You are on page 1of 6

Kasus 2:

TUJUAN PEMBELAJARAN:
1. Mampu mengidentifikasi isu-isu etik berkaitan dengan perawatan pasien dengan
HIV/AIDS
2. Mampu mendiskusikan beberapa aspek psikologis penyampaian berita buruk dari sisi
dokter maupun pasien.
3. Menerapkan prinsip-prinsip etik yang relevan pada perawatan pasien dengan HIV/AIDS

The Patient with HIV

Tn. P, 60 tahun, didampingi oleh istrinya,datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut.
Pasien merasa terganggu dengan sakitnya karena dalam beberapa bulan terakhir dia terus
menerus menderita sakit yang berbeda-beda. Ia juga mengeluhkan sariawan di mulut yang tidak
kunjung sembuh serta luka seperti sariawan pada alat kelaminnya. Pasien adalah seorang
pensiunan ABRI yang sempat bertugas tanpa didampingi oleh istrinya di beberapa daerah.
Setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD menyarankan agar pasien dirawatdi rumah sakit
agar dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis penyakit. Dokter
curiga akan kemungkinan infeksi HIV dan merasa perlu untuk melakukan tes HIV, tetapi merasa
ragu dan enggan untuk menyampaikannya kepada pasien maupun istrinya. Dokter kemudian
meminta perawat agar berkomunikasi dengan pasien untuk menjajaki kesediaan pasien
melakukan tes HIV. Perawat kemudian minta bantuan psikolog untuk melakukan
assesment(penilaian) awal. Psikolog memberikan rekomendasi bahwa pasien dalam kondisi
psikologis yang cukup baik untuk menerima kabar buruk tentang kecurigaan dokter. Berdasarkan
rekomendasi dari psikolog serta perawat, dokter akhirnya memberitahukan kemungkinan
penyakit kepada pasien, tanpa sepengetahuan istrinya, serta meminta kesediaan pasien untuk tes
HIV. Akan tetapi, pasien menolak untuk dilakukan tes HIV dan meminta untuk pulang.
PERTANYAAN:
A. Diskusikan kasus menggunakan metode Seven Step!
1. Clarification of terms and context related to case (clarification)

Menjajaki: menduga; menelaah; mengajuk

2. What is (are) the ethical problem(s) in this case? (brainstorming)

a. Dokter meminta perawat agar berkomunikasi dengan pasien untuk menjajaki


kesediaan pasien melakukan tes HIV karena ragu dan enggan untuk menyampaikan
berita buruk kepada pasien maupun istrinya
b. dokter memberitahukan kemungkinan penyakit kepada pasien, tanpa sepengetahuan
istrinya
c. pasien menolak untuk dilakukan tes HIV dan meminta untuk pulang

3. Why are they considered as ethical problems? What values/norms/principles are at


stake? (moral reasoning)

a. Dokter meminta perawat agar berkomunikasi dengan pasien untuk menjajaki


kesediaan pasien melakukan tes HIV karena ragu dan enggan untuk menyampaikan
berita buruk kepada pasien maupun istrinya
1) Autonomy and individual responsibility (otonomi dan tanggungjawab
individu): seorang dokter bertanggung jawab kepada pasien dan berkonsultasi
dengan tim VCT untuk melakukan konseling pada pasien HIV untuk melakukan
tes HIV, bukan pada perawat yang memang bukan ahlinya.
b. pasien menolak untuk dilakukan tes HIV dan meminta untuk pulang

4. How do you see the problems from different perspectives(from different persons and
different aspects)?(seeing from different perspective, reflection, empathy)

5. Are there any legal aspects to consider in this case?

6. What are the alternatives in problem solving for these problems?

7. What is (are) the lesson learned from this case?

8. Menurut Anda, bagaimanakah sebaiknya prosedur pemeriksaan HIV di Indonesia?


a. pelayanan konseling bagi penderita untuk melakukan pemeriksaan HIV : mengetahui
kondisi psikologis, pemahaman penyakit pasien, menjabarkan resiko bagi penyakit
tersebut baik bagi dirinya maupun orang lain, beradaptasi dengan informasi baru baik
hasilnya positif atau negatif
b. informent consent untuk melakukan pemeriksaan
c. Tes HIV harus bersifat :
Sukarela : artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan
atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain. Ini juga berarti bahwa
dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam tes
itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta apa saja impilkasi dari hasil positif
atau pun hasil negatif.
Rahasia : artinya, apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negatif) hasilnya
hanya boleh di beritahu langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak boleh
diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua, pasangan, atasan atau siapapun.
d. diberi kode atau nomor tertentu pada data pasien sehingga kerahasiaan pasien terjamin
e. Konseling terhadap hasil test:
dukungan emosional dan dukungan akan perlunya terapi perawatan diri gaya hidup
sehat, serta menjelaskan jika HIV sebaiknya diketahui pasangannya karena bersifat
menlar
f. melakukan skrining pada keluarga penderita

9. Apa yang Anda ketahui tentang VCT? Dalam kasus ini, apakah dokter perlu minta
bantuan tim VCT?
Voluntary Counseling and testing (VCT), dalam bahasa Indonesia disebut konseling dan tes
sukarela, VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan
sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di Laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien
terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan
setelah mendapat penjelasan yang lengkap dan benar(KPA, 2010).

