You are on page 1of 20

1

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERNALAR


MELALUI PENGUASAAN BAHASA
Oleh: Salam
(FBS UNM)

Abstrak: Berpikir adalah daya yang paling utama dan


merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain, misalnya hewan. Manusia dapat berpikir karena
mempunyai bahasa sedangkan hewan tidak mempunyai
bahasa, sehingga hewan tidak dapat berpikir. Dengan
bahasa, manusia dapat memberikan nama segala sesuatu
yang pernah diamati atau dialami, baik yang tampak maupun
yang tidak tampak. Semua benda, nama sifat, atau
pekerjaan, serta hal lain yang abstrak dapat diberikan nama.
Nama-nama tersebut tersimpan di dalam memori dan
menjadi pengalaman atau tanggapan-tanggapan, kemudian
diolah dan dipikirkan menjadi pengertian.
Kata-kata kunci: Penalaran, penguasaan bahasa, budaya,
prestasi.

Kemampuan berpikir merupakan bekal yang paling mendasar


bagi manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan
kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang. Yang terpenting
adalah bahwa dengan bahasa dan pikiran, manusia dapat mening-
katkan harkat dan martabat hidupnya sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang mulia. Jadi, mempelajari bahasa untuk dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari merupakan tugas utama manusia,
sebab dengan bahasa manusia dapat berpikir. Tuhan mengangkat
derajat manusia lebih tinggi dari makhluk ciptaannya yang lain,
pertama-tama karena melalui bahasa. Hal ini dinyatakan secara
jelas dan tegas dalam kitab suci AlQuran (surat Al Baqarah ayat 31)
yang berbunyi:
Dan Allah mengajarkan kepada Nabi Adam semua nama benda,
kemudian diajukan-Nya kepada Malaikat. Kemudian Allah berfirman,
Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
benar. Bahkan malaikat, makhluk ciptaan Tuhan yang tidak pernah
berbuat dosa tidak mampu menyebutkan nama-nama benda itu, sedang-
2

kan Nabi Adam mampu menyebutkan nama-nama benda tersebut seperti


yang diperintahkan Allah (Mustanzir, 1988:23).
Dalam kehidupan sehari-hari sejak kecil manusia sudah terbiasa
berpikir, misalnya pada saat mendengar tuturan orang lain, berbicara,
membaca, atau menulis, bahkan berdialog dengan diri sendiri manusia
juga senantiasa berpikir. Karena keseringan itulah, maka kegiatan berpikir
sudah dianggap sebagai pekerjaan yang mudah. Namun apabila diselidiki
lebih lanjut, ternyata kegiatan berpikir itu sangat rumit, sebab banyak
bentuk berpikir yang tampaknya tidak diaplikasikan secara cermat dan
sistematis. Dalam praktiknya, suatu pendapat yang dikemukakan tidak
dapat diterima dengan baik oleh pendengar atau pembaca, karena sulit
mengajukan alasan yang tepat, atau hanya karena alur berpikir yang
dikemukakan tidak sistematis.

HAKIKAT BAHASA
Bahasa merupakan produk budaya yang berharga dari generasi ke
generasi berikutnya. Berbeda dengan hasil budaya yang lain, bahasa
adalah hasil budaya yang hidup dan berkembang yang harus dipelajari.
Seorang anak manusia yang tidak pernah diajar berbicara, maka dia tidak
akan pernah memiliki kemampuan berbahasa. Contoh konkret tentang hal
ini dapat ditemukan pada anak-anak yang sejak bayi dipelihara oleh
hewan seperti monyet atau serigala. Anak manusia seperti itu, bukan ha-
nya tidak dapat berbicara seperti manusia, melainkan juga tidak memiliki
kemampuan berpikir sebagaimana halnya manusia biasa.
Chauchard (Moore, 1986:131) seorang peneliti penggunaan bahasa
pada hewan dan manusia, menemukan bahwa, Pada diri manusia ada
suatu kemampuan otak yang kodrati untuk melaksanakan refleksi dan
kebebasan, namun kemampuan kodrati itu hanya akan berkembang
apabila dibudayakan melalui lingkungan. Bahkan seorang peneliti lain
Teilhard (Moore, 1986:135) menarik kesimpulan lebih ekstrim dari hasil
penyelidikannya, Teilhard menyatakan bahwa Apabila seorang anak tidak
3

