Akhir.

9 Formasi Naintupo; terdiri dari batupasir, batulempung, napal dan


batugamping, terletak selaras diatas Formasi Mesaloi dan
diendapkan di lingkungan neritik pada Miosen Awal.
10 Formasi Meliat; terdiri dari batupasir lanauan, batupasir
konglomeratan, batulempung dan batubara, terletak selaras di atas
Formasi Naintupo dan diendapkan di lingkungan paralik pada Miosen
Tengah.
11 Formasi Tabul; terdiri dari batulempung, batupasir lanauan,
batupasir dan batubara, terletak selaras diatas Formasi Meliat dan
diendapkan di lingkungan prodelta pada kala Miosen.
12 Formasi Tarakan; terdiri dari perselingan batubara, batulempung
dan batulanau, terletak selaras di atas Formasi Tabul dan
diendapkan di lingkungan lagunal pada kala Pliosen.
13 Formasi Bunyu; terdiri dari batubara yang berselingan dengan
batupasir dan batulempung karbonan, terletak tidak selaras di atas
Formasi Tarakan dan diendapkan di lingkungan delta pada
Pleistosen hingga Holosen.
Untuk mewakili contoh batubara di cekungan ini, dipakai contoh
batubara Formasi Bunyu pada Sub-Cekungan Tarakan, selanjutnya
disebut Batubara Bunyu; sedangkan pada Sub-Cekungan Berau
diwakili dengan contoh batubara Formasi Tabul, selanjutnya disebut
Batubara Berau.

Endapan Batubara Cekungan Kutai


Endapan batubara dan sedimen Tersier lainnya yang terdapat di
Cekungan Kutai, proses pengendapannya diperkirakan berhubungan
dengan gerak pemisahan Pulau Kalimantan dan Sulawesi yang
kemungkinan terjadi pada akhir Kapur hingga awal Paleogen.
Sehingga secara keseluruhan batuan-batuan sedimen yang
diendapkan pada cekungan tersebut mencerminkan adanya
pengaruh siklus transgresi dan regresi air laut.
Urutan transgresi yang ada di Cekungan Kutai menghasilkan
sedimen-sedimen klastik kasar dan serpih yang diendapkan pada
lingkungan paralik hingga laut dangkal. Pengendapan ini
berlangsung hingga kala Oligosen yang memperlihatkan periode
genag laut maksimum dan pada umumnya terdiri dari endapan
serpih laut dalam dan batugamping serara lokal.
Sedangkan pada urutan regresi menghasilkan lapisan-lapisan
sedimen klastik dan lapisan-lapisan batubara yang diendapkan pada
lingkungan delta hingga paralik. Sistem Delta yang berumur Miosen
Tengah berkembang baik ke arah timur dan tenggara daerah
cekungan.
Berdasarkan urut-urutan litostratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke
muda dibagi menjadi beberapa Formasi batuan yaitu sebagai
berikut :
4 Formasi Pamaluan; berumur Miosen Bawah, terletak selaras di
atas Formasi Gunung Sekerat, terutama terdiri dari batulempung
dengan sisipan-sisipan tipis batupasir, batubara, dan batugamping,
diendapkan pada lingkungan delta marine.
5 Formasi Bebuluh; berumur Miosen Awal bagian atas, terletak beda
fasies dengan Formasi Pamaluan, terutama terdiri atas
batugamping, sisipan batugamping pasiran dan serpih, diendapkan
pada lingkungan marine.
6 Formasi Pulau Balang; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di
atas Formasi Pemaluan terutama terdiri dari batulempung, batupasir
lempungan dan batupasir, yang merupakan endapan deltafront.
7 Formasi Balikpapan.; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di
atas Formasi Pulau Balang, terdiri dari batupasir, batupasir
lempungan, batulempung dan batubara. Lapisan batupasir dan
batupasir lempungan terutama dijumpai pada bagian bawah.
Lingkungan pengendapannya adalah delta (delta front sampai delta
plain).
8 Formasi Kampungbaru; berumur Miosen Atas sampai Pliosen.
diendapkan selaras di atas Formasi Balikpapan, bagian bawahnya
terdiri dari batulempung, batupasir, batupasir gampingan yang
diendapkan pada lingkungan litoral, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batulempung, batubara dan konkresi-konkresi
lempung bagian (clay stone), diendapkan pada lingkungan transisi
paralik.
9 Endapan Kuarter; tersusun oleh lempung, pasir, kerikil dan sisa
tumbuh-tumbuhan, bersifat lepas. Endapan ini disebabkan oleh
adanya limpahan banjir Sungai Bontang, Sungai Guntur, Sungai
Nyerakat dan Sungai Santan yang membentuk rawa-rawa.
Untuk mewakili cekungan ini dipakai contoh endapan batubara dari
Formasi Kampungbaru, selanjutnya disebut Batubara Kutai.
II.3.2.3 Endapan Batubara Cekungan Barito (Sub-Cekungan Pasir)
Sub-Cekungan Pasir berada di bagian timur Cekungan Barito yang
dibatasai Pegunungan Meratus. Sub Cekungan Pasir memiliki
tatanan stratigrafi yang rumit sehingga oleh beberapa peneliti Sub-
Cekungan Pasir dimasukkan ke dalam bagian Cekungan Barito,
selain itu juga karena litologi yang terdapat dalam cekungan ini
memiliki posisi menjari dan kesamaan dengan Cekungan Barito.

Adapun urutan litostratigrafi Cekungan Barito (Sub-Cekunan Pasir)


dari tua hingga muda sebagai berikut :
Formasi Tanjung; diendapkan pada kala Eosen, terletak tidak selaras
di atas batuan dasar yang yang merupakan batuan beku dan
metamorf berumur Pra-Tersier. Pada bagian bawah formasi ini terdiri
dari konglomerat, batupasir, batulempung dan sisipan batubara,
sedangkan bagian bawah terdiri dari batulempung dan napal
dengan sisipan batupasir dan batugamping.

Formasi Berai; diendapkan selaras diatas Formasi Tanjung pada kala


Oligosen hingga Miosen Bawah, terdiri dari Anggota Berai Bawah
yang disusun oleh napal, batulanau, batugamping dan sisipan
batubara; Anggota Berai Tengah dicirikan oleh batugamping masif
dengan interklas napal; dan Anggota Berai Atas tersusun oleh serpih
dengan sisipan batugamping berselingan dengan napal,
batulempung napalan dan sedikit batubara.
Formasi Warukin; diendapkan selaras diatas Formasi Berai pada kala
Miosen Tengah hingga Miosen Atas, terdiri dari Anggota Warukin
Bawah yang disusun oleh napal, batulempung dan sisipan batupasir;
Anggota Warukin Tengah relatif sama dengan Warukin Bawah,
hanya pada batupasirnya menjadi tebal dan banyak dijumpai
lapisan tipis batubara; dan Anggota Warukin Atas dicirikan lapisan
batubara yang tebal hingga 20 meter dan juga batupasir dan
batulempung karbonan. Formasi ini dfiendapakan pada lingkungan
paralik hingga delta pada fase regresi.
Formasi Dahor; diendapkan tidak selaras diatas Formasi Warukin
pada Mio-Pliosen, terdiri dari batupasir, batulempung, batubara dan
lensa-lensa konglomerat. Formasi ini diendapkan di lingkungan
paralik-lagunal.
Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua,
berupa material berukuran kerakal hingga lempung, menumpang
tidak selaras di atas Formasi Dahor.
Secara keseluruhan, sistem sedimentasi yang berlangsung di
cekungan ini melalui siklus transgresi dan regresi serta beberapa
sub siklus yang bersifat lokal. Turunnya bagian tengah cekungan
dan erosi yang aktif di bagian Tinggian Meratus menyebabkan
pengendapan sedimen yang banyak, membentuk urutan endapan
paralik hingga delta. Hal tersebut juga tercermin endapan batubara
yang relatif tebal pada Formasi Warukin.
Kualitas endapan batubara di cekungan ini termasuk pada batubara
peringkat rendah (lignit) dengan nilai kalori rendah (<5000 kcal/kg),
kandungan sulfur hingga 0,2%, karbon padat 31,4%, zat terbang
37,6%, kadar abu 3,3%, kandungan air lembab bawaan 27,7% dan
air lembab keseluruhan mencapai 34,5% (dalam Koesoemadinata,
2000). Untuk mewakili cekungan ini dipakai

