You are on page 1of 10

Implementasi PPK-BLUD dan Peningkatan

Kualitas Pelayanan Publik


Oleh: Admin
Tanggal: Senin, 23 Desember 2013
Dibaca: 13462 Kali

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan paket
reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah. Paradigma perubahan yang sangat
menonjol adalah penyusunan pola penganggaran dari pendekatan tradisional ke
penganggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja lebih menekankan pada proses
yang akan dihasilkan (output), bukan sekedar membiayai masukan (input).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, khususnya Pasal 68 dan Pasal 69


memfokuskan pada Instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya memberikan pelayanan
kepada masyarakat, diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya dengan
sebutan Badan Layanan Umum. Demikian juga di lingkungan Pemerintah Daerah, terdapat
banyak Perangkat Kerja Daerah yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah


mengamanatkan khususnya dalam pasal 150 yaitu Pedoman teknis mengenai pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam
Negeri setelah memperoleh pertimbangan Menteri Keuangan. Untuk itu, pada tanggal 7
November 2007 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Dalam
Peraturan Menteri tersebut perangkat kerja daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang
secara langsung melaksanakan tugas operasional pelayanan publik dapat menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD).

BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di
lingkungan pemerintah daerah di Indonesia yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah, dengan status
hukum tidak terpisah dari pemerintah daerah.

Berbeda dengan SKPD pada umumnya, pola pengelolaan keuangan BLUD


memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang
sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti pengecualian dari ketentuan
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.

Dalam pengelolaan keuangan, BLUD diberikan fleksibilitas antara lain berupa: (1)
pengelolaan pendapatan dan biaya; (2) pengelolaan kas; (3) pengelolaan utang; (4)
pengelolaan piutang; (5) pengelolaan investasi; (6) pengadaan barang dan/atau jasa; (7)
pengelolaan barang; (8) penyusunan akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban; (9)
pengelolaan sisa kas di akhir tahun anggaran dan defisit; (10) kerjasama dengan pihak lain;
(11) pengelolaan dana secara langsung; dan (12) perumusan standar, kebijakan, sistem, dan
prosedur pengelolaan keuangan.

Adanya privilese yang diberikan kepada BLUD, karena tuntutan khusus yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dari BLUD. Oleh karena itu, prasyarat perangkat daerah
untuk menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
harus dilakukan secara selektif dan obyektif. Layak tidaknya perangkat daerah menerapkan
PPK-BLUD wajib terlebih dahulu dilakukan penilaian oleh Tim Penilai yang diketuai
Sekretaris Daerah yang hasilnya harus didasarkan pada penilaian obyektif, tidak hanya
pemenuhan kelengkapan persyaratan administratif saja.

Selain dari obyektivitas hasil penilaian tersebut, keberadaan BLUD juga harus
dikendalikan dalam bentuk perjanjian kinerja(contractual performance agreement) antara
Kepala Daerah dengan Pemimpin BLUD. Kepala Daerah bertanggungjawab atas kebijakan
layanan dan pemimpin BLUD bertanggungjawab untuk menyajikan hasil layanan.

Dengan demikian, penerapan PPK-BLUD diharapkan tidak sekedar perubahan format


belaka, yaitu mengejar remunerasi, fleksibilitas, menghindari peraturan perundang-undangan
dalam pengadaan barang dan jasa, akan tetapi yang benar adalah, tercapainya peningkatan
kualitas pelayanan publik, kinerja keuangan dan kinerja manfaat bagi masyarakat secara
berkesinambungan sejalan dengan salah satu spirit BLUD yang dikelola
berdasarkan praktik-praktik bisnis yang sehat.

Dengan adanya fleksibilitas, penerapan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-


BLUD) menjadi salah satu alternatif dalam pengelolaan keuangan yang menarik bagi
beberapa daerah. Namun demikian, dalam perjalanannya untuk menerapkan PPK - BLUD
tidak mudah. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh SKPD atau Unit Kerja
tersebut, yaitu persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

Pertama, persyaratan substantif terpenuhi, apabila SKPD atau Unit Kerja pada SKPD
yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: (a)
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan masyarakat; (b) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) Pengelolaan dana khusus dalam
rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Kedua, persyaratan teknis terpenuhi, apabila: (a) Kinerja pelayanan di bidang tugas
dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD, sebagaimana
direkomendasikan oleh sekretaris daerah/kepala SKPD yang bersangkutan; (b) Kinerja
keuangan SKPD atau Unit Kerja pada SKPD yang bersangkutan adalah sehat, sebagaimana
ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLUD.

