You are on page 1of 22

REFERAT

TETANUS NEONATORUM DAN


TETANUS PADA ANAK

Pembimbing :
Dr. Natalina Soesilawati, Sp.A

Disusun Oleh :
Fahmi Hidayati
1102010091

Kepaniteraan Klinik Mahasiswa


Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Bekasi 2014

BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progfresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.1

Neonatus (bayi berumur 0 sampai 28 hari) merupakan populasi yang rentan terserang
tetanus atau dikenal dengan istilah tetanus neonatorum. Hal ini selain disebabkan karena
imunitas neonatus yang masih rendah, terutama disebabkan oleh pelayanan persalinan yang
tidak memenuhi standar khususnya perawatan tali pusat yang merupakan port dentree
bakteri Clostridium tetani seperti pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting yang
tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan
sebagainya.2

Sejak 4 abad sebelum masehi, hippokrates sudah menggambarkan gejala penyakit


tetanus pada manusia. Pada tahun 1882, dokter ahli penyakit dalam Jerman yaitu Nicolier dan
Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian pada tahun
1889 kuman Clostridium tetani dan toksinnya dapat diisolasi oleh nicolaier dan kitasato
seorang ahli bakteriologi Jerman. Selanjutnya pada tahun 1890 Kitasato dan Von behring
yang juga seorang ahli bakteriologi Jerman melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi
toksin menggunakan antiserum spesifik, yang merupakan dasar metode imunologi sebagai
tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 seorang ahli
bakteriologi Prancis bernama Ramon, memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi
aktif.3

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus
tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan
kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus diseluruh dunia pada tahun 1992, termasuk
didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, dimana 210.000 kematian di Asia
Tenggara dan 152.000 di afrika.4

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro mucular (neuro muscular junction)
dan saraf autonom.5

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Tetanus neonatorum
adalah suatu bentuk klinis tetanus infeksius yang berat dan terjadi selama beberapa hari
pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti tindakan perawatan sisa tali pusat
yang tidak higienis atau kekurangan imunisasi maternal.6,7

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan


bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Kuman yang menghasilkan toksin adalah
Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat5,2:

o Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk pemukul gendering.
o Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagella
o Menghasilkan eksotosin yang kuat
o Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektans.
o Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologic. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah
menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.
o Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot, sedangkan tetanolisin yaitu toksin yang dapat menghancurkan sel darah
merah dan merusak leukosit.

3
o Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antisepsis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8oF (121oC)
selama 10-15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimi yang lainnya.

Gambar 1. Clostridium tetani7

FAKTOR RISIKO

Kuman tetanus masuk kedalam tubuh manusia biasanya melalui luka yang dalam
dengan suasana anaerob, sebagai akibat dari8:

1. Kecelakaan

2. Luka tusuk

3. Luka operasi

4. Karies gigi

5. Radang telinga tengah

6. Pemotongan tali pusat

Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan


dengan rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan pasca persalinan
yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi vaksin tetanus toxoid di
berbagai negara miskin dan kurang berkembang. Faktor-faktor resiko tersebut mencakup
faktor medis dan faktor non medis.8

Faktor medis meliputi kurangnya standard perawatan prenatal yaitu kurangnya


perawatan antenatal pada ibu hamil, kurangnya edukasi ibu hamil tentang pentingnya
vaksinasi tetanus toxoid sehingga Ibu tidak mendapatkan tetanus toksoid pada waktu

4
kehamilannya, kurang tersedianya fasilitas persalinan dan tenaga medis sehingga banyak
persalinan dilakukan di rumah oleh dukun yang tidak terlatih dan penggunaan alat-alat yang
tidak steril, termasuk dalam penanganan tali pusat. Selain itu juga perawatan neonatal dimana
neonatus lahir dalam keadaan tidak steril serta tingginya prematuritas.8

Faktor non medis sering kali berhubungan dengan adat istiadat setempat seperti
penggunaan bahan yang mengandung tepung atau abu untuk perawatan tali pusat.8

EPIDEMIOLOGI

Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika
Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping sanitasi
lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, pemyakit ini
masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan.
Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit
tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan
kebersihan dan perawatan luka yang buruk.2,9

Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk yang
paling sering ialah tetanus neonatorum yang membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi
setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar
sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal
dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di
perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus
pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian
keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak
terimunisasi men inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi
C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun
atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.1,9

Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis,


sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas,
atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang sering,
sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan cuping

5
telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi
wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau
setelah injeksi intramuskuler obat-obatan.1

PATOGENESIS

Gambar 2. Patogenesis tetanus11

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi
setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca,
kaleng, atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal.
Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan
megakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun
demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan porte dentree dari C. Tetani. Juga
sering ditemukan telinga dengan otitis media perforata sebagai tempat masuk C. Tetani.5

6
Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya
potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta
jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan
oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan
tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun
terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.10

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut10:
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf
pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik


Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.


Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan
saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal
yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain
melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin
ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

7
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Mekanisme kerja toksin tetanus10


1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.
Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit
tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf


Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu


toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun
tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan
dengan sel saraf.

Tetanus toxin10

Normal:

Inhibitory interneuron Glycine


Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:

Blocks glycine release


No inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic paralysis

8
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang
paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf
yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun
GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di
daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.

MANIFESTASI KLINIS

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar Antara 5-14 hari. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan
gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of
onset. Kekuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh,
tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan
dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung seperti busur.5

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu10,13:

1. Tetanus lokal (Lokalited Tetanus)


Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian
sekitar 1%. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

2. Tetanus sefal (Cephalic Tetanus)


Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga

9
hidung. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial.

3. Tetanus umum (Generalized Tetanus)


Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Trismus merupakan gejala
utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot
masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku
kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)
yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding
perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan
saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur
dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan
darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

4. Tetanus neonatorum (Neonatal Tetanus)


Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan
untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Kematian
biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan
jantung paru.

Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata
dengan2:

1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris


2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik
ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan

10
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme
mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan
serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus
karena kontraksi yang kuat
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat
9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
intracranial

Gambar 3. Gambaran klinik tetanus14

Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah6:

Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut.


Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut
sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan
dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek
Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi
agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.
Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu
pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa
terjadi fraktur tulang vertebra.
Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan.
Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku

11
sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot
toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang
terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin
dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun
(bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga
dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat
menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang terjadi
setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar,
terpapar sinar yang kuat dan sebagainya. Lambat laun, masa istirahat kejang
semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi
berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh
masa sedar; seterusnya bisa menyebabkan kematian.

Gambar 4. Gambaran Klinis Tetanus Neonatorum11

KLASIFIKASI

Ablett mengklasifikasikan tetanus sebagai12:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa


gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan
lebih dari 30, disfagia ringan.

12
Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat
dan takikardia lebih dari 120
Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap

DIAGNOSIS

Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain5,9:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan
nanah atau gigitan binatang
Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlobang
Riwayat imunisasi DT atau TT
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local)
dengan kejang yang pertama (periode of onset)
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
Riwayat pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril

Pemeriksaan fisik4
o Adanya kekakuan local atau trismus
o Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan
o Kelakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki
o Adanya penyulit
Penyulit yang dapat terjadi adalah sepsis, bronkopneumonia akibat infeksi sekunder
bakteri, kekakuan otot laring dan otot jalan nafas, aspirasi lendir/ makanan/ minuman, patah
tulang belakang (fraktur kompresi).5

Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan laboratoium tidak khas, jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik, selain mahal hasil
biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.

DIAGNOSIS BANDING13

13
PENATALAKSANAAN

1. Dasar

A. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah10,13

1. Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,
ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap
klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2
juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah
ditegakkan diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading


dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6

14
jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian
yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap
pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan
secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari
selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5
mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen
peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

B. Netralisasi toksin10,13

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya
dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan
10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi
iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada
meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus


dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr
dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-

15
2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam
pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara
intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang
dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan
HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar
antitoksin darah sebelum debridemen luka.

C. Menekan efek toksin pada SSP10,13

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat


ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.
Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan
ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks
polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila
diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-
0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan
dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk


neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat
menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera
dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai
otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama
diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

16
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg
IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak
dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita
dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum10

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125
ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut
harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari
2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.

Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus10

a. Tetanus ringan

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian


antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif
seperti diatas.

b. Tetanus sedang

17
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan


intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

PENCEGAHAN

Pencegahan tetanus2:

1. Mencegah terjadinya luka

2. Perawatan luka yang adekuat

3. Pemberian anti tetanus (ATS) dalam beberapa jam setelah luka yaitu untuk memberikan
kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus gejalanya ringan. Umumnya
diberikan 1.500 U intramuskulus dengan didahului oleh uji kulit dan mata.

4. Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif pada
minggu-minggu berikutnya setelah pemberian ATS, kemudian diulangi lagi dengan jarak
waktu 1bulan 2 kali berturut-turut.

5. Pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah mendapat luka berat (dosis 50.000
U/kgBB/hari).

6. Imunisasi aktif. Toksoid tetanus diberikan agar anak membentuk kekebalan secara aktif.
Sebagai vaksinasi dasar diberikan bersama vaksinasi terhadap pertusis dan difteria, dimulai

18
pada umur 3 bulan. Vaksinasi ulangan (booster) diberikan 1 tahun kemudian dan pada usia 5
tahun serta selanjutnya setiap 5 tahun diberikan hanya bersama toksoid difteria (tanpa vaksin
pertusis).

Bila terjadi luka berat pada seseorang anak yang telah mendapat imunisasi atau
toksoid tetanus 4 tahun yang lalu, maka kepadanya wajib diberikan pencegahan dengan
suntikan sekaligus antioksin dan toksoid pada kedua ekstremitas (berlainan tempat suntikan).

Pencegahan tetanus neonatorum6

Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah bersandarkan pada


tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian
lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan
perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril. Pengendalian kebersihan pada
tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi
kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat
dilakukan.

Praktik 3 Bersih perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat,
dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting
dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat
yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT
kepada ibu hamil. Pemberian imunisasi TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan
sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum.

Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)6

Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan kekebalan


sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus. Manfaat imunisasi TT pada ibu
hamil adalah:

a. Dapat melindungi bayi yang baru lahir dari tetanus neonatorum.

b. Dapat melindungi ibu hamil terhadap kemungkinan terjadinya tetanus apabila


terluka.

19
Kedua-dua manfaat tersebut adalah penting dalam mencapai salah satu tujuan
dari program imunisasi secara nasional yaitu, eliminasi tetanus maternal dan tetanus
neonatorum.

Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali, dengan dosis 0,5 cc


disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan. Sebaiknya imunisasi TT diberikan
sebelum kehamilan 8 bulan. Suntikan TT1 dapat diberikan sejak diketahui postif
hamil dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana
kesehatan. Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4
minggu.

KOMPLIKASI

Komplikasi tetanus2:

1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga
mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia
aspirasi.
2. Asfiksia
3. Atelektasis karena obstruksi oleh secret
4. Fraktura kompresi

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot


pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia, bronkopneumonia dan
sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme
laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak.
Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung,
hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis dan
laserasi lidah. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran
cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.2,10

PROGNOSIS

Prognosis tetanus diklasikasikan dari tingkat keganasannya, dimana13:

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )

20
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.13

Prognosa tetanus neonatal jelek bila13:

1. Umur bayi kurang dari 7 hari


2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka
kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya
mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari
yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan, rusipno. Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.2007. Jakarta: Infomedika
jakarta. Hal: 568-573
2. Ismanoe, gatoet. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 2009. Jakarta :
Interna Publishing. Hal: 2911-2923
3. Soedarmo, Sumarmo S. P., Garna Herry, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediarti Tropis.
Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
2002. Hal: 322-329

4. Wibowo tanjung, Anggraeni alifah. Tetanus Neonatorum. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. Vol 1. September 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Hal :
29-32

5. Rampengan TH. Tetanus. In: Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. Hal: 32-43

21
6. Ismanoe G. Tetanus. In: Sudoyo AW,eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal: 1777-85

22

You might also like