mengadakan kontak dengan manusia lain, maka pada dasarnya dia bukan
manusia, bentuknya memang manusia, namun tidak bermartabat
manusia.
Hasil penelitian kedua ahli bahasa tersebut di atas menunjukkan
bahwa betapa eratnya hubungan antara bahasa dengan pikiran. Bahasa
tidak hanya sebatas sebagai sarana komunikasi antarmanusia saja,
melainkan juga bahasa memberikan kesiapsiagaan intelektual bagi
pencapaian kehidupan dan kesejahteraan sosial manusia. Kesiapsiagaan
intelektual manusia akan menjadi titik tolak bagi perkembangan ilmu pe-
ngetahuan, dan kesejahteraan sosial pada kehidupan masyarakat dalam
lingkup kebudayaannya (Moore, 1986:142).
Kegiatan berpikir atau bernalar tidak mungkin dapat terlaksana
tanpa bantuan bahasa. Setiap orang yang berpikir atau bernalar selalu
menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan dalam pikiran, bahasa
yang diekspresikan secara verbal, maupun bahasa yang dituangkan dalam
bentuk tulisan. Dengan demikian, bahasa merupakan alat berpikir
(bernalar). Namun, jika diamati lebih lanjut sesungguhnya bahasa
bukanlah semata-mata digunakan sebagai alat berpikir atau berko-
munikasi, melainkan juga bahasa sekaligus membentuk pikiran itu. Sebab
seseorang tidak mungkin dapat berpikir, jika tidak mengetahui
(menguasai) bahasa itu terlebih dahulu. Cassirer (Mustansyir, 1988:22)
menyatakan bahwa hakikat bahasa tidak hanya terletak pada kesesuaian
antara bunyi bahasa dengan lambang yang ditunjuk oleh huruf atau abjad,
melainkan sesungguhnya bahasa erat kaitannya dengan pengalaman
manusia. Bahasa tidak hanya mencerminkan pengalaman, tetapi sekaligus
mempengaruhi pengalaman itu sendiri.
Karl Wallace (Syafiie, 1984) menyebutkan bahwa unsur pokok
bahasa adalah (1) rasional yang baik, (2) nilai etika dan moral, (3)
pengetahuan. Rasional yang baik berarti penyampaian pesan dalam
peristiwa komunikasi harus didukung oleh rasional. Tanpa adanya rasional,
pesan yang dikemukakan tidak mempunyai kekuatan atau dasar.
Unsur etika dan moral dalam bahasa menjadikan aktivitas
komunikasi itu mengandung unsur tanggungjawab. Orang yang memiliki
4

etika dan moral dalam berkomunikasi diharapkan adalah orang yang baik.
Pentingnya unsur etika dan moral dalam bahasa menjadi penting, karena
ciri utama dalam berkomunikasi, yakni adanya kebebasan dalam memilih.
Komunikator mempunyai kebebasan dalam menentukan struktur pesan
komunikasinya, karena mengetahui unsur-unsur yang efektif dalam proses
persuasif. Unsur-unsur efektif itu dapat berupa gagasan-gagasan yang
spesifik, bukti-bukti, bahasa, saluran, serta struktur. Dalam proses
pemilihan dan penentuan unsur-unsur persuasif inilah diperlukan panduan
etika dan moral.
Unsur pokok bahasa yang lain adalah pengetahuan, yakni
pengetahuan yang relevan dengan pesan komunikasi yang disampaikan.
Komunikator harus mengetahui serta memahami benar apa yang ingin
disampaikan. Untuk dia harus mempunyai sejumlah fakta yang relevan,
mempunyai ide atau gagasan yang jelas, mempunyai wawasan yang luas
mengenai pesan yang disampaikan. Untuk melengkapi pengetahuan serta
pemahamannya terhadap yang akan disampaikan diperlukan pengamatan
lapangan, membaca buku-buku yang relevan dengan pesan yang akan di-
sampaikan, serta kegiatan-kegiatan lain yang berupa intellectual
exercise.

HAKIKAT PENALARAN
Dua pemikir kenamaan, Cicero dari zaman Romawi dan
Shakespeare dari Inggris menghubungkan penalaran dengan
kebijaksanaan dan intelektualitas seseorang. Cicero mengatakan, Orang
bijaksana diperintah oleh penalarannya, yang kurang berpengetahuan
diperintah oleh pengalaman, yang dungu diperintah oleh kebutuhan, dan
hewan diperintah oleh alam. Sedangkan Shakespeare mengatakan bah-
wa Penalaran adalah mata intelektual kita. Seperti halnya mata jasmani-
ah untuk dapat melihat jauh dan jelas, mata intelektual tersebut
memerlukan cahaya pengetahuan dan pengalaman. Penalaran yang kuat
akan menimbulkan kegiatan yang hebat (Effendi, 2000:104).