Teknologi Upgraded Brown Coal (UBC)


Permasalahan Batubara Peringkat Rendah di Indonasia
Bumi Indonesia memiliki jumlah cadangan batubara yang cukup
banyak. Menurut data dari Direktorat Inventaris Sumber Daya
Mineral pada tahun 2003, batubara tersebut sebagian besar
tersebar luas di daerah Sumatera dan Kalimantan. Data tersebut
juga menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan batubara
peringkat rendah.
Dengan kenyataan tersebut, maka sampai saat ini batubara di
Indonesia belum banyak dimanfaatkan dan masih merupakan lahan
tidur. Jumlah kandungan air yang sangat tinggi dalam batubara
mengakibatkan biaya angkutan perkalorinya tinggi, efisiensi
pembakaran rendah, titik bakar abu yang cenderung membentuk
slagging dan memiliki sifat swabakar yang tinggi. Dampaknya,
jumlah batubara yang dibutuhkan akan lebih banyak dan
memerlukan ukuran boiler yang lebih besar untuk menghasilkan
panas yang sama dengan batubara bituminus, menghasilkan emisi
gas yang lebih besar untuk proses yang sama dan membutuhkan
stockpile yang besar bila dipergunakan untuk kebutuhan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Dengan demikian teknologi peningkatan kualitas yang dilakukan
berupa teknologi UBC, yaitu suatu teknologi untuk meningkatkan
nilai kalori batubara peringkat rendah melalui penurunan kadar air
bawaan (inherent moisture) dalam batubara. Dalam hal ini dipakai
istilah raw coal untuk batubara mentah peringkat rendah yang
belum ditingkatkan kualitasnya dan produk UBC untuk batubara
yang sudah ditingkatkan kualitasnya.

Prinsip UBC
Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk menghasilkan produk
batubara dengan nilai kalor 6000 6500 kkal/kg dari batubara
peringkat rendah yang mempunyai nilai kalor 3500 4500 kkal/kg,
melalui teknik pengurangan kandungan air total dari 25 45%
menjadi <5% .

Proses UBC
Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara batubara
asal dan minyak residu kemudian dipanaskan pada suhu 150C
dengan tekanan hanya 350 kPa (35 atm) seperti pada Gambar 2.6.
Penambahan minyak residu adalah untuk menjaga kestabilan kadar
air. Keunggulan proses ini selain suhu dan tekanan yang cukup
rendah, juga batubara yang dihasilkan cukup bersih karena minyak
residu yang ditambahkan pada saat proses dipisahkan dan dapat
digunakan kembali. Batubara produk proses UBC dapat berupa
serbuk ataupun bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket
atau dalam bentuk slurry. Polusi pada air buangan akan sangat
minimum karena proses yang berlangsung adalah secara fisika,
sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa

Pilot Plant UBC Palimanan


Pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton perhari ini sedang dibangun
di Palimanan Cirebon, Jawa Barat. Di tempat ini pula direncanakan
akan dibangun Pusat Teknologi Pemanfaatan Batubara Bersih (Coal
Center) yang akan mencakup semua kegiatan penelitian teknologi
pemanfaatan batubara seperti pencairan, gasifikasi, karbonisasi,
coal water mixture dan lain-lain. Pilot plant UBC di Palimanan ini
merupakan pilot plant pertama di dunia, sehingga keberadaannya
menjadi sangat penting dan strategis.
Pilot plant ini terdiri dari 5 (lima) unit utama, yaitu penyiapan
batubara (coal preparation), penghilangan air (slurry dewatering),
pemisahan batubara- minyak (coal oil separation), penangkapan
ulang minyak (oil recovery) dan pembuatan briket (briquetting) .

Hasil UBC
Dengan berhasilnya penelitian pilot plant ini, diharapkan batubara
peringkat rendah yang merupakan cadangan terbesar dimiliki
Indonesia ( 70% dari total cadangan 39 milyar ton) dapat
ditingkatkan kualitasnya sehingga mempunyai sifat menyerupai
batubara peringkat tinggi (bituminous), yaitu jenis batubara yang
ideal untuk diekspor. Dengan kata lain proses UBC dapat
menyiapkan batubara yang sesuai dengan spesifikasi pasar,
sehingga industri pertambangan batubara di Indonesia dapat terus
tumbuh memberikan kontribusinya sebagai pemasok energi dalam
negeri dan untuk meningkatkan ekspor di masa mendatang.

Petrografi Batubara
Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-
komponen organik (maceral) dan anorganik (mineral matter) secara
mikroskopik. Seperti pada petrografi mineral, petrografi batubara
memerikan komponen-komponen penyusun batubara secara
kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui asal mula dan genesa
pembentukkan batubara.

Gambaran Sejarah
Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan dengan dua
nama tokoh penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920)
(dikutip dari Nining, N.S., 2001). Keduanya adalah ahli paleobotani.
Selain mereka juga ada dua ahli dari Jerman yaitu H. Potonie (1920)
dan yang banyak memberikan pemikiran penting dalam ilmu ini.
Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal terminalogi
dan klasifikasi batubara dengan menggunakan mikroskop cahaya
tembus, tetapi kemudian Stope lebih lanjut memperdalam
pengamatannya menggunakan cahaya pantul. Pemikiran Thiessen
menganai klasifikasi batubara berdasarkan sistem U.S. Bureau of
Mines. Salah satu hasil penelitian mereka yang sangat penting
adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara.
Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa peneliti dari
Perancis dan Jerman, yang tergabung dalam ahli-ahli mineral dan
tanaman, menyelidiki komponen-komponen batubara dengan
metoda petrografi. Untuk memadukan pemikiran-pemikiran yang
berbeda latar belakang keahlian maka diadakan konferensi di
Heerlen Netherland pada tahun 1935. Salah satu keputusan
penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem
penamaan sistem Stope-Heerlen.

Pada tahun 1932 diperkenalkan teknik baru mengenai pengukuran


reflektan yang digunakan sebagai petunjuk peringkat batubara.
Tokoh yang pertama kali memperkenalkan metoda ini adalah
Hoofmann dan Jenker dari Jerman. Di tahun 1930-an, para peneliti
memulai penelitian mengenai hubungan antara komposisi petrografi
dengan karakteristik batubara dalam suatu proses pengolahan.
Salah satu hasil penelitian menyatakan bahwa dalam batuabara
yang kaya vitrinit dan eksinit mempunyai perbedaan karakteristik
dalam proses pencairan, gasifikasi dan ekstrasi, dibandingkan
dengan batubara yang kaya inertinit.