Ketiga, persyaratan administratif terpenuhi apabila SKPD atau Unit Kerja pada SKPD
yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen sebagai berikut: (a) Pernyataan
kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi
masyarakat; (b) Pola tata kelola; (c) Rencana strategis bisnis; (d) Laporan keuangan pokok
atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; (e) Standar pelayanan minimal; dan (f) Laporan
audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

Sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah tersebut, beberapa
SKPD atau Unit Kerja pada SKPD yang memberi pelayanan langsung pada masyarakat telah
menerapkan PPK-BLUD. Pelayanan tersebut, antara lain berkaitan dengan bidang kesehatan,
pendidikan, wisata daerah, air minum, pengelolaan kawasan, dan pengelolaan dana khusus.
Dari beberapa jenis pelayanan tersebut, pelayanan bidang kesehatan (khususnya Rumah Sakit
Daerah) yang paling banyak menerapkan PPK-BLUD, sampai akhir bulan Oktober 2013
RSD yang sudah melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri sudah 257 RSD atau 41% dari
total sekitar 639 RSD yang ada di Indonesia. Sementara itu, untuk Puskesmas yang sudah
melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri sudah menerapkan PPK-BLUD sebanyak 164
Puskesmas dari 9.510 Puskesmas di Indonesia.

Namun demikian, dalam implementasinya belum semuanya berjalan optimal. Hal ini
disebabkan adanya kendala, baik di lingkungan internal maupun eksternal BLUD. Di
lingkungan internal, masih terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang
memahami dalam operasional BLUD. Sedangkan di lingkungan eksternal BLUD, antara lain
Kepala Daerah, Ketua/Anggota DPRD, pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah seperti
Biro/Bagian Hukum, Biro/Bagian Organisasi, pejabat di lingkungan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), pejabat di
lingkungan Inspektorat Daerah, dan SKPD lain yang terkait dalam penerapan PPK-BLUD,
ada yang belum memahami esensi, makna dan operasional dalam penerapan PPK-BLUD.

Kurangnya pemahaman terkait dengan implementasi BLUD, antara lain terkait


dengan:

Status BLUD bertahap

Status BLUD bertahap hanya berlaku paling lama 3(tiga) tahun. Sehingga, untuk menjadi
BLUD dengan status penuh seharusnya tidak perlu menunggu sampai tiga tahun, sepanjang
dokumen administratif yang diajukan kembali kepada kepala daerah dan dinilai oleh tim
penilai dirasa sudah memuaskan dapat ditetapkan menjadi BLUD dengan status penuh.
BLUD dipersamakan dengan BUMD

Ada pemahaman BLUD dipersamakan dengan BUMD, sehingga setelah menerapkan PPK-
BLUD, APBD langsung dihentikan atau alokasi anggaran dari APBD ke BLUD hanya untuk
belanja pegawai. Pemahaman seperti ini adalah kurang pas. Karena BLUD hanya instrumen
yang diberikan kepada unit-unit pelayanan milik Pemerintah daerah agar memberi pelayanan
kepada masyarakat menjadi optimal. Sehingga, kewajiban Pemerintah Daerah dalam hal ini
APBD masih dimungkinkan, baik untuk Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa, maupun
Belanja Modal. Namun demikian, setelah menerapkan PPK-BLUD mestinya peran APBD
untuk operasional BLUD secara persentase makin lama makin turun.