Bentuk Penalaran Deduktif


5

Di dalam proses penalaran dituntut kemampuan pengamatan yang


cermat, kesanggupan melihat hubungan-hubungan, atau kesalahan-
kesalahan yang terselubung. Selain itu, juga dituntut kesanggupan untuk
dapat melihat segala sesuatu yang tidak terkait dengan logika, misalnya
prasangka-prasangka, pembutaan oleh perasaan pribadi atau
kelompok/golongan. Orang biasanya menganggap benar apa yang disukai
atau diinginkannya, sebagaimana yang diungkapkan Lamb (Pirozzi,
2003:27) bahwa a bundle of prejudices made up of likings and
dislikings. Perasaan dan prasangka dapat dan bahkan sering mengelabui
dan mengaburkan pandangan seseorang dalam mengambil kesimpulan.
Penalaran merupakan proses berpikir dengan mendasarkan diri
pada hukum atau kaidah berpikir cermat. Hukum atau kaidah berpikir
cermat tampak pada penggunaan premis yang benar dan dalam
penarikan kesimpulan yang benar pula. Hukum penarikan kesimpulan
yang sahih dirumuskan sebagai berikut.
1. Apabila premisnya benar, maka kesimpulan penalarannya juga benar,
sebab kesimpulan itu terkandung di dalam premis.
2. Apabila kesimpulan penalarannya salah, maka premisnya juga salah,
namun jika premisnya salah, belum tentu kesimpulannya salah.
3. Apabila premisnya salah, kesimpulan penalaran dapat benar dan juga
salah.
4. Apabila kesimpulannya benar, maka premis penalarannya dapat benar,
dan dapat pula salah (Long dan Garigliano, 1994).
Bagi ilmu pengetahuan, logika atau ilmu menalar merupakan
keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada
penalaran. Ilmu pengetahuan tanpa penalaran tidak akan pernah
mencapai kebenaran ilmiah. Aristoteles menyatakan bahwa Penalaran
merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan, siapa yang mempelajari
penalaran dengan benar, berarti telah menggenggam master key untuk
membuka semua pintu masuk ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan
(Diestler, 1994:54).
Menurut Kohnstamm (Warnick dan Inch, 1994:62) Pada hakikatnya
belajar bernalar berarti belajar mengenal cara menggolongkan pengalam-
6

an atau tanggapan yang ada dalam jiwa, sehingga pengalaman atau tang-
gapan itu dapat tersusun dengan baik sehingga mudah dipahami atau
dikendalikan. Sejalan dengan pandangan Kohnstamm, Selz dan kawan-
kawannya menyatakan bahwa penalaran menyangkut kecakapan
menggunakan metode-metode untuk menyelesaikan masalah yang diha-
dapi, dan metode itu dapat diajarkan kepada orang lain.
Warnick dan Inch (1994) menyebutkan bahwa paling kurang ada
empat kegunaan mempelajari penalaran. Pertama, orang yang
mempelajari penalaran akan tertuntun ke arah berpikir rasional, kritis,
lurus, tepat, tertib, metodis, dan koheren. Kedua, meningkatkan
kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif. Ketiga, me-
nambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam
dan mandiri. Keempat, meningkatkan rasa cinta akan kebenaran dan
senantiasa berusaha menghindari kekeliruan dan kesesatan dalam
berpikir dan berbahasa.
Berdasarkan pada pernyataan dan hasil-hasil penelitian tentang
penalaran itu, dapat diketahui bahwa penalaran mempunyai peran yang
besar dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa
seseorang. Oleh karena itu, pembelajaran penalaran perlu mendapat
perhatian dari semua lapisan masyarakat, terutama dari para pendidik.
Dalam mendidik atau mengajar, pendidik tidak cukup hanya dengan
memberikan pengetahuan dan teori saja pada anak didik, melainkan juga
haruslah mendidik dan melatih anak didik untuk dapat berpikir dengan
baik. Oleh karena itu, diperlukan alokasi waktu yang cukup memadai
untuk melatih kemampuan bernalar anak didik.
SUPERVISI PENGAWAS
..........................
Supervisi Manajeriar
.........................

BENTUK PENALARAN
Kajian terhadap bentuk penalaran telah diperkenalkan oleh
Aristoteles sejak dahulu. Aristoteles menyebut materi atau bentuk dengan
7

hyle, dan eidos atau morphe (Copi, 1994). Menurut Aristoteles segala
sesuatu yang ada senantiasa memiliki materi dan bentuk. Materi yang
sama dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda. Misalnya, kayu sebagai
materi dapat dibuat menjadi bentuk patung, meja, atau bentuk kursi. Se-
baliknya dapat pula bentuknya sama, namun berasal dari materi yang
berbeda. Misalnya tiga buah patung yang masing-masing terbuat dari ka-
yu, tanah liat, dan batu. Penalaran yang diungkapkan melalui bahasa,
juga memiliki materi atau bentuk. Misalnya, jika dikatakan bundar
materinya adalah isi atau arti kata itu sendiri, sedangkan bentuknya
adalah positif.
Copi (1994) menyebutkan bahwa dalam wacana-wacana formal,
bentuk penalaran dibedakan atas dua jenis, yaitu bentuk deduktif dan
bentuk induktif. Bentuk penalaran deduktif terbagi atas bentuk penalaran
langsung dan penalaran tidak langsung. Yang termasuk dalam bentuk
penalaran langsung adalah bentuk konversi, obversi, kontraposisi, dan
inversi. Sedangkan bentuk penalaran tidak langsung wujudnya adalah
berupa penalaran silogisme.
Penalaran deduktif merupakan salah satu metode berpikir yang
diturunkan dari logika deduktif. Penalaran deduktif dapat diartikan sebagai
proses berpikir dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat
umum (prinsip, hukum, teori) menuju proses berpikir yang bersifat
khusus. Bentuk penalaran deduktif terbagi atas penalaran langsung dan
penalaran tidak langsung.
Metode deduktif dipakai oleh kaum rasionalis dalam rangka
menyusun pengetahuan. Bagi mereka, ide itu bersifat apriori dan
pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasional.
Masalah yang dihadapi kaum rasionalis terletak pada kriteria yang dipakai
untuk mengetahui kebenaran suatu ide yang dapat dikatakan jelas dan
dipercaya. Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh bersifat solisistik dan
subjektif.