Selanjutnya, pada tahun 1950 dibentuk komite yang bertujuan


menstandarkan metoda dan terminalogi petrologi batubara (coal
petrology) yaitu International Commite for Coal Petrology (ICCP).
Kemudian di tahun 1965, petrologi batubara mulai digunakan untuk
memprediksi kualitas kokas. Pada periode tahun 1960 hingga 1969
ditemukan komponen-komponen yang reaktif dan inert dalam
batubara, penemuan ini diperoleh dari pengamatan terhadap sifat-
sifat batubara selama proses karbonisasi. Sejak penemuan tersebut,
jumlah peneliti yang turut berpartisipasi dalam petrologi batubara
semakin meningkat, sehingga cakupan penelitian juga semakin
melebar, diantaranya mempelajari sifat-sifat kimia dan fisika
maseral, hubungan langsung dengan teknologi pemanfaatan
batuabara.

Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi batubara


ditemukan pada tahun 1970-an, yaitu teknik penggunaan mikroskop
otomatis dan pemakaian sinar fluorence untuk mengidentifikasi
meseral tertentu, terutama kelompok maseral liptinit/eksinit.

Konsep Maseral
Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara
disebut maseral (maceral), analog dengan mineral dalam batuan.
Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh M. Stopes (1935) (dalam
buku Stach dkk, 1982) untuk menunjukkan material terkecil
penyusun batubara yang hanya dapat diamati dibawah mikroskop
sinar pantul.
Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan menjadi 3 (tiga)
kelompok (group) yang didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran,
relief, struktur dalam, komposisi kimia warna pantul, intensitas
refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam Coal Petrology
oleh Stach dkk, 1982), yaitu :
1. Kelompok Vitrinit
Vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat
kayu (woody tissue) seperti batang, akar, dahan dan serat daun,
umumnya merupakan bahan pembentuk utama batubara (>50%),
melalui pengamatan mikroskop refleksi, kelompok ini berwarna
coklat kemerahan hingga gelap, tergantung dari tingkat ubahan
maseralnya .

2. Kelompok Liptinit / Exinit


Liptinit berasal dari organ-organ tumbuhan (algae, spora, kotak
spora, kulit luar (cuticula), getah tumbuhan (resine) dan serbuk sari
(pollen). Dibawah mikroskop menunjukkan pantulan berwarna abu-
abu hingga gelap, mempunyai refleksivitas rendah dan flourensis
tinggi (Gambar 2.10). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya
dibedakan menjadi beberapa sub-maseral .
3. Kelompok Inertinit
Inertinite berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan
sebagian lagi diperkirakan berasal dari maseral lain yang telah
mengalami proses oksidasi atau proses dekarbok silasi yang
disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia). Kelompok ini
berwarna kuning muda, putih sampai kekuningan bila diamati
dengan mikroskop sinar pantul, karakteristik lainnya adalah
reflektansi dan reliefnya tinggi dibanding maseral yang lain .
Berdasarkan struktur dalam, tingkat dan intensitas pembakaran,
kelompok ini dibagi menjadi beberapa sub-maseral .

Klasifikasi
Banyak klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan jenis maseral
dalam petrografi batubara, tetapi yang sering dipakai oleh peneliti
di Indonesia adalah Australian Standart (AS 2856-1986) (Tabel 2.1).
Kelebihan sistem ini yaitu pembagiannya berlaku untuk semua
peringkat batubara, baik untuk hard coal maupun brown coal, selain
itu juga cukup sederhana dibandingkan sistem yang lain :
International Organisation for Standardisation (ISO); American
Society for Testing Materials (ASTM); dan British Standards
Institution (BSI) classifications.

Sifat Fisik dan Kimia Kelompok Maseral


1. Sifat Fisik
Sifat fisik utama kelompok maseral adalah berat jenis. Kelompok
vitrinit mempunyai berat jenis yang bervariasi tergantung peringkat
batubara. Dalam batubara bituminus yang mempunyai zat
terbang sedang, vitrinit memiliki berat jenis 1,27 g/ml; sedangkan
dalam batubara bituminus yang mempunyai berzat terbang tinggi
memiliki berat jenis 1,3 g/ml; dan yang terbesar adalah 1,8 g/ml
untuk antrasit.
Liptinit mempunyai berat jenis mulai dari 1,18 g/ml dalam batubara
peringkat rendah hingga mencapai 1,25 g/ml dalam batubara
bituminus. Berat jenis inertinit kenaikannnya sedikit mulai dari
1,35 sampai dengan 1,7 g/ml sesuai dengan kenaikan peringkat
batubara.

2. Sifat Kimia
Pada batubara yang berperingkat sama, vitrinit mempunyai lebih
sedikit kandungan oksigen dan lebih banyak kandungan karbon bila
dibandingkan dengan kelompok inertinit, sedangkan liptinit banyak
mengandung karbon dan hidrogen tetapi sedikit mengandung
oksigen. Bila jumlah kandungan hidrogen dan karbon dihubungan
dengan zat terbang, liptinit memproduksi zat terbang tertinggi,
yang diikuti oleh vitrinit. Inertinit relatif kecil memiliki kandungan
zat terbang. Hal tersebut akan berubah dengan kenaikan peringkat
batubara.
Vitrinit dalam batubara peringkat rendah tersusun dari bermacam-
macam humus yang terdiri dari cincin aromatik dikelilingi oleh
gugusan alipatik. Makin naik peringkat batubara, kelompok
peripheral luar seperti OH, COOH, CH3 akan hilang dan cincin
aromatik menjadi lebih besar. Akibatnya kearomatikan dan
kandungan karbon meningkat sedangkan kandungnan oksigen
menurun.
Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat batubara
berhubungan dengan jumlah cahaya reflektansi vitrinit.
Pengaruhnya, semakin tinggi kadar karbon, semakin tinggi pula
reflektansi vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat secara
langsung ditetapkan dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam
batubara yang mempunyai kandung vitrinit >80%, peringkat
batubara dapat ditetapkan berdasarkan kandungan zat terbang dan
zat karbon.

Liptinit dalam batubara peringkat rendah mempunyai lebih sedikit


senyawa aromatik dibandingkan dengan vitrinit. Pada umumnya
eksinit/liptinit mempunyai suatu kerangka alifatik-aromatik dengan
rantai luar alifatik dan mempunyai kelompok periperal yang tinggi,
serta menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila dipanaskan
dibandingkan dengan kelompok lainnya. Selain itu liptinit
menghasilkan bitumen dan ter yang tinggi terutama dalam
batubara sub-bituminus dan bituminus.
Pada batubara peringkat rendah, inertinit memiliki lebih banyak
senyawa aromatik dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit.
Kelompok ini sangat sedikit berubah sifat fisika dan kimianya karena
kenaikan peringkat. Pada umumnya inertinit mempunyai oksigen
tinggi dan hidrogen randah, tetapi kandungan oksigen akan turun
cepat dengan naiknya peringkat batubara.

Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran
halus yang menyebar maupun sebagai butiran kasar yang
mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu :
Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,
Mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera
setelah pengendapan batubara dan,
Mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara,
Mineral pengotor kelompok pertama pada umumnya tidak dapat
diketahui secara petrografi kecuali dengan SEM (Scanning Electron
Microscope) karena sangat kecil. Mineral pengotor kelompok kedua
dan ketiga dengan mudah dapat diidentifikasi dengan mikroskop.
Mineral utama berbentuk bersamaan dengan pembentukna
batubara, sedangkan mineral pengotor lainnya cenderung kasar
dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.
Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara
adalah lempung, karbonat, besi sulfida dan kuarsa. Mineral lain
yang terdapat pada batubara dalam jumlah kecil adalah oksida-
oksida, hidroksida-hidroksida, sulfida-sulfida yang lainnya, fosfat
dan sulfat.
Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan
tersebar luas di dalam batubara serta berukuran butir sangat kecil
antara 1-2 m. Sekitar 60 80% dari mineral pengotor dalam
batubara adalah lempung berupa kaonit, illit dan smektit. Komposisi
kimia pada saat pengendapan berpengaruh terhadap tipe lempung
yang mengendapan dalam batubara. Pada umumnya mineral
lempung illit terdapat dalam batubara yang diendapkan dengan
adanya pengaruh air laut, sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi
oleh air laut. Dibawah sinar refleksi, lempung mempunyai
lempung bermacam-macam warna mulai dari yang hampir putih
sampai sampai orange kecoklat-coklatan. Dibawah sinar
fluorescent mineral lempung tidak berwarna sampai oranye.

Karbonat dalam batubara terdapat sebagai masa dasar atau pengisi


lubang-lubang kecil/celahan, diantaranya adalah siderit, kalsit,
ankerit dan dolomit. Dibawah sinar refleksi, karbonat tersebut
berwarna abu-abu kecoklatan dan sangat anisotop. Di bawah sinar
fluorescent karbonat menunjukkan warna hijau sampai oranye
kehijauan.
Sulfida besi didominasi oleh pirit termasuk markasit dan
melnikovit. Mineral-mineral tersebut terjadi sebagi butiran kristal
yang halus dan butiran-butiran halus, dan kadang-kadang mengisi
lubang yang terbuka, terutama terdapat dalam lapisan batubara
yang dipengaruhi oleh air laut. Dalam sinar refleksi, pirit terlihat
sangat terang kekuning-kuningan.
Mineral kuarsa dalam batubara terdapat dalam jumlah kecil,
berukuran butir antara 5-20 m. Dibawah sinar refleksi, kuarsa
terlihat hitam terang. Batubara yang mempunyai mineral dalam
ukuran butir besar dapat dengan mudah dipisahkan dengan
penggerusan atau dengan proses pengolahan. Mineral tersebut
dinamakan adventitious. Sedangkan mineral-mineral yang tidak
terlepas dari batubara baik dengan penggerusan maupun dengan
proses pengolahan yang disebut inherant.

Peringkat Batubara (Coal Rank)


Pada tahap pembentukan batubara dari gambut menjadi batubara
yang lebih tinggi derajatnya yaitu dari lignit sampai sub bituminus,
bituminus hingga antrasit, yang berlangsung adalah tekanan,
temperatur dan waktu tertentu (Cook, 1982). Tahap pembatubaraan
merupakan perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan pada
kondisi reduksi, yang mana persentase karbon semakin besar,
sedangkan persentase oksigen dan hidrogen semakin berkurang.
Cook (1982) menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari
pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah.
Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah
daripada mineral anorganik.
Dalam menentuan peringkat batubara dapat dilakukan dengan
berbagai metoda dan parameter, antara lain : kadar air lembab
(moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed
carbon), nilai kalori (caloritific value), reflektansi vitrinit serta
karbon dan oksigen. Pada metoda petrogarfi batubara penentuan
peringkat batubara mengacu pada hasil pengukuran reflektansi
vitrinit. Selain dalam prakteknya lebih cepat dan mudah, metoda ini
juga lebih tepat dalam menentukan peringkat batubara
dibandingkan dengan metoda yang lain. Hal ini dikarenakan
reflektansi vitrinit lebih berkaitan langsung dengan pengamatan
kondisi maupun struktur maseral batubara, yang mana struktur
maseral batubara tersebut lebih mencerminkan seri pembatubaraan
yang dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur.

Tipe Batubara (Coal Type)


Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982) menjelaskan bahwa batasan
tipe batubara dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis
tumbuhan pembentuk batubara, sedangkan menurut Shierly (dalam
Cook, 1982) tipe batubara merupakan dasar klasifikasi petrografi
batubara yang terdiri dari berbagai unsur tumbuhan penyusun
batubara dengan kejadian yang berbeda.
Petrografi batubara memberikan dasar pemahaman genesa, sifat
dan unsur organik batubara. Material organik berasal dari berbagai
macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen
anorganik selama penggambutan, sehingga tipe batubara
ditentukan pada tahap biokimia untuk mengetahui lingkungan
pengendapan batubara, terutama berdasarkan material organiknya.
Penentuan jenis batubara secara makroskopis didasarkan pada
litotipe, sedangkan secara mikroskopis menggunakan konsep
maseral dan mikrolitotipe.

Metoda Penentuan dan Model Lingkungan Pengendapan


Penafsiran lingkungan pengendapan batubara dalam petrografi
batubara menggunakan model lingkungan pengendapan dari
Diessel (1986), Calder (1991) dan Mukhopadhyay (1989). Penafsiran
lingkungan pengendapan pada model-model tersebut didasarkan
pada konsep maseral, yang mana kehadiran beberapa maseral
tertentu dalam batubara akan memberikan pendekatan mengenai
awal terbentuknya batubara.
1. Model lingkungan pengendapan menurut Diesel (1986)
Diesel (1986) telah menerapkan modelnya pada batubara yang
berumur Perm di lembah Hunter dan Gunnedah yang termasuk
dalam cekungan Sydney, Australia. Model ini juga telah banyak
diaplikasikan dibeberapa lapangan batubara di dunia. Penentuan
lingkungan pengendapan pada model ini digunakan perbandingan
antara harga Gelification Index (GI) dengan Tissue Preservation
Index (TPI) yang kemudian diplotkan dalam diagram.

2. Model lingkungan pengendapan menurut Calder,dkk (1991)


Calder, dkk (1991) mengusulkan perbandingan antara Vegetation
Index (VI) dan Ground Water Index (GWI) dipakai sebagai parameter
untuk menentukan lingkungan pengendapan. Model ini secara lebih
rinci mengklasifikasikan lingkungan pengendapan batubara ditinjau
dari asal material organik pembentuk batubara dan kedalaman
muka air (hydrologic regime).

3. Model lingkungan pengendapan modifikasi Mukhopadhyay


(1989)
Mukhopadhyay (1989) mendasarkan asosiasi maseral untuk
menentukan fasies batubara di cekungan Mosehopotanus, Greece,
Athena, Yunani pada endapan batubara Tersier. Asosiasi maseral
yang dipakai merupakan meseral-maseral yang dapat memberikan
gambaran mengenai komunitas tumbuhan, tipe pengendapan,
potensi reduksi-oksidasi, dan susunan batubara pada sistem
lingkungan pengendapan batubara. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Teichmuller, 1982 (dalam Stach dkk, 1982), yang
menyatakan bahwa faktor yang menentukan fasies batubara yaitu
komunitas tumbuhan, tipe pengendapan, potensi reduksi-oksidasi,
dan susunan batubara.

Pembentukan batu bara (coalification)


Batu bara, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan batuan
sedimen yang berasal dari tumbuhan yang telah mengalami
perubahan kimia dan fisika akibat proses biodegradasi (aktivitas
bakteri) yang terjadi pada tahap penggambutan serta efek suhu dan
tekanan selama proses pembatubaraan.
Peningkatan tekanan dan suhu dapat terjadi karena peningkatan
kedalaman pembebanan atau kontak batu bara dengan sumber
panas, terutama berupa intrusi batuan beku. Faktor lain yang juga
sangat berpengaruh pada proses pembatubaraan adalah waktu.

