You are on page 1of 30

MAKALAH CLERKSHIP IKA

OLEH :

NAVKIRAN SINGH GILL (0710714029)

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
2011
LAPORAN KASUS

Identitas :

Nama : An. Shinta

Nama ayah : Suwarno

Nama ibu : Mulyati

Usia : 1 tahun 5 bulan

Suku : jawa

Status : anak kedua

Alamat : Sanan Gang 9 RT05,RW10 Malang

Pendidikan :-

Pekerjaan :-

Pembayaran : jamkesda

MRS : tanggal 08 Januari 2011

No MR : 10948418

Anamnesa :

KU: Anak Shinta dikirim ke RSSA dari PUSKESMAS Cisadea pada tanggal 08

JANUARI 2011. Mengikut ibunya (heteroanamnesa) pasien mula mengalami sesak

sejak 1 hari SMRS, di sertai panas sejak 4 hari SMRS dimulai sumer-sumer dan

tinggi semalam sejak 1 hari SMRS dan batuk pilek sejak 5 hari SMRS . Batuk grok-

grok disertai pilek warna kuning. Tidak mempunyai nyeri kencing.


Riwayat obat: Anaknya sudah dikasi obat berupa puyer dari PUSKESMAS tapi tidak

sembuh.
Riwayat pernyakit terdahulu menunjukan anak sering batuk dan pilek sejak berusaia

1 tahun, tidak ada kelainan bawaan


Riwayat intakenya, pasien dikasi ASI, susu dari PUSKESMAS (mamavita) dimana

sehari rata-rata 60cc ,amakan nasi setiap hari dengan kiraan 10 sendok setiap kali

makan.
Riwayat keluarga: batuk-pilek biasa, riwayat kontak batuk disangkal.
Riwayat tumbuh kembang: bisa jalan, belajar bicara( kata-kata)
Riwayat imunisasi: lengkap menurut ibu.
Riwayat lahir: BBL: 2800g, PBL: tidak ingat, Langsung menangis, lahir cukup bulan

ditolong bidan.
Tidak ada keluhan tambahan lain.
Dikirim dari PUSKESMAS dengan diagnosa bronchopneumonia.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan Umum : anak rewel, sadar, napas spontan dan adekuat, tidak pucat, tidak biru,

tampak sakit sedang serta gizi kurang.

Vital Sign : HR 130x per menit

RR 50-60x per menit

Tax 37.3oC

Kepala / Leher : normocephal, ukuran mesochepal.

Anemis -/- icteric -/- edema -/- cyanosis -/-

Pernapasan cuping hidung (-) pembesaran kelenjar leher (-)

Thorax : simetris, retraksi (+) interkostal, deformitas (-), cor/s1s2 reguler,

murmur (-), gallop (-)

Pulmo v v wheezing - - ronkhi - -


v v - - + +

v v - - + +

Abdomen : pot belly, soefl, BU (+) N, met (-)

H/L ttb

Ekstrimitas : Anemis - - icteric - - edema - - cyaosis - -

- - - - - - - -

Akral hangat, CRT < 2 detik

Status antopometri : BB/U = 6700 gr (< -3SD), PB/U = 73 cm (-3SD) , BB/PB = -3SD, BBI

= 8700g, %BBI: 77%

Skor TBC : kontak = 0, panas = 0,batuk = 0, flu = 1, PKL = 0, sendi = 0, thoraks = 1

Mantoux = belum ( HASIL : 2 tanpa Mantoux)

Rencana Diagnosa: DL,CRP, SE, GDA

Pemeriksaan penunjang :

Hasil pemeriksaan darah:

Hb: 10gr/dl
Leukosit: 6400/mm
LED: 60mm/jam
Thrombosit: 405 000 mm
P.C.V/ Hct: 30%
Hitung jenis darah: EOS=3, BAS= (-), ST=(-), SEG=39, LY=53, MO= 5
Evaluasi hapusan darah: Eritrosit=hipokrom anistositosis, Leukosit= normal,

Thrombosit= normal
Urinalysis: colour=urinalysis, clarity=clear, SG=1.010, pH=7, Leu (-), Nit (-), Pro(-),

Glu= normal, KET (-), UBG (-), Bil (-), Erithrosit (-)
Radiologi tanggal 08 JANUARI 2011 : Foto Thorax AP/Lat = gambaran infiltrasi

Diagnosis Kerja:

Brochopneumonia
TBC paru
Anemia Hipokrom Mikro

Rencana Therapi

Intravena: amphicillin 3 x 250mg, chloramphenicol 3 x 125mg


Per-oral: Pamol syrup 4 x cth
Nebulisasi P2/ 4-6 jam
Diet ASI ad lib: Nasi ( 3 x 1, 750 k/calories), susu: 3 x 200cc

Terapi ( 08 Januari s/d 13 Januari)

08 Januari 2011,

Plug (+)
Intravena: amphicillin 3 x 250mg, chloramphenicol 3 x 125mg
Per-oral: Pamol syrup 4 x cth
Nebulisasi P2/ 6 jam
Diet ASI ad lib: Nasi ( 3 x 1, 750k/calories), susu: 3 x 200cc

13 Januari 2011- 6.00,

Plug (+)
Intravena: amphicillin 3 x 250mg (6), chloramphenicol 3 x 125mg (6)
Per-oral: Pamol syrup 4 x cth untuk Tax 38.5 degrees Celcius
Nebulisasi P2/ 4-6 jam
Diet ASI ad lib: Nasi ( 3 x 1, k/calories), susu: 3 x 200cc
** chest physiotherapy ditambahkan

Rencana Monitor

TTV di stress napas


Tinjauan Pustaka

PNEUMONIA

DEFINISI

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak pihak yang

sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk

merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah penyakit klinis,

sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya.

Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik yang

ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat

pada foto polos dada. Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya

kurang lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi

paru karenaproses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi. Namun

hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli.(Pechere JC, 1995) Bronchopneumonia

adalah koksolidasi lebih dari satu lobus paru ( lobularis pneumonia)

EPIDEMIOLOGI

Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak- anak di

seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di

Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,

diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16

20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun

dan remaja. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan

tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada

umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh

bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di

negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari
data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada

anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan

oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat

pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan

KLASIFIKASI PNEUMONIA

Pneumonia dibagi menjadi 2:

1. Infectious pneumonia

2. Non-infectious pneumonia

Infectious pneumonia bisa karena bakteri atau virus


Non-infectious pneumonia bisa karena aspirasi makanan, hidrokarbon atau reaksi

hipersensitif

Infectious pneumonia dibagi 2:

a. Typical pneumonia oleh karena bakteri

b. Atypical pneumonia oleh karena virus dan mycoplasma

ETIOLOGI

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian

kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)/benda

asing yang teraspirasi. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan

distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai

penyebab tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza

virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus aureus, Streptococcus

group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Pada masa neonatus Streptococcus

group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab pneumonia paling banyak.

Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan

bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling

utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia

pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun.

(McIntosh K.,2002, Miller MA, 1999, Sectish TC, 2003)


DISTRIBUSI KAUSA MENURUT GOLONGAN UMUR
FAKTOR RESIKO

Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan imunisasi,

kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan

faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor

predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi

kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun

(penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun berkaitan

penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi

perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , aspirasi benda

asing atau disfungsi silier. ( Miller MA,1999, Correa AG, 1998)

PATHOFISIOLOGI & PATHOGENESA

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman

dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari

viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal

saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru

terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barrier anatomi dan barier

mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik

diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis,

ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan

mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi local imunoglobulin A maupun

respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag

dan cell mediated immunity.(Correa AG, 1998) Pneumonia terjadi bila satu atau lebih

mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran

nafas bagian bawah. Inokulasi pathogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon

inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya. Virus
akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan mengenai

banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan

akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel

mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan

didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah

debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka

akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan

diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli.

Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang

terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya

denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke intersitial

sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi

terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa. Pneumonia bakterial

terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang- kadang terjadi melalui

penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari interaksi antara

bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka

beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri

dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung

opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi

imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel

alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen.

Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak

berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak

bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan

perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan

terjadinya kongesti vascular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik

pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang

berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus
ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari

eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara

histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah). Tahap selanjutnya adalah

hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan

komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan

respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan

mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru. Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika

antibodi antikapsular timbul dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel

monosit akan membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak

terjadi keterlibatan instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel

alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.

(Miller MA,1999, Correa AG, 1998) Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus

aureus, kerusakan jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh

kuman. Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang

terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari

fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda

dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda pula.

dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi

kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infeksi, menyebabkan kerusakan

jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak

terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau

slime layer yang akan berinteraksi dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering

disebabkan Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi

coagulase atau clumping factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi

dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh:

pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan

membentuk beberapa enzim seperti catalase (meng-nonaktifkan hidrogen peroksida,

meningkatkan ketahanan intraseluler


kuman) penicillinase atau lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada tingkat molekular

dengan membuka cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase. ( Todd JK, 2003).Pada

pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung

di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan

berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas

sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort.

Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q <

4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya

sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan

berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan

mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat

terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas. (Lang F, 2002)
MANIFESTASI KLINIS

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,

status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu sesak,

sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda

pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala pulmonal,

pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan

gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah,

kembung, diare atau sakit perut. (Correa AG, 1998) Gejala pada paru biasanya timbul

setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan

batuk pilek, gejala nafas cuping hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu

nafas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak

besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-

anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak

dengan asma atau bronkiolitis.(Correa AG, 1998, Gittens MM, 2003) Keradangan pada

pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus

pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada daerah

yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding dada selama

inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut. ( Correa AG, 1998) Gejala ekstra

pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit atau jaringan lunak

seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus aureus. Otitis media,

konjuntivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena Streptococcus

pneumoniae atau Haemophillus influenza. Sedangkan epiglotitis dan meningitis khususnya

dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus influenza. ( Correa AG, 1998) Frekuensi

nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini

digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia. Pengukuran

frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. WHO bahkan telah

merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk.
Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta adanya tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkannya sebagai

kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan perawatan di Rumah Sakit untuk

pemberian antibiotik.

Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya menyebar.

Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi suara

nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan

mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus yang khas untuk

pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan terdengar untuk bayi. Pada bayi dan balita kecil

karena kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.

( Correa AG, 1998) Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakterial

dan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia

bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan

nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit

dijumpai pada seluruh kasus. (Gittens MM, 2003) Penggunaan BPS (Bacterial Pneumonia

Score) pada 136 anak usia 1 bulan 5 tahun dengan pneumonia di Argentina yang

mengevaluasi suhu aksilar, usia, jumlah netrofil absolut, jumlah bands dan foto polos dada

ternyata mampu secara akurat mengidentifikasi anak dengan resiko pneumonia bakterial
sehingga akan dapat membantu klinisi dalam penentuan pemberian antibiotika. Perinatal

pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau ascending dari

infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B Streptococcus) selain

kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yaitu merintih, nafas

cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, hampir semua

bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi prematur,

gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory Distress

Syndrome).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto polos dada

perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping untuk melihat luasnya kelainan patologi

secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk

menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan

adanya komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru

dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi.

Pembesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena Haemophillus

influenza dan Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia karena Streptococcus

pneumoniae. Kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto polos

dada dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses paru, empiema dan piopneumotoraks

serta usia pasien di bawah 1 tahun. Foto polos dada umumnya akan normal kembali dalam

3-4 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada

pneumatokel, abses, efusi pleura, empiema, pneumotoraks atau komplikasi lain.

Sebagaimana manifestasi klinis, pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan

perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya

menunjukkan gambaran infiltrat intersitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma
aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih

besar akan tampak di bagian posterior atau basal paru. Menurut WHO terdapat kesulitan

dalam interpretasi foto polos dada sehingga dikembangkan cara standarisasi kriteria

pneumonia untuk kepentingan aspek epidemiologis. Sistem ini membagi gambaran foto

torak dalam normal torak, infiltrat atau akhir proses konsolidasi (end stage consolidation)

yang didefinisikan sebagai significant amount of alveolar type consolidation. Namun hal ini

menimbulkan pertanyaan apakah foto polos dada yang normal dapat menyingkirkan

pneumonia ? Seringkali panas dan takipnea sudah timbul sebelum terlihat perubahan pada

foto torak. (Lakhan Paul, 2004) Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif

tidak perlu dilakukan, tetapi pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam

memperkirakan mikroorganisme penyebab. Lekositosis >15.000/UL seringkali dijumpai.

Dominasi netrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri

sebagai penyebab. Lekosit >30.000/UL dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia

streptokokus dan stafilokokus. ( Correa AG, 1998) Laju endap darah dan C-reaktif

protein (CRP) merupakan indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit

membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP

yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan pasien

dengan pneumonia intersitialis. Begitu pula pada kasus pneumonia yang disebabkan

oleh Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan kadar CRP yang lebih tinggi secara

signifikan dibanding non pneumococcal pneumonia. Biakan darah merupakan cara yang

spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil.

Kultur darah sangat membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan

penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap

penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat

dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

bermanfaat untuk diagnosis Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma.

Pemeriksaan PCR mahal, tidak tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh

terhadap penanganan awal pneumonia sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.


Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan deteksi

antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya mempunyai sedikit

pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas yang

tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV. Bila fasilitas

memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia

(karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau

meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik,

dan gagal nafas.

DIAGNOSA

Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan

mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksan guna mencari

etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemeriksaan sputum, secret nasofaring bagian

posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, percutaneous lung aspiration dan

biopsi paru bila diperlukan. Tetapi pemeriksaan ini banyak kendalanya, baik dari segi teknis

maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi kurang

dari 50% kasus. Dengan demikian pneumonia didiagnosis terutama berdasarkan manifestasi

klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang lain seperti foto polos dada. Tetapi tanpa

pemeriksaan mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah membedakan kuman

penyebab; bakteri, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih sering mengenai bayi

dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial biasanya timbul

mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil dan sesak memburuk

dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan, pasien tidak tampak sakit berat,

demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi virus

biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin

banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus sebagai penyebab. (Mcintosh K,

2002) Pneumonia oleh karena mikoplasma pneumonia mungkin menunjukkan gejala


wheezing dan batuk, sehingga infeksi oleh karena mikoplasma pneumonia dapat

dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan

pengobatan. Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri dada.

Nyeri perut juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi diafragma.

(Lakhan Paul, 2004)

KOMPLIKASI

1. Efusi pleura

2. Empiema

3. Pneumotoraks

4. Piopneumotoraks

5. Pneumatosel

6. Abses paru

7. Sepsis

8. Gagal nafas

9. Ileus paralitik fungsional

TATALAKSANA

Dalam hal tatalaksana pneumonia, maka para klinisi akan dihadapkan pada beberapa

masalah

Apakah penanganan pneumonia membutuhkan antibiotik atau tidak


Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, apakah menggunakan
antibiotika spektrum sempit atau luas.
Pemakaian antibiotika apakah secara oral atau parenteral.
Kapan pasien diindikasikan rawat inap
1.Apakah penanganan pneumonia membutuhkan antibiotik atau tidak

Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena

berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotika

secara empiris. Walaupun pneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa antibiotika, tetapi

pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri,

kesulitan diagnosis virologi dan kesulitan dalam isolasi penderita, disamping itu

kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.

2. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, apakah menggunakan antibiotika

spektrum sempit atau luas.

Golongan beta laktam (Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam) merupakan

jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi

pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophillus

influenza dan Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan

sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada

kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin.(Lichenstsin R, 2003) Streptokokus dan

pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan

hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup oleh ampisilin dan kloramfenikol.

Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus

pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang community

acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah

obat golongan sefalosporin.(Robinson MJ)( Correa AG, 1998) Penanganan pneumonia pada

neonatus serupa dengan penanganan infeksi neonates pada umumnya. Antibiotika yang

diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram positif terutama Streptococcus group B

dan batang gram negatif. Penisilin dan derivatnya merupakan pilihan utama untuk gram
positif sedangkan untuk kuman gram negatif terutama Escherichia coli dan Proteus

mirabilis digunakan golongan aminoglikosida. Kombinasi kloksasilin dan gentamisin efektif

untuk terapi pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman Staphylococcus

aureus. Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi akan menentukan dosis dan

frekuensi pemberian obat khususnya untuk golongan aminoglikosida. Sefalosporin generasi

3 dapat digunakan jika ada kecurigaan penyebab bakteri batang gram negatif. ( Correa AG,

1998) Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia atipik yang diduga disebabkan oleh

klamidia dan mikoplasma, telah banyak dilaporkan. Pemberian azitromisin dan klaritromisin

sama efektifnya dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin

tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila dibandingkan dengan

amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari efektifitasnya

setara dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik selama 10 hari. Penggunaan

klaritromisin secara multisenter pada pneumonia memdapatkan hal yang cukup baik dalam

hal efektifitas dan efek samping. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual,

muntah, nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda

bermakna dengan antibiotika lain. Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila

tidak ada perbaikan klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan

sembuh. Lama pemberian antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita, hasil

laboratoris, foto polos dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah

stafilokokus diperlukan pemberian terapi 6-8 minggu secara parenteral, Jika penyebab

Haemophylus influenza atau Streptococcus pneumoniae pemberian terapi secara parenteral

cukup 10-14 hari .Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14

hari. Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan

neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi

HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan

dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3.