Bentuk Penalaran Langsung


8

Bentuk penalaran langsung adalah proses penarikan kesimpulan


dari sebuah premis. Makna kesimpulan tersebut tercakup di dalam makna
premisnya. Menurut Copi (1994) terdapat empat jenis bentuk penalaran
langsung, yaitu bentuk konversi, obversi, kontraposisi, dan inversi.
Keempat jenis bentuk penalaran langsung tersebut diuraikan berikut ini.
Bentuk Konversi
Konversi adalah bentuk penalaran langsung yang mempertukarkan
terma predikat menjadi terma subjek, dan terma subjek menjadi terma
predikat. Kuantitas terma subjek dengan terma predikat selalu sama, baik
sebelum maupun sesudah dikonversi. Keduanya dapat berdistribusi atau
tidak berdistribusi. Terma subjek dan predikat yang saling berdistribusi
terdapat pada proposisi E dan I. Demikian pula, kualitas konvertend
(proposisi yang akan dikonversi) dan konverse (proposisi yang telah dikon-
versi) haruslah tetap sama. Jadi, jika konvertend-nya afirmatif, maka kon-
verse-nya pun haruslah afirmatif. Sebaliknya, jika konvertend-nya negatif,
maka konverse-nya pun haruslah negatif.
Agar kesimpulannya benar, beberapa ketentuan harus diperhatikan.
Jika proposisi A dikonversikan, maka hasilnya adalah proposisi I.
Jika proposisi E dikonversikan, maka hasilnya tetap proposisi E.
Jika proposisi I dikonversikan, maka hasilnya tetap proposisi I.
Proposisi O tidak dapat dikonversi.
(1) Konversi Proposisi A
Premis : Semua mahasiswa adalah manusia (A)
Kesimpulan : Sebagian manusia adalah mahasiswa (I)
(2) Konversi Proposisi E
Premis : Tidak seorang pun mahasiswa adalah kelinci (E)
Kesimpulan : Tidak seekorpun kelinci adalah manusia (E)
(3) Konversi Proposisi I
Premis : Beberapa anggota ABRI adalah mahasiswa (I)
Kesimpulan : Beberapa mahasiswa adalah anggota ABRI (I)
9

Bentuk Obversi
Obversi adalah bentuk penalaran langsung yang pada
kesimpulannya menunjukkan adanya perubahan kualitas pada
proposisinya, namun tidak mengubah maknanya, baik pada proposisi
premis maupun pada proposisi kesimpulannya. Sedangkan obvertend-nya
(proposisi yang menjadi premis), dan obverse (proposisi yang menjadi
kesimpulan) juga tetap sama. Jika proposisi premisnya afirmatif, maka
proposisi kesimpulannya diubah menjadi negatif atau sebaliknya. Selain
itu, terma predikatnya juga dinegasikan.
Jika proposisi premis afirmatif, maka diubah menjadi negatif, dan
jika proposisi premisnya negatif, maka diubah menjadi afirmatif.
Selanjutnya, menegasikan terma predikatnya. Hal ini berarti proses yang
ditempuh dalam melakukan negasi adalah sebanyak dua kali atau disebut
negasi ganda (double negation). Karena proposisi afirmatif diubah menjadi
negatif, dan proposisi negatif diubah menjadi afirmatif, maka
kemungkinannya akan seperti rumus berikut ini.
Jika proposisi A diobversikan, hasilnya adalah proposisi E.
Jika proposisi E diobversikan, hasilnya adalah proposisi A.
Jika proposisi I diobversikan, hasilnya adalah proposisi O.
Jika proposisi O diobversikan, hasilnya adalah proposisi I.
(1) Obversi Proposisi A
Premis : Semua presiden adalah manusia (A)
Kesimpulan : Semua presiden bukan bukan-manusia (E)
(2) Obversi Proposisi E
Premis : Semua kelinci bukan manusia (E)
Kesimpulan : Semua kelinci adalah bukan-manusia (A)
(3) Obversi Proposisi I
Premis : Sebagian manusia adalah pemikir (I)
Kesimpulan : Sebagian manusia bukan bukan-pemikir (O)
(4) Obversi Proposisi O
Premis : Sebagian manusia bukan pelawak (O)
Kesimpulan : Sebagian manusia adalah bukan-pelawak (I)
10