Waktu ini berhubungan dengan seberapa lama pembatubaraan


terjadi. Semakin lama gambut terkena suhu dan tekanan yang
tinggi, batu bara yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih
baik.
Proses pembatubaraan secara umum dapat digolongkan menjadi
dua tahap, yaitu penggambutan (peatification) dan pembatubaraan
(coalification). Proses pembentukan batu bara diawali dengan fase
biokimia dan kemudian diikuti fase geokimia (peran organisme
sudah tidak ada lagi). Fase biokimia terjadi pada gambut segera
setelah deposisi dan pengendapan sedimen lain terjadi di atas
gambut tersebut.

Perubahan komposisi kimia dan fisika dari tumbuhan akibat aktivitas


bakteri aerobik paling intensif terjadi pada peatigenic layer ( 0,5
m di bawah permukaan). Pada lapisan gambut yang lebih dalam,
bakteri anaerobik mulai intensif bekerja karena berkurangnya
oksigen. Selanjutnya, pada kedalaman lebih dari 10 meter, aktivitas
bakteri mulai berkurang dan digantikan oleh proses kimiawi.
Fase biokimia ini dipengaruhi oleh tingkat pembebanan sedimen,
pH, dan tinggi permukaan air. Fase geokimia atau metamorfisme
ditandai dengan peningkatan kandungan karbon (C) dan penurunan
kandungan hidrogen (H) dan oksigen (O). Rasio antara O/C dan H/C
dapat digunakan untuk menentukan peringkat batu bara.

Proses pembatubaraan akan menghasilkan perubahan parameter


batu bara, baik yang berupa sifat fisik maupun kimia. Tingkat
pembatubaraan disebut sebagai peringkat batu bara (rank).
Peringkat batu bara dari yang terendah adalah gambut, lignit, sub-
bituminus, bituminus, antrasit, dan meta-antrasit.

Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :

Teori In-situ : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang


berasal dari hutan dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara
yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ biasanya terjadi di hutan
basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada
saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut,
dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara
sempurna, dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk
sedimen organik.

Teori Drift : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang


berasal dari hutan yang bukan di tempat dimana batubara tersebut
terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift
biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara
tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam),
banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses
pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses


biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan
dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu
terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit
Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat,
sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang
(Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan
batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya
mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit,
hingga meta antrasit.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pembetukan batubara
yaitu: umur, suhu dan tekanan.
Mutu endapan batubara juga ditentukan oleh suhu, tekanan serta
lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik.
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon
(Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama
yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang
lalu. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi
gambut/peat (C60H6O34) yang selanjutnya berubah menjadi
batubara muda (lignite) atau disebut pula batubara coklat (brown
coal). Batubara muda adalah batubara dengan jenis maturitas
organik rendah.

Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus


selama jutaan tahun, maka batubara muda akan mengalami
perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya
dan mengubah batubara muda menjadi batubara sub-bituminus
(sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam
sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit
(anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas
organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk
antrasit.

Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya


menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama
pembentuk batubara.

Disamping itu semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar


karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan
berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat
diasosiasikan dengan mutu atau mutu batubara, maka batubara
dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara
bermutu rendah seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih
lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti
tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan
kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga
rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin
keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat.
Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar
karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga
semakin besar.

Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati. Proses


terjadinya batu bara disebut proses inkolen (air yang ada di
dalamnya dan bahan-bahan yang mudah menguap, Nitrogen makin
kecil sedangkan kadar zat arang atau karbon bertambah
presentasenya).

Setelah tumbuhan mati, proses penghancuran tidak dapat


memainkan peranannya karena air ditempat matinya tumbuh-
tumbuhan tersebut tidak atau kurang menbgandung oksigen. Oleh
karena itu, tumbuh-tumbuhan tidak mengalami pembusukan dan
kemudian ditimbuni lempung, pasir, kerikil yang akhirnya terjadi
proses pembentukan batu bara. Proses tersebut terbentuk melalui
beberapa tingkatan:
1. Stadium 1 : Proses Biokimia/ Humifikasi, sisa-sisa tumbuhan
menjadi keras karena beratnya sendiri sehingga tumbuh-tumbuhan
berubah warnanya tetapi masih utuh bentuknya karena tidak ada
pengaruh suhu dan tekanan yang menjadi gambut atau Turf.

2. Stadium 2: Proses Metamorfosa, sush dan tekanan bertambah


tinggi dan waktu lama maka Turf berubah menjadi batu bara muda
atau Lignit.

3. Stadium 3: Pembentukan batuan berharga yaitu terjadinya


batu bara, yang dapat dilihat struktur tumbuhannya. Jika temperatur
tekanan meningkat terus, maka akan
terjadi Antrasit dan Stradium yang akhirnya menjadi Granit.

Persebaran batu-bara di indonesia


Nanggroe Aceh Darusalam, Sumatera, Riau, Jambi, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Papua.
Sebenarnya jika dimanfaatkan secara seksama maka batubara pun
bisa dijadikan sumber energi yang bisa digunakan untuk berbagai
keperluan seperti keperluan idustri, kegiatan rumahan dsb.
Perlu kita ketahui bahwa batubara merupakan bahan tambang yang
sangat lama untuk terbarukan, perlu jutaan tahun untuk
mendapatkan batubara, jadi dalam menggunakan bahan tambang
yang tidak terbarukan secara cepat haruslah secara sedikit demi
sedikit, jangan digunakan secara berlebihan.

Proses penambangan batu bara


Penambangan pada tambang terbuka itu sendiri dilakukan dengan
beberapa tahapan kerja:
a. pengurusan surat-surat ijin yang dibutuhkan untuk kegiatan
penambangan, pembabatan (land clearing),
b. pengupasan lapisan tanah penutup (stripping of overburden),
c. penambangan (exploitation), pemuatan (loading), pengangkutan
(hauling), dan pengolahan serta pemasaran.
Pengelompokan Tambang Terbuka Pada prinsipnya tambang terbuka
dapat digolongkan ke dalam empat golongan :
a. Openpit/Openmine/Opencut/Opencast
Adalah tambang terbuka yang diterpakan pada penambangan ore
(bijih). Misalnya nikel, tembaga, dan lain-lain.
b. StripMine
Penerapan khusus endapan horizontal/sub-horizontal terutama
untuk batubara, dapat juga endapan garam yang mendatar. Contoh
Tamabang Batubara di Tanjung Enim.STRIP MINE
c. Quarry
AdalahTambang terbuka yang diterapkan pada endapan mineral
industri (industrial mineral). Contoh Tambang batu pualam di Tulung
Agung.
d. Alluvial mining
Dapat dikatakan sebagai placer Mining ataupun di Australia
disebut Beach-mine yaitu cara penambangan untuk endapan
placer atau alluvial. Contoh tambang Cassiterite di Pulau Bangka,
belitung dan sekitarnya.