Peran DPRD pada Penerapan PPK-BLUD

Selama ini, banyak yang mempertanyakan, apa peran DPRD pada BLUD? Karena penetapan
SKPD/Unit Kerja pada SKPD untuk menerapkan PPK-BLUD dengan Keputusan Kepala
Daerah, penetapan tarif layanan dengan Peraturan Kepala Daerah. Peran DPRD apa? Peran
DPRD adalah waktu pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dewan akan
melihat dan membahas target kinerja pada RBA yang akan dicapai dalam satu tahun anggaran
itu apa? Demikian juga waktu membahas laporan pertanggungjawaban APBD, dewan akan
melihat tercapai tidak target-target kinerja yang tercantum dalam RBA? Kalau tidak tercapai
dewan dapat merekomendasi kepada kepala daerah agar: (1) Pejabat Pengelola BLUD
diingatkan; atau (2) kalau perlu pejabat pengelolanya diusulkan untuk diganti. Tetapi jangan
mengusulkan agar BLUD-nya dicabut, karena yang salah adalah pengelolanya bukan
institusinya.

Pengelolaan Sisa Kas di akhir tahun anggaran

Untuk Sisa Kas di akhir tahun anggaran BLUD, apabila pada akhir tahun anggaran ada Sisa
Kas di akhir tahun anggaran pada BLUD, maka Sisa Kas di akhir tahun anggaran tersebut
tidak disetor ke Kas Daerah, akan tetapi dilaporkan ke PPKD yang merupakan bagian dari
SiLPA Pemerintah Daerah, dan dapat digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Sisa Kas
di akhir tahun anggaran dapat disetor ke Kas Daerah sepanjang ada permintaan Kepala
Daerah, dengan mempertimbangkan tidak mengganggu likuiditas keuangan BLUD dalam
memberi pelayanan; dan adanya kondisi mendesak, kalau tidak segera ditangani akan
menimbulkan kerugian yang lebih besar.

Penerapan kebijakan untuk menerapkan PPK-BLUD pada hakekatnya merupakan upaya


pemerintah mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pelayanan
publik. Beberapa dukungan kebijakan terhadap penerapan BLUD tersebut pada dasarnya
sudah cukup memadai. Namun demikian, perkembangan penerapan PPK- BLUD di unit-unit
pelayanan publik masih belum sesuai harapan. Tentu, ini semua menjadi bahan evaluasi
terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang secara terus-menerus dilakukan
pemerintah/pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan
biaya yang murah kepada seluruh lapisan masyarakat.
Badan Layanan Umum Daerah

