Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
Identitas :
Suku : jawa
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Pembayaran : jamkesda
No MR : 10948418
Anamnesa :
KU: Anak Shinta dikirim ke RSSA dari PUSKESMAS Cisadea pada tanggal 08
sejak 1 hari SMRS, di sertai panas sejak 4 hari SMRS dimulai sumer-sumer dan
tinggi semalam sejak 1 hari SMRS dan batuk pilek sejak 5 hari SMRS . Batuk grok-
sembuh.
Riwayat pernyakit terdahulu menunjukan anak sering batuk dan pilek sejak berusaia
sehari rata-rata 60cc ,amakan nasi setiap hari dengan kiraan 10 sendok setiap kali
makan.
Riwayat keluarga: batuk-pilek biasa, riwayat kontak batuk disangkal.
Riwayat tumbuh kembang: bisa jalan, belajar bicara( kata-kata)
Riwayat imunisasi: lengkap menurut ibu.
Riwayat lahir: BBL: 2800g, PBL: tidak ingat, Langsung menangis, lahir cukup bulan
ditolong bidan.
Tidak ada keluhan tambahan lain.
Dikirim dari PUSKESMAS dengan diagnosa bronchopneumonia.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan Umum : anak rewel, sadar, napas spontan dan adekuat, tidak pucat, tidak biru,
Tax 37.3oC
v v - - + +
H/L ttb
- - - - - - - -
Status antopometri : BB/U = 6700 gr (< -3SD), PB/U = 73 cm (-3SD) , BB/PB = -3SD, BBI
Pemeriksaan penunjang :
Hb: 10gr/dl
Leukosit: 6400/mm
LED: 60mm/jam
Thrombosit: 405 000 mm
P.C.V/ Hct: 30%
Hitung jenis darah: EOS=3, BAS= (-), ST=(-), SEG=39, LY=53, MO= 5
Evaluasi hapusan darah: Eritrosit=hipokrom anistositosis, Leukosit= normal,
Thrombosit= normal
Urinalysis: colour=urinalysis, clarity=clear, SG=1.010, pH=7, Leu (-), Nit (-), Pro(-),
Glu= normal, KET (-), UBG (-), Bil (-), Erithrosit (-)
Radiologi tanggal 08 JANUARI 2011 : Foto Thorax AP/Lat = gambaran infiltrasi
Diagnosis Kerja:
Brochopneumonia
TBC paru
Anemia Hipokrom Mikro
Rencana Therapi
08 Januari 2011,
Plug (+)
Intravena: amphicillin 3 x 250mg, chloramphenicol 3 x 125mg
Per-oral: Pamol syrup 4 x cth
Nebulisasi P2/ 6 jam
Diet ASI ad lib: Nasi ( 3 x 1, 750k/calories), susu: 3 x 200cc
Plug (+)
Intravena: amphicillin 3 x 250mg (6), chloramphenicol 3 x 125mg (6)
Per-oral: Pamol syrup 4 x cth untuk Tax 38.5 degrees Celcius
Nebulisasi P2/ 4-6 jam
Diet ASI ad lib: Nasi ( 3 x 1, k/calories), susu: 3 x 200cc
** chest physiotherapy ditambahkan
Rencana Monitor
PNEUMONIA
DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak pihak yang
sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk
merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah penyakit klinis,
sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya.
Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik yang
ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat
pada foto polos dada. Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya
kurang lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi
paru karenaproses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi. Namun
hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli.(Pechere JC, 1995) Bronchopneumonia
EPIDEMIOLOGI
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak- anak di
seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di
Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,
diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16
20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun
dan remaja. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan
tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada
umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh
negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari
data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada
anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan
oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat
pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan
KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Infectious pneumonia
2. Non-infectious pneumonia
hipersensitif
ETIOLOGI
kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)/benda
asing yang teraspirasi. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan
distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai
penyebab tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza
virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus aureus, Streptococcus
group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Pada masa neonatus Streptococcus
Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan
pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun.
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan imunisasi,
kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan
faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor
predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi
kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun
(penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun berkaitan
perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , aspirasi benda
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman
dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal
saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barrier anatomi dan barier
mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik
diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis,
ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan
mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi local imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag
dan cell mediated immunity.(Correa AG, 1998) Pneumonia terjadi bila satu atau lebih
mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran
nafas bagian bawah. Inokulasi pathogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon
inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya. Virus
akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan mengenai
banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan
akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan
didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah
debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka
akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli.
Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya
denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke intersitial
sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi
terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa. Pneumonia bakterial
terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang- kadang terjadi melalui
penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari interaksi antara
bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka
beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri
dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung
opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi
imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel
alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen.
Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak
berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak
bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan
perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya kongesti vascular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik
pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang
berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus
ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari
eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan
komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan
respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan
mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru. Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika
antibodi antikapsular timbul dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel
monosit akan membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak
terjadi keterlibatan instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel
alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.
(Miller MA,1999, Correa AG, 1998) Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, kerusakan jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh
kuman. Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang
terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari
fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda
dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda pula.
dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi
jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak
slime layer yang akan berinteraksi dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering
coagulase atau clumping factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi
dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh:
dengan membuka cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase. ( Todd JK, 2003).Pada
pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung
di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan
berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas
sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort.
Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q <
sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat
terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas. (Lang F, 2002)
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu sesak,
sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda
pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala pulmonal,
pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan
kembung, diare atau sakit perut. (Correa AG, 1998) Gejala pada paru biasanya timbul
setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan
batuk pilek, gejala nafas cuping hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu
nafas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak
besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-
anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak
dengan asma atau bronkiolitis.(Correa AG, 1998, Gittens MM, 2003) Keradangan pada
pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada daerah
yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding dada selama
inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut. ( Correa AG, 1998) Gejala ekstra
pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit atau jaringan lunak
seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus aureus. Otitis media,
dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus influenza. ( Correa AG, 1998) Frekuensi
nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini
frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. WHO bahkan telah
merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk.
Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkannya sebagai
kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan perawatan di Rumah Sakit untuk
pemberian antibiotik.
Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya menyebar.
Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi suara
nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan
mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus yang khas untuk
pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan terdengar untuk bayi. Pada bayi dan balita kecil
karena kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.
( Correa AG, 1998) Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakterial
dan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia
bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan
nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit
dijumpai pada seluruh kasus. (Gittens MM, 2003) Penggunaan BPS (Bacterial Pneumonia
Score) pada 136 anak usia 1 bulan 5 tahun dengan pneumonia di Argentina yang
mengevaluasi suhu aksilar, usia, jumlah netrofil absolut, jumlah bands dan foto polos dada
ternyata mampu secara akurat mengidentifikasi anak dengan resiko pneumonia bakterial
sehingga akan dapat membantu klinisi dalam penentuan pemberian antibiotika. Perinatal
pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau ascending dari
infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B Streptococcus) selain
kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yaitu merintih, nafas
cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, hampir semua
bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi prematur,
gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory Distress
Syndrome).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto polos dada
perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping untuk melihat luasnya kelainan patologi
secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk
menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan
dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi.
influenza dan Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia karena Streptococcus
pneumoniae. Kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto polos
dada dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses paru, empiema dan piopneumotoraks
serta usia pasien di bawah 1 tahun. Foto polos dada umumnya akan normal kembali dalam
3-4 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada
perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltrat intersitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma
aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih
besar akan tampak di bagian posterior atau basal paru. Menurut WHO terdapat kesulitan
dalam interpretasi foto polos dada sehingga dikembangkan cara standarisasi kriteria
pneumonia untuk kepentingan aspek epidemiologis. Sistem ini membagi gambaran foto
torak dalam normal torak, infiltrat atau akhir proses konsolidasi (end stage consolidation)
yang didefinisikan sebagai significant amount of alveolar type consolidation. Namun hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah foto polos dada yang normal dapat menyingkirkan
pneumonia ? Seringkali panas dan takipnea sudah timbul sebelum terlihat perubahan pada
foto torak. (Lakhan Paul, 2004) Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif
tidak perlu dilakukan, tetapi pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam
Dominasi netrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri
streptokokus dan stafilokokus. ( Correa AG, 1998) Laju endap darah dan C-reaktif
protein (CRP) merupakan indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit
membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP
yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan pasien
dengan pneumonia intersitialis. Begitu pula pada kasus pneumonia yang disebabkan
oleh Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan kadar CRP yang lebih tinggi secara
signifikan dibanding non pneumococcal pneumonia. Biakan darah merupakan cara yang
spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil.