Bentuk Kontraposisi
Kontraposisi adalah bentuk penalaran langsung yang menukarkan
posisi terma subjek dengan terma predikat yang telah dinegasikan
terlebih dahulu. Proposisi kesimpulannya disebut kontrapositif. Dalam
kontraposisi, makna proposisi kontrapositif tetap ekuivalen dengan makna
proposisi premisnya.
Proposisi A dan O dapat dikontraposisikan.
Proposisi E dan I tidak dapat dikontraposisikan.
(1) Kontraposisi Proposisi A
Premis : Semua mahasiswa adalah manusia.
Kesimpulan : Semua bukan-manusia adalah bukan mahasiswa.
(2) Kontraposisi Proposisi O
Premis : Sebagian demonstran bukan mahasiswa.
Kesimpulan : Sebagian bukan-mahasiswa bukan bukan-
demonstran.
Bentuk Inversi
Inversi adalah bentuk penalaran langsung yang menegasikan terma
subjek proposisi premis, sedangkan terma predikat proposisinya kadang-
kadang dinegasikan atau tidak dinegasikan. Jika inversi menegasikan, baik
terma subjek maupun terma predikat proposisi premisnya, maka inversi
itu disebut inversi lengkap. Namun apabila inversi itu hanya menegasikan
terma subjek proposisi premisnya, dan predikat proposisi premisnya tidak
dinegasikan disebut inversi sebagian. Proposisi premis disebut invertend
dan proposisi kesimpulan disebut inverse.
Prosedur yang ditempuh dalam membentuk inversi adalah sebagai
berikut.
Untuk mendapatkan inversi lengkap, negasikanlah subjek dan
predikat invertend, lalu ubahlah kuantifa dari universal menjadi partikular.
Untuk mendapatkan inversi sebagian, maka subjek invertend-nya harus
dinegasikan sedangkan predikatnya tetap dipertahankan, lalu kuantifa
termanya diubah dari universal menjadi partikular. Karena hanya terma
subjek yang memiliki kuantifa universal yang dapat diinversi, maka hanya
11

proposisi A dan E yang dapat diinversikan, sedangkan proposisi I dan O


tidak dapat diinversikan.
(1) Inversi Proposisi A
Inversi lengkap:
Invertend: Semua mahasiswa adalah manusia (A)
Inverse : Sebagian bukan-mahasiswa adalah bukan-manusia (I)
Inversi sebagian:
Invertend: Semua mahasiswa adalah manusia (A)
Inverse : Sebagian bukan mahasiswa adalah manusia (I)
(2) Inversi Proposisi E
Inversi lengkap:
Invertend: Semua mahasiswa bukan kelinci (E)
Inverse : Sebagian bukan-mahasiswa bukan bukan-kelinci (O)
Inversi sebagian:
Invertend: Semua mahasiswa bukan kelinci (E)
Inverse : Sebagian bukan-mahasiswa bukan kelinci (O)
Proposisi A menghasilkan proposisi I, baik inversi lengkap maupun
inversi sebagian. Demikian pula proposisi E, jika diinversi akan menjadi
proposisi O, baik inversi lengkap maupun inversi sebagian.

Bentuk Penalaran Tidak Langsung


Bentuk penalaran tidak langsung merupakan salah satu bentuk
penalaran deduktif. Bentuk penalaran tidak langsung biasa disebut bentuk
silogisme. Bentuk silogisme adalah proses penarikan kesimpulan secara
tidak langsung dengan menggunakan dua buah premis bentuk formal.
Dari segi bentuknya, silogisme terbagi atas tiga jenis, yaitu (1)
silogisme kategorik, (2) silogiseme hipotetik, (3) dan silogisme disjungtif.

Silogisme Kategorik
Silogisme kategorik adalah silogisme yang semua proposisinya
merupakan proposisi kategorik. Dalam menentukan kesimpulan haruslah
berdasarkan pada proposisi universal, sedangkan premisnya tidak selalu
partikular atau singular, melainkan juga dapat universal. Misalnya:
12

Semua manusia tidak lepas dari kesalahan.


Semua cendekiawan adalah manusia.
Pernyataan universal ditandai dengan kuantifa semua untuk
menegaskan adanya sifat yang berlaku bagi manusia secara menyeluruh.
Sedangkan pernyataan kedua, meskipun merupakan pernyataan
universal, namun tetap diatur atau terikat oleh pernyataan pertama,
sehingga dapat disimpulkan bahwa Semua cendekiawan tidak lepas dari
kesalahan.
Jika pernyataan itu berupa proposisi singular, prosedur
penyimpulannya tetap sama. Misalnya:
Semua mahasiswa adalah terdidik.
Hasan adalah mahasiswa.
Jadi hasan adalah terdidik.