B. Konsiderasi Pada Operasi Penambangan


Secara garis besar, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kelangsungan kegiatan penambangan dibagi dalam dua kategori,
yaitu faktor teknis dan faktor ekonomi.
1. Kajian Secara Teknis
Unsur unsur teknis yang perlu mendapat perhatian dalam
pelaksanaan aktifitas kegiatan kerja sebuah proyek penambangan
meliputi :
a. Kondisi Umum tempat proyek dilaksanakan
Kondisi Kondisi tempat kerja yang perlu diperhatikan adalah meliputi
kondisi geologi, topografi, iklim dan sosial Budaya. Keadaan umum
tersebut mutlak diperhitungkan guna menentukan penjadwalan
waktu kegiatan dan yang utama sekali menetapkan efesiensi kerja
kerja efektif dari pelaksanaan proyek tersebut.
b. Sarana perlengkapan peralatan kerja
Jenis perlengkapan dan peralatan kerja disesuaikan dengan kondisi
tempat kerja, maksud pekerjaaan, kapasitas produksi, dan
efektifitas kerja yang diinginkan. Cara pengadaanya diperhitungkan
dengan umur produksi dan efektifitas kerja dan ketersediaan modal
kerja yang di miliki.

c. Metode Pelaksanaan kerja


Dalam proyek ini pelaksanaan kegiatan pembongkaran material
dilakukan dengan peledakan. Metode tersebut dipilih mengingat
jenis materialnya memilki kekerasan yang cukup tinggi, fraksi
material yang lepas yang sasaran produksinya telah ditentukan.

2. Kajian Secara Ekonomis


Kajian secara ekonomis dimaksudkan untuk mengetahui sebuah
proyek penambangan memperoleh keuntungan atau tidak. Dalam
perhitungan aliran uang diperhatikan beberapa faktor yang
berpengaruh dalam situasi ekonomi.
Hal-hal yang diperhatikan tersebut adalah:

1. Nilai (value) daripada endapan mineral per unit berat (P). dan
biasanya dinyatakan dengan ($/ton) atau (Rp/ton)
2. Ongkos produksi (C), yaitu ongkos yang diperlukan sampai
mendapatkan produknya diluar ongkos stripping.
3. Ongkos stripping of overburden (Cob),
4. Cut Off Grade, akan menentukan batas-batas cadangan sehingga
menentukan bentuk akhir penambangan.

Tambang terbukajuga disebut tambang permukaanhanya


memiliki nilai ekonomis apabila lapisan batu bara berada dekat
dengan permukaan tanah. Metode tambang terbuka juga
memberikan keuntungan yang lebih besar dari tambang bawah
tanah, karena seluruh lapisan batu bara dapat dieksploitasi (90%
atau lebih dari batu bara dapat diambil). Tambang terbuka yang
besar dapat meliputi daerah berkilo-kilo meter persegi dan
menggunakan banyak alat yang besar, termasuk dragline (katrol
penarik), yang memindahkan batuan permukaan, power shovel
(sekop hidrolik), truk-truk besar yang mengangkut batuan
permukaan dan batu bara, bucket wheel excavator (mobil penggali
serok),dan ban berjalan.

C. Aktifitas Pertambangan Pada Tambang Terbuka


a.. Tahap Persiapan
Kegiatan kegiatan yang dilakukan pada awal proses pengambilan
atau penambangan bahan galian terdiri dari tahap persiapan (pra
penambangan), Kegiatan tersebut meliputi :

1. Pembuatan Jalan Rintasan


Jalan rintasan berfungsi sebagai jalur lewatnya alat alat berat ke
lokasi tambang, kemudian dikembangkan sebagai jalan angkut
material dari front penambangan ke lokasi pabrik peremukan.
Pembuatan jalan diguna-kan dengan memakai Bulldozer yang
nantinya digunakan pula sebagai pengupasan lapisan penutup.

2. Pembersihan Lahan
Pekerjaan ini dilakukan sebelum tahap pengupasan lapisan tanah
penutup dimulai. Pekerjaan ini meliputi pembabatan dan
pengumpulan pohon yang tumbuh pada permukaan daerah yang
akan ditambang dengan tujuan untuk membersihkan daerah
tambang tersebut sehingga kegiatan penambangan dapat dilakukan
dengan mudah tanpa harus terganggu dengan adanya gangguan
tetumbuhan yang ada didaerah penambangan. Kegiatan
pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan Bulldozer.

Pembersihan dilakukan pada daerah yang akan ditambang yang


mempunyai ketebalan overburden beberapa meter dengan
menggunakan Bulldozer dan dilakukan secara bertahap sesuai
dengan pengupasan lapisan tanah penutup. Dalam pembabatan,
pohon didorong kearah bawah lereng untuk dikumpulkan, dimana
penanganan selanjutnya diserahkan pada penduduk setempat.

3. Pengupasan Tanah Penutup


Pembuangan lapisan tanah penutup dimaksudkan untuk
membersihkan endapan batu gamping yang akan digali dari semua
macam pengotor yang menutupi permukaanya, sehingga akan
mempermudah pekerjaan penggaliannya disamping juga hasilnya
akan relatif lebih bersih.
Lapisan tanah penutup pada daerah proyek terdiri atas dua jenis
yaitu top soil dan lapisan overburden sehingga lapisan dilakukan
terhadap lapisan top soil terlebih dahulu dan ditempatkan pada
suatu daerah tertentu untuk tujuan reklamasi nantinya. Setelah
lapisan top soil terkupas, selanjutnya dilakukan pengupasan pada
lapisan overburden lalu didorong dan ditempatkan pada daerah
tertentu dan sebagian lagi digunakan sebagai pengeras jalan.

Kegiatan pengupasan dilakukan secara bertahap dengan


menggunakan bulldozer, dimana tahap pengupasan awal dilakukan
untuk menyiapkan jenjang pertama dan pengupasan berikutnya
dapat dilakukan bersamaan dengan tahap produksi, sehingga pola
yang diterapkan adalah seri dan paralel yang bertujuan untuk :
a. Menghemat investasi dan biaya persiapan
b. Menghindari pengotoran endapan batu gamping dari lapisan
penutup, sehingga mempermudah dalam pekerjaan penggalian.
c. Menghindari terjadinya longsoran dan bahaya angin.

4. Persiapan Peralatan Penambangan


Penambangan yang akan dilakukan difokuskan dengan
menggunakan peralatan mekanis. Adapun alat yang digunakan
diperlukan untuk menunjang kegiatan penambangan, yaitu :
a. Bulldozer, yang digunakan untuk pembersihan lahan dan
pengupasan lapisan tanah penutup.
b. Loader, yang digunakan untuk memuat bongkahan batu gamping
hasil dari pembongkaran keatas alat angkut.
c. Truck, yang digunakan sebagai alat angkut hasil front
penambangan ke tempat pabrik peremukan/penggerusan.
d. Crushing Plant, yaitu suatu unit pengolahan yang berfungsi
sebagai alat preparasi batu gamping dari front penambangan guna
mendapatkan ukuran butiran yang diinginkan oleh pasar.
e. Pembangkit Listrik, berfungsi sebagai sumber tenaga listrik yang
akan dipakai sebagai penerangan, untuk alat pengolahan dan
menggerakkan alat alat yang bekerja didalam pabrik.
f. Pompa Air, digunakan untuk memompa atau mengambil air guna
memenuhi kebutuhan peralatan dan karyawan.

