Professional Documents
Culture Documents
SINUSITIS
Pembimbing :
dr Ferry L Sp.Rad
Disusun Oleh :
1
REFERAT
SINUSITIS
di Departemen Radiologi
Disusun Oleh :
Ditetapkan di Jakarta
Tertanggal 19 Juni 2013
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul Sinusitis. Referat ini
bertujuan untuk mengetahui tentang kelainan dan mengenali tanda-tanda terjadinya
sinusitis secara lebih luas melalui anatomi sinus paranasal, definisi, klasifikasi,
etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis, dan pencegahan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran
dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam
ruang lingkup ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan
dengan referat ini.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di
Departemen Radiologi RSAU Esnawan Antariksa Jakarta, atas ilmu dan
bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr. Faida S Sp.Rad, dr Dina Lukitowati
Sp.Rad, dr Ferry L Sp.Rad, Selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembacanya.
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis, epidural empiema serta abses,
trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.5,6
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena
hal diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan
operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III
atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa anak-anak.
Pembentukannya dimulai sejak di dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua
5
sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sehingga tidak heran jika pada
foto rontgen anak-anak belum terdapat sinus frontalis karena belum terbentuk. Sinus
frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan
menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia
25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter,
dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau
dua puluhan.
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi.
Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan
menjadi konka inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi
konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal
pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus
uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai berkembang.
6
gigi (dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Molar) dan ductus
nasolakrimalis (terdapat di dinding cavum nasi).
Sinus ethmoidalis terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, sinus
ethmoidalis berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), sedangkan saat dewasa terdiri
dari 7-15 cellulae yang berdinding tipis. Bentuknya berupa rongga tulang yang
menyerupai sarang tawon, yang terletak antara hidung dan mata Sinus ethmoidalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina
cribrosa, sehingga jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah
kranial), orbita (dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea, sehingga jika
melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke
daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma), nervus optikus dan nervus, arteri dan
vena ethmoidalis anterior dan posterior.
Sinus sfenoidalis rerbentuk pada fetus usia bulan III Sinus sfenoidalis terletak
pada corpus, alas dan processus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa 7 cc.
Sinus sfenoidalis berhubungan dengan sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
glandula pituitari, chiasma n.opticum, ranctus olfactorius dan arteri basillaris brain
stem (batang otak).
7
Gambar 1. Anatomi sinus
2.2 Epidemiologi
8
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah
penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial
adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima
milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60
milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi
yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Sinusitis
bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis,
frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris
dikarenakan merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi
dari dasar, sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasarnya adalah akar
gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris
yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Apabila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
9
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
2.4 Etiologi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus
sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu sistem mukosiliar
rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan masuk ke sel tubuh
dan menginfeksi secara cepat. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih sering pada
tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal. Virus penyebab sinusitis antara lain
rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus.
Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti
oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut yang sering ditemukan ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella
kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang
menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan
dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri
10
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan
kimia. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan edema
dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade
dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan
jamur, bakteri, atau virus. Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi
infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang oedem yang
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan
timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus
seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis
terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi
rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi
lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan
aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat
menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.
Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan
juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga
dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis
dengan mengganggu pengeluaran mukus.
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk
infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan
berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan
adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering
menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai
penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan
jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan
11
sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang
menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor,
Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.
2.5 Patofisiologi
Mukus yang terhambat ini, apabila terinfeksi akan menyebabkan sinusitis. Ada
hipotesa mekanis yang mengatakan bahwa karena rongga sinus ini berhubungan
dengan rongga hidung, maka koloni bakteri dari nasofaring dapat menginfeksi rongga
sinus.
12
1. Obstruksi jalan keluar sekresi sinus.
Obstruksi dari ostia sinus mencegah drainase yang baik. ostia dapat tertutup
oleh pembengkakan mukosa atau karena penyebab lokal (trauma, rinitis), dapat juga
oleh reaksi inflamasi yang disebabkan oleh penyakit sistemik dan gangguan imunitas.
Obstruksi mekanik yang disebabkan oleh polip hidung, benda asing, septum deviasi
atau tumor juga dapat menyebabkan obstruksi ostia. Biasanya, batas mukosa yang
edematous memiliki penampilan bergigi, tetapi dalam kasus yang parah, mukus dapat
benar-benar mengisi sinus, sehingga sulit untuk membedakan proses alergi dari
sinusitis infeksi
13
Gambar 3. Patogenesis Sinusitis
Beberapa gejala subjektif dibagi menjadi gejala sistemik dan gejala lokal,
gejala sistemik yang dimaksud adalah demam dan lesu Gejala lokal yang muncul
adalah ingus kental dan berbau, nyeri di sinus, reffered pain (nyeri yang berasal dari
tempat yang lain), yang bervariasi pada tiap sinus, seperti sinusitis maksila terdapat
14
nyeri pada kelopak mata dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sinusitis etmoid,
rasa nyeri dirasakaan di pangkal hidung dan kantus medius, sinusitis frontal, rasa
nyeri dirasakan di seluruh kepala, sedangkan sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan di
belakang bola mata dan mastoid.
2.7 Diagnosis
A. Sinusitis akut
Anamnesis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
15
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.2,13,14
Pemeriksaan fisik
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari
mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga
dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila
dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian
dinyatakan tidak spesifik.1
16
Gambar 3. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis
Pemeriksaan penunjang
Jenis pemeriksaan foto polos kepala dalam menilai sinus paranasal yang perlu
diperhatikan meliputi foto Waters, Caldwell, submentovertex serta foto kepala lateral.
Disbanding CT scan dan MRI, foto polos sulit untuk membedakan antara infeksi
tumor dan polip, tapi pemeriksaan in cukup murah, mudah dikerjakan, derajat radiasi
yang rendah dibandingkan CT scan dan hampir seluruh rumah sakit mampunyai
fasilitas pemeriksaan ini.17
Berikut ini table yang menunjukkan foto polos kepala dengan bayangan sinus
17
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik
dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal.Karena banyaknya
unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus
paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang
sulit dievaluasi.Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien
hanya mendapat radiasi yang minimal.
- penebalan mukosa
- air fluid level (kadang-kadang)
- perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal
- penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus
kronik)
18
Gambar 5. Air fluid level pada Sinus Maxilla (foto lateral) 17
19
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica
kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding
posterior sinus maxillaris. 17
e. Foto Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior
sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain. 17
Pemeriksaan CT-Scan
20
inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan
penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi
intrakranial dari sinus frontalis.
Gambar 10. Foto CT-Scan axial memperlihatkan gambaran sinusitis ethmoid dan
sphenoid dextra dengan destruksi dinding lateral sinus sphenoid dextra7
21
Pemeriksaan MRI
Gambar 12. Foto MRI menunjukkan ekstensi intraorbital sinus ethmoid bagian
kanan18
22
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibandingkan dengan sisi yang normal.2,13,14
B. Sinusitis Kronis
Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri
kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan
penciuman dan pengecapan.51315
23
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Radiologi15
CT scan15
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.
24
Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini
sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis
kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging
didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi
atas:7
- stage I : satu fokus penyakit
- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan
- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.
2.8 Penatalaksanaan
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2
25
Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin,
dekongestan, dan steroid.
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
26
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari,atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii.Pasien dengan gagal pengobatan
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama
10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per
oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
2.9 Komplikasi
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
27
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.2
Komplikasi Intrakranial2
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.
28
Gambar 7. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial
Kelainan Paru2
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.
2.10 Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau kronis.
Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:
-
Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.
-
Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.
29
-
Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau aroma
bahan kimia yang keras.3
2.11 Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari
penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan
dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra
sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.
30
REFERENSI
1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA,
penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p.
253-5.
4. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
31
10. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
13. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
16. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994
17. Noyek AM, Witterick IJ, Fliss DM, Kassel EE. Diagnostic imaging. In: Bailey
32