Silogisme Hipotetik
Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis majornya berupa
proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya berupa proposisi
kategorik yang menetapkan atau mengingkari terma antecedent atau
terma konsekuen premis majornya. Sebenarnya silogisme hipotetik tidak
mempunyai premis major dan minor, karena premis major mengandung
terma predikat pada kesimpulan dan premis minor mengandung terma
subjek pada kesimpulan.
Pada silogisme hipotetik, terma predikat yang terdapat pada
kesimpulan adalah terma yang kesemuanya terkandung dalam premis
majornya. Terma predikat itu dapat berupa bagian antecedent atau bagian
konsekuen-nya tergantung pada bagian premis minornya.
Ada empat macam jenis silogisme hipotetik, yaitu:
(1) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian
antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
13

(2) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian


konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
(3) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari
antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan
akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa.
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
(4) Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari
bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah.
Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalan.

Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis majornya adalah
keputusan disjungtif, sedangkan premis minornya adalah keputusan
kategorial yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang
disebut dalam premis major. Silogisme ini mempunyai arti yang sempit
dan luas. Silogisme yang arti sempit premis majornya mempunyai
kontradiktif sebagai berikut.
Ia lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
Ia bukan tidak lulus
Sedangkan silogisme disjungtif yang mengandung arti luas adalah yang
premis majornya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, sebagai
berikut.
Hasan di rumah atau di pasar.
Ternyata dia tidak di rumah.
Jadi di pasar.
14

Bentuk Penalaran Induktif


Penalaran induktif adalah metode berpikir induktif yang bertolak
dari pernyataan bersifat khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat
umum. Premis-premis yang digunakan terdiri atas proposisi-proposisi
partikular, sedangkan kesimpulannya adalah proposisi universal. Pada
hakikatnya, bentuk penalaran induktif adalah suatu proses generalisasi
dari hal-hal yang partikular menuju proses kesimpulan yang universal.
Apabila hal partikular mencakup keseluruhan jumlah dari suatu jenis atau
peristiwa yang diteliti disebut induksi lengkap (Sherry, 1994).
Misalnya:
Seseorang yang menyelidiki beberapa orang bayi yang lahir
segera menangis. Bayi A setelah lahir segera menangis,
demikian pula bayi B, C, D, E dan seterusnya. Berdasarkan
fakta-fakta tersebut disimpulkan bahwa Semua bayi normal
yang baru lahir pasti menangis.

Tepat tidaknya kesimpulan yang diambil secara induktif sangat


ditentukan oleh representatif tidaknya sampel yang diambil yang mewakili
fenomena keseluruhan. Jika proses induksi dapat dilakukan hanya dengan
beberapa hal partikular, bahkan hal terdiri atas satu partikular disebut
induksi tidak lengkap. Misalnya hanya dengan mengambil setetes darah
dapat ditentukan golongan darah seseorang.
Bentuk penalaran induktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(1) Premis induktif berupa proposisi empirik yang menjadi proposisi
dasar.
(2) Kesimpulan penalaran induktif lebih luas daripada yang dinyatakan
dengan premis-premisnya.
(3) Meskipun kesimpulan induktif tidak bersifat mengikat, namun
umumnya manusia akan menerimanya, kecuali punya alasan untuk
menolak.
Copi (1994) membedakan bentuk induktif atas beberapa jenis
yaitu, generalisasi, analogi, dan sebab akibat.
15

Bentuk Generalisasi
Untuk dapat memperoleh generalisasi induktif yang sahih, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat yang dimaksud dapat
dikemukakan sebagai berikut.
(1) Tidak terbatas secara numerik; artinya generalisasi tidak dapat
dibatasi dengan jumlah. Misalnya: A adalah B, maka harus berlaku
untuk semua A.
(2) Tidak terbatas secara spasitemporal; artinya harus berlaku di
mana dan kapan saja.
(3) Dapat dijadikan dasar pengandaian..
Dalam logika induktif tidak ada kesimpulan/generalisasi yang
memiliki nilai kebenaran yang pasti.Yang ada hanya kesimpulan dengan
probabilitas yang tinggi. Pedoman yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat probabilitas itu adalah sebagai berikut.
(a) Makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
induktif, makin besar probabilitas kesimpulannya, atau sebaliknya.
(b) Makin besar faktor analogi dalam premis, makin rendah
probabilitasnya, atau sebaliknya.
(c) Makin besar jumlah faktor yang menyebabkan perbedaan
dalam premis, makin tinggi probabilitas kesimpulannya.
(d) Makin luas kesimpulannya, makin rendah probabilitasnya,
atau sebaliknya.
Contoh 1:
Apel 1 keras, hijau, dan masam
Apel 2 keras, hijau, dan masam
Apel 3 keras, hijau, dan masam
Jadi: semua apel keras dan hijau rasanya masam
Contoh 2:
Apel 1 keras, hijau, kecil, dan masam
Apel 2 keras, hijau, kecil, dan masam
Apel 3 keras, hijau, kecil, dan masam
Jadi: Semua apel keras, hijau, dan kecil rasanya masam
16

Generalisasi pada contoh 2 memiliki probabilitas yang lebih tinggi


dibandingkan generalisasi pada contoh 1.