Kultur darah sangat membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan
penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap
penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat
dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR mahal, tidak tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh
antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya mempunyai sedikit
pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas yang
tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV. Bila fasilitas
(karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau
DIAGNOSA
Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksan guna mencari
etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemeriksaan sputum, secret nasofaring bagian
posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, percutaneous lung aspiration dan
biopsi paru bila diperlukan. Tetapi pemeriksaan ini banyak kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi kurang
dari 50% kasus. Dengan demikian pneumonia didiagnosis terutama berdasarkan manifestasi
klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang lain seperti foto polos dada. Tetapi tanpa
penyebab; bakteri, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih sering mengenai bayi
dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial biasanya timbul
mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil dan sesak memburuk
dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan, pasien tidak tampak sakit berat,
demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi virus
biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin
banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus sebagai penyebab. (Mcintosh K,
dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan
pengobatan. Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri dada.
Nyeri perut juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi diafragma.
KOMPLIKASI
1. Efusi pleura
2. Empiema
3. Pneumotoraks
4. Piopneumotoraks
5. Pneumatosel
6. Abses paru
7. Sepsis
8. Gagal nafas
TATALAKSANA
Dalam hal tatalaksana pneumonia, maka para klinisi akan dihadapkan pada beberapa
masalah
Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotika
secara empiris. Walaupun pneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa antibiotika, tetapi
pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri,
kesulitan diagnosis virologi dan kesulitan dalam isolasi penderita, disamping itu
jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi
influenza dan Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan
sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada
kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin.(Lichenstsin R, 2003) Streptokokus dan
pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan
hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup oleh ampisilin dan kloramfenikol.
Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus
acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah
obat golongan sefalosporin.(Robinson MJ)( Correa AG, 1998) Penanganan pneumonia pada
neonatus serupa dengan penanganan infeksi neonates pada umumnya. Antibiotika yang
diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram positif terutama Streptococcus group B
dan batang gram negatif. Penisilin dan derivatnya merupakan pilihan utama untuk gram
positif sedangkan untuk kuman gram negatif terutama Escherichia coli dan Proteus
untuk terapi pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman Staphylococcus
aureus. Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi akan menentukan dosis dan
3 dapat digunakan jika ada kecurigaan penyebab bakteri batang gram negatif. ( Correa AG,
1998) Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia atipik yang diduga disebabkan oleh
klamidia dan mikoplasma, telah banyak dilaporkan. Pemberian azitromisin dan klaritromisin
tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila dibandingkan dengan
amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari efektifitasnya
klaritromisin secara multisenter pada pneumonia memdapatkan hal yang cukup baik dalam
hal efektifitas dan efek samping. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual,
muntah, nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda
bermakna dengan antibiotika lain. Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila
tidak ada perbaikan klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan
sembuh. Lama pemberian antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita, hasil
laboratoris, foto polos dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah
stafilokokus diperlukan pemberian terapi 6-8 minggu secara parenteral, Jika penyebab
cukup 10-14 hari .Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14
hari. Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan
HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan
jamur
Pemberian imunoglobulin
WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa penarikan
dengan pneumonia berat (didapatkan chest indrawing) maka pasien dirawat inapkan dan
juga dapat diberikan, dimana pada beberapa daerah tertentu dapat diberikan secara
intramuskular. Pada bayi berumur kurang dari 2 bulan, WHO merekomendasikan pemberian
penisilin dan gentamisin. Dengan penerapan kriteria WHO ini, terjadi penurunan angka
kematian karena infeksi saluran nafas di negara-negara berkembang. (Miller MA, 1999)
diberikan pada anak anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak bisa menerima
antibiotika oral.
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:
Penderita tampak toksik
Umur kurang dari 6 bulan
Distres pernafasan berat
Hipoksemia (saturasi oksigen kurang dari 93-94% pada kondisi ruangan)
Dehidrasi atau muntah
Terdapat efusi pleura atau abses paru
Kondisi imunokompromais
Ketidakmampuan orangtua untuk merawat
Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral
1. Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya berat dan
sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama bila terdapat tanda gagal
nafas.