Perlu,
VCT dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV
Dengan adanya konseling pre test, membantu seseorang untuk mengetahui risiko dari
perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap setelah mengetahui hasil tes.
Konseling pre-test juga bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap keputusan untuk
melakukan tes atau tidak, serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya nanti positif.

Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien yang membuahkan
kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan dukungan mental-emosional kepada
klien. proses konseling mencakup upaya-upaya yang realistik dan terjangkau serta dapat
dilaksanakan.
a. Konseling pre-test : yaitu konseling yang dilakukan sebelum darah seseorang yang
menjalani tes itu diambil. Konseling ini sangat membantu seseorang untuk mengetahui
risiko dari perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap setelah mengetahui
hasil tes. Konseling pre-test juga bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap
keputusan untuk melakukan tes atau tidak, serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya
nanti positif.
Dalam tahap ini konselor harus dapat memahamkan klien tentang :
1) Implikasi mengenai status serologi
2) Cara beradaptasi dengan informasi baru
3) Membuat persetujuan tes (informed consent)
4) Dilakukan sebelum menjalani test, berisi :
a) Pemahaman HIV/AIDS dan tes
b) Pemahaman profil risiko klien
c) Diskusi seksualitas, relasi, perilaku seksual
d) Perilaku berkaitan dengan penggunaan Napza
e) Cara Prevensi

b. Konseling post-test : yaitu konseling yang harus diberikan setelah hasil tes diketahui,
baik hasilnya positif mau pun negatif. Konseling post-test sangat penting untuk
membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar dapat mengethui cara menghidnari
penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalin hidup secara
positif. Bagi merek yang hasilnya HIV negatif, konseling post-test bermanfaat untuk
memberitahu tentang cara-cara mencegah infeksi HIV di masa datang
konseling pada tahapan ini sangat penting karena pada tahap ini emosional klien akan
sangat terungkap pada konseling, konseling ini seharusnya :
1) Konseling pasca tes selalu harus ditawarkan pada klien
2) Tujuan utama adalah memahami hasil tes dan beradaptasi dengan serologi
Bila hasil Positif (+) :
a) Hasil segera disampaikan kepada klien dengan jelas dan nada suara datar, lakukan
dukungan emosional pada klien dan diskusikan tentang cara menghadapinya
b) Pastikan klien mempunyai dukungan emosional cukup dan segera dari orang
dekatnya
c) Diskusi hubungan seks aman
d) Konseling memberikan dukungan akan perlunya terapi perawatan diri gaya
hidup sehat
e) Bagi keluarga yang membutuhkan konseling agar dapat mendukung klien dan diri
sendiri.
Bila hasil Negatif (-)
a) Diskusikan perubahan perilaku ke arah hidup sehat
b) Motivasi klien untuk mengubah perilaku dengan memberikan akses rujukan
pelayanan
c) Hasil negatif bukan berarti tak terinfeksi, ulangi tes 1 3 bulan lagi

perlu diperhatikan bahwa proses konseling, testing dan hasil tes harus dirahasiakan.
Khusus tentang aspek kerahasiaan ini perlu diperhatikan bahwa masalah kerahasiaan biasanya
disikapi dengan cara yang berbeda di setiap tempat. Di beberapa komunitas, kerahasiaan
diartikan sebagai jangan pernah memberi tahu siapa pun tentang status HIV Anda , tetapi
kerahasiaan (secrecy) seperti ini berbeda dengan confidentiality.

Secrecy dapat meningkatkan kesan bahwa HIV adalah hal yang tabu dibicarakan. Adalah penting
diingat untuk tidak mendiskusikan status HIV seseorang tanpa ijin mereka, tetapi penekanan
yang berlebihan pada kerahasiaan individu dapat menyebabkan kesulitan bagi orang tersebut
untuk mendapatkan dukungan yang tepat. Hal ini perlu dipecahkan melalui beberapa cara,
misalnya memberi informasi tentang HIV secara lebih baik kepada masyarakat, menganjurkan
orang untuk berbagi tentang hasuk tesnya dengan orang yang mereka percaya, menganjurkan
keterbukaan tentang sebab kematian, dan pada saat yang bersamaan menghormati hak asasi
orang dengan HIV dan mencegah stigma dam diskriminasi.

Jika seseorang tidak memberi tahu orang lain bahwa ia memiliki HIV, mereka bisa lebih cemas
dan terisolasi. Dukungan sosial bisa membantu dalam menjaga agar orang tetap sehat dan bisa
menurunkan tingkat stresnya, dan bisa dilakukan oleh keluarga dan lingkungan.

Untuk alasan-alasan tersebut, program-program di beberapa negara Asia dan Afrika menawarkan
bentuk kerahasian yang lebih sesuai dengan budaya setempat. Hal ini meliputi 'kerahasiaan yang
dibagi' yang menggunakan konselor 'awam' (orang yang telah dipercaya, yang telah dilatih dalam
hal konseling) daripada konselor professional; konseling dan testing pasangan; serta konseling
kelompok dan pendidikan masyarakat untuk menghilangkan stigma terhadap HIV dan AIDS.
KPA, 2010. Resiko Penularan HIV AIDS. Jakarta

You might also like