Bentuk Analogi
Analogi induktif dapat diartikan sebagai proses penalaran berupa
penarikan kesimpulan berdasarkan persamaan antara dua hal (tanpa
memperhatikan perbedaannya), atau persamaan dua hal yang berbeda.
Prinsip dasar penalaran analogi dapat dikemukakan seperti berikut.
Karena A itu analog dengan B, C, dan D, maka apa yang berlaku
pada B, C, dan D berlaku juga pada A.
Kesimpulan analogi banyak ditentukan oleh faktor:
(1) jumlah fakta sebagai penentu probabilitas,
(2) jumlah faktor disanalogi, dan
(3) bentuk proposisi yang menjadi kesimpulannya.
Contoh:
Jufri anak Pak Harun adalah anak yang rajin dan ulet.
Anshari anak Pak Harun adalah anak yang rajin dan ulet.
Sahril anak Pak Harun adalah anak yang rajin dan ulet.
Salam anak Pak Harun.
Jadi Salam anak Pak Harun adalah anak yang rajin dan ulet.
Dalam melakukan generalisasi dan analogi, kemungkinan dapat
terjadi kesalahan atau kesesatan, karena (1) terlalu cepat mengambil
kesimpulan (fakta sebagai dasar penarikan kesimpulan tidak mewadahi),
(2) kecerobohan, dan (3) prasangka, sehingga tidak mengindahkan fakta
yang tidak cocok dengan kesimpulan.

Bentuk Sebab-Akibat
Prinsip dasar hukum sebab-akibat adalah semua peristiwa pasti ada
sebabnya. Keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan keadaan atau
kejadian yang lain.
17

Meskipun bentuk penalaran induktif telah dikenal dan digunakan


manusia sejak berabad lamanya, namun belum pernah disusun suatu
rumus strandar yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi para pemikir
dan ilmuan. Untuk mengkaji bentuk penalaran induktif, para pemikir
tersebut umumnya menggunakan rumus standar John Stuart Mill dengan
lima macam metode, yaitu metode persesuaian (method of agreement),
metode perbedaan (method of difference), metode gabungan (joint
method of agreement and difference), metode residu (method of
residues), dan metode variasi kesamaan (method of concomitant
variations) (Moore, 1986).
(1) Metode persesuaian: apabila dua peristiwa atau lebih yang diteliti
hanya memiliki satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang
sama adalah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut. Misalnya:
A makan nasi pecel, minum teh, dan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C makan kacang, makan kerupuk, minum teh, dan sakit perut.
Jadi: minum teh merupakan penyebab sakit perut.
(2) Metode perbedaan: apabila suatu peristiwa mengandung satu faktor
dan peristiwa lain tidak, maka satu-satunya faktor itulah yang
merupakan sebab (atau akibat) dari peristiwa tersebut. Misalnya:
A makan nasi pecel, minum teh, dan sakit perut.
B makan nasi pecel, makan pisang, minum teh, dan sakit perut.
Jadi: makan pisang merupakan penyebab sakit perut.
(3) Metode gabungan: apabila satu peristiwa atau lebih memiliki sebuah
faktor yang sama, sedangkan pada peristiwa lain tidak memiliki faktor
tersebut, maka faktor yang membedakan itu merupakan sebab atau
akibat atau bagian tak terpisahkan dari sebab gejala itu.Misalnya:
A makan nasi pecel, minum teh, dan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, munim teh, dan sakit perut.
C makan jeruk, makan pisang, dan sakit perut.
Jadi: minum teh merupakan penyebab sakit perut.
18

(4) Metode residu (sisa): apabila akibat-akibat dari suatu sebab


dihapuskan dan masih ada sisanya, maka sisanya itulah yang
merupakan akibat. Misalnya:
A makan nasi pecel, makan pisang, minum teh, dan sakit perut.
B makan nasi pecel, makan pisang, dan sakit perut.
C makan nasi pecel, makan pisang, dan sakit perut.
Jadi: minum teh merupakan penyebab sakit perut.
(5) Metode variasi: apabila suatu gejala berubah dan diikuti oleh
perubahan pada gejala lain, maka gejala tersebut merupakan sebab
atau berhubungan secara sebab-akibat. Misalnya:
A makan nasi pecel, makan pisang, minum teh, dan sakit perut dengan
panas 38 derajat.
B makan nasi pecel, makan emping, dan sakit perut, dengan panas 39
derajat.
C makan nasi pecel, makan kerupuk, dan sakit perut dengan panas 40
derajat.
Jadi: makan pecel adalah penyebab sakit perut dengan panas.
Metode berpikir induktif ini digunakan oleh kaum empiris untuk
menyusun pengetahuan yang diperolehnya melalui pengamatan gejala
fisik yang bersifat individual. Kaum empiris beranggapan bahwa
pengetahuan yang didapat manusia bukan didapat dari pengalaman
rasional yang abstrak, melainkan melalui pengalaman yang konkret.

