You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua

orang tua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak

yang normal. Retardasi mental ditandai dengan fungsi anak dalam Capabilites

yaitu fungsi intelektual dibawah rata-rata disertai ketidakmampuan fungsi

adaptasinya. Anak tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu

melakukan aktifitas sendiri (motoriknya), keterbatasan dalam memahami

perilaku sosial dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi anak

yang retardasi mental akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan

keterlibatan anak untuk berfungsi dalam setting lingkungan seperti kehidupan

belajar, bermain, bekerja, sosialisasi dan interaksinya (Mawardah, 2012).

Retardasi mental merupakan keadaan dengan inteligensi kurang

(abnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak)

atau keadaan kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam

pekerjaan seseorang menjadi terganggu (Sumaryo, 2004).

Tanggapan negatif masyarakat tentang anak retardasi mental

menimbulkan berbagai macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi

mental, seperti: orang tua mengucilkan anak mereka atau tidak mengakui sebagai

anaknya, orang tua merasa malu dan anak retardasi mentalpun disembunyikan

dari masyarakat.

1
2

Padahal telah di jelaskan dalam Q.S Al-Anfal /8: 28




Terjemahnya :
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Ayat diatas dimulai dengan kata perintah ketahuilah yang bertujuan

menekanka kepada mitra bicara betapa penting apa yang akan disampaikan dan

bahwa hal tersebut tidak boleh diabaikan atau diremehkan. Anak menjadi cobaan

bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cinta kepadanya sehingga ia

melanggar, tetapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanat Allah SWT. Allah

menguji manusia melalui anaknya untuk melihat apakah ia memelihara secara

aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi

manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi hamba Allah

sekaligus khalifah di dunia. Mengabaikan tugas ini adalah salah satu bentuk

pengkhianatan terhadap Allah dan amanat yang dititipkannya kepada manusia.

Demikian juga harta benda, bukan saja menjadi ujian ketika harta itu menjadikan

manusia melupakan fungsi sosial, harta atau berusaha meraihnya secara batil,

tetapi juga ia adalah ujian dari sisi apakah harta tersebut dipelihara dan

dikembangkan sehingga hasilnya berlipat ganda melalui usaha halal dan baik

(Shihab. 2002).

Ayat diatas menjelaskan bahwa anak merupakan cobaan, apa lagi orang

tua yang memiliki anak dengan kondisi gangguan mental misalnya retardasi

mental, jadi orang tua tidak perlu merasa berkecil hati karena anak juga

merupakan amanah Allah SWT, melalui anak orang tua diuji apakah orang tua
3

memelihara dan mendidik anaknya agar menjadi manusia yang dikehendaki

Allah.

Masalah retardasi mental ini terkait dengan semua belah pihak terutama

keluarga atau orang tuanya. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembang

seorang individu, maka keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh

kualitas dari individu yang terbentuk dari norma yang dianut dalam keluarga

sebagai patokan berprilaku setiap hari. Lingkungan keluarga secara langsung

berpengaruh dalam mendidik seorang anak karena pada saat lahir dan untuk masa

berikutnya yang cukup panjang anak memerlukan bantuan dari keluarga dan

orang lain untuk melangsungkan hidupnya. Keluarga yang mempunyai anak

cacat akan memberikan suatu perlindungan yang berlebihan pada anaknya

sehingga anak mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan

pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya (Muttaqin, 2008).

Pada ujung yang berlawanan dari anak-anak yang berbakat terdapat anak-

anak yang pertumbuhan mentalnya mengalami retardasi. Mereka ini sulit

menyesuaikan diri karena rendahnya tingkat inteligensi. Mereka yang berada

pada tingkat-tingkat inteligensi yang paling rendah begitu cacat sehingga mereka

tidak mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Biasanya orang-orang

seperti ini dimasukkan ke dalam suatu lembaga meskipun ada juga yang tetap

dijaga di rumah (Semiun, 2006)

Retardasi mental dalam perkembangan inteligensi dikenal dengan

beberapa sebutan, misalnya lemah mental, amentia (untuk membedakanya dari

dementia, suatu kondisi fisikotik), oligopherenia. Sebutan yang bermacam-

macam untuk dibedakan berdasarkan tingkat kapasitas intelektual yang diperoleh


4

atau factor-faktor penyebab. Misalnya, idiot adalah individu dengan IQ dibawah

25, dan cretin adalah orang yang menderita karena kelenjar gondok tidak

berfungsi dengan baik, retardasi mental menimbulkan masalah sosial yang besar

karena memerlukan sarana-sarana dan prosedur-prosedur pendidikan yang

khusus (Semiun, 2006).

Pencapaian kemampuan anak adalah hasil rangkaian proses pembelajaran.

Setiap keterampilan yang berhasil dipelajari merupakan balok yang memperkuat

pondasi bagi proses pembelajaran selanjutnya. Dukungan orang tua memang

sangat membantu memperlancar rangkaian proses tersebut karena anak-anak

membutuhkan bimbingan yang tepat untuk memahami, dan membutuhkan

dorongan untuk menguatkan apa yang telah dipelajarinya. Beri mereka

kesempatan untuk mempelajari dengan kesabaran dan pemahaman yang cukup,

sesuai dengan usianya. Terapi bermain dengan media playdough merupakan

latihan yang dilakukan untuk mengembangkan kreatifitas anak (Mulyani, 2007).

