You are on page 1of 23

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS
Nama : Tn. K
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Cibadak

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri pada semua bagian perut sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri bersifat hilang timbul, biasa timbul saat sedang makan, nyeri yang
dirasakan seperti di tusuk tusuk tapi tidak menjalar. Nyeri dirasakan memberat
sejak 27 jam SMRS. OS juga mengeluhkan sesak sejak 27 jam SMRS yang lalu
berbarengan dengan memberatnya nyeri. Mual (-), Muntah (-), BAB normal, BAK
normal. 2 hari sebelumnya OS masih bisa bekerja seperti biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya
Riwayat penyakit maag sejak 10 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada yang bergejala seperti ini dikeluarga

Riwayat Pengobatan :
Berobat ke Puskesmas, setelah obat habis kambuh lagi.

Riwayat Kebiasaan :
Riwayat minum jamu jamuan, riwayat minum obat setelan selama 10 tahun

1
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
TD : 140 / 100 mmHg
Suhu : 37,8 oC
Nadi : 100 x/menit
Nafas : 60 x/menit

STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak rontok, distribusi merata,
Mata : Diameter Pupil : 3 mm/3 mm
Refleks pupil : +/+, isokor
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Hidung : secret - / -
Mulut : mukosa bibir kering
Leher : Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening
Jantung : Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru : Vesikuler Breath Sound kanan = kiri, ronchi (-/-), wheezing (-/-)
Extremitas : Superior : Akral hangat, RCT < 2 detik

Inferior : Akral dingin,


, RCT >2 detik

2
STATUS LOKALIS
Abdomen : Inspeksi : perut cembung, massa (-), bekas
operasi (-), distensi (+)
Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan semua kuadran
abdomen,

Defans
Muskuler (+)
Perkusi : Hipertimpani pada keempat kuadran
abdomen

Resume

Tn. K 53 tahun MRS dengan keluhan nyeri pada semua bagian perut sejak
1 bulan. Nyeri bersifat hilang timbul, biasa timbul saat sedang makan, nyeri yang
dirasakan seperti di tusuk tusuk tapi tidak menjalar. Nyeri dirasakan memberat
sejak 27 jam SMRS. OS juga mengeluhkan sesak sejak 27 jam SMRS yang lalu
berbarengan dengan memberatnya nyeri. 2 hari sebelumnya OS masih bisa
bekerja seperti biasa.
. Dari hasil pemeriksaan fisik nadi 100 x/menit, tensi 140 / 100 mmHg,
nafas 60x/menit, suhu 37,80 C Status lokalis abdomen inspeksi : perut cembung,
distensi (+). Nyeri tekan semua kuadran abdomen, DM (+). Hipertimpani semua
kuadran abdomen.

Differential Diagnose
Peritonitis e.c. : - Perforasi gaster
- Perforasi Kolon
- Perforasi Appendisitis

Working Diagnose
Peritonitis e. c. Perforasi gaster

3
Pemeriksaan Penunjang
- Darah Rutin

HEMATOLOGI
Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan
Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin *12,4 13.5 17.5 g/dL
Leukosit *17,2 4.8 10.8 10^3/uL
Hematokrit *33,7 42 52 %
Trombosit 185 150 450 10^3/uL
Fungsi Hati
SGOT *46 < 40 U/L
SGPT 39 < 42 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 41.2 10 50 Mg%
Kreatinin 0.8 0 1.0 Mg%

- Ro : torax tegak, abdomen datar, LLD ( free air )

Penatalaksanaan di IGD
NGT
DC
Metro 3 x 500 mg inf.
Ceftriaxone 1 x 1 gr
Nacl 30 tpm

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
1.1 PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di


rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa
tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi,
obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.1,7

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering


terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1,2

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara


inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.3

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena


setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3,7

2.1 DEFINISI

5
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut.2,3
Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum
yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.2,8
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian
menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis


kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau
radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri
viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya
ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.4
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat
timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang.

6
Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.4
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya
konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil
dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan
kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil. 5 Organ-organ
yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum,
jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix
(intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan
ureter (retroperitoneum).6,7

2.2 ANATOMI
Dinding Abdomen
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada
iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari
berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub
kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga
otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan
peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di
bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya
yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. 6 Dinding perut membentuk
rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-
aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia
bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada
pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan
tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah.
Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI XII dan
a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis,
a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini

7
memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan perdarahan.
Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI XII
dan n. Lumbalis I.6