5. Persiapan Pabrik Peremukan


Pabrik peremukan ini harus dibuat cukup luas agar dapat
menampung material hasil penambangan sebelum proses
peremukan.

a.Pemilihan Lokasi Peremukan dan Stock Pile


Pemilihan lokasi biasanya bedasarkan topografi daerahnya yang
agak landai . Lokasi pabrik dipilih daerah yang relatif datar dan
tanpa vegetasi sehingga hanya perlu proses atau pekerjaan
perataan seperlunya saja. dan dekat dengan Infrastruktur yang ada
seperti jalan, dan penerangan.

b. Pemasangan Peralatan pada Pabrik Peremuk


Untuk penempatan mesin peremuk dibutuhkan pondasi yang cukup
kuat agar dapat bertahan cukup lama sesuai dengan proyek yang
diselenggarakan dan masalah konstruksi pondasi diborongkan
kepada pihak kontraktor dengan pihak pemasok mesin peremuk
sebagai konsultan.

c. Letak Kantor
Sarana perkantoran digunakan sebagai pusat pengaturan dan
pelaksanaan kegiatan kerja penambangan dan direncanakan berada
pada daerah yang mudah dicapai dan dekat dengan jalan masuk.
Bangunan ini dibuat permanen karena dipakai dalam jangka waktu
yang sangat lama sesuai dengan umur proyek.

d. Pusat Perawatan Alat


Dalam menunjang kelancaran operasi dibutuhkan peralatan
peralatan yang selalu dalam kondisi yang baik dan siap pakai. Untuk
itu sangat dibutuhkan suatu sarana sebagai tempat perawatan
peralatan (spare part), agar perawatan terhadap peralatan atau
mesin mesin yang digunakan dapat dilakukan secara rutin baik itu
dalam jenis perawatan yang ringan maupun pergantiaan suku
cadangnya.

e. Penerangan
Sarana penerangan dimaksudkan untuk memberikan penerangan
disekitar bangunan, jalan, dan terutama sekali didalam kegiatan
penunjang kerja. Sumber listrik untuk penerangan ini tidak menjadi
satu dengan listrik untuk pabrik, sehingga khusus untuk sarana
penerangan ini diperlukan sebuah generator.

f. SumberAir
Air merupakan sumber sarana yang sangat vital bagi sebuah proyek
yang melibatkan banyak tenaga kerja. Disamping air digunakan
sebagai kebutuhan sehari hari, air juga dipakai dalam kegiatan
penambangan yang didapat dari air tanah dengan melakukan
pemboran.

g. Prasarana Penunjang Lainnya


Yang dimaksud dengan prasarana lain disini adalah prasarana yang
dipakai untuk kepentingan umum dimana selain digunakan oleh
perusahaan juga dapat dipakai oleh masyarakat setempat sehingga
mempunyai dampak yang positip terhadap kehidupan masyarakat
sekitar. Prasarana lainnya meliputi saran olahraga, saran tempat
peribadatan, poliklinik, power house, dan pos keamanan.

D. Operasi Penambangan
Tujuan utama dari kegiatan penambangan adalah pengambilan
endapan dari batuan induknya, sehingga mudah untuk diangkut dan
di proses pada proses selanjutnya selanjutnya.
Setelah operasi persiapan penambangan selesai dan pengupasan
lapisan tanah penutup pada bagian atas cadangan batugamping
terlaksana (arah kemajuan penambangan dari kontur atas ke
bawah). Maka dapat dimulai kegiatan operasi penambangan.
Kegiatan penambangan terbagi atas tiga kegiatan, yaitu
pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan.

Adapun rincian dari ketiga kegiatan tersebut adalah:


1. Pembongkaran
Pembongkaran merupakan kegiatan untuk memisahkan antara
endapan bahan galian dengan batuan induk yang dilakukan setelah
pengupasan lapisan tanah penutup endapan batugamping tersebut
selesai. Pembongkaran dapat dilakukan dengan menggunakan
peledakan, peralatan mekanis maupun peralatan non mekanis.

Untuk kegiatan pembongkaran batugamping menggunakan


pemboran yang kemudian dilakukan peledakan. setelah batuan
diledakkan kemudian digusur menggunakan alat bulldozer, yang
kemudian dikumpulkan di tepi batas penambangan atau tepi jalan
tambang tiap blok. Banyaknya batugamping yang dibongkar tiap-
tiap blok tidak sama, tergantung persyaratan kualitas yang diminta
oleh konsumen.

2. Pemuatan
Pemuatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan atau
mengisikan material atau endapan bahan galian hasil
pembongkaran ke dalam alat angkut. Kegiatan pemuatan dilakukan
setelah kegiatan penggusuran, pemuatan dilakukan dengan
menggunakan alat muat Wheel Loader dan diisikan ke dalam alat
angkut.
Kegiatan pemuatan bertujuan untuk memindahkan batugamping
hasil pembongkaran kedalam alat angkut. Pengangkutan dilakukan
dengan sistem siklus, artinya truck yang telah dimuati langsung
berangkat tanpa harus menunggu truck yang lain dan setelah
membongkar muatan langsung kembali ke lokasi penambangan
untuk dimuati kembali

3. Pengangkutan
Pengangkutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengangkut
atau membawa material atau endapan bahan galian dari front
penambangan dibawa ke tempat pengolahan untuk proses lebih
lanjut.

Kegiatan pengangkutan menggunakan Dump Truck yang kemudian


dibawa ke tempat pengolahan untuk dilakukan proses peremukan
(crushing), jumlah truk yang akan digunakan tergantung dari
banyaknya material batugamping hasil peledakan yang akan
diangkut.

Proses pengolahan batu bara pada umumnya diawali oleh


pemisahan limbah dan batuan secara mekanis diikuti dengan
pencucian batu bara untuk menghasilkan batubara berkualitas lebih
tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah pembuangan
batuan limbah dan batubara tak terpakai, timbulnya debu dan
pembuangan air pencuci.

2. Penampungan Tailing, Pengolahan dan Pembuangan


Pengelolaan tailing merupakan salah satu aspek kegiatan
pertambangan yang menimbulkan dampak lingkungan sangat
penting. Tailing biasanya berbentuk lumpur dengan komposisi 40-
70% cairan. Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
memerlukan pertimbangan yang teliti terutama untuk kawasan
yang rawan gempa. Kegagalan desain dari sistem penampungan
tailing akan menimbulkan dampak yang sangat besar, dan dapat
menjadi pusat perhatian media serta protes dari berbagai lembaga
swadaya masyarakat (LSM).
Pengendalian polusi dari pembuangan tailing selama proses operasi
harus memperhatikan pencegahan timbulnya rembesan,
pengolahan fraksi cair tailing, pencegahan erosi oleh angin, dan
mencegah pengaruhnya terhadap hewan-hewan liar.

Isu-isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi


alternatif pembuangan tailing meliputi :
1. Karakteristik geokimia area yang akan digunakan sebagai tempat
penimbunan tailing dan potensi migrasi lindian dari tailing.
2. Daerah rawan gempa atau bencana alam lainnya yang
mempengaruhi keamanan lokasi dan desain teknis .
3. Konflik penggunaan lahan terhadap perlindungan ekologi
peninggalan budaya, pertanian serta kepentingan lain seperti
perlindungan terhadap ternak, binatang liar dan penduduk local.
4. Karakteristik kimia pasir, lumpur, genangan air dan kebutuhan
untuk pengolahannya.
5. Reklamasi setelah pasca tambang.

Studi AMDAL juga harus mengevaluasi resiko yang disebabkan oleh


kegagalan penampungan tailing dan pemrakarsa harus menyiapkan
rencana tanggap darurat yang memadai. Pihak yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaan tanggap darurat ini harus
dinyatakan secara jelas.