Angka kejadian pada retardasi mental ini cukup banyak terutama dinegara

yang sedang berkembang dan merupakan dilema atau penyebab kecemasan

keluarga, masyarakat, dan Negara. Diperkirakan kejadian retardasi mental berat

dinegara yang sedang berkembang sekitar 0,3% dari seluruh populasi dan hampir

3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber daya tentunya mereka tidak bisa

dimanfaatkan karena 0,1% dari kelompok anak ini memerlukan perawatan,

bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya (Muttaqin, 2008).

Menurut penelitian World Health Organization (WHO) tahun 2009,

jumlah anak RM seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006 - 2007

terdapat 80.000 lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan


5

yang pesat pada tahun 2009, dimana terdapat 100.000 penderita. Pada tahun 2009

ini terjadi peningkatan sekitar 25% (Depkes RI 2009). Prevalensi retardasi

mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah

dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. RM mengenai 1,5 kali lebih banyak

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Hartika, 2014). Dan di Sulawesi

Selatan terdapat 14,6% anak yang menderita RM dengan 3.510 orang, laki-laki

2.153 orang dan perempuan 1.357 orang (Nurjayatri, 2012).

Berdasarkan hasil observasi langsung ke Sekolah Luar Biasa Negeri

(SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep, retardasi mental merupakan siswa

yang terbanyak disekolah tersebut, tercatat sebanyak 129 siswa dari tingkat SD,

SMP dan SMA, sebanyak 80 anak penderita retardasi mental, 47 diantaranya

diderita oleh anak laki-laki dan 33 diderita oleh anak perempuan dan media

pembelajaran yang digunakan di SLBN hanya menggunakan media gambar dan

belum pernah menggunakan media Playdough sebagai media pembelajaran

untuk melatih perkembangan kognitif anak retardasi mental (SLB Negeri

Minasatene Kab. Pangkep. 2015).

Beberapa penelitian yang telah melakukan penelitian terkait dengan anak

retardasi mental, salah-satu penelitian tersebut mengenai peningkatan

kemampuan kognitif dalam mengenal konsep bilangan dengan permainan cetak

angka play dough pada anak oleh Dian Anggraeni Yunikowati pada tahun 2014

dengan hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh penggunaan permainan

cetak angka playdough pada anak terhadap kemampuan kognitif dalam mengenal

konsep bilangan (Anggraeni, 2014).


6

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana

pengaruh terapi bermain (media playdough) terhadap Perkembangan Kognitif

anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Minasatene

Kabupaten Pangkep.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diambil rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu, Apakah terapi bermain dengan media

playdough dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak retardasi mental di

Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep?

C. Hipotesis Penelitian

Menurut Tiro (2008), hipotesis adalah pernyataan yang diterima

sementara dan masih perlu diuji. Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Hipotesis alternative (Ha)

Ada pengaruh terapi bermain dengan media playdough Terhadap

perkembangan kognitif anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa Negeri

(SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan

bagaimana cara menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga

definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu

peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Setiadi, 2007).
7

1. Anak Retardasi Mental

Anak retardasi mental merupakan subjek dalam penelitian, yaitu anak

retardasi mental sedang dengan rentang IQ 36-51

2. Tes IQ

Tes IQ yang digunakan dengan metode Tes Stanford Binet yang

merupakan suatu pemeriksaan psikologi dangan alat-alat ukur tertentu dalam

bentuk soal-soal tes yang di ciptakan oleh para pakar psikologi.

Kriteria Objektif:

Alat Ukur : Soal dengan metode Stanford Binet Sebanyak 60 Butir Pertanyaan

yang dijawab selama 45 menit. Dengan ketentuan rumus : IQ =

MA/CA x 100

3. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perkembangan pengetahuan anak yang

akan diukur menggunakan lembar observasi dengan pengenalan angka, huruf,

penjumlahan sederhana dan kata yang sering diucapkan sebanyak 20 nomor

dengan menggunakan media playdough.

Kriteria Objektif:

Alat Ukur : soal mengenal angka dan huruf dalam bentuk lembar observasi.

Parameter : Rendah : Apabila nilai jawaban responden < 10

Tinggi : Apabila nilai jawaban responden 10

4. Terapi Barmain (Media Playdough)

Terapi bermain merupakan suatu permainan yang sengaja dirancang

dengan pertimbangan untuk membantu stimulus terhadap respon

perkembangan kognitif anak retardasi mental. Sedangkan media Playdough


8

merupakan media belajar yang terbuat dari campuran tepung terigu, garam,

air dan minyak. Playdough tersebut digunakan dengan cara membentuk

angka atau huruf yang kemudian akan dijumlahkan dan dirangkai menjadi

sebuah kata sederhana.

E. Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terbaru yang telah membuktikan bahwa terapi

bermain meningkatkan perkembangan kognitif anak retardasi mental.

1. Lilis Lisnawati (2014) mahasiswi kebidanan universitas padjajaran dalam

penelitiannya yang berjudul analisis keberhasilan terapi bermain terhadap

perkembangan potensi kecerdasan anak retardasi mental sedang usia 7-12

tahun di SDLB Aisyah yang menyatakan bahwa terapi bermain mampu

meningkatkan keberhasilan pengembangan potensi kecerdasan anak RM

sedang perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu peneliti

menggunakan media playdough dalam pemberian terapi bermain.

2. Dian Anggraeni Yunikowati (2014) mahasiswi PG-PAUD IKIP Veteran

Semarang dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan kemampuan

kognitif dalam mengenal konsep bilangan dengan permainan cetak angka

play dough pada anak, Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah dengan

menggunakan cetak angka playdough pada anak kelompok A TK Talenta

Semarang dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak dalam mengenal

konsep bilangan. Indikator keberhasilan menunjukan peningkatan menjadi

75 % anak yang berkembang sangat pesat dan anak yang sudah berkembang

yang tadinya hanya 20% perbedaan dengan peneliti lakukan yaitu berada
9

pada sampel karena peneliti meneliti terhadap anak retardasi mental yang

memiliki gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

3. Dian Febri Andi Mulyani (2014) Mahasiswi Keperawatan Universitas

Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan meneliti

tentang Perkembangan Kognitif Anak Retardasi Mental Pada Pemberian

Media Playdough di SLB C Yakut Purwokerto hasil yang diperoleh bahwa

playdough memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan kognitif

anak retardasi mental yang ditunjukan dengan lebih tingginya nilai post test

yang didapat siswa dibandingkan pretest. Perbedaan dengan peneliti yang

akan dilakukan yaitu dari segi metode penelitian dimana dalam penelitian

yang dilakukan Febri ini menggunakan metode pre-experiment dengan

rancangan one group pre-test post-test design.

4. Nida Ria (2014) meneliti tentang meningkatkan kemampuan mengenal

angka 1-10 melalui permainan arsitek menara bagi anak tunagrahita Sedang

di SLB Negeri 1 Padang. dengan menggunakan metode penelitian Single

Subject Design (SSD) hasil yang diperoleh Berdasarkan hasil penelitian,

kemampuan anak tunagrahita ringan dalam mengenal angka 1-10 mengalami

peningkatan. Jadi, dapat di ambil kesimpulan bahwa permainan arsitek

menara dapat meningkatkan kemampuan mengenal angka. Perbedaan

dengan peneliti lakukan yaitu dari metode penelitian, lokasi, sampel dan

tujuan penelitian.
10

F. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Pengaruh Terapi Bermain (Media Playdough) Terhadap

Perkembangan Kognitif Anak Retardasi Mental di Sekolah Luar Biasa Negeri

(SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya perkembangan kognitif anak retardasi mental pretest dan

posttest pada kelompok kontrol di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN)

Minasatene Kabupaten Pangkep.

b. Diketahuinya perkembangan kognitif anak retardasi mental pretest dan

posttest pada kelompok eksperimen di Sekolah Luar Biasa Negeri

(SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep.

c. Diketahuinya perbedaan pengaruh terapi bermain (media playdough) dan

tanpa terapi bermain (media playdough) terhadap perkembangan kognitif

anak retardasi mental.

G. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, seperti:

1. Secara Teoritis

Penelitian tentang Pengaruh Terapi Bermain (Media Playdough) Terhadap

Perkembangan Kognitif Anak Retardasi Mental Di Sekolah Luar Biasa Negeri

(SLBN) Minasatene Kabupaten Pangkep ini akan memberikan sumbangan

terhadap pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan jiwa dan

keperawatan anak.
11

2. Secara Praktis

a. Bagi Anak dan Orang Tua

Anak dapat melatih perkembangan kognitif dengan Terapi Bermain (Media

Playdough), sehingga anak mendapatkan kesenangan dengan

menggunakan metode belajar sambil bermain. Bagi orang tua, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua

tentang media belajar yang inovatif dan mampu memberikan dampak pada

perkembangan kognitif anak dengan retardasi mental.

b. Bagi Guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN)

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk metode

pengembangan media belajar yang inovatif untuk perkembangan kognitif

anak dengan retardasi mental

c. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kepustakaan, dapat

menjadi salah satu bahan bacaan yang bermanfaat dan dapat diaplikasikan

serta menjadi salah satu bahan bacaan yang bermanfaat dan dapat

diaplikasikan serta menjadi sumber motivasi bagi mahasiswa-mahasiswi

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Khususnya Fakultas Ilmu

Kesehatan.

d. Bagi Peneliti

Peneliti dapat belajar melakukan penelitian ilmiah dengan menggunakan

tahapan proses ilmiah. Selain itu, peneliti mendapatkan informasi tentang

media belajar yang dapat digunakan untuk perkembangan kognitif anak

retardasi mental.

You might also like