Gaster
Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung gastric pit / lekukan
berukuran mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat atau lima kelenjar
gaster dari sel sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung letak anatominya.
Kelenjar di daerah cardia terdiri < 5 % kelenjar gaster mengandung mucus dan sel
sel endokrin. Sebagian kelenjar terbesar gaster ( 75% ) terletak di dalam mukosa
oksintik mengandung sel sel leher mukosa, parietal, chief, endokrin, dan sel
enterokromafin. Kelenjar pilorik mengandung mucus dan sel sel endokrin
( termasuk sel sel gastrin ) dan di dapati di daerah antrum.
Sel parietal juga dikenal sebagai sel oksintik biasanya didapati di daerah
leher atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel parietal yang tidak terangsang,
punya sitoplasma tubulovesikel dan kanalikuli interselular yang berisi mikrovili
berukuran pendek sepanjang permukaan apical / atas. Enzim H+, K+, ATPase
didapati di daerah tubulovesikel. Bila sel dirangsang, membran ini dan membran
apical lainnya diubah menjadi jaringan padat dari kanalikuli interseluler apical
yang mengandung mikrovili ukuran panjang. Sekresi HCl dari kanalikuli ke
lumen lambung memerlukan energy besar berasal dari pemecahan H +, K+, ATP
oleh enzim H+, K+, ATPase , terjadi dari permukaan atas kanalikuli yang
dihasilkan 30 40 % jumlah total mitokondria.

2.3 FISIOLOGI
FAKTOR PERTAHANAN MUKOSA GASTRO DUODENAL
Epitel gaster mengalami iritasi terus menerus oleh 2 faktor perusak :
1. Perusak Endogen ( HCl, pepsinogen / pepsin dan garam empedu )
2. Perusak Eksogen ( obat obatan, alcohol, bakteri )

8
Untuk penangkal iritasi tersedia sistem biologi canggih, dalam
mempertahankan keutuhan dan perbaikan mukosa lambung bila timbul kerusakan.
Sistem pertahanan gastroduodenal terdiri dari 3 rintangan yakni : Pre Epitel,
Epitel, Post Epitel / Sub Epitel.
Lapisan pre epitel berisi mucus bikarbonat bekerja sebagai rintangan
fisikokemikal terhadap ion seperti hydrogen, mucus yang disekresi sel epitel
permukaan mengandung 95 % air dan mencampur lidip dengan glikoprotein
dalam ikatan dengan fosfolipid, membentuk lapisan penahan air dengan asam
lemak yang muncul keluar dari membrane sel. Bikarbonat memiliki kemampuan
mempertahankan perbedaan pH yakni pH 1 2 di dalam lumen lambung
Lapisan sel epitel permukaan adalah pertahanan kedua dengan
kemampuan : menghasilkan mucus, transportasi ionic sel epitel serta produksi
bikarbonat yang dapat mempertahankan pH interselular 6 7, dan intracellular
tight junction.
Sistem mikrovaskular yang rapi di dalam lapisan sub mukosa lambung
adalah komponen kunci dari pertahanan / perbaikan sistem sub epitel. Sirkulasi
yang baik dapat menghasilkan bikarbonat / HCO3 untuk menetralkan HCl,
memberikan asupan nutrient dan oksigen serta membuang hasil metabolic toksik.

2.4 ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena
perforasi organ berongga karena trauma abdomen.2
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium
Tuberculosa.
b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, obat
obatan
( OAINS ) benda asing (talk, tepung). 2,3,9

9
Penyebab peritonitis

Esofagus : Keganasan, Trauma, Iatrogenik,


Lambung : Perforasi ulkus peptikum, Keganasan (mis.
Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal,
Trauma, Iatrogenik
Duodenum : Perforasi Tukak Duodeni, Trauma (tumpul dan penetrasi),
Iatrogenik
Traktus bilier : Kolesistitis, Perforasi batu dari kandung empedu,
Keganasan, Kista duktus koledokus, Trauma, Iatrogenik
Pankreas : Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu),
Trauma, Iatrogenik
Kolon asendens: Iskemia kolon, Hernia inkarserata, Penyakit Crohn,
Keganasan, Divertikulum Meckel, Trauma
Kolon desendens dan apendiks: Iskemia kolon, Divertikulitis, Keganansan,
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, appendicitis, trauma,
iatrogenic.
Salping uterus dan ovarium: Pelvic inflammatory disease, keganasan,
trauma.

Ket. Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna


bagian atas, termasuk pankreas, saluran empedu, dan kolon. Kadang bisa juga
berasal dari trauma endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi) merupakan
penyebab tersering terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden
peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi) seharusnya kurang dari 2%.
Operasi untuk penyakit inflamasi (mis. apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa
perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses

10
peritoneal. Risiko ini dapat meningkat hingga lebih dari 50% pada penyakit kolon
gangren dan perforasi viseral. Setelah operasi trauma abdomen juga dapat
mengakibatkan peritonitis sekunder dan abses. Risiko terjadinya peritonitis
sekunder dan abses juga makin tinggi dengan adanya keterlibatan duodenum,
pankreas, perforasi kolon, kontaminsai peritoneal, syok perioperatif, dan transfusi
yang masif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering
ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP
terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien
dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi
hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran
hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan
asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein
cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut
terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.
Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni
40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus,
dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni
Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan
mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur
beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering
terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula
terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat

11
melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung
polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP
akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup
sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang
lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien
seperti ini.
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa
komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat
infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95%
pasien peritonitis didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami
gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat
sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain
peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi,
sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni
peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-
bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau
proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa
adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode
diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan
peritonitis infektif lainnya.