3. Pembangunan infrastruktur jalan akses dan pembangkit energi


Kegiatan pembangunan infrastruktur meliputi pembuatan akses di
dalam daerah tambang, pembangunan fasilitas penunjang
pertambangan, akomodasi tenaga kerja, pembangkit energi baik
untuk kegiatan konstruksi maupun kegiatan operasi dan
pembangunan pelabuhan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah
pembangunan sistem pengangkutan di kawasan tambang (misalnya
: crusher, ban berjalan, rel kereta, kabel gantung, sistem perpipaan
untuk mengangkut tailing atau konsentrat bijih).

Dampak lingkungan, sosial dan kesehatan yang ditimbulkan oleh


kegiatan ini dapat bersifat sangat penting dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut :
1. Letak dan lokasi tambang terhadap akses infrastruktur dan
sumber energi.
2. Jumlah kegiatan konstruksi dan tenaga kerja yang diperlukan
serta tingkat migrasi pendatang.
3. Letak kawasan konsensi terhadap kawasan lindung dan habitat
alamiah, sumber air bersih dan badan air, pemukiman penduduk
setempat dan tanah yang digunakan oleh masyarakat adat.
4. Tingkat kerawanan kesehatan penduduk setempat dan pekerja
terhadap penyakit menular seperti malaria, AIDS, schistosomiasis.

4. Pembangunan Pemukiman Karyawan Dan Base Camp Pekerja


Kebutuhan tenaga kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk
kegiatan pertambangan seringkali tidak dapat dipenuhi dari
penduduk setempat. Tenaga kerja trampil perlu didatangkan dari
luar, dengan demikian diperlukan pembangunan infrastruktur yang
sangat besar.
Jika jumlah sumberdaya alam dan komponen-komponen lingkungan
lainnya sangat terbatas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
pendatang, sumberdaya alam akan mengalami degradasi secara
cepat. Akibatnya akan terjadi konflik sosial karena persaingan
pemanfaatan sumber daya alam.

Sebagai contoh, kegiatan pertambangan seringkali dikaitkan dengan


kerusakan hutan, kontaminasi dan penurunan penyediaan air bersih,
musnahnya hewan liar dan perdagangan hewan langka, serta
penyebaran penyakit menular.

5. Decomisioning Dan Penutupan Tambang


Setelah ditambang selama masa tertentu cadangan bijih tambang
akan menurun dan tambang harus ditutup karena tidak ekonomis
lagi. Karena tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, banyak
lokasi tambang yang ditelantarkan dan tidak ada usaha untuk
rehabilitasi. Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang
dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke
kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir
rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti
sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Namun
demikian, uraian di atas tidak menyarankan agar kegiatan
rehabilitasi dilakukan setelah tambang selesai. Reklamasi
seharusnya merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut
sepanjang umur pertambangan.
Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam
(landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga
bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang
memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk
lahan produktif yang akan dicapai menyesuaiakan dengan tataguna
lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang
sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis
lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas
lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus dipertahankan agar
tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya.

Metode Pengelolaaan Lingkungan


Mengingat besarnya dampak yang disebabkan oleh aktifitas
tambang, diperlukan upaya-upaya pengelolaan yang terencana dan
terukur. Pengelolaan lingkungan di sektor pertambangan biasanya
menganut prinsip Best Management Practice. US EPA (1995)
merekomendasikan beberapa upaya yang dapat digunakan sebagai
upaya pengendalian dampak kegiatan tambang terhadap
sumberdaya air, vegetasi dan hewan liar.

Beberapa upaya pengendalian tersebut adalah :


1. Menggunakan struktur penahan sedimen untuk meminimalkan
jumlah sedimen yang keluar dari lokasi penambangan
2. Mengembangkan rencana sistim pengedalian tumpahan untuk
meminimalkan masuknya bahan B3 ke badan air
3. Hindari kegiatan konstruksi selama dalam tahap kritis
4. Mengurangi kemungkinan terjadinya keracunan akibat sianida
terhadap burung dan hewan liar dengan menetralisasi sianida di
kolam pengendapan tailing atau dengan memasang pagar dan
jaring untuk
5. Mencegah hewan liar masuk kedalam kolam pengendapan tailing
6. Minimalisasi penggunaan pagar atau pembatas lainnya yang
menghalangi jalur migrasi hewan liar. Jika penggunaan pagar tidak
dapat dihindari gunakan terowongan, pintu-pintu, dan jembatan
penyeberangan bagi hewan liar.
7. Batasi dampak yang disebabkan oleh frakmentasi habitat
minimalisasi jumlah jalan akses dan tutup serta rehabilitasi jalan-
jalan yang tidak digunakan lagi.
8. Larangan berburu hewan liar di kawasan tambang.

Penggunaan batu bara


Batubara telah banyak dimanfaatkan dalam bentuk energi listrik
karena merupakan sumber yang sangat diandalkan dan sangat
terjangkau untuk digunakan dalam pembangkitan listrik. Di
Amerika, sekitar 50% energi listrik di sana dihasilkan dari
penggunaan batubara. Banyak keuntungan batubara selain untuk
energi listrik; batubara juga digunakan dalam berbagai industri
seperti bahan kimia, kertas, plastik, produk berbagai material
logam, baja, keramik, tar batubara, dan bahkan pupuk.

Penggunaan batubara juga dimanfaatkan sebagai sumber panas


dan membantu dalam produksi batu bata dan semen. Batubara juga
digunakan sebagai suplemen untuk gas alam ketika dibakar;
menghasilkan bermacam gas seperti gas air dan gas batu bara.

Penggunaan batubara yang luas pada banyak industri merupakan


salah satu hal yang sangat menguntungkan. Batubara juga
digunakan untuk menghasilkan kokas, produk ini sangat berguna
karena kokas adalah bahan utama yang digunakan sebagai bahan
bakar berkarbon tinggi untuk pemrosesan logam dan juga dalam
industri baja. Residu batubara yang dihasilkan pada saat batubara
dipanaskan dalam kondisi yang terkendali dan hampa udara akan
mengkonsentrasikan kandungan karbon batubara.

Batubara juga merupakan material yang banyak digunakan di


rumah tangga pada kehidupan sehari-hari, sebagai pemanas rumah
dan juga untuk memasak.

Penggunaan Batubara Bitumen


Batubara bitumen adalah batubara yang paling banyak digunakan
dan lebih mudah untuk didapat, jenis batubara ini peringkatnya
lebih tinggi dari lignit tetapi lebih rendah dari antrasit. Jenis
batubara ini terutama digunakan untuk menghasilkan kokas, listrik
dan uap.

Penggunaan Batubara Antrasit


Jenis batubara ini memiliki kandungan karbon tertinggi dan
merupakan batubara keras yang juga memiliki kadar air terendah
dan merupakan bahan bakar pemanas yang baik. Batubara ini
digunakan untuk pembangkit listrik dan merupakan batubara
dengan kualitas tertinggi.

Penggunaan Tar Batubara


Ketika batubara disuling, akan dihasilkan residu yang dikenal
sebagai tar batubara yang berbentuk cair, berwarna hitam pekat.
Tar batubara digunakan untuk melakukan banyak hal, seperti
memperbaiki rumah dan bangunan, serta produksi kain. Material ini
banyak digunakan untuk membuat bangunan tahan air, untuk
isolasi bangunan, untuk membuat cat, kain, shampoo, dan sabun.

Batubara adalah produk yang banyak digunakan di seluruh dunia


untuk berbagai macam kegunaan dan karena itulah industri
batubara sangat sukses.

You might also like