Ditjen Keuangan Daerah sudah mendorong pemerintah daerah agar menerapkan PKK-
BLUD Bidang Kesehatan. Harus diakui, belum semua Puskesmas khususnya di daerah-
daerah terpencil menerapkan PPK-BLUD. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum, yang
namanya birokrasi pasti ada rigiditas, terutama di bidang keuangan. Pemerintah
mengingatkan bahwa PPK-BLUD bukanlah BUMD yang sudah mengedepankan keuntungan
perusahaan (profit oriented). Karena, akuntabilitas pengelolaan keuangan BLUD masih di
dalam entitas pemerintah daerah, belum dipisahkan. Harus dipahami bahwa BLUD bukan
sebuah badan seperti halnya Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) atau Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM). Untuk itu, SKPD bisa menerapkan PPK-BLUD, baik Unit Pengelola
Teknis (UPT), RSUD, maupun Puskesmas. Ditjen Keuangan Daerah sangat mendorong
rumah sakit untuk menerapkan PPK-BLUD. Sebab, dari sisi SDM, aksesibilitas informasinya
sudah bisa dilakukan dengan baik. Pemerintah optimis RSUD yang menerapkan PPK- BLUD
tidak akan mengalami kerugian dari sisi operasional.
Untuk itu, bagi daerah yang rumah sakitnya belum menerapkan PPK-BLUD agar segera
menerapkannya. Satu hal yang perlu diperhatikan terkait dengan implementasi BLUD, adalah
aspek SDM. Misalnya, bagaimana hubungan Puskesmas dengan SKPD Dinas Kesehatan.
Apakah sudah berjalan dengan baik. Tahun 2014, pemerintah memiliki agenda besar, yakni
implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meskipun bukan merupakan sesuatu yang
baru, terutama bagi SKPD yang berkecimpung dalam bidang kesehatan. Program JKN ini
perlu disosialisasikan kepada daerah. Di tingkat nasional, kita mempunyai program
Jamkesmas. Demikian pula sejumlah pemerintah daerah menggulirkan program Jamkesmas
dan Jamkesda secara bertahap tidak akan berlaku lagi.
Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan Sosialisasi Pedoman Penyusunan APBD TA 2014
kepada Sekda, Ketua DPRD,TAPD, dan Banggar, pemerintah selalu menginformasikan
pentingnya program JKN. Kita harus sepakat mengakselerasi program Jamkesda. Dalam hal
ini, perlu ada kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah Pusat perlu menjembatani agar dana yang telah dialokasikan ke Jamkesda bisa
berlanjut terintegrasi dengan Jamkesmas, yang namanya berubah menjadi JKN. Kemendagri
bersama Kemenkes perlu menginformasikan masalah ini kepada daerah agar lebih intens.
Kita berharap ada proses komunikasi yang baik di daerah, terutama SKPD yang menangani
urusan kesehatan dengan TAPD.
Untuk itu, Kemendagri merasa perlu mengundang Kementerian Kesehatan dan Dewan
JKN agar bisa membantu pemerintah daerah mentransfer pengetahuan terkait kesiapan daerah
dalam konteks penerapan JKN 2014. Kemendagri juga perlu memberikan catatan tentang
kualitas belanja.
Data menyebutkan bahwa kualitas belanja APBD masih perlu ditingkatkan, di mana porsi
belanja aparatur (untuk gaji pegawai) masih cukup besar. Selain pengurangan porsi belanja
aparatur, pemerintah daerah juga memiliki alokasi pendanaan untuk pengembangan kapasitas
infrastruktur terkait dengan kesehatan. Diharapkan, Kemenkes sudah memiliki peta distribusi
pembangunan infrastruktur kesehatan. Kemenkes juga bisa menyalurkan alokasi dana dalam
bentuk DAK kesehatan. Daerah memiliki kewenangan untuk menggunakan DAK sesuai
peruntukkannya.
Bagi daerah DAK cukup penting dalam rangka pembangunan infrastruktur, khususnya di
bidang kesehatan. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa belanja modal itu sifatnya tidak
abadi, dengan kata lain akan mengalami penyusutan. Terkait dengan belanja modal untuk
pembangunan infrastruktur di bidang kesehatan, hal itu juga akan menyebabkan penyusutan.
Dengan demikian, diperlukan updating untuk menjaga ritme pelayanan di bidang kesehatan
agar tetap dalam kondisi prima.
Saat ini yang perlu diperhatikan adalah skenario-skenario JKN 2014. Dalam hal ini, daerah
agar mendiskusikan masalah tersebut secara detail operasional penerapan PPK-BLUD. Juga,
perlu dicari pula dimana bottlenecking (sumbatannya), tetapi tetap di dalam satu payung
(peraturan). Perlu dipahami pula mengapa PPK-BLUD menggunakan Rencana Bisnis dan
Anggaran (RBA).
Tentu, karena PPK-BLUD merupakan unit pelayanan yang dikelola secara bisnis, meskipun
misi utamanya tidak untuk mencari keuntungan (non-profit oriented). Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara jelas menyebutkan bahwa setiap uang di
APBD dalam penggunaannya perlu dibuatkan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Kalau
RKA tidak dibuat maka menyalahi undang-undang. Untuk itu, jika pada SKPD lain disebut
RKA maka di BLUD disebut RBA.
Kita berharap dengan diberlakukannya JKN pada 2014, sudah tidak ada lagi daerah yang
masih belum paham terkait dengan PPK-BLUD. Sejak 2014, diharapkan sudah tidak ada lagi
pertanyaan-pertanyaan terkait dengan BLUD. Yang kita harapkan 2014 itu sudah melakukan
ekstensifikasi seluruh Puskesmas. Kita harus mempersiapkan segala sesuatu serta
berkomunikasi langsung dengan BPJS di 2014. Perlu disampaikan bahwa fungsi pelayanan
publik yang menggunakan PPK-BLUD diharapkan tidak tertinggal dari swasta. Kita pun
perlu melakukan inventarisasi permasalahan yang mungkin timbul terkait dengan penerapan
PPK-BLUD dan JKN 2014. Harapan kita, tahun 2014 akan lebih baik disbanding tahun-tahun
sebelumnya. (Sumber: Keuda-Kemendagri)
PERGESERAN ANGGARAN BLUD

Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat
(7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya belum ada pengaturan
yang spesifik mengenai unit kerja pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada
masyarakat. Semangat itu kemudian diteruskan ke unit kerja pemerintahan di daerah dengan
diterbitkannya Permendagri No 61 Tahun 2007 yang mendefiniskan BLUD sebagai berikut:

Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja
Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan
pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
PPK-BLUD memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-
praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai
pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Fleksibilitas
sendiri diartikan sebagai keleluasaan pengelolaan keuangan/barang BLUD pada batas-
batas tertentu yang dapat dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum. Salah satu
persoalan penting yang dihadapi oleh BLUD adalah masalah pergeseran anggaran.
Tulisan ini secara singkat permasalahan tersebut.

Penganggaran
Penganggaran BLUD dilaksanakan melalui Rencana Bisnis Anggaran (RBA). RBA
merupakan penjabaran lebih lanjut dari program dan kegiatan BLUD dengan berpedoman
pada pengelolaan keuangan BLUD (pasal 75 Permendagri 61/2007). RBA tersebut
dipersamakan sebagai RKA (RKA SKPD/RKA-Unit Kerja). RBA yang telah dilakukan
penelaahan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), disampaikan kepada PPKD
untuk dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Setelah Rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD dltetapkan menjadi Peraturan Daerah, pemimpin BLUD
melakukan penyesuaian terhadap RBA untuk ditetapkan menjadi RBA definitif. RBA
definitif tersebut dipakai sebagai dasar penyusunan DPA-BLUD untuk diajukan kepada
PPKD.

Secara teknis, penyusunan penganggaran BLUD-SKPD selama ini masih terikat dalam
format penganggaran SKPD, dimana RKA/DPA pada masing-masing kegiatan masih harus
dirinci sampai dengan rincian obyek belanja (digit 5), serta menjadi bagian dari rekapitulasi
rincian obyek belanja dalam Lampiran Penjabaran APBD yang ditetapkan Peraturan Kepala
Daerah (Perkada). Kondisi ini menjadikan pergeseran yang terjadi antar obyek belanja
maupun rincian obyek belanja dalam kegiatan yang sama terikat pada ketentuan tentang
pergeseran belanja dalam Permendagri nomor 13 tahun 2006 pasal 160.

Di sisi lain, dalam Permendagri Nomor 25 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD
tahun anggaran 2010 dinyatakan bahwa bagi SKPD atau unit kerja yang telah menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, penganggaran belanja sampai pada jenis belanja. Untuk
belanja tidak langsung dimasukan dalam belanja pegawai, sedangkan belanja langsung dibagi
dalam jenis belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Artinya, disatu sisi RBA yang dipersamakan dengan RKA tersebut difasilitasi untuk merinci
hanya sampai jenis belanja, namun di sisi lain secara teknis hal tersebut tidak dimungkinkan
karena RKA disusun sampai rincian obyek.

Solusi Alternatif

SKPD BLUD dalam menyusun anggaran (RBA/RKA) tetap mencakup program, kegiatan
sampai dengan rincian obyek. Hanya saja obyek maupun rincian obyek tersebut digunakan
sebagai alat pengendalian bagi manajemen. Pergeseran yang mungkin terjadi dalam rincian
obyek belanja maupun obyek belanja dalam jenis belanja dan kegiatan yang sama bukan
termasuk kategori pergeseran anggaran sebagaimana diatur dalam Permendagri 13/2006.
Sehingga semestinya dalam Perkada tentang Penjabaran APBD yang memuat rekapitulasi
belanja sampai dengan rincian obyek belanja tidak termasuk obyek belanja maupun rincian
obyek belanja atas SKPD BLUD. Atau alternatif lainnya, di dalam Penjabaran APBD tetap
dimuat sampai dengan rincian obyek belanja, namun penetapan pergeseran tidak didasarkan
pada penjabaran tersebut

You might also like