PENUTUP
Jika diamati secara cermat kondisi pembelajaran di sekolah
termasuk pembelajaran bahasa Indonesia, tampak jelas bahwa orientasi
pembelajarannya masih lebih menekankan pada aspek kebahasaannya,
baik aspek pengetahuan maupun aspek keterampilannya. Anak didik lebih
diarahkan untuk belajar tentang bahasa dan bagaimana cara berbahasa
dengan baik? Anak didik kurang dilatih bagaimana cara berpikir yang baik
dan cara menuangkan pikiran itu ke dalam bentuk ujaran yang baik.
Apabila ditemukan siswa belum atau tidak terampil menggunakan bahasa
dalam berbagai konteks, yang disorot adalah kelemahan-kelemahan yang
19

terkait dengan aspek kebahasaan, sedangkan masalah kemampuan ber-


pikir mereka kurang diperhatikan, padahal kemampuan berpikir atau
bernalar juga sangat mempengaruhi ketidakmampuan berbahasa ter-
sebut.
Bukankah untuk dapat berbahasa dengan baik, seseorang harus
memiliki kemampuan berpikir logis atau penalaran yang baik? Sebaliknya,
untuk dapat berpikir logis, maka dibutuhkan bahasa sebagai sarananya.
Oleh karena itu, terdapat hubungan timbal-balik antara bahasa dengan
penalaran. Penalaran dengan bahasa haruslah memiliki runtutan berpikir
yang sistematis dan memenuhi kaidah logika.
Untuk meningkatkan kemampuan bernalar siswa, maka pada
bagian penutup ini disarankan; Pertama, kepada para pendidik dan
praktisi, untuk meningkatkan sistem pembinaan dan pengelolaan mata
pelajaran yang berkaitan dengan penggunaan bahasa, agar dalam
mengajarkan keterampilan bahasa bukan hanya aspek kebahasaan yang
diperhatikan melainkan juga aspek penalaran. Untuk keperluan itu, maka
perlu dilakukan perbaikan kurikulum dan silabus sebagai dasar dan
pedoman dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis ilmiah.
Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
bernalar siswa, diperlukan usaha secara berkelanjutan melatih ketajaman
dan kecermatan mereka mengobservasi dan mengeksplorasi fenomena-
fenomena atau fakta-fakta yang terjadi pada lingkungannya. Untuk
keperluan itu, disarankan tersedianya alokasi waktu yang memadai dalam
melakukan kegiatan di luar kelas. Dengan waktu yang cukup, mahasiswa
memiliki kesempatan dan kebebasan dalam mengamati sejumlah ma-
salah, mencari dan mengumpulkan fakta, dan mengolah dan mencerna
masalah-masalah itu.
Ketiga, untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa
mengekspresikan dan mengaplikasikan gagasan-gagasannya ke dalam
bentuk konukasi, baik lisan maupun tulisan (KTI), diperlukan penguasaan
bahasa; penguasaan kosakata, ejaan, struktur kalimat-wacana, dan
organisasi karangan secara memadai. Untuk keperluan itu, aktifitas atau
kegiatan membaca dan menulis secara sistematik dan berkelanjutan
20

haruslah ditingkatkan. Dengan cara ini, diharapkan kemampuan


mahasiswa menggunakan pikiran secara tepat, jelas, dan logis, baik
dalam komunikasi tulis maupun dalam komunikasi lisan.

E. DAFTAR RUJUKAN
Copi M, I. & Carl, Cohen. 1994. Introduction to Logic. New York: Macmillan
Publishing Company.
Diestier, Sherry. 1994. Becoming a Critical Thinker. New York: Macmillan
Publishing Company.
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fisher, A. 1988. The Logic of Real Arguments. Cambridge: Cambridge
University Press.
Moore, Brooke, Noel. & Richard, Parker. 1986. Critical Thinking:
Evaluation Claims and Arguments In Everyday Life. New York:
Mayfield Publishing Company.
Mustansyir, Rizal. 1988. Filsafat Bahasa: Aneka Masalah Arti dan Upaya
Pemecahannya. Jakarta: Prima Karya.
Pirozzi, Richard. 2003. Critical Reading, Critical Thinking: A Contemporary
Issues Approoach. Second Edition. New York: Wesley Educational
Publishers Inc.
Syafiie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. P2LPTK. Jakarta.
Toulmin, S. 1990. The Uses of Argument. Cambridge: Cambridge
University Press.
Warnick, B. & Edward S. Inch. 1989. Critical Thinking and Communication.
New York: Macmillan Publishing Company.

You might also like