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status
hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah
berkurang asupan oral dapat segera diberikan. Pemberian asupan oral diberikan bertahap
melalui NGT (selang nasogastrik) drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian
retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak
3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal untuk
4. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya hipoglikemia, asidosis
metabolik.
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya serta komplikasi
bila ada.
1. Efusi pleura
Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi stafilokokus.Jika efusi minimal
dan respon pasien baik terhadap pemberian antibiotika maka pemberian antibiotika tetap
diteruskan. Jika efusi cukup banyak maka perlu dilakukan pungsi cairan pleura (pleura tap)
2. Abses paru
Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak, tetapi juga terdapat
diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian oral antibiotik sampai lama
3. Empiema/piopneumotoraks
Seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureu, Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae dan Streptococcus group A. Selain itu terdapat juga kemungkinan
infeksi kuman anaerob. Selain pemberian antibiotika yang optimal sesuai dugaan kuman
penyebab, diindikasikan juga pemasangan pleural drain. Tujuan akhir perawatan adalah
4. Sepsis
aureus dan Streptococcus pneumoniae. Penanganan dengan antibiotika yang sesuai dan
5. Gagal nafas
Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan ventilasi
mekanik.
PENCEGAHAN
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan pneumonia.
Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan varisela sehingga
imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut akan membantu
influenza dapat juga dicegah dengan pemberian imunisasi Hib. Pada bulan Februari 2000,
Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh
disebabkan Streptococcus pneumoniae sebesar 84% dan sebesar 67% untuk bakteremia
secara keseluruhan pada populasi anak 3 bulan-3 tahun. The American Academic of
Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenza untuk semua anak dengan resiko
tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk memberikan perlindungan terhadap
merekomendasikan vaksinasi untuk semua anak usia 6 bulan sampai 23 bulan jika kondisi
menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama
dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan
dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
PEMBAHASAN
Pada anak, prevalensi terjadinya pneumonia sangat serius dan berbeda dengan
yang secara fundamental berbeda dengan dewasa. Pneumonia terjadi bila satu atau lebih
kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. (Correa AG, 1998,) Sebagian
disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid substances)/benda asing
yang teraspirasi. (McIntosh K.,2002, Miller MA, 1999, Sectish TC, 2003)
Pada anak Shinta, terdiagnosa sebagai bronchopneumonia berdasar dari temuan
batuk grok-grok serta pilek kuning,demam panas badan yang naik turun dan takipneu (RR
50-60x per menit, penemuan infiltrasi pada gambaran radiologi thoraks AP/Lat, suara
rhonchi (grok-grok) pada paru serta retraksi intercostal pada thorax. Berdasar anamnesa
juga, pasien tidak mengalami nyeri kencing serta sudah dikasi puyer dari PUSKESMAS tapi
tidak sembuh. Berdasar riwayat penyakit terdahulu, pasien sering menderita batuk-pilek.
Diagnosa banding seperti TBC pada anak di singkirkan setelah dilakukan scoring TBC yang
hanya mendapat nilai 2. Selain itu, didapati pemeriksaan abdomen pasien berkisar normal
yang menunjukan tidak ada gangguan fungsi organ-organ abdomen pasien tersebut.
Terapi yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian amphicillin 3 x 250mg
kekurangan gizi,maka pengaturan gizi dilakukan dengan memberikan diet nasi sebanyak 3 x
1 750k/calories serta susu 3 x 200cc untuk memenuhi kebutuhan energy sehariannya serta
membantu proses tumbuh kembang pasien. Selain itu, pasien juga dikasi nebulisasi P2
DAFTAR PUSTAKA
Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older
Children. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine.
St Louis: Mosby Inc, 1999 : 595-664
Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders,
2003: 1432-5
Correa AG, Starke JR. Bacterial pneumonias. Dalam: Chernick V, Boat F, penyunting.
Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders, 1998: 485-503
Todd JK. Staphylococcus. Dalam Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders,
2003: 861-7
Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3): 200-14
Robinson MJ. Acute Respiratory Infections in Childhood. Dalam: Robinson MJ, Lee
EL penyunting. Paediatric Problems in Tropical Countries. Edisi ke-2. Singapore: PG
Publising, 1991; 218-26