Dapat dipertimbangkan juga pemberian:


Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
Anti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus
Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena

jamur
Pemberian imunoglobulin

3. Pemakaian antibiotika apakah secara oral atau parenteral.

WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa penarikan

dinding dada/chest indrawing) sebaiknya dirawat secara poliklinis dengan menggunakan

antibiotik oral. Pilihan antibiotik yang digunakan adalah amoksisilin, ampisilin,

trimetoprim/sulfametoksazol atau penisilin prokain selama 5 hari. Tetapi ketika didiagnosis

dengan pneumonia berat (didapatkan chest indrawing) maka pasien dirawat inapkan dan

diberikan antibiotika secara parenteral seperti benzylpenisilin atau ampisilin. Kloramfenikol

juga dapat diberikan, dimana pada beberapa daerah tertentu dapat diberikan secara

intramuskular. Pada bayi berumur kurang dari 2 bulan, WHO merekomendasikan pemberian

penisilin dan gentamisin. Dengan penerapan kriteria WHO ini, terjadi penurunan angka

kematian karena infeksi saluran nafas di negara-negara berkembang. (Miller MA, 1999)

British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan bahwa antibiotik secara parenteral

diberikan pada anak anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak bisa menerima

antibiotika oral.

4. Kapan pasien diindikasikan rawat inap

Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:
Penderita tampak toksik
Umur kurang dari 6 bulan
Distres pernafasan berat
Hipoksemia (saturasi oksigen kurang dari 93-94% pada kondisi ruangan)
Dehidrasi atau muntah
Terdapat efusi pleura atau abses paru
Kondisi imunokompromais
Ketidakmampuan orangtua untuk merawat
Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral

TERAPI SUPPORTIF PADA PENDERITA PNEUMONIA

1. Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya berat dan

sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama bila terdapat tanda gagal

nafas.

2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang diberikan mengandung

gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status

hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah

berkurang asupan oral dapat segera diberikan. Pemberian asupan oral diberikan bertahap

melalui NGT (selang nasogastrik) drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian

retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak

akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).

3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal untuk

memperbaiki transpor mukosiliar.

4. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya hipoglikemia, asidosis

metabolik.
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya serta komplikasi

bila ada.

PENANGANAN TERHADAP KOMPLIKASI

1. Efusi pleura

Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi stafilokokus.Jika efusi minimal

dan respon pasien baik terhadap pemberian antibiotika maka pemberian antibiotika tetap

diteruskan. Jika efusi cukup banyak maka perlu dilakukan pungsi cairan pleura (pleura tap)

untuk diagnostik (pemeriksaan makroskopik, pengecatan gram, jumlah sel, kultur).

Penentuan antibiotika selanjutnya dapat didasarkan dari hasil kultur.

Indikasi pemasangan pleural drain:

Perjalanan klinis berlangsung progresif


Efusi pleura bertambah walaupun sudah mendapat antibiotik
Distres nafas berat
Terjadi pergeseran mediastinum (mediastinal shift)
Didapatkan cairan yang purulen saat dilakukan pungsi pleura

2. Abses paru

Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak, tetapi juga terdapat

kemungkinan infeksi oleh karena kuman anaerob. Pemberian antibiotika parenteral

diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian oral antibiotik sampai lama

terapi mencapai minimal 4 minggu.

3. Empiema/piopneumotoraks
Seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureu, Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenzae dan Streptococcus group A. Selain itu terdapat juga kemungkinan

infeksi kuman anaerob. Selain pemberian antibiotika yang optimal sesuai dugaan kuman

penyebab, diindikasikan juga pemasangan pleural drain. Tujuan akhir perawatan adalah

mengeliminasi infeksi dan komplikasi, mengembangkan kembali paru-paru serta

menurunkan waktu perawatan.

4. Sepsis

Sepsis sebagai komplikasi dari pneumonia terutama disebabkan oleh Staphyllococcus

aureus dan Streptococcus pneumoniae. Penanganan dengan antibiotika yang sesuai dan

terapi suportif lainnya.

5. Gagal nafas

Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan ventilasi

mekanik.

PENCEGAHAN

Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan pneumonia.

Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan varisela sehingga

imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut akan membantu

menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus

influenza dapat juga dicegah dengan pemberian imunisasi Hib. Pada bulan Februari 2000,

vaksin pneumokokal heptavalen telah dilisensikan penggunaannya di Amerika Serikat.

Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh

serotype Streptococcus pneumonia. Penggunaan vaksin ini menurunkan insiden invasive


pneumococcal disease. (McIntosh K, 2002) Penggunaan vaksin pneumokokal heptavalen

secara rutin di United States ternyata mampu menurunkan bakteremia yang

disebabkan Streptococcus pneumoniae sebesar 84% dan sebesar 67% untuk bakteremia

secara keseluruhan pada populasi anak 3 bulan-3 tahun. The American Academic of

Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenza untuk semua anak dengan resiko

tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk memberikan perlindungan terhadap

komplikasi influenzae termasuk diantaranya adalah pneumonia, AAP juga

merekomendasikan vaksinasi untuk semua anak usia 6 bulan sampai 23 bulan jika kondisi

ekonomi memungkinkan. (Ostapchuk M, 2004) Pencegahan lain dapat dilakukan dengan

menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama

dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan

dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,

pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.

(Makmuri MS, 1998)

PEMBAHASAN

Pada anak, prevalensi terjadinya pneumonia sangat serius dan berbeda dengan

yang secara fundamental berbeda dengan dewasa. Pneumonia terjadi bila satu atau lebih

mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi pathogen mengalami gangguan sehingga

kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. (Correa AG, 1998,) Sebagian

besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil

disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)/benda asing

yang teraspirasi. (McIntosh K.,2002, Miller MA, 1999, Sectish TC, 2003)
Pada anak Shinta, terdiagnosa sebagai bronchopneumonia berdasar dari temuan

batuk grok-grok serta pilek kuning,demam panas badan yang naik turun dan takipneu (RR

50-60x per menit, penemuan infiltrasi pada gambaran radiologi thoraks AP/Lat, suara

rhonchi (grok-grok) pada paru serta retraksi intercostal pada thorax. Berdasar anamnesa

juga, pasien tidak mengalami nyeri kencing serta sudah dikasi puyer dari PUSKESMAS tapi

tidak sembuh. Berdasar riwayat penyakit terdahulu, pasien sering menderita batuk-pilek.

Diagnosa banding seperti TBC pada anak di singkirkan setelah dilakukan scoring TBC yang

hanya mendapat nilai 2. Selain itu, didapati pemeriksaan abdomen pasien berkisar normal

yang menunjukan tidak ada gangguan fungsi organ-organ abdomen pasien tersebut.

Terapi yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian amphicillin 3 x 250mg

serta chloramphenicol 3 x 125mg IV untuk menanggulangi bakteri penyebab yang biasanya

merupakan S. penumoniae ataupun M. pneumonia. Selain itu, pasien juga di kasi

paracetamol syrup 4 x cth untuk menurunkan suhu tubuhnya. Disebabkan pasien

kekurangan gizi,maka pengaturan gizi dilakukan dengan memberikan diet nasi sebanyak 3 x

1 750k/calories serta susu 3 x 200cc untuk memenuhi kebutuhan energy sehariannya serta

membantu proses tumbuh kembang pasien. Selain itu, pasien juga dikasi nebulisasi P2

untuk membantu memudahkan pernafasan pasien. Setelah beberapa hari, chest

physiotherapy ditambahkan buat pasien untuk membantu pengaturan pernafasan.

DAFTAR PUSTAKA

Pechere JC. Pneumonia-no single definition. Dalam: Community Acquired


Pneumonia in Children. Edisi ke-1. Wellingborough: Cambridge Medical Publications,
1995: 1-6

McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Engl J Med 2002;


346(6): 429-37

Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older
Children. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine.
St Louis: Mosby Inc, 1999 : 595-664
Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders,
2003: 1432-5

Correa AG, Starke JR. Bacterial pneumonias. Dalam: Chernick V, Boat F, penyunting.
Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders, 1998: 485-503

Ostapchuk M, Robert DM, Haddy R. Community Acquired Pneumonia in Infants and


Children. Am Fam Physician 2004;70: 899-908

Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am


2003; 21: 437-51

Todd JK. Staphylococcus. Dalam Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders,
2003: 861-7

Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F penyunting.


Color Atlas of Pathophysiology. Sturgart: Thieme FlexiBook, 2000: 66-91

Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3): 200-14

Lakhanpaul M, Atkitson M, Stephenson T. Community Acquired Pneumonia in


Children: a Clinical Update. Arch Dis Child Ed Pract 2004;89: 29-34

Robinson MJ. Acute Respiratory Infections in Childhood. Dalam: Robinson MJ, Lee
EL penyunting. Paediatric Problems in Tropical Countries. Edisi ke-2. Singapore: PG
Publising, 1991; 218-26

Makmuri MS. Penatalaksanaan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Disampaikan pada :


Simposium Penangananan Terpadu Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan secara
Rasional. 1998 : 1-12.[tidak dipublikasikan]

You might also like