2.5 PATOFISOLOGI

12
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.1 Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Udema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-
organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang
tidak ada, serta muntah.10 Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen
usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai

13
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.1,7

Obat Setelan

Di masyarakat banyak dijumpai penyakit atau keluhan tentang kesehatan,


seperti pegal-pegal, kesemutan, nyeri, sakit pada persendian dan tulang. Keluhan-
keluhan ini biasa mereka sebut Flu Tulang. Gejala yang ditimbulkan berupa
bengkak dan nyeri pada persendian di bagian kaki, lutut, tengkuk dan bahu.
Gejala-gejala ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai penyakit yang ringan
sehingga dapat ditangani secara swamedikasi.

Obat-obat yang beredar di masyarakat dan sering digunakan untuk


mengatasi nyeri tulang, pegal-pegal dan sakit pada persendian adalah sediaan obat
setelan untuk flu tulang. Masyarakat memberi istilah demikian karena dalam
sediaan tersebut mengandung lebih dari satu jenis obat. Sediaan setelan untuk flu
tulang biasanya mengandung empat sampai lima jenis obat dalam bentuk tablet,
kaplet maupun kapsul dengan kelas terapi yang sama atau berbeda. Hal ini
tentunya memungkinkan terjadinya interaksi obat yang berdampak negatif bagi
kesehatan.

Pada sediaan obat tersebut umumnya tidak dicantumkan penandaan yang


jelas dan lengkap sesuai undang-undang yang berlaku. Seperti aturan pakai,
komposisi, efek samping, kontra indikasi, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi
hingga pabrik yang memproduksi, sehingga kualitas dan keamanan obat tidak

14
dapat dipertanggungjawabkan. Meski demikian, masih banyak masyarakat yang
memilih jenis sediaan ini dengan alasan harga yang murah yang biasanya hanya
berkisar pada harga seribu hingga dua ribuan, mudah didapat, dan adanya asumsi
bahwa obat setelan lebih efektif karena dalam satu paket berisi lebih dari satu obat
sehingga lebih berkhasiat.

Obat-obat yang mungkin ditambahkan pada sediaan setelan untuk flu


tulang antara lain, deksametason, antalgin, asam mefenamat dan vitamin B.
Deksametason adalah salah satu obat antiinflamasi steroid yang berkhasiat untuk
pengobatan arthritis rheumatoid (rematik), alergi dan asma. Obat ini sering
disebut sebagai obat dewa karena dapat menyembuhkan hampir semua gejala
penyakit. Deksametason juga mempunyai efek samping yang merugikan, seperi
moon face, pengeroposan tulang, tukak lambung serta penghambatan
pertumbuhan pada anak jika digunakan secara terus-menerus dalam jangka waktu
yang cukup lama. Menurut regulasi yang ada, deksametason merupakan jenis obat
keras yang hanya boleh diberikan pada pasien dengan resep dokter.

Efek samping OAINS pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung.
Efek samping pada lambung memang yang paling sering terjadi. OAINS merusak

15
mukosa lambung melalui 2 mekanisme yakni : topikal dan sistemik. Kerusakan
mukosa secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga
mempermudah trapping ion hidrogen masuk mukosa dan menimbulkan
kerusakan. Efek sistemik OAINS tampaknya lebih penting yaitu kerusakan
mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun karena OAINS secara
bermakna menekan prostaglandin. Seperti diketahui prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efeks
sitoproteksi ini dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa,
meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkatkan epithelial
defense. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit pada
endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis.
Radikal bebas dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut
akan merusak mukosa lambung.

2.6 KLASIFIKASI

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai


berikut:2,3,5,9
A. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis, Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi

16
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

B. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa).


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.

C. Peritonitis tersier, misalnya:


- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah
lambung, getah pankreas, dan urine.

D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis.


- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

17
2.7 MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.1
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. 1 Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.1,7

2.8. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.

A. Gambaran klinis.
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun
atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder
yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada
penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula
dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari
fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain
yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,

18
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau
umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.1,3
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis
adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi
abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri
abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul
2 minggu pasca bedah.3

B. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan
atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.3
c.Pemeriksaan X-Ray Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada
peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada
kasus-kasus perforasi.3

C. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :3

1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,

19
proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35 x 43 cm.

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada


foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).2
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah :3

1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk
bulan sabit (semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal. 2,5

2.9 TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 1,8

20
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan
vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan
resusitasi. 5,11
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas
juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 5,11
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
11
atau mereseksi viskus yang perforasi. Lavase peritoneum dilakukan pada
peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar
tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan
lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.2,3 Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak
dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari
cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus
(misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi. 2,3

21
2.10 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 4

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :9
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi sistem
Abses residual intraperitoneal
Portal Pyemia (misal abses hepar)

b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
2.12 PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.1

22
DAFTAR PUSTAKA

1.Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita


Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2.Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
3.Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
4.Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam;
Jilid 1;Ed:3;p 435-442.
5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
6.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 696, EGC, Jakarta.
7.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
8.Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989
10.Balley and Loves, